Sunday, April 13, 2008

Sindikat Pengemis

Kemaren sore ketika sedang buka-buka email yang masuk bejibun dari sebuah milis guyon, ada salah satu email dengan sebuah attachment gambar seorang pengemis dan anaknya. Si pengemis adalah ibu-ibu tua dan bertampang lusuh, kulit hitam. Sedangkan anaknya berumur sekitar 1.5 tahun putih bersih dan sepertinya tak cocok menjadi anaknya. Si pengirim email curiga dan menghimbau anggota milis untuk waspada, siapa tahu anak itu adalah anak korban penculikan yang dijadikan anak bohongan oleh para pengemis yang tak punya anak, hanya untuk menimbulkan rasa kasihan orang-orang di lampu merah.


Di lampu merah di sebuah perempatan dan dekat sebuah SPBU di Jogja, saya sering melihat seorang pengemis duduk di atas trotoar di bawah lampu merah dan memelas-melas menengadahkan tangannya sambil membungkuk-bungkuk dan menyeret-nyeret tubuhnya -karena kakinya cacat dan tak mampu berjalan- hingga kadang turun ke jalan aspal dan menghalangi orang yang lewat. Salah satu tangannya memegang rokok dan sesekali ia menghisapnya ketika para pengendara sepi yang berhenti atau sudah berlalu. Merokok, hal yang paling saya benci dari seorang pengemis. Sudah tahu dirinya mengemis, hidup serba susah, tapi masih saja ia membuang-buang duitnya dengan merokok, ironi atau paradok? Pengemis ini hampir tiap hari mangkal di lampu merah yang sama dan hampir ada sepanjang hari, ketika hari gelap ia pergi entah kemana.

Suatu hari, ketika saya lewat lampu merah itu diwaktu senja setelah matahari tenggelam. Lampu-lampu jalan baru saja menyala dan kendaraan yang lewat belum semuanya menyalakan lampunya. Saya melihat laki-laki pengemis yang biasanya duduk di bawah lampu merah itu yang'mengaku' cacat tak bisa jalan itu, berjalan dengan badan tegak dan tanpa terseok sedikitpun, meninggalkan lampu merah menggendong sebuah bungkusan dari kulit karung tepung yang mungkin isinya duit hasil ngemis tadi dan asap tebal mengepul dari bibirnya yang hitam. Oh sungguh dramatis dan suatu tipuan sudah terjadi dan saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, apa yang sebenarnya sedang terjadi. Mungkin pengemis-pengemis di lampu merah yang lain hampir sama dengan yang ini. 'Mengaku' cacat tapi sebenarnya ia adalah seorang sehat jasmani yang malas bekerja. Ia hanya mengandalkan belas kasihan orang lain dan berharap mengasihi dirinya dengan 'menyamarkan' dirinya sebagai seorang cacat yang layak dikasihani.

Lain lagi dengan cerita pengemis dari rumah ke rumah. Aku tak pernah ngasi sama sekali pengemis jenis ini. Kalau dilihat dari badannya, ia seharusnya mampu mencangkul di sawah, mampu menambang batu kali atau pasir untuk majikannya. Ia seharusnya -paling tidak- jadi kuli angkut barang di pasar tradisional yang sederhana, bukan malah menistakan dirinya hanya mengemis dan berjalan seolah terseok-seok lemah. Kebanyakan teman, saudara atau kerabat tak pernah memberi pengemis tipe ini. Satu hal yang sering dicurigai orang, ketika mereka berjalan dari rumah ke rumah dan mengemis, mereka sebenarnya sedang memata-matai rumah mana yang layak dijadikan sasaran pencurian atau perampokan. Serem kalo gini.

Kalau pengemis berikut lain lagi ceritanya. Mereka sering datang dari satu rumah ke rumah lain dengan pakaian sederhana dan berusaha untuk rapi. Dengan mengenakan peci dan tas ala kadarnya mereka menyerahkan semacam 'proposal' sumbangan malai dari tempat ibadah atau yayasan anak terlantar, kemudian berharap si tuan rumah mau menyumbang seiklasnya. Ketika menyumbang ala kadarnya atau kalo tak mau dibilang terlalu sedikit, mereka marah dan mengomel tak karuan, ketika tak mau menyumbang sama sekali, mereka malah mengumpat dan menyumpah seperti tak bermoral saja. Sungguh terlalu. "Pengemis" sejenis ini berkeliaran juga di kampus-kampus. Seorang muda dan sederhana datang dengan sopan membagi-bagikan amplop pada setiap mahasiswa yang sedang duduk-duduk di plasa kampus. Dalam amplop terselip selembar kertas bertuliskan beraneka kalimat yang intinya minta sumbangan, antara lain untuk pembangunan suatu bangunan. Setelah semua amplop habis terbagi, ia mulai mengambil lagi dari amplop pertama dan berharap-harap sumbangan diselipkan di dalamnya.Namanya juga mahasiswa, buat makan hari itu saja kadang tak ada. Malah ada yang nakal menyelipkan kerta bertuliskan "maaf kiriman bulanan kami telat datang".

Di setiap lampu merah atau bis-bis umum di Jogja atau kota-kota besar lainnya di Indonesia, pasti selalu ada tukang ngamen baik tukang ngamen beneran atau hanya ala kadarnya. Tukang ngamen beneran memang bermodal, mulai dari bawa gitar hingga ada yang duet gitar dan biola. Mereka bernyanyi dengan lantang dan diantaranya ada yang suaranya memang berkualitas rekaman. Karena nasib yang kurang berpihak, mereka selamanya jadi tukang ngamen (beneran). Tukang ngamen yang sebenarnya pengemis ada juga. Ia hanya bermodal kecek-kecek yang terbuat dari tutup-tutup botol minuman yang dipaku di sepotong kayu dan dipukul-pukulkan di tangan sambil mulutnya hanya bergumam-guman (bukan bernyanyi), hanya bergumam ataupun lebih tepatnya hanya menggerak-gerakkan bibirnya seolah bernyanyi, persis seperti seorang penyanyi yang sedang lipsynch. Lalu menadahkan tangannya dan berharap belas kasihan pengendara mobil di lampu merah atau penumpang bis yang baik hati.Mereka tak ubahnya pengemis yang berkedok pengamen. Mungkin dilema bagi mereka. Di sisi lain mereka ingin bernyanyi dan main gitar untuk mengamen, di sisi lain mereka tak punya modal untuk membeli gitar apalagi biola. Untuk kasus ini mereka lebih buruk daripada pengamen beneran bersuara rekaman yang gagal rekaman, mereka bahkan telah gagal hanya utk menjadi pengamen beneran.

Lain lagi dengan kota-kota di Bali. Berbeda dengan kota-kota besar di Indonesia, di Bali tak ada satupun pengamen apalagi pengemis di lampu merah apalagi di bis antar kota. Mungkin karena menjaga image sebagai daerah wisata yang dituntut serba rapi dan elit juga bersih. Saya jadi teringat dulu ketika SMA pernah ngamen di sebuah terminal yang disulap jadi pasar senggol di malam hari. Saya mengamen dari warung tenda satu ke lainnya bersama seorang teman gila yang menyanyi cuman satu lagu itu-itu saja. Tak lama datang seorang satpam dan berkata bahwa tak boleh mengamen di daerah sana. Ketika ditanya saya mengaku dari luar daerah dan untungnya ia percaya dan kami berlalu dengan malu. Padahal kami adalah salah seorang siswa SMA gak ada kerjaan di kotanya.

Meskipun tak ada pengemis di lampu merah ataupun bis kota, di Bali kerap ditemui pengemis orang-orang Munti yang berkeliaran dari rumah ke rumah. Mereka meminta beras bukan uang. Mereka datang musiman pada bulan-bulan tertentu saja dan mereka datang bergerombol dari kampungnya dengan berjalan kaki berkilo-kilo jauhnya, lalu secara serempak menyebar ke satu rumah ke rumah lain. Jika satu rumah memberi beras, maka si pengemis pertama akan mengiformasikan ke pengemis temannya. Serta merta informasi berantai terjadi dan para pengemis bergiliran ke rumah baik hati tadi. Strategi pengemis semacam ini sudah diketahui para ibu-ibu rumah tangga yang sering dimintai beras. Kebanyakan malah menolak terlebih dahulu memberi beras sebagai antisipasi mengemis berantai. Konon, mereka diutus oleh 'raja' mereka di kampungnya untuk mencari bantuan beras di luar kampung mereka yang kaya. Tradisi ini menjadi turun-temurun dan dilakukan pada bulan-bulan khusus.

Demikian sekilas cerita tentang pengemis. Saran saya, jangan sampai Anda jadi pengemis kalau tak kepepet. Kalau sudah kepepet apapun jadi untuk cari makan, ya kan? Oleh karena itu rajin-rajinlah menabung, tidak sombong dan tidak pelit.

S I M

Akhir-akhir ini mengurus SIM sama gampangnya dengan membeli pulsa handphone. Sekarang pesan sekarang jadi. Ngurusnya juga gampang, tak perlu melalui loket resmi. Kita tinggal serahkan semuanya pada petugas, kemudian ia yang mengurus semuanya, kita tinggal terima beres.

Suatu hari saya ingin memperpanjang SIM A dan C di Polres di kota saya. Awalnya saya tak tau alias lupa gimana step by step-nya. Lalu bertanya pada salah seorang petugas yang berseliweran di sekitar loket SIM. Si petugas dengan bijaksananya mengajak saya masuk ke ruangan dan dengan bijaksana pula meminta atau menyuruh saya menyerahkan syarat yang diperlukan setelah terlebih dahulu disuruh memfotokopi SIM lama. Dengan bijaksana pula ia menyebut sejumlah angka dalam rupiah untuk 2 macam SIM tadi. Lalu kantong pun dirogoh dan saya menyerahkan duit tanpa kuitansi bukti pembayaran.

Tak berapa lama saya mendapat panggilan untuk foto SIM di sebuah ruangan di seberang sana. Bapak yang 'membantu' saya tadi mengantarkan dan menyuruh saya menunggu panggilan berikutnya, dan pamitan seolah SIM-nya sudah jadi dan tak akan ketemu lagi setelah saya foto. Saya pun mengucapkan terima kasih berkali-kali dan akhirnya menyatu di dalam ruangan kecil itu. Orang-orang berdiri mengantri dan saya juga ikut menunggu antrian. Lalu dengan senang hati saya masuk dan difoto. Kamera yang digunakan adalah kamera digital pocket kelas murah 3.2 MP dengan tripod dan langsung konek ke komputer pembuatan SIM, cukup canggih mungkin kalau saya lihat beberapa tahun lalu, tapi sekarang sudah jadi mainan biasa di rumah. Hanya menunggu kurang lebih 15 menit, SIM sudah jadi dan saya pulang dengan senang hati.
Beberapa bulan berikutnya, saya berkunjung lagi ke Polres yang sama. Namun kini mengantarkan adik saya memperpanjang SIM C dan mengurus baru SIM A, karena ia baru belajar naik mobil. Dengan mengingat dan belajar dari peristiwa dulu, saya pura-pura bertanya ke salah satu petugas yang wara-wiri di sekitar daerah loket SIM, sama kayak yang saya lakukan dulu. Prosesnya hampir saya, setelah membayar sejumlah uang tanpa kuitansi dan menunggu antrian foto, sangat sebentar karena waktu itu hari sudah siang, SIM jadi dalam waktu 20 menit dari pertama datang hingga terima SIM. Petugas yang membantu tadi yang berkepala botak dan berbadan pendek hanya manggut-manggut ketika menyerahkan SIM A dan SIM C adik saya plus 1 lembar sertifikat kursus mengemudi dari salah satu lembaga kursus mengemudi di kota saya dengan nilai 'CUKUP'. Heran juga melihat kejadian itu. Tapi, terima aja. Yang penting SIM-nya jadi.

Saya jadi ingat peristiwa waktu pertama kali saya nyari SIM dulu, waktu itu saya baru tamat SMP dan dengan bermodal surat keterangan domisili, karena waktu itu saya belum cukup umur untuk memiliki KTP. Waktu itu saya diantarkan paman saya, setelah menghubungi salah seorang teman paman saya yang polisi lalu lintas disana, ia mengurus semuanya dan kami (saya dan paman) tinggal duduk manis di ruangan tempat ceramah dan mendengar salah seorang petugas mengoceh tentang segala macam informasi yang berhubungan dengan lalu lintas. Dengan guyonan jayus dan garing petugas itu, acara pun selesai dan tinggal menunggu acara foto SIM. Waktu itu memang ramai sekali yang mengurus SIM. Jadi, meskipun pakai bantuan seorang petugas kenalan paman saya, tetap saja antriannya di belakang dan jadinya menunggu agak lama.

Herannya, akhir-akhir ini tak pernah lagi ada petugas yang memberi ceramah di ruangan khusus kepada calon pencari SIM, seperti ketika pertama dulu saya mencari SIM. Saya hanya prihatin kepada pencari SIM baru, yang misalnya ia masih belum cuku umur dan belum tahu seluk beluk lalu lintas, tak mendapat informasi yang jelas dan benar seputar cara berkendara yang baik dan benar sesuai dengan aturan yang berlaku. Jadilah, sekarang, di jalan banyak melihat anak-anak muda belok tanpa lampu sign, trus ibu-ibu motong jalan dari kanan ke kiri tanpa tengok-tengok apakah ada mobil yang lewat hingga anak-anak belum cukup umur naik sepeda motordengan kecepatan tidak tepat pada tempat yang salah. Pantas saja lalu lintas jadi kacau dan sering terjadi kecelakaan yang tidak diperlukan, barangkali karena lemahnya dan kurang ketatnya sistem pengurusan SIM. Minimal diberi ceramahlah, paling tidak, sebagai pemula tahu apa artinya garis putus-putus dan garis lurus di tengah-tengah jalan, misalnya.

Sungguh kemajuan jaman yang -apakah pantas disebut kemajuan?.

Cinta di Kursi Panjang

Cinta di Kursi Panjang

Pagi itu, sang mentari belum juga tampakkan diri di ufuk timur. Lampu-lampu jalan dan lampu taman beberapa masih menyala. Petugas kebersihan bandara lalu lalang sibuk melahap sampah jalanan. Mobil-mobil masih sepi di parkiran. Dan pagi itu juga, pagi-pagi sekali aku sudah terjebak dalam aroma fajar di sudut bandara internasional ini. Segera ku kirimkan pesan-pesan singkat untuk perempuan yang masih terbujur lemas di atas pembaringan. Dengan segera ia beranjak dan datang menghampiriku. Matanya masih sembap dan tanda sarung bantal yang lecek masih 'menempel' di pipi kirinya. Namun wajahnya sudah dibilas rapi dengan gaun merah di badannya, kau tampak anggun pagi itu. Kau berjalan menghampiri dengan ceria seolah kita tak kan berpisah pagi ini.

Kami berpindah ke tempat yang lebih romantis. Sudut bandara di depan pintu kedatangan domestik. Satu kursi panjang yang sungguh romantis pagi itu menjadi saksi kisah cinta romantis dua insan yang baru saja dimabuk asmara, sang Kama dan dewi Ratih sedang menguasai kehidupan mereka. Lalu lalang orang-orang tak kami hiraukan, bandara itu seolah milik kami berdua dan kursi itu juga akan menjadi milik kami selamanya. Kursi panjang yang beraroma asmara. Kami namakan kursi itu kursi e-dan-i. 'e' dan 'i' adalah inisial nama-nama kami. Disamping juga menunjukkan bahwa kami sedang edan, edan oleh indahnya asmara.
Matahari lalu menyembul dari balik puncak atap bangunan di ujung sana. Burung-burung bernyanyi riang, bersuka ria seolah sedang menyaksikan kami berdua menikmati pagi yang dibalut embun cinta nan romantis ini. Pohon-pohon perdu di taman bunga bergoyang-goyang dihembus angin sepoi-sepoi mengikuti degup jantung kami berdua, degup jantung sepasang insan dimabuk cinta. Embun berjatuhan terkena sinar mentari yang kian tinggi, aku silau oleh sinarnya, namun hatiku sejuk karena ia ada disampingku. Aku menatap wajahnya, ia menatap wajahku. Mata kami bertemu dan semua sudut bandara terasa hening, sunyi dan semua memutih seolah hanya kami yang duduk berdua di kursi panjang yang akan jadi memori abadi ini. Lalu ia benamkan matanya dalam gelap, segudang meteor berkecepatan tinggi menerobos aliran darahku, membuat degup jantung jadi tak terkendali. Tak terasa ia genggam erat tanganku seolah kami berdua tak mau dipisahkan. Ia memeluk erat tubuhku, aku dibuai mimpi dan kami berdua saling berpelukan penuh rasa yang sangat dalam. Ia peluk semakin erat seolah diriku hanya miliknya, aku juga membalas dengan posesif. Kupeluk dengan penuh rasa, seolah ia tak boleh lepas lagi dari genggamanku.

Sinar putih yang mengelilingi kami perlahan sirna, seolah dihempas suara-suara langkah orang-orang yang lewat di depan kami. Tapi kami tak hiraukan. Semuanya berlalu dengan bisu melihat pemandangan yang biasa namun mempesona.


Ia kembali menatap mataku, sorot matanya seperti menusuk bagaikan panah. Aku tak kuasa menahannya dan kutepis pandangan itu dengan mengecup manis bibirnya. Sungguh dahsyat. Kami seperti tertempel oleh aroma yang keluar dari tubuh kami, larutan kimia sudah menyatu dan panah malaikat sudah bersarang tepat di lubuk hati. Menerjang, mencengkeram dan mengoyak-ngoyak hingga berdarah lalu menyayat dengan sembilu, hingga aku tak kuasa meronta dan kamipun dimabuk aroma kimia yang akan bereaksi dan berlangsung berkepanjangan.


Aku ingin memeluk dia 8 hari seminggu, aku ingin mengecup bibirnya 25 jam sehari dan aku ingin hidup bersama dia 1000 tahun lamanya. Aku ingin mengarungi lautan cahaya, menembus jutaan bintang dan kembali membawa bintang dan kugantung di pohon kedamaian. Lalu kupetik buahnya bersama, kupupuk dan kujaga, demi cinta kita berdua. Aku ingin merobek hatiku, mencabik semua gambaran jiwa lalu memamerkan kepadanya sehingga ia tahu apa yang ada di lubuk yang paling dalam. Aku ingin mencongkel matanya lalu ku masuk menerobos pembuluh nadinya dan kurasakan degup jantungnya, sehingga kutahu, sehingga ku yakin aku akan bisa bersamanya, selamanya. Kekasihku, yakinkan aku. Jangan buat aku kecewa.


Lalu, lamunanku terbuyarkan oleh suara telepon genggam kesayanganku. Suara yang tak asing, pertanda di ujung sana seseorang sedang mencoba menghubungiku. Ia adalah seorang petugas bandara, maskapai pesawat aku menumpang. Pesawat sudah mau berangkat, hanya aku seorang penumpang yang ditunggu. Aku berlari, aku meloncat menembus mimpi dan benamkan lamunan itu dalam gelombang cahaya. Ia kutinggalkan dengan tergesa-gesa. Kecupan mesranya di pipiku membuat aku semakin bersemangat berlalu, membuatku semakin tak tahan tuk segera kembali dua minggu lagi.


Room 313 Friday 11 April 2008 5:48 pm

Tuesday, April 08, 2008

Bensin Kian Langka

Suatu hari kemaren, aku terjebak dalam antrian kendaraan menunggu bensin.


ironi negara minyak
ada yang ngawur antri
dagang bensin liar
antre 2 jaman
semua tempat antre
ada yg nandan motor
malam2 antre jam 12
gudang di xasem rusak

Thursday, April 03, 2008

BBS

Akhir Maret yang lalu, saat rekening-rekening bank sudah dijejali angka-angka maya jatah bulanan kami, aku terjebak 2 hari 2 malam di kota minyak. Aku harus ikuti training yang berlangsung 2 hari dan penuh kegiatan, hari pertama class training lalu hari berikutnya praktik ke lapangan dan after lunch kami musti memasukkan hasil observasi ke halaman-halaman web di portal intranet perusahaan kami.

Seperti biasa aku tersudut di sebuah tempat biasa, sepi, dingin tapi kadang ramai oleh tv-tv mungil dengan stasiun TV 40-an channel. Aku terjerat dalam mimpi-mimpi dan hari kedua aku terpaksa dan dipaksa bangun pagi, jam 6.30 harus sudah berada di pilot jety.

Training dibagi dalam 2 kelas dan masing-masing terdiri dari kurang lebih 20-an orang. Aku berada di kelas yang kebetulan banyak juga teman-teman dari satu tempat kerja. Aku terjebak dalam irama diskusi yang ramai namun tak kunjung usai, membuat waktu pulang jadi tertunda dan terpanjangkan. Hendak hati pulang lebih dulu dari waktu biasa, namun akibat banyaknya pertanyaan akhirnya kami pulang tepat waktu...