Tuesday, January 22, 2008

Aku, Bis Kota, Microlet dan Taxi kota.

Di suatu siang yang cerah dan cerah sekali, silau. Langit biru dihias awan yang putih besih bagai salju. Sungguh dramatis sekali awan siang itu, membuat ingin ku abadikan, tapi aku sedang tak membawa alat perekam itu. Aku mau pulang saja. Panas dan silau ini membuatku ingin segera beranjak naik bis kota, ke luar sana. Ke tempat yang sepi dan lepas dahagaku dengan air yang segar sepanjang masa.

Oh..malang sekali nasibku. Udah lama ku menunggu Bus Kota di halte yang sepi tiada teman itu. Tak kunjung satu pun bis kota yang mau menghampiri tak juga angkutan kota lainnya. Apalagi taxi yang tarifnya menggapai langit, hanya membuat kantong kempesku tambah kempes bahkan kalo bisa, cekung ke dalam saking vakumnya tekanan dalam kantongku yang hampir bolong, karena sering kumasukkan tangan menggapai kosong. Sudah lama ku tak naik bis kota, tak tau lagi gimana rasanya. Aku bimbang antara bis kota atau microlet atau naik taxi. Dia sebenarnya senang sekali jika ada taxi yang mau hampiri, namun apa mau dikata, orang tuanya cuman ngasi sangu yang cukup untuk bis kota. Angkutan murah meriah, bisa buat kemana aja. Tak rewel dan penuh pengertian. Meskipun banyak copet berkeliaran berpenampilan layaknya penumpang profesional.

Suatu ketika ku coba menghentikan sebuah bis kota yang lewat kencang di depannya. Mendadak sang bis berhenti dan hampir membuat mobil di belakangnya menabrak pantat bis kota yang bohay dan lebar tentunya. Namun tak jua aku naik ke pintu bis kota yang sudah mulai berkarat itu. Walaupun bis kota ini terbilang baru, namun penampilannya kumal dan lusuh. Tak dirawat oleh sopir dan keneknya. Malang sekali nasibmu bis kota yang satu ini, kau mendapatkan tuan yang tak ramah tak juga baik menjaga penampilanmu. Tak banyak kulihat penumpang di dalamnya, akupun tak berani naik. Aku takut terpeleset dan di dalam tak ada hiburan yang memadai untuk perjalananku ke luar kota ini, bahkan ke luar pulau, mungkin juga ke luar angkasa. Terbang bersama bis kota yang layu. Aku jadi ragu. Apakah bis kota benar-benar menjadi incaran tumpanganku siang ini?

Tak kunjung aku beranjak dari kumalnya kursi halte yang sepi ini. Tak juga hilang silaunya awan membenamkan aku dalam cerahnya siang yang kosong ini. Tubuhku ada bersama halte, namun jiwaku entah ke angkasa mana terbang bersama lamunan bis kota yang lewat dengan pasrah tadi. Tak ada perlawanan sang kenek, ataupun ajakan biar aku lekas naik. Aku tak mengerti dengan kehadiran bis kota ini. Tak mengerti dengan kebisuan dia, seolah tak bersuara, seolah tak bisa jua menangis. Tak juga mampu guratkan secuil lukisan di awan silau tadi, hingga paling tidak membuat aku tak silau lagi. Oh awan yang menggantung, ajari bis kota ini tuk melaju dengan benar di jalan yang benar. Jangan hanya melaju tanpa berhenti, berhentilah ketika seorang mencegat langkahmu yang gontai. Maka kelak orang itu sudi memasuki ruangan kumalmu dengan puluhan kursi yang tak kalah kumal oleh ganasnya peluru waktu yang menghujam hingga ke sudut jendelamu.

Oh, betapa kering sekali kerongkongan ini. Tak juga ada yang mau menghampiri. Pedagang asong yg di ujung jalan itu hanya termangu, menatap serius dengan lamunan, awan yang silau di atas sana. Biru atau putih yang ia amati, sama sekali aku tak peduli dan tak mau tau. Hingga akhirnya sebuah microlet mencoba menghampiri aku. Aku masih terdiam terpaku. Apakah di berhenti untukku saat ini? Aku coba bertanya. Tapi sang sopir hanya memandang kosong ke arah awan putih silau tadi. Aku tak bisa menggapai awan itu Pak sopir. Seandainya bisa, sudah ku cabik-cabik awan itu sejak tadi aku berdiri disini. Agar silaunya tak membuat orang teralihkan perhatiannya ke atas sana. Dan juga, para penumpang di dalam microlet semakin terlena oleh bengong pak Supir yang melongo tanpa basa-basi. Tak jua ku berani beranjak dari tempat dudukku yang sekarang sedikit ku geser ke depan. Berharap, ketika sang supir melambai, aku segera bisa mengangkat pantatku tuk segera masuki microlet yang juga tak kalah kumalnya daripada bis kota tadi. Segenap jiwa dan raga ku curahkan untuk bertanya pada langit biru di atas sana. Tapi tak kunjung mendapat jawaban yang pasti. Sang langit hanya menyemburkan awan-awan putih yang hampa dan tak ada isinya. Seluruh jagat raya dibuat bingung oleh tingkah polah sang langit biru. Aku juga tak kalah bingungnya dengan jagat raya.
Dan diantara kebingungan itu, aku beranjak ke tengah jalan dan kuusir microlet itu dari tepi jalan yang semakin lama semakin sepi itu.

Aku pun berjalan gontai menuju ke tepi. Tak tau apa yang musti ku perbuat, biar paling tidak ada sebuah microlet yang bisa kutumpangi ataupun paling tidak bis kota yang bisa ku masuki untuk sekedar melepas lelah ini. Tak kunjung taxi juga datang. Tanpa merasa berdosa, sang matahari mulai mendekati garis cakrawala. Awan-awan pada berduyun-duyun menemani sang matahari mendekap cakrawala. Sinarnya yang mulai kuning, membuat silau awan tadi menjadi menguning. Tak sesilau tadi siang. Namun, sang matahari masih lama juga tenggelamnya. Masih menunggu sinar merah ke luar dari tubuhnya, baru kemudian ia melepas siang dan segera mengenakan seragam hitamnya dan malampun jadi penguasa di jagat raya ini.

Tak disangka, di sela-sela keemasan kuning sinar sang matahari, ku berpacu mengejar sebuah taxi yang cukup kencang berusaha berhenti menghampiri aku. Seolah-olah sang taxi tak cukup kuat menahan laju kecepatannya sendiri dengan remnya yang sebenarnya baru dibengkelkan dua hari yang lalu. Aku juga tak kalah cepat mengejar taxi yang rem-blong itu. Tak juga kuat aku mengejar, aku teruskan saja dengan langkah gontai. Taxi terlalu cepat dan aku tak sanggup berlari lagi. Namun tiada kusangka, dia menghampiri dengan berjalan mundur. Aku coba bangkit dari gontai ini. Sinar keemasan mentari memantul dari kaca spion taxi ini dengan cukup kuat dan membuat hanya melihat kunang-kuang di balik sinar putih kapas, sesilau awan yang bagai kapas siang terik tadi. Aku bangkit, sang taxi masih mundur. Aku berusaha mendekat, sang taxi malah maju. Seolah ada yang menarik taxi dari depan. Aku berjalan lebih cepat lagi, tapi sepertinya ada penumpang lain di depan yang seolah-olah mampu menarik perhatian sang taxi begitu dalam. Aku tak sanggup lagi. Aku ingin terbang tinggi ke sinar mentar yang kekuningan itu. Ingin rasanya kusiramkan ke segenap tubuhku, hingga tubuhku berwarna kuning. Sehingga aku bisa berkata bahwa tubuhku memang kuning. Bukan hijau seperti yang dulu kau ketahui.

Aku ingin menyelam ke dasar samudera membawa sinar kuning keemasan kuning mentar tadi. Biar ikan-ikan yang tak pernah ke luar dari dalamnya samudera bisa mengerti bahwa sinar mentar itu hangat dan mampu menyejukkan di kala embun pagi sedang menggantung di ujun daun. Wahai sang laut, antar aku ke dasarmu dan ajari aku cara menyelam, kelak semuanya akan berpadu. Sinar mentari akan menari di atas gemercik air lautan, ditemani awan putih yang dipeluk mesra langit biru. Dan sang taxi bisa melaju tanpa henti, mengantarkan aku ke dasar samudera yang biru itu....


Anjungan, 22 Januari 2008

Oscar 1 Januari 2008

Hari itu mendung, awan hitam bagai selimut, selimuti langit hingga ke kaki langit yang terdampar di ujung samudera. Awan hitam, tiada putih sedikitpun dan tebal menggantung di ujung utara dan selatan anjungan tempat kami berempat berpijak. Semua sudah makan siang dan kamipun tertidur dengan pulas setelah kalori yang habis diisi ulang oleh makanan yang tak dihangati yang dimasak malam tadi. Sungguh tragis.

Dan kamipun terbangun oleh dentuman petir dan geledek yang menyambar-nyambar. Salah satu dari kami masih tertidur pulas, entah takut atau memang ngantuk menghadapi badai yg sebentar lagi menghantam. Di ujung sana, daratan sudah tak terlihat, di ujung sana lagi, anjungan lain yang biasanya terlihat titik-titik saja kini memudar ditelan derasnya hujan dengan angin yang menggila. Kami hanya termangu dan masuk ke dalam ruangan yang lebih layak disebut rumah monyet daripada ruang kendali yang sengaja disiapkan sekedar untuk duduk dan melepas lelas dan juga menghindarkan diri dari serangan angin atau hujan seperti sekarang ini.
Petir kembali menyambar di kejauhan sana dan guntur menyahut beberapa detik kemudian.

Pintu akhirnya ditutup rapat-rapat. Kami menggigil di dalam dengan dingin dan sepakat melepas sepatu; kami duduk berhimpitan agar panas tak terlalu cepat hilang. Kawan yang tadi masih tertidur, kini semakin tak bersuara. Entah sudah pulas atau hanya ingin melarikan sejenak diri dari kenyataan yang berbadai ini. Kecepatan angin saat itu kurang lebih 50 knot. Cukup kencang dan tak akan sanggup berdiri dengan tegak ketika kita berdiri di ruangan terbuka tanpa penghalang.

Salah seorang yang lain dari kami, mencoba untuk tetap membaca berita dari koran yang sudah telat seminggu dengan kaca mata minusnya yang agak tebal dan dengan penerangan yang semakin redup yang ia dapatkan dari sela-sela seng penutup ruangan yang sedikit terbuka. Namun tak berani ia buka lebar-lebar karena takut akan menyusupnya air hujan dengan anginnya yang tak berperikemanusiaan sore ini menghadang kami.

Kapal yang mengantar dan menunggu kami di luar sana terombang-ambing tak karuan. Di saat menit yang lalu arus mengalir dari tenggara ke barat laut dan sang kapal pun terseret arus ke arah barat laut, namun beberapa saat kemudian, angin sudah berubah arah dari timur laut menuju barat daya. Tali-tali pengikat kapal yang cukup panjang berputar berlawanan arah seolah hendak mengikat dan melilit kaki-kai anjungan tempat kami berpijak ini. Tak ada yang terlihat berada di deck kapal atau pun kelihatan di dalam di balik kaca kapal yang terlihat suram oleh derasnya hujan sore itu. Sore itu adalah hari pertama di tahun yang baru, 2008.

Hari itu juga, kami cukup puas mengistirahatkan diri setelah semalam sebelumnya menikmati pesta musik dangdut malam tahun baru di deck puncak bersama-sama teman-teman semuanya. Pesta yang dimeriahkan artis-artis itu cukup menarik untuk kuabadikan dari balik bidikan mainan besi kesayanganku. Sayang batreku habis, sehingga tak banyak moment yang didapat dari wireless flashku. Namun rasa ngantuk akibat malam kemaren, terbayar sudah siang ini dengan tidur pulas tanpa dosa, makan gaji buta. Salah seorang di antara kita yang lain lagi terlihat hanya bisa bersandar di pojokan ruangan yang kian menit kian bertambah dingin ini. Air hujan dengan angin kencang ini semakin menyusup dari sela-sela nako besi yang berlubang di setiap selanya. Cukup besar, cukup untuk masuknya ribuan titik-titik hujan ke dalam ruangan yang kian menit kian dingin ini. Kami tutup dengan remasan koran-koran yang sudah basi yang lainnya. Sang teman yang bersandar tadi kembali memperbaiki posisi duduknya, memperbaiki posisi bersandarnya, berusaha mendapatkan tempat yang senyaman mungkin di tempat yang paling tidak nyaman ini. Akhirnya teman ku yang membaca koran tadi menyerah juga, dia mengakhiri membaca koran basinya seiring petir menyambar udara kosong untuk ke sekian kalinya.

Hujan masih saja turun. Sebenarnya kekuatan menghadapi badai ini juga karena nanti malam aku sudah beranjak dari anjungan sana menuju ke habitatku apa adanya, bersama-sama semua. Entah kekuatan itu memang kita miliki atau kiriman dari alam atau kekuatan itu bangkit karena energi alam mempengaruhi energi manusia. Ya sudahlah, yang penting di antara badai itu kami terpaku selamat dan tak tersentuh sama sekali oleh air hujan yang meledak-ledak dengan arogan... Selamat tahun baru 2008. I'll be missing this moment...

Saturday, January 05, 2008

Subuh-subuh di Juanda

Surabaya 5 Juli 2004
Pukul 5.13 WIB

Jam 4 subuh sudah kuinjakkan telapak kakiku yang rapuh ini di tanah kota Pahlawan. Travel tua yang mengantar kami, berlalu begitu saja seolah sangat lelah dan ingin segera melewatkan sisa hari ini di peraduan, setelah mengantar kami melewati malam panjang, malam senin, malam Pemilu Presiden 5 July 2004.

Di mataku masih tampak dengan jelas, seolah nyata, mimpi yang kualami tadi malam. Mungkin saking lelahnya hingga tidurku dihiasi mimpi tentang seorang anak kecil yang menjatuhkan adik kecilnya ke selokan. Tapi tidak bisa diketemukan. Akibatnya seluruh penduduk menderita gatal-gatal sekujur tubuhnya. Untuk menanggulangi hal itu, tanah harus dibakar hingga membara. Seram memang, tapi itulah mimpiku malam tadi dalam perjalanan dengan travel dari Yogya ke Surabaya.

Kemudian ku terduduk lemas, dengan sisa-sisa ngantukku, di depan Peron Juanda sembari menunggu dibukakan pintu. Rasa kantukku semakin menjadi. Bola mataku rasanya seberat shipping pump di tempatku bekerja. Lagi, perutku sudah mulai melilit ingin memuntahkan sesuatu. Ku lihat orang berlalu lalang, ada yang sibuk keluarkan tiket dari tasnya yang besar dan berat. Ada yang sibuk bersalam-salaman dengan kerabatanya yang mengantarnya ke bandara. Ada cewek yang sok cakep mondar-mondir di depan orang-orang yang lagi menunggu pintu masuk dibuka. Semacam pura-pura cakep. Padahal sebenarnya beberapa diantaranya ada yang memang lumayan cakep juga sih.
Di seberang sana, Pak Satpam sudah mulai terlihat membuka pintu dan persilahkan kerumunan orang untuk menyerbu masuk. Aku biarkan aja semuanya, berjejal memasuki peron, aku tunggu sampai sepi dan semua berlalu. Dengan gontai ku bawa tas beratku dan kutunjukkan tiket Mandala-ku. Tapi Satpam itu acuh saja seolah sudah tahu, aku memang penumpang resmi. Dan kulewati saja papan2 berjalan dan berputar itu, seseorang menempelkan stiker di tasku. Dengan bersemangat ku berlari kecil menuju pojok hall ini. Lalu ku buka pintu disana, dan lega rasanya, karena kewajiban pagiku sudah kulakukan selayaknya. Ku keluar dengan lega dan senang, sembari menjawab beberapa SMS ku goreskan tulisan ini, sembari ku duduk di atas kereta dorong barang, di belakang orang2 yang sibuk cek in.


Pulang di Awal Tahun

Tanggal 2 January 2008 kemaren aku sudah bisa pulang ke kampung halaman dengan tenang, lepas dari hiruk pikuk suara mesin dan deru air laut yang menggebu bagai debu. Aku tidak rela sebenarnya langsung pulang tanpa sedikit menjepretkan secuil harapan di sudut-sudut kota minyak ini, tapi apa daya, aku musti cepat pulang, karena ada acara yang musti ku hadiri.

Jam 6 pagi kita nyampai di pilot jety yaitu sebuah pelabuhan laut milik pribadi perusahaan kita yang siap menerima sandaran kapal-kapal sewaan kami yang sangat mahal, sehari bisa 4500 USD, wow gila, bisa beli satu mobil baru nih buat nyewa crew boat sehari saja. Belum lagi ongkos fuel solar yang harganya tentunya berkali lipat karena untuk industri.

Seperti biasa kita berempat makan pagi di sebuah pojok warung pagi di pusat kota minyak ini. Kita berempat emang satu jadwal dan hampir udah 5 atau 6 kali pulang ini, kita makan pagi di tempat yang mahal ini. Mahal untuk ukuran sarapan di kampung ku yang sepi dan miskin. Tapi adalah harga standar untuk kota minyak yang apa-apa mahalnya minta ampyun.
Waktu pun gak terasa berlalu, kepulan asap rokok dari 3-dari-4-orang kita mengepul memenuhi atmosfer tempat makan pagi itu dan mungkin cukup mengusir nyamuk-nyamuk nakal yang semalem gak dapat mangsa darah dari orang-orang yang tidur gak pake selimut atau gak pakai autan. Akhirnya temenku satunya datang, naik motor dengan helm yang membuat aku agak sulit awalnya mengenali. Dia bawa sekresek bungkusan warna putih yang ternyata isinya 2 botol produk sebuah MLM yang rencananya untuk bapakku. Aku bilang, "OK Wan thanks ya, nanti aku transfer duitnya ya, nomor rekeningmu udah kusimpen".

Kemudian kita berempat pun pergi setelah dibayarin salah satu dari kita bertiga, yang hari berlagak paling kaya. Lalu mereka bertiga pergi duluan ke bandara yang letaknya diujung kota di tepi sebuah pantai yang sangat jorok oleh kotoran2 manusia yang menyalurkan hasratnya setiap subuh di balik semak-semak yang penuh dengan kerikil-kerikil tidak tajam. Sementara aku memilih mampir di sebuah toko oleh-oleh dan aku membeli satu kardus minuman mineral penuh yang isinya oleh2 khas kota minyak ini.

Lalu aku pun menyusul menuju Bandara dengan menyetop angkot nomor 6 terlebih dahulu untuk menyambung angkot hijau nomor 7 yang melewati Bandara. Lalu apa boleh buat, aku duduk di samping supir di angkot warna hijo ini. Sang sopir cukup sopan dan ramah dan segera saja kumulai percakapan basa-basa ini.

"Gimana Pak, tahun baru tambah rame ato tidak?"

"Wah sama aja Mas, tidak jauh beda dengan yang dulu, cuman bedanya waktu tahun baru kemaren saya bisa dapet lebih lah buat saku sekolah anak-anak saya"

Lalu si sopir ngoceh dengan sendirinya. Kayaknya si sopir ini butuh pelampiasan untuk bercerita alias tidak ada tempat curhat kali di rumah, "Saya itu berprinsip memuaskan pelanggan Mas. Gak apa-apa saya pakai celana dan baju yang udah lama yang penting rapi dan bersih. Biar enak dilihat ama penumpang. Coba bandingin ama sopir-sopir muda yang suka pake celana katok dan kaos oblong yang you can see my ketiak itu. Gak sopan abis kan?"

Ocehan Bapak sempat terhenti oleh turunya seorang ibu yang membawa 3 orang anak usia masih kecil. Si bapak dengan sopannya berterima kasih, oh my dog, andai aja sopir-sopir angkot semuanya kayak gini, tambah seneng aja orang-orang numpang angkot. Tapi sudahlah, angkot kembali melaju dengan laju menuju tempat tunjuannya dengan pasti. Lalu sopir angkot mengalihkan laju mobilnya ke sebuah pom bensin, kayaknya bensin bakal habis dalam beberapa kilometer ke depan. Makanya meskipun antreannya cukup panjang tapi si bapak sopir nekat aja ikutan ngantre. Eh hampir 15 menit ngantre, listrik mati dan terpaksa si sopir mundur teratur melaju lagi melanjutkan perjalanan yang pasti ini. Sambil jalan kucoba mengorek berapa sih dapet setoran sehari.

"Pak emang dalam sehari bisa dapat berapa Pak?"

Dasar bapak yang haus curhat, nanya dikit aja langsung disikat dengan sebukit jawaban yang akuran pula dengan data-data yang langsung didapat di lapangan.

"Kalo lagi beruntung saya bisa dapat 70 ribu mas sehari, itu udah bersih loh dan udah dipotong uang bensin dan makan saya sehari. Sehari bensin bisa beli 10 liter aja untuk 2 kali bolak-balik. Saya cuman narik 2 kali pp aja, soalnya saya juga harus memelihara tanaman karet saya yang saya tanam di hutan milik saya di luar kota. Kemaren saya beli sekitar 1 hektar lebih dan saya tanami karet. Lumayanlah tiap 3 bulan saya bisa panen dan dari panen itu udah bisa ngalah-ngalahin setoran angkot saya hehehe..." Katanya sambil cengengesan.

Saya hanya tersenyum silau karena tepat sekali sinar matahari menembus jendela-jendela angkot yang walopun kotor penuh debu dan akibat umur yang udah lama, tapi masih bisa ditembus sinar mentari pagi. Lumayan buat ngilangin dingin yang sejak tadi malam di boat membuat saya menggigil dan terpaksa memakai baju dobel biar bisa bertahan hidup. Lalu kembali angkot masuk ke pom bensin kedua, untungnya langsung dapet.

Tak lama kemudian angkot pun berlalu dengan lebih pasti lagi dan aku berhenti tepat di depan pintu masuk bandara kota minyak yang tidak terlalu besar ini. Duit saya dipotong 3000 perak dan dengan gaya ucapan terima kasih pak angkot itu, dia berlalu sambil tersenyum puas. Gak tahu puas karena udah puas curhat sama saya atau puas udah motong 3000 karena katanya ongkos angkot disini 2500. Gak peduli lah. yang penting aku sampe dengan selamat dan sejahtera. Aku pun langsung menuju toilet karena sejak tadi emang suasana dingin banget sehingga kewajiban buang air kecil menjadi prioritas nomor 1 yang musti dilakukan sebelum melakukan safety moment ataupun cek in tiket. Ketika masuk toilet, terlihat 2 orang berdiri kayak nunggu antrean mau pake tempat kencing yang jauh dari bersih dan bau pesing kayak gak pernah disemprot air 3 minggu. Tapi ada 1 ruangan toilet yang kosong dan kok gak ada yang masuk? Terlihat air mengucur dengan deras dari kran yang bocor dan gak bisa ditutup karena pegangannya rusak dan muncrat ke arah ember yang menampung air buat orang boker dengan satu gayung warna hijau tua yang sudah ada lubang di dasarnya. Karena kebelet aku pun masuk dan langsung mengeluarkan cairan yang kalo tidak dikeluarkan bisa mengendap jadi kristal batu yang bisa merusak ginjalku ini. Ahhhh legaaaa..tinggal setengah. Eh ternyata lama-lama air dalam ember tadi tambah banyak dan gayung yang tadi tenggelam di air, perlahan-lahan nongol ke permukaan dan akhirnya menjadi tempat yang empuk untuk mendaratnya air cipratan itu dan muncrat ke sekujur celanaku bagian belakang. Sialan...adduuuhh..kok jadi basah gini. Dengan malu-malu aku keluar dari toilet dan sambil nutupin celana basah dengan barang bawaan ku aku keluar dan menuju tempat yang agak panas. Untungnya di ujung sana ada tempat duduk yang disinarin sinar matahari pagi yang cerah dan membikin adem.

Setengah jam sudah berlalu aku berjemur dengan senang hati dan akhirnya ngerasa udah cukup kering aku pun berlalu menuju ruang tunggu yang cukup nyaman dan bisa makan gratis. Lounge Blue Sky idaman setiap pemili kartu kredit, walopun kartu kreditnya gratis biaya iuran bulanan.

Bersambung...

Welkam 2008

Di tahun yang baru ini semoga jadi lebih baik dan lebih baik lagi (klise bgt yaks).
Tapi, lebih baik menjadi orang yang lebih dari pada orang yang baiknya terlalu berlebih karena lama-lama orang yg baiknya berlebih tidak akan jadi lebih baik lagi. hehehe... pusing kan?

Di tahun yang baru ini, aku coba daftar dan bikin yang namanya weblog. Semoga ke depan aku bisa menulis apa saja mulai dari cerita serius sampe cerita yang gada jaim-jaimnya demi sebuah pelarian dari dunia nyata yang maya.

Salam,