Thursday, March 27, 2008

Parkir dan Tukang Parkir

Semakin hari semakin banyak saja kendaraan yang ada di bumi Indonesia ini. Otomatis kebutuhan akan tukang parkir juga jadi meningkat. Tujuan utama tukang parkir adalah mengawasi dan menjaga mobil atau motor yang diparkir di areal tertentu, membantu setiap pengguna kendaraan ketika hendak memarkir kendaraannya atau keluar dari areal parkir. Namun fungsi utama itu kini seolah bergeser khususnya untuk parkir-parkir di Jogja dan sekitarnya, atau sejumlah kota besar lainnya. Bahkan, kini, profesi tukang parkir jadi rebutan dan jadi tren yang digemari pengangguran-pengangguran (baca: preman kampung) yang seringnya nirgawe. Modal sempritan, dan sebungkus rokok untuk sehari tayang.

Cerita seorang kawan yang tinggal di Balikpapan. Pernah ia dengar obrolan tukang parkir di suatu area parkir di sebuah pasar tradisional. Di antara mereka terjadi jual-menjual areal parkir antara satu geng ke geng lainnya. Harganya bisa mencapai jutaan, mereka sanggup mungkin karena melihat hasilnya yang menggiurkan. Kalkulasikan saja sendiri. Misalnya parkir motor sekali tarik 500 perak. Untuk luas parkir beberapa meter persegi saja, bisa dapat 10 kendaraan per sekali parkir. Misalnya ada 100 motor saja parkir per hari, mereka sudah dapat jatah 50.000 ribu perhari kotor. Potong makan dan rokok, mereka bisa dapat hampir 1 juta per bulan. Sungguh menggiurkan. Saking kritikalnya lahan parkir ini, tak jarang orang sampai berkelahi bersimbah darah hanya memperebutkan lahan parkir berupa tanah kosong milik entah siapa agar bisa jadi lahan parkir miliknya. Biasanya tanah kosong ini strategis, misalnya di depan bank, di depan pasar ataupun di samping mall.

Pergeseran fungsi tukang parkir ini juga sering sekali saya temui, khususnya di Jogja. Sebagian diantara mereka maunya enaknya saja, kerja sesedikit mungkin mendapat hasil yang berganda. Mereka hafal mati prinsip ekonomi yang mungkin mereka tak pernah dapat karena tak pernah sekolah. Datang bawa sempritan, semprit sana sini namun kadang mereka bahkan tak mau untuk membantu menarik motor kita yang kesusahan dikeluarkan. Kejengkelan juga terjadi ketika kita sudah menyerahkan uang duluan sebelum mengeluarkan motor, eh mereka malah ngeloyor pergi tanpa berusaha membantu kita keluar dari areal parkir yang biasanya dan seringnya motor ditaruh super rapat dan bahkan untuk nyelip di sela-sela motor saja susah, apalagi harus bergahgihguh mengeluarkan motor dari deretan rapat.Dan yang paling menjengkelkan adalah ketika si tukang parkir pura-pura lupa ngasi kembalian uang parkir ketika kita bayar lebih. Tak banyak memang, tapi melihat kepura-puraan itu kadang kita tak sampai hati menghadiahkan 500 perak kepada tukang parkir berhati culas.

Cerita lain lagi ketika seorang tukang parkir menangani areal parkir yang terdiri dari deretan beberapa toko, anggap saja 10 toko ditangani oleh seorang tukang parkir. Otomatis ia akan berada jauh dari motor kita yang kita parkir jauh dari tempat 'mangkalnya' menunggu orang datang dan pergi. Bahkan kalau dilihat dari logika keamanan, motor sebenarnya lebih dekat dengan kita dan kita lebih intens mengawasi motor kita daripada si tukang parkir yang memilih jelalatan melihat ABG seksi bohay lewat daripada mengawasi motor pelanggan parkirnya. Pernah teman saya menjuluki kota ini sebagai Kota Parkir saking banyaknya parkir-parkir liar yang secara logika seharusnya tak perlu dijaga tukang parkir. Alasannya, pertama karena kendaraan sangat dekat dengan kita dan kedua adalah areal parkir masih merupakan areal toko tempat kita belanja. Jadi tak ada rumus kita sewa tanah ke tukang parkir kalau sekedar parkir di areal toko yang bukan milik si tukang parkir tadi.

Pernah ada kejadian lucu di salah satu kafe murmer di kampus saya. Saya cukup sering parkir disitu dan cukup kenal sama tukang parkirnya. Ia suda cukup lama jadi tukang parkir disitu, bahkan sejak saya pertama kali parkir disitu ia sudah jadi tukang parkirnya, sebut saja namanya Mr Joko. Suatu ketika, beberapa bulan dan jauh-jauh hari berikutnya saya melihat seorang tukang parkir mirip si Mr Joko tadi di areal parkir dekat areal parkir Mr Joko ini. Setelah saya tanya langsung Mr Joko, ternyata laki-laki yang mirip tadi adalah adiknya Mr Joko yang diajaknya untuk jadi tukang parkir saja. Yang pasti adiknya mungkin tergiur melihat kakaknya tajir dan bisa ngerokok setiap hari walaupun hanya duduk-duduk manis dan selalu berkata 'monggo' ketika setiap motor datang dan pergi di areal parkirnya tanpa berinisiatif membantu orang yang parkir.

Jogja memang benar-benar Kota Parkir, dan keunikan dalam hal parkir juga terjadi dimana-mana. Salah satunya kemampuan tukang parkir memindahkan kendaraan yang semula berada di ujung sana bisa menjadi diujung sini meskipun kita tak lupa dan yakin sudah mengunci stang. Ternyata ada triknya. Ia memindahkan dengan akal. Motor dimiringkan ke kiri lalu diputar pada poros standar tunggalnya. Begitu diulang-ulang terus hingga mencapai tempat yang diinginkan, biasanya yang kosong. Tentu tingkah laku tukang parkir ini sangat bisa mempercepat kerusakan standar motor kita yang diputar-putar seenaknya. Keangkuhannya sebagai tukang parkir justru membuat ia seolah mempunyai full autority untuk melakukannya tanpa perlu meminta ijin terlebih dahulu pada pemiliknya ataupun tanpa takut motor orang rusak, kalaupun rusak, "bukan urusan saya", katanya.

Yang masih menjadi ganjalan kebanyakan orang adalah ketika misalnya suatu kejadian kehilangan di suatu area parkir. Tidak ada aturan tertulis maupun tak tertulis, bahwa si tukang parkir itu harus bertanggung jawab atas kehilangan itu. Paling si tukang parkir cuman bergumam "yah namanya juga musibah mas, tak bisa dihindari". Enak sekali, seolah ia kebal hukum. Bahkan bisa saja ia malah bersekongkol dengan maling dan 'mengijinkan' si maling memilih motor bagus yang mana yang hendak disatroni. Dan siapa yang musti perduli dengan kondisi ini? Apakah pemerintah daerah, DPRD ataukah pak RT yang nota bene tak sepeser pun mungkin masuk ke kantong pak RT yang mungkin 'menguasai' kawasan yang menjadi areal parkir tukang parkir tadi.

Makanya hati-hati parkir, jangan lupa mengunci stang dan bila perlu mengunci roda. Karena tak satupun tukang parkir akan mau bertanggung jawab jika terjadi apa-apa dengan kendaraan kita. Salam parkir...

Anjungan yg Terluka

Pagi itu dengan terburu-buru kubereskan Laptop yang masih tersambung di Panel PLC FS, karena si Baruna sudah datang dan siap menjemput kami berdua menuju UA dan EB. Mendung pagi itu tak menyurutkan gairah langkahku menembus cuaca yang tak terlalu hangat, meskipun mentari bersinar namun sedikit tertutup mendung tipis-tipis.


Aku dan Pak Yam diantar menuju anjungan berkaki tiga itu. Sinar mentari yang sejak tadi muncul malu-malu, sedikit-sedikit sembunyi di balik awan, kini semakin hilang. Awan tebal menggumpal, menggantung dan membungkus mentari hingga cuaca pagi menjelang siang itu menjadi tambah dingin. Ditambah dengan angin dari arah barat daya yang berhembus cukup kencang. Lengkap sudah dingin yang merasuki jiwa.


Diujung jauh di sana, ke arah datangnya angin berhembus, di arah barat daya, awan menggantung semakin tebal, hitam, berbentuk tangan raksasa dan menggumpal bagai rambut kribo. Pelan-pelan merayap-rayap seram di atas kepala kami seiring angin menderu. Mendengus bagai singa, mengaum bagai si raja hutan yang siap melahap tubuh penuh dosa ini. Mukaku dingin, kepalaku dingin, badanku dingin dan sekujur tubuhku bagai membeku. Balutan jacket keselamatan warna merah di tubuhku tak kuasa juga mengurangi dinginnya yang mampu menusuk-nusuk tulang. Di sudut sana, kawanku Pak Yam terkulai layu, letih dan membisu karena tatkala ia naik, anjungan ini sudah tewas dan tak berkutik. Gas-gas pembangkit aliran telah dimatikan dan sumur-sumur yang ia rawat hingga hari ini jadi bergelimpangan, tewas dan tak bernafas lagi. Ia tak putus asa, ia bangkit dan menarik tuas-tuas berwarna merah dengan kunci Inggrisnya yang sudah mengabdi lebih lama dari aku bekerja disana. Kucuran aliran dari balik pipa-pipa penuh karat kembali berdenging, mendesing melebihi kecepatan peluru, melebihi kelebat angin musim utara, melebihi dentingan suara gitar Ian Antono.


Teriakan pasti dari radio-radio panggil berkumandang dengan jelas. Seolah awan-awan hitam yang menggantung tadi memantulkan dengan sempurna bahkan diperkuat beberapa desibel. Suara teriakan itu menderu seiring angin yang berdesing kian cepat, memaksa kami harus turun dari deck dan menyembunyikan tubuh-tubuh kedinginan kami di balik Si Baruna yang berbadan biru. Tak lama ku sembunyi, awan hitam telah lewat dan ia hanya lewat tak memuntahkan kandungan air di atas kami berdiri. Ia seolah memberi isyarat bahwa kami harus istirahat karena waktu minum kopi sudah tiba.


Kami pun kembali ke anjungan kaki tiga. Suara angin sudah berkurang desingnya, suara mesin kapal bagai menimpali sunyinya di tengah samudera. Saat kami naik, pipa-pipa sumur yang ukurannya lebih besar dari badan kami berderat-derat, bergesek-gesekan dengan deck utama di anjungan kaki tiga itu. Tak lama, haripun tambah siang, waktunya makan. Kapal pengantar makan siang datang. Aku lahap dengan rakus untuk menambah kalori badanku, biar tak dingin, biar kuat menahan dingin. Ku lahap dengan rakus dan kali ini tak kusisakan makan sedikitpun kepada ikan-ikan peliharaanku di bawah sana. Maaf kawan, aku sedang lapar sekali. Besok kau kan ku beri dua kali lipat.


Belum habis buah-buah pencuci mulut ku lahap, terdengar suara-suara serak dari balik radio panggil yang digenggam temanku. Ternyata ada kebocoran pipa dan gas mengucur keluar tak terkendali, cairan minyak mentah mengalir dengan egois menutupi alunan ombak yang biru. Tak seharusnya ia mengotori permukaan laut ini, tak seharusnya. Namun usia pipa-pipa yang diluar kuasa kita, mengharuskannya melakukannya. Dua kapal mengitari anjungan H, salah satu bersenjatakan water canon menghantam, menyerang dan memberondong lapisan-lapisan film di atas muka laut dengan air bertekanan tinggi bercampur busa-busa deterjen yang berbuih putih. Pak Gi dengan cekatan memainkan tuas-tuas canon hingga air mengucur dengan rata, hingga semua lapisan film kebagian busa.


Kapal satunya berisi awak para petinggi kerajaan di tengah laut ini. Mereka berdiskusi, memutuskan dan melakukan tindakan cepat, gesit dan cekatan. Salah seorang diantara mereka, Pak Yam, naik ke atas platform yang masih mengucurkan gas dengan deras. Ia menarik tuas berwarna merah, tanda bahaya, "Jossss!!" Dalam sekejap semua alat-alat pengaman tertutup dengan sempurna secara otomatis. Mesin-mesin pembangkit air bertekanan bekerja dengan sempurna dan menghamburkan air-air laut membasahi dan mendinginkan pipa-pipa dan tangki-tangki di atas anjungan itu. Air hujan yang rintik-rintik turun tak menyurutkan semangat para punggawa kerajaan itu menunggu dan menunggu hingga kucuran gas berkurang, aman untuk semua orang naik ke atas anjungan yang menderita.


Sebuah luka telah tergores akibat ganasnya waktu. Luka goresan serbuk kimia yang menggerogoti dengan pelan namun pasti. Serbuk kimia yang banyak terlarut dalam air laut, ditambah dengan bantuan oksigen udara, maka karat tak kuasa dibendung. Ia merayapi, menggerogoti pipa-pipa dari dalam dan dari luar. Ia bagaikan ratusan ekor rayap pemakan kayu, ia melahap tanpa ampun setiap besi yang tak sempurna tertutup lapisan tipis yang bernama 'cat'. Ia menyerang tak kenal waktu, siang malam selalu merayap. ia bagaikan kutu rambut, mencengkeram dan menerkam setiap luka yang sudah menganga, lalu menorehkan kuku-kuku tajamnya hingga darah mengucur keluar.


Aku terkulai lemas, siang itu. Kembali ke anjungan pusat dan memainkan lagu yang sudah lama ku rindu. Aku rindu juga padamu yang sejak beberapa bulan ini menjadi inspirasi setiap mimpiku, menjadi inspirasi setiap tulisan dan dengus napasku. Menjadi penghibur di sela malam yang dingin tak berteman di gelap cakrawala laut yang membosankan.
Bulan purnama menghias samudera. Sinarnya kekuningan memecah garis lautan, memantul-mantul menyilaukan mata. Aku melamun menatap rembulan, menunggu kabarmu dari ujung sana, di depan kamarku yang baru.


22 March 2008
Pojok HOM, 23 March 08 Sendiri dan menyepi

Sepenggal Kisah di Kota Minyak

Ketika laptop kunyalakan dan batang pertama dari rokok putih ku sulut serta TV SANYO 14" cembung mulai mengoceh, aku baru saja pulang dari pusat kota minyak ini yang menebar sejuta mimpi. Sejak tadi pagi, berjalan di tumpukan buku-buku yang dipajang rapi membentuk pola-pola simetris sehingga tercipta perspektif yang indah dan enak dipandang mata. Membuat setiap pengunjung terbawa dari ujung hingga ke ujung satunya, melihat, mengambil, meneliti dan akhirnya memutuskan untuk membawa pulang setelah terlebih dahulu berurusan dengan seorang penjaga wanita di balik sebuah meja dengan layar monitor berteknologi canggih. Memencet-mencet tombol-tombol aneh dan unik lalu keluarlah sejumlah nilai di layar 7-segmen kecil dan pada akhirnya membuat setiap insan pecinta buku merogoh saku dan mengeluarkan lembaran-lembaran uang demi setumpuk ilmu yang tersembunyi di balik tetesan huruf dari tinta yang dicetak rapi dalam kertas putih sarat makna.

Dari deret ke deret aku telusuri dan puluhan bahkan belasan buku sudah ku lihat dan teliti, namun hanya beberapa buku dan majalah yang mengusik pikiranku. Aku putuskan ambil 5 eksemplar lalu aku berlalu. Sepanjang deret perspektif tadi, sepanjang bingkai-bingkai geometri yang membentuk dimensi, aku juga tlah coba bangkitkan semangat seseorang yang katanya sedang sedih, gelisah dan hilang semangat. Karena baru saja kembali dari peraduan orang-orang yang dicintai untuk melanjutkan proses transfer ilmu di negeri seberang. Ia mengaduh, mengerang dan mendesah di atas rangkaian kata-kata dalam pesan singkat yang ia kirimkan. Suasana hatinya terasa seiring setiap getar yang dihasilkan seiring setiap pesan masuk ke piranti saktiku. Aku jawab dan berusaha tuk kuatkan hatinya yang pada akhirnya dia pun menjawab "Aku bisa bisa bisa", tiga kali "bisa" dan aku harap itu jadi suatu pertanda bahwa ia sudah "sembuh" kembali ke jalannya, di habitat yang menuntutnya selalu siaga dan siap di hari terang dan mengulangi atau mempersiapkan yang lain di hari telah gelap.

Ia adalah sosok yang mengaku rapuh, padahal aku melihatnya sebagai sosok yang teguh dan ceria dan mempesona di mataku. Hingga suatu saat ketika aku kenal pertama kali dengannya di sebuah warung nasi di persimpangan desa, aku seperti terpesona, terbius dan bergelimpang jatuh, jatuh dari atas bukit asmara dan terbenam dalam lembah kasmaran. Namun ironi menyayat hati tatkala aku coba mendekati bukit asmara, karena semua bukit sudah ditumbuhi rumput dan ilalang hijau berdaun sembilu. Menghalangi setiap langkahku untuk taklukan bukit yang katanya rapuh itu.

Aku pun terkapar, tak kuasa untuk kesekian kalinya aku terjerembab dalam lembah asmara dan seketika itu juga aku terjungkal tak sanggup ku daki lagi bukit asmara yang tlah menjungkalkan bersama hatiku yang mulai rapuh. Sudah cukup banyak aku lalui dan teliti namun hanya ia yang terasa menggetarkan gaung kepastian, menggema dan berkumandang cinta di setiap sudut jiwa.
Seiring dengan berakhirnya pesan yang aku kirimkan, aku terdampar di sudut yang lain di dalam gedung itu. Di sudut penuh manusia dengan mata berbinar tetapi perut kosong keroncongan. Air liur ditelan mentah-mentah dan jari-jari dengan sigap menunjuk makanan siap saji yang sudah disiapkan entah sejak kapan. Entah tadi pagi, tadi subuh, kemarin malam atau mungkin seminggu bahkan belasan hari yang lalu. Aku lupakan saja itu semua, yang penting keroncongan dalam perutku terobati dan juga akibat hujan yang mengguyur bumi sejak tadi, membuat aku terjebak dalam gedung dan membangkitkan seleraku di sudut penuh makanan siap saji ini.

Aku lahap dengan garang dan sambil kutatap orang-orang yang tak kalah garang menyantap masakan-masakan yang entah darimana asalnya itu. Yang entah kapan ia dibunuh dengan cara apa dan berapa lama ia harus hidup sebelumnya sebelum pisau-pisau jagal membelah urat nadi di tenggorokannya yang penuh tulang. Seorang ibu muda bergaun merah muda sibuk menyuapi anaknya, ia sendiri saja tanpa suami yang entah kemana. Bisa jadi suaminya adalah pekerja anjungan lepas pantai, atau pekerja rig, atau bahkan pengelana di tambang batubara di pedalaman sana. Yang jelas ia hanya habiskan siang itu bersama anaknya yang setinggi pinggang ibunya dan belum sempurna melafalkan huruf 'R'. Di sudut lainnya para petugas toko sibuk mondar mandir membereskan dan merapikan kembali meja yang ditinggalkan dengan segar oleh setiap pelanggan yang mampir di setiap sudut meja. Kursi-kursi berderat-derat dan beradu pada pinggir meja ketika ia berusaha merapikannya. Rintik hujan hanya terlihat bayangan tanpa terdengar suara tetesnya karena ruangan dipenuhi suaru musik dari balik speaker-speaker mungil di setiap sudut ruangan.

Sepenggal daging kutinggalkan dan sejumput nasi kupinggirkan agar kelak hewan-hewan kecil di dunia sana juga mendapat jatah meskipun sedikit dari jatah makanku siang ini. Aku pun berlalu menembus rintik hujan di luar sana dan kendaraan yang disebut 'taksi' menghampiri aku. Sepotong hujan mengenai pelipisku dan aku jadi teringat pada ibu muda dengan anaknya yang setinggi pinggangnya tadi. Aku kelak akan menyisakan cerita yang sama dengan gambaran sepenggal cerita di sudut tempat makan siap saji tadi. Dan aku tergolek rapuh di atas jok 'taksi' yang beregelinding menembus rintik hujan mengantarkan aku ke tempat aku tadi pagi berlalu.
Dan akhirnya aku tuliskan rangkaian kata menjadi kalimat kugabung dalam sebuah makna. Semoga tak ada yang terlewat, tak ada makna yang terlampaui atapun salah kumaknai. Dengan kekuatan hati yang paling risau, aku menggali yang terpendam dalam otakku. Apakah aku akan terus sanggup menggores pena digital di atas kertas maya ini? Apakah makna masih bisa kupetik dari setiap cerita yang kualami? Hanya sang waktu sebagai suatu dimensi yang akan mengantarkan aku ke dimensi di masa depan.

12:41 WITA Selasa 11 Maret 2008

Go Back March 2008

Roda-roda bergelinding pelan seiring sang mentari beranjak tambah tinggi. Warna merah di atas roda 2 bergelinding pasti ke arah timur mengejar mentari. Adikku yang sungguh baik hati menemaniku siang ini ke tempat mangkal pesawat yang 1 jam dari rumahku. Jalan-jalan begitu lengang karena masih suasana hari raya. Sehingga tak sampai 1 jam perjalananku tuntas dan adikku langsung berlalu memecah keramaian mobil antrian di tempat perhentian mobil-mobil pengantar.
Aku gembira karena teman tiketku sudah datang dan dengan setia mengantar tiket Garuda tujuan Balikpapan langsung ke airport dan aku hanya tinggal membayar. Karena pesawat boarding tak sampai 1 jam lagi, aku langsung menuju check in counter membawa serta 1 ransel hitamku yang berisi bekal cuman 2 potong kaos oblong, 1 set laptop, dan peralatan mandi seadanya. Sementara teman tiketku ku suruh masuk dan menunggu manis di balik meja-meja mewah Solaria, tempat kita pernah bertemu dulu, sekali.
Ternyata antrian check in tak membuat aku pusing, hanya ada 2 orang di depanku. Dua orang bapak-bapak aneh yang kayaknya baru pertama kali naik pesawat. Ketika tiket-tiket sudah dikembalikan dan petugas mengatakan "Silahkan menunggu pesawat di ruang tunggu 17". Serta merta dua orang bapak-bapak tadi malah baru menyatakan bahwa ada barang yang musti ditaruh di bagasi pesawat. Otomatis, waktu ngantri jadi tambah 5 menit, sungguh katrok, sekatrok waktu aku pertama kali naik pesawat dulu. Setelah membayar airport tax, aku langsung berlalu ke luar menuju tempat yang kujanjikan tadi, yang kami janjikan, yang ia sudah menunggu dengan manis.
Ketika hampir masuk ke pintu-pintu restoran mewah nan bersih itu, para petugas yang semuanya cewe-cewe menyapa dengan ramah dan tamah. "Selamat siang kak, silahkan masuk"Aku menemukan teman tiketku sedang memilih minuman di tempat duduk paling sudut di ruangan yang tertata apik oleh desainer terkenal itu. Bangku-bangku berwarna merah dengan tempat duduk sofa indah berwana senada. Dinding-dinding diwarnai kehitaman memberikan kesan macho dan pria punya selera. Orang-orang yang duduk-duduk rata-rata laki-laki paruh baya dengan penampilan bisnisman dan setelan jas yang sangat rapi dan meyakinkan. Berbeda dengan aku, hanya modal kaos oblong dan celana jeans model lama dan juga sepatu yan sudah 3 tahun selalu setia menemani setiap perjalanan pulang pergi ini.
Diujung sana bergerombol petugas-petugas wanita seksi berpakaian sewarna dengan dinding-dinding ruangan, ngerumpi manis tapi siaga menerima panggilan pelanggan yang hendak memesan minum ataupun sekedar bertanya garing. Dengan sejentik jari salah seorang petugas datang. Mukanya putih bersih namun tangannya jauh lebih hitam dan berbulu tipis-tipis pula. Ternyata ia sedang over dosis pemakaian bedak pemutih wajah, maka jadilah ia seperti topeng ondel-ondel seperti ketika pesta tanjidor digelar di seputaran batavia tempo dulu. Ku pesan lemon tea dan teman tiketku pesan ice tea. Kami terlarut dalam obrolan dengan suasana yang sungguh sejuk dihiasi jendela-jendela kaca berhiaskan tirai-tirai indah berwarna putih bersih. Ia terlihat begitu manis siang itu, dan aku yakin aku tak sedang dilanda mabuk oleh alkohol ataupun sakau oleh narkoba. Baju merah jambunya sangat manis bersanding dengan celana kecoklatan, menempel indah di tubuhnya indah. Wajahnya, siang itu, sungguh rupawan, lebih rupawan dari biasanya. Tai lalat kecil-kecil yang menghias tepi-tepi bibirnya membuat aku ingin memandang lebih lama, juga karena 2 minggu ke depan aku takkan melihat dia walaupun secuil saja. Rambutnya yang hitam panjang memayang mengurai dan poninya yang pantas menghias wajahnya bak bulan purnama.
Ia hanya mengoceh riang ketika wajah imut itu aku tatap untuk beberapa saat sambil melamun dan akhirnya aku terkesiap, tersentak, lamunanku dibelah oleh datangnya petugas mengantarkan minuman yang kami pesan tadi. Lalu bibir-bibirnya bertemu untuk menjepit sebatang sedotan mini warna putih. Dan cairan-cairan ice tea mengalir dengan ajaib, menerobos lubang sedotan, mengalahkan gravitasi menembus di sela-sela bibir indah itu. Dan ketika cairan itu telah tertelan, serta merta ada riak kecil meronta di lehernya yang putih mulus dan tiada cela.
Ku larutkan juga lemon tea kesukaanku dalam balutan penuh nafsu, haus karena di perjalanan tadi udara panas cukup banyak menguapkan keringatku. Pesona wajahnya masih mencoba merobek-robek dinding hatiku, dan "plung" ada sesuatu yang jatuh. Ia bertanya, "Apanya yang jatuh?". "Hatiku", aku menjawab lirih dan pelan. "Oh sungguh romantis dan so sweet to hear that", katanya lagi. Dua botol di atas meja menjadi saksi bisu cerita romansa yang berlangsung sekejap tadi. Botol-botol berisi kecap dan saos itu seolah menjadi bumbu-bumbu penyedap di setiap degup jantung dan hembusan napas-napas kami. Aromanya yang khas, aku, kami terbius dalam suasana yang tak diperkirakan sebelumnya, ia tersenyum manis, semanis kecap di botol nomor 1. Dan ia melirik manja, senikmat saos-saos tomat di botol kedua. Sungguh istimewa senyum kamu hari itu, dan luar biasa, seorang pemuda yang sudah lama terlena bisa mengaku jatuh hati pada senyum yang sudah lama ia damba.
Waktu yang mempertemukan kami, dan waktu juga yang membuat aku harus segera beranjak dari tempat itu, dan juga dia. Aku boarding tepat pukul 12 siang, dan ia juga, bekerja di kantor jam 12 siang selama 8 jam ke depan. Dengan berat hati kami beranjak dari sofa-sofa romantis yang juga menjadi salah satu saksi tuli dan bisu siang itu. Pantat-pantat kami seolah lengket dan menancapkan akar tunggang yang sangat dalam, sehingga sangat berat rasanya untuk berdiri. Namun kami harus bangkit dan segera panggilan boarding mendengung dari balik speaker-speaker yang dipasang di setiap plafon-plafon bangungan yang megah di Bandara internasional itu.
Lalu kulewati pintu-pintu yang dijaga petugas berpakaian seragam dan rapi, badannya tegap dan juga ramah. Suaranya tegas namun penuh kesopanan, khususnya kalau yang dilayani adalah bule-bule yang di-raja-kan. Lalu ku masukkan tas hitamku ke meja-meja berjalan dan diujung sana sudah menunggu petugas-petugas berseragam, kali ini wanita dengan tubuh seksi dan tinggi. Tatapannya liar, lirik sana lirik sini, bagaikan penari pendet yang sedang menjiwai tariannya. Rata-rata tingginya setinggi aku atau lebih tinggi. Di sini ia hanya melihat-lihat. Padahal sesungguhnya dan seharusnya ia bisa merapikan barisan bule-bule katrok yang memenuhi dan malah ngerumpi dengan bawaan barang-barangnya yang bejibun di atas trolley, menutupi akses untuk mengambil barang yang lewat meja-meja berjalan tadi. Inisiatif kadang diperlukan untuk situasi yang tidak biasa seperti itu, yang mungkin tidak ada dalam buku petunjuk operasi yang didapat dari perusahan tempat ia bekerja, namun tersimpan rapi dalam lemari di bawah tumpukan baju yang jarang dipakai, terpendam.
Tak berapa lama, akhirnya kumasuki pintu-pintu pesawat dan aku duduk di deretan 12 di pinggir jendela. Ternyata di sampingku kosong sehingga aku bebas duduk sesuka hati di antara 2 kursi di samping kananku. Di depanku juga hanya terisi satu seat, bule dengan tampang tak bernafsu. Di belakangku, enam kursi kosong melompong, bahkan kecoak pun tak kan mau menduduki. Lalu setiba transit di Makassar, penumpang menuju Balikpapan disuruh turun selama 45 menit karena kursi-kursi tadi akan dibersihkan, dibersihkan daripada kecoak-kecoak yang tampak semarak akhir-akhir ini.
Ku masuki pintu kedatangan dan ku tukar boarding pas dengan 1 lembar kartu bertuliskan T-R-A-N-S-I-T. Ruang tunggu yang hampir sama luasnya dengan ruang tunggu pesawat di Balikpapan ataupun Denpasar hanya berisi 1 ruang rokok yang blowernya tak berfungsi sama sekali. Sehingga dari luar tampaknya ruangan penuh kabut tebal menggumpal menutupi wajah-wajah perokok aktif di dalamnya. Aku coba masuki dan di dalam sudah ada beberapa orang. Dua set kursi dengan kapasitas 3 orang di pasang membentuk huruf L di tengah-tengah agak ke pinggir ruangan itu. Dua orang sedang duduk di kursi satu, dan 2 orang lagi sedang duduk di kursi satunya. Namun kursi jadi penuh karena ia duduk dengan angkuh dan arogan, seolah kursi itu milik mereka. Percis di tengah-tengah berdiri satu etalasa berkaca kusam dan di dalamnya tergeletak begitu saja kumpulan rokok (atau hanya kulit pembungus rokok saja?) dan kumpulan korek gas yang entah apa maksudnya menaruh di sana. Salah seorang di antara perokok yang duduk-duduk arogan tadi berdiri lalu menatap dengan muka aneh dan memegang-megang etalase kumal tadi. Melihatnya dan mencoba mengintip dari bawah namun ia seolah tak menemukan apa-apa, ia lalu mencoba melongok dari atas, tak jelas apa yang dilakukannya. Topinya yang lusuh, bajunya yang seperti tak dicuci 1 minggu dan sendal jepit menghias kakinya yang seperti jukung nelayan, lebar, membuat aku ngeri ketika masuk tadi aku ditatapnya dengan pandangan aneh, seperti manusia purba pertama kali melihat api. Aku heran, ada yang salah dengan aku ato dia yang "salah". Aku buang muka dan jika waktu itu boleh, sudah kubuang juga ludah yang terkumpul mendadak karena kejengkelan yang juga muncul tiba-tiba. Tak diduga tak disangka si pemuda compang-camping tadi lalu duduk di bawah, di lantai di pinggir kaca-kaca jendela lebar yang menghadap landasan terbang. Ia kembali seperti heran dan sungguh heran melihat pesawat-pesawat berukuran ratusan kali ukuran tubuhnya sedang terbang membelah angkasa. Tak tahulah aku, dunia terasa berputar terbalik saja.
Kemudian, tak sampai 45 menit petugas memanggil kami untuk segera naik. Dalam sekejap mata kami sudah mendarat di Sepinggan dengan lembut, mungkin ini landing paling lembut yang pernah aku alami sepanjang tahun sepanjang bulan aku melewati hari-hari mudik dan balik di atas pesawat. Lalu langkahku berjalan menuju angkot dan mengantarkan aku ke pojok terminal tempat aku biasa mengisi perut untuk makan siang. Jam 3 sudah dan ring tone segerombol pesan-pesan basi karena harusnya sudah sejak tadi tiba, namun jadi tertunda akibat kumatikan ponsel dalam pesawat. Pesan dari seorang teman yang ibunya jualan nasi bungkus di perempatan jalan di kampungku tercinta. Yang tercinta adalah kampungnya, tapi sebenarnya ia juga kucinta, namun karena ia sedang menjalin cinta, maka tak kuasa aku ikut mencinta, sungguh ironis. Ia berkata bahwa ia berangkat hari itu juga ke Jogja, tak seperti katanya dulu sehari sebelumnya. Namun ia lebih dulu 4 jam start dari aku.
Ku duduk di warung makan murah meriah di pojok terminal yang panas. Panas karena kipas-kipas angin yang biasanya berputar segar, sore itu tak berkutik. Listrik padam dan seluruh jiwa juga padam bersama kucuran keringat karena siang itu panas dengan ayam bakar sambal yang pedas bukan main, sorenya bikin aku mencret. Tiga orang perempuan muda, mungkin seumuran aku atau lebih muda duduk di seberang tempat dudukku. Dua orang menghadap aku dan 1 orang mempunggungi aku, sehingga pandanganku hanya beradu pada 2 orang sebelah sana. Salah seorang cukup rupawan bahkan sering mencuri pandang ketika aku sedang rakus menyantap ayam bakar Banyuwangi, karena aku lapar, siang ini belum sempat kuisi perut dengan nasi.
Tak lama, 1 orang wanita kumal dan lusuh di pojok sana keluar warung dengan hanya mengucapkan "Sudah ya, mbak" sambil berlalu begitu saja dengan cengangas-cengenges tak karuan. Si pedagang berteriak "Bayar dong mbak!" diulang berkali-kali namun si wanita lusuh itu tak menggubris, entah gila atau tidak waras. Tapi yg jelas ia sudah makan enak dan lahap dengan gratis. Ternyata, salah satu trik makan gratis adalah dengan berpura-pura jadi orang gila, masuk warung makan dan pesan sepuasnya, seenak-enaknya. Nasib si wanita sedang beruntung, karena pemilik warung merelakan begitu saja kepergiannya, hitung-hitung amal katanya (tapi dalam hati), walaupun raut mukanya memendam kecewa. Dua orang pelayan laki-lakinya sebenarnya bisa menjadi "preman" penjaga warung nasi itu, percuma rambut di cat warna-warni dan badan tattoo-an (meskipun tattoo tak permanen), tapi mbentak orang tidak waras aja tidak berani. Harusnya ia menutup muka dan berkata "Harus kusembunyikan dimana mukaku?".
Sore itu kuakhiri dengan meluruskan badan di sejengkal ranjang dingin di tempat biasa. Sungguh indah cerita hari ini. Dan tak kuasa aku akan lupakan untuk 2 minggu ke depan. Jika ku rindu, akan aku ingat selalu cerita ini, dan ketika aku benar-benar rindu, akan kubaca tulisan ini dari awal hingga akhir dengan berkhayal tingkat tinggi. Kelak aku bisa menyatakan impian itu, semoga.

DPS-MKZ-BPN 10 Maret 2008
Surattown, 11 Mar 08 06:45-08.37

Saturday, March 15, 2008

Ha Pe yang Gaya

Pada awalnya teknolgi HP (handphone) diperuntukkan bagi pengguna yang suka mobiling atau bergerak kesana kemari. Fungsi telefon secara umum adalah untuk bertukar informasi berupa apa saja, baik untuk berhubungan dengan client, keluarga atau siapa saja. Pada masa kini, fungsi HP menjadi lebih beragam, mulai dari bisa dipakai untuk kirim-kiriman gambar, video bahkan untuk tele converence ada pada fitur-fitur HP yang baru, yang didukung oleh operator jaringan tentunya. Pada awal dan sekarang, fungsi HP juga sering bergeser dan kebanyakan hanya dijadikan hiasan atau gengsi-gengsian. Fungsi utama sebagai sarana komunikasi hanya terpenuhi beberapa persen, selebihnya gaya-gayaan.

Seorang teman yang mempunyai penghasilan cukup tinggi, berganti HP setiap keluar edisi terbaru, HP lama dijual dengan harga sekedarnya, mungkin pikirannya, daripada dibuang, lebih baik jadi duit walaupun sedikit. Justru dari sekian banyak yang pake HP merk terkenal dan berharga mahal, hanya sedikit yang memanfaatkan fasilitasnya -yang sungguh sangat lengkap- dengan maksimal. Paling mentok punya HP hanya digunakan untuk SMS dan nelfon-nelfonan. Nelfon juga biasanya membicarakan yang tak begitu penting. SMS juga kebanyakan tak bermutu. Main game juga menjadi fungsi HP jaman sekarang. Killing time gitu loh...
Yang paling memalukan adalah ketika melihat orang yang punya HP mahal-mahal namun tak bisa menggunakan. Lucu kan? Lebih lucu lagi, kalau ada temannya menggunakan HP model lama yang segede gaban, dibilang kemana-mana bawa batu bata, siapa yang tak jengkel dibilang begitu. Fungsi yang sedikit bermutu adalah ketika HP bagus-bagus dipakai untuk akses informasi lewat internet. Tentunya yang dibuka adalah situs-situs yang memang diperlukan untuk menambah informasi atau ilmu.

Memang jaman sekarang HP sudah jadi kebutuhan yang sangat mutlak rasanya. Ibarat jaman dulu, radio. Masing-masing orang punya radio saku yang bisa dibawa kemana-mana karena hanya menggunakan power batu battery, harganya pun seperti kacang goreng. Sama dengan HP, seluruh kalangan mulai dari eksekutif muda hingga tukang becak hampir punya HP minimal satu. Bahkan sungguh pemandangan unik jadinya jika booking atau panggil becak dengan SMS, perpaduan kemajuan teknologi dan pelestarian budaya yang mempesona.

Saking 'pentingnya' arti sebuah HP, sehingga ketika HP kita tertinggal di rumah jika pergi ke suatu tempat, rasanya seperti kehilangan jenggot. Hidup terasa susah. Dunia terasa luas banget. Kota seluas 10 km persegi rasanya seperti seluas dunia, apa-apa sulit dicari. Itulah efek buruk karena kita sudah sangat tergantung dengan benda sakti itu.

Yang paling parah adalah anak-anak kecil jaman sekarang sudah pada jago main HP. Bahkan di kampung-kampung sekalipun, anak-anak kelas 1 SD sudah fasih memainkan tombol-tombol untuk mengirim SMS atau pun sekedar main game. Seorang anak di sebuah desa yang bersekolah di kelas 4 di suatu SD kampung tak mau masuk sekolah karena tak dibelikan HP oleh bapaknya. Si anak mungkin minder melihat teman-teman yang lain bawa HP dan saling pamer. Jadilah anak menderita dan malah merusak pendidikan itu sendiri. Untuk kasus seperti ini, harusnya sekolah memberlakukan aturan lebih ketat agar efek-efek teknologi maju seperti ini tak menjadi efek buruk bagi perkembangan si anak dan pendidikannya. Apakah harus pemerintah yang bertanggung jawab kalau sudah begini? Apakah orang tua yang tak mau belikan HP yang disalahkan? Apakah si anak yang manja yang disalahkan?

Kembalilah ke jalan yang benar, ke jalan semula, apa sebenarnya fungsi HP. Jangan diperbudak teknologi dan jangan mau dijajah kedua kali oleh Jepang atau negara barat dengan produk-produk modern-nya.

Gudang komputer; Malming 15 Mar 08





Sunday, March 09, 2008

Kesepianku

Orang-orang pada pulang, orang-orang pada pergi. Orang-orang berlari menjauhi keramaian, mendekati keheningan, melihat dalam diri, refleksi jiwa dalam genangan dosa ratusan detik bahkan ribuan dan jutaan menit yang telah lalu.

Orang-orang tak berani datang, orang-orang tak berani bertandang. Orang-orang tak berani menyalakan api dan orang-orang tak kuasa bersenda gurau menyuarakan kegembiraan dan suka ria mereka dalam hingar bingar suara gamelan. Orang-orang berlari dari dunia nyata, istirahat dalam gelap. Hidup bagai hutan tertutup daun belantara yang rapat, gelap dan tiada cahaya menembus mega. Gemericik air, dengus nafas dan degupan jantung sahaja yang menghiasi irama hidup saat itu, Sukra; 7 Maret caka 1930. Tepat juga, setahun yang lalu, salah seorang yang paling kusayangi, pergi meninggalkan cinta dan ketidakberdayaanku. Ia hilang bersama gelombang. Ia pergi tanpa kata-kata secuilpun pada dunia, bahkan padaku. Ia hanya tersenyum sambil menari, ia hanya menari sembari menangis. Keceriaan yang kudambakan tak mampu kini terobati, hilang bersama kesepian itu, kesepian hari ini.

Kecemburuanku pada dunia membuat aku frustasi. Kecemburuan pada sang mentari membuat aku merasa sepi. Sang dewa siang mampu diam, sepi dan senyum yang pasti, bersinar tanpa henti dan tanpa emosi yang menjerumuskan. Ia laksana tetes embun memecah karang, ia laksana jarum membelah kain jahitan. Sendiri dan tanpa teman, sanggup menggapai langit, memecah hari, meronta aku di dalamnya.

Hari itu, sejenak kutinggalkan dunia, menggapai mimpi tapi bukan dalam tidurku. Aku mencoba hening dalam keramaian suara rintik-rintik air. Aku mencoba hingar dalam setetes noda dalam darahku. Aku mencoba bangkit dari keterbelakangan naluri yang selalu menguasai setiap gerakku. Hatiku terbang, membubung ke langit bvah, melesat dan berekelebat menembus awan. Lalu aku terjungkal dalam dunia di atas awan yang hening, sepi dan matahari bersinar terang, silau, menyayat hati, pilu, menusuk jiwa.

Aku terlena, tatkala sang dewi impian pujaan hati meraih tanganku dari jauh di sana. Lewat kiriman kata-kata indah, menggoda dan mengajakku pergi ke nirwana. Ke dunia hingar di antara sepi yang seharusnya hening. Sang dewi yang sejak lama ku damba kini mencoba menggoda jiwaku yang rapuh. Mengajak aku terbang dan mengusik keheningan ini. Aku pun menghentikan letusan gunung dalam jiwa, agar ia tak terlampau parah ketika meledak, agar ia tak terlampau merah ketika marah dan tak terlampau gembira ketika riang bertandang. Ketika itu juga, aku singkapkan tangan yg membuat batinku gelap, aku lalu terbang jauh dan berusaha melanjutkan heningku hingga sang dewa siang tertelan sang mega di ufuk sana. Tuhan, kabulkan doa hamba yang risau ini...

Pandak Gede, Kamulan Titiang 9 Maret 2008





Thursday, March 06, 2008

DPS-BPN via SBY 11 Feb 08

Malam ini aku kembali terduduk di sudut sebuah lounge di sudut benderang bandara Juanda Surabaya. Suara-suara panggilan dari mesin pemanggil mendengung-dengung di telingaku yang kian hari kian bertambah tuli akibat malas memakai earplug ketika suara-suara bising mesin-mesin sejenis mesin-mesin pesawat tempur berkumandang memecah gelombang samudera di tengah laut selat Makazzar tempat ku mendulang uang demi cinta.

Harusnya pesawat berangkat jam 17.40 waktu Surabaya, tapi dari pengumuman para customer service bandara, pesawat ditunda keberangkatannya menjadi pukul 20.45. Oh lama sekali dan semakin lama juga rasanya karena sudut lounge yang serba mewah -dengan sofa-sofa yang tak ada di rumah ini- seperti kosong karena tak ada teman bersenda gurau maupun bercanda ria, seperti ketika aku bertemu dengan teman-temanku bekerja.

Suara-suara orang memang ramai di ujung sana, yang sibuk mengambil makanan dan minuman gratis hanya dengan modal menyerahkan kartu kredit bank tertentu dan kita bebas merdeka tanpa dosa makan sepuas dan sekenyang-kenyangnya. Bahkan mungkin ada pula yang membawa pulang dengan mengambil jatah lebih-lebih lalu membungkusnya dengan plastik bekas pembungkus buku, kemudian memasukkannya satu persatu ke dalam tasnya yang sudah penuh dengan barang bawaannya sendiri. Tapi itu hanya anggapan dan kira-kiraku saja. Dan tampaknya anggapanku salah. Terlihat kebanyakan di antara orang-orang yang lalu lalang tadi sudah dengan beringas dan rakus memenuhi perut-perut mereka yang kelaparan sejak sore tadi karena sebagian besar pesawat ditunda. Entah karena cuaca buruk atau memang maskapai-maskapai itu hobby delay, ini yang kurang aku cermati. Dan aku anggap tidak tahu saja demi kebaikan kita bersama.

Sore tadi adikku dengan setia mengantarkan aku ke Bandara naik sepeda motor yang jarang dicuci. Udara tadi sore begitu panas sepanjang jalan dari rumah ku di kampung ke Bandara yang berjarak 1 jam. Sebelum mencapai bandara, aku mampir ke travel langgananku setelah sudah seminggu yang lalu ku pesan ke salah seorang pegawai travel yang juga teman baikku. Adikku yang tampak lelah dan capai menunggu aku menyelesaikan urusan yang tidak begitu lama itu. Dan akhirnya dengan melalui pintu-pintu penjaga karcis bandara kami berlalu dan aku diturunkan di belakang mobil mewah Lexus di depan pintu keberangkatan domestik. Baru saja kuinjakkan kakiku melewati loket cek in, bapakku yang sudah semakin tua meneleponku dengan sabar. Menanyakan apakah semuanya baik-baik saja dan lancar. Aku pun mengiyakan dan tak berapa lama suara telepon putus menutup keheningan pintu masuk bandara yang sangat ramai namun tak ada suara manusia yang teriak-teriak seperti di pasar di kampung dekat rumahku.

Tampak 2 orang bertampang tionghoa terduduk layu di sudut sebelah sana. Yang satu sibuk membaca buku dan satunya terduduk lebih lemas seakan sudah menunggu pesawat delay lebih dari 7 hari. Yang sedang membaca buku tampak tenang dan menikmati kebosanan sore itu. Sedangkan bapak yang satunya tampak gelisah dan juga sekali-sekali tampak mengelus-ngelus HP kesayangannya seakan-akan hendak mengetik SMS. Kemungkinan dia sudah kehabisan ide dan kata-kata, karena sudah SMS-an sejak tadi, bahkan begitu aku datang mereka tampaknya sudah lama berada disana. Piring-piring kecil bekas makanan menjadi saksi bisu di atas meja di depan sofa-sofa mewah yang diduduki 2 orang tadi. Dan bahkan mereka juga tampak kekenyangan terbukti dari sorot matanya yang sayu hendak tidur dan juga terlihat tumpukan-tumpukan mangkuk dan gelas-gelas yang sudah tak rapi dan tak sedap lagi dilihat dengan mata kepala sendiri. Cukup mengusik pandanganku malam ini.

Waktu sudah menunjukkan pukul 20.15. Berarti 30 menit lagi panggilan pesawat Lion Air menuju Balikpapan akan dikumandangkan dengan jelas dan tegas dari mesin-mesin bersuara wanita cantik nan menggoda iman. Di sela-sela itu semua, kembali tampak petugas-petugas kebersihan lounge ini datang tergopoh-gopoh sambil membawa kereta dorong tempat gelas-gelas dan piring-piring bekas yang siap dicuci oleh sekelompok orang di belakang sana. Si petugas juga menyapu habis piring dan gelas di atas meja di depan 2 orang bapak-bapak tionghoa tadi. Dua orang itu hanya menatap pasrah ketika meja-meja mereka jadi bersih dengan sapuan lap-lap bersih dari tangan-tangan bersih nan mungil petugas lounge yang salah seorang tampak sungguh manis ayu mempesona. Juga menggoda jiwa. Tak layak kau jadi petugas bersih-bersih, batinku berkata. Tapi tak kuucapkan, hanya kutuliskan di sela-sela huruf-huruf di balik jendela Notepad ini.

Kicauan suara-suara mesin pemanggil kembali bergema dan kali ini memanggil penumpang Mandala tujuan entah kemana aku tak menyimak dengan serius. Hanya lampu-lampu baca yang berderet-deret di depanku yang menghiasi malam yang udaranya semakin dingin di ruangan mewah ini. Aku semakin membisu tatkala hiasan-hiasan berwarna merah yang digantung di bawah lampu-lampu baca tadi bergoyang-goyang seperti memanggil-manggil aku untuk ikut menari diiringi suara piring, gelas dan sendok garpu beradu akibat gopoh-gopoh petugas yang salah satu agak manis tadi kembali beraksi. Petugas-petugas itu sungguh setia dan semestinya mendapat penghargaan yang tinggi sebagai pelayan yang baik karena tanpa lelah di wajahnya yang selalu dihiasi senyum terpaksa bekerja hingga larut malam seperti ini. Entah dihitung jam lembur atau bagaimana, yang jelas mereka patut mendapat kompensasi lebih karena sudah bekerja dengan dedikasi tinggi, dari kacamataku yang sudah semakin rabun ini.

Di tengah-tengah ruangan berdiri dengan kokoh tiruan pohon beringin yang terbuat dari plastik. Pohon beringin itu dihiasi lampu-lampu malam yang menggoda jiwa. Menjadikan suasana Lounge ini semakin bercerita meskipun ceritanya hanya itu-itu saja dari hari ke hari, dari waktu ke waktu, setiap menit juga setiap detik. Karena pohon yang daunnya juga terbuat dari plastik ini, tak kan pernah bertumbuh dan berkembang daun-daunnya juga tak bertambah banyak seperti pohon-pohon asli di luar sana yang nyata. Apakah semua pemandangan ini juga pemandangan semu yang saksikan karena suasana hatiku yang sedang semu?Tak penting itu semua yang penting kembali kunikmati malam yang indah ini yang sekarang dibalut suara-suara musik dari balik meja resepsionis yang dijaga petugas super seksi yang siap melayani siapa saja yang menyerahkan dengan pasrah kartu kreditnya yang bisa dihabiskan belasan juga rupiah.
Akhirnya ku terpana dan sempat terdiam menatap seorang wanita muda yang lewat di depanku namun agak jauh di sana. Seperti wajah-wajah yang aku kenal dan sering kusaksikan di TV di acara infotainment oleh TV-TV swasta ibukota. Apakah dia benar BCL? Aku tak terlalu yakin karena mataku yang agak kurang ini juga ikut ragu apakah benar. Dan dugaan kuat BCL itu semakin gugur karena aku juga didakwa mengalami minus 1/2 setelah kuperiksakan di sebuah toko optik murahan di daerah jalan Diponegoro Denpasar.

Ah sudahlah lupakan saja. Karena sesuai janji petugas jaga counter tadi, berarti 15 menit lagi panggilan pesawat akan diselenggarakan dengan merdu, seharusnya. Dan mudah-mudahan saja tundaan ini tak berkelanjutan sehingga aku tak tiba terlalu malam di Kota Minyak yang kian hari kian panas itu. Tunggu aku walaupun malam sudah larut, kawan!

===ternyata aku sampai jam 02.00, landing di kota minyak malam itu, sungguh mengecewakan maskapai yg doyan delay itu. bahkan jam 02.30 subuh itu juga, penerbangan lanjut ke surabaya lagi===



Saturday, March 01, 2008

Hari yang Lelah

Hari kemaren, awal sekali, hari pertama di bulan Maret ini, aku cukup senang di sela-sela lelah yang mengguyur tubuh seiring hujang yang mengguyur bumi. Jam 7 pagi sudah ku mulai roda-roda berputar menuju sunset road dan berlanjut ke lantai 3 sebuah pusat perbelanjaan. Menuju seorang pakar fotografi seni yang akan berkoar-koar dengan karyanya yang indah dan mempesona. Pagi itu memang dingin dan air mandi yang aku tuang pelan-pelan di badan ini membuat tubuh menjadi segar dan hari-hari seakan bersorak menyemangati diriku yang sempat terkejut dengan dada bapakku yang sempat tersentak.

Namun ku lanjutkan saja perjalanan pagi yang macet oleh truk-truk pengantar barang Jawa-Bali yang bergelinding lambat-lambat dan pasti menuju tujuan yang pasti. Jiwa-jiwa semakin berkobar tatkala satu kendaraan melaju dengan kencang dan aku berusahan mengejar dengan menekan gas lebih dalam sehingga mesin-mesin berputar lebih kencang. Bahan bakar mengucur lebih deras dan tuas-tuas gigi-gerigi berada dalam kondisi puncak, berdesing, melesat membelah embun pagi yang masih mengerubuti jalan-jalan aspal ini.

Akhirnya satu setengah jam kemudian aku sudah sampai dan suasana masih sepi, masih ada 1/2 jam lagi untuk memulai ocehan-ocehan yang tak kan membosankan nanti.

Lalu acara dimulai dengan promosi produk, kemudian penjelasan panjang lebar oleh sang ahli. Acara sedikit dilukai dengan hadirnya seorang pakar dan seorang dosen yang berkomentar miring bahkan sangat negatif dan juga kritis. Foto-foto jama sekarang sudah penuh dengan sentuhan digital dan sama sekali hilang nilai rasa fotografinya. Spontan peserta lain berkobar amarahnya dan menghujat sang 'penghina'. Dia keluar dengan tenang dengan muka ditutupi bau busuk dari mulutnya sendiri.

Acara ditutup dengan acara motret model dan print gratis. Lalu segera kuberanjak ke parkir, 5 detik kututup pintu mobil yang aku naiki, hujan deras mengucur seolah dituang dari langit, sangat deras, bahkan batang-batang penghapus air di kaca depan mobil sudah berputar dalam kecepatan maksimum. Perjalanan terus kulanjutkan ditemani suara hujan dan suara pendingin ruangan yang cukup keras. Suara-suara musik dari balik speaker-speaker murahan hanya sebagai penghias sore itu. Dan aku sampai ke tujuan, rumahku, 1 setengah jam berikutnya. Dan aku langsung menjemput kedua orang kerabatku dan mengantar balik ke habitat dan sampai dalam 1 jam berikutnya dalam guyuran tetes hujan yang sudah tercucur sejak sore hingga malam ini. Hari yang melelahkan namun menyenangkan hati.