Saturday, November 22, 2008

Spa

Dalam satu kesempatan kencan, bingung menghabiskan waktu dimana. Karena waktu yang ada cuma 1 jam maka kita sepakat ke Baker's Corner untuk sekedar minum kopi ataupun memesan jus buah yang segar. Namun setelah alot berdiskusi akhirnya kami memutuskan ke sebuah Spa di kawasan Tuban dekat Kuta. Spa yang berlokasi di sebuah ruko di jalan ke arah pantai, memiliki 6 bilik. Antara bilik 1 dan lainnya hanya dipisahkan oleh gorden tertutup rapat.

Ketika kami datang, para petugas sedang santai sambil menonton TV sebab tak ada client malam itu. Mungkin karena sudah terlalu malam, kami tiba sekitar jam 20.30. Setelah memilih paket spa yang tersedia, malam itu saya memilih tradisional massage, kami duduk di ruang tunggu. Welcome drink yang disajikan petugas resepetionist menyambut kami di meja tamu, 1 sloki kecil orange jus lewat begitu saja melalui kerongkongan. Saya sebut kecil karena tinggi sloki hanya 3 cm, kecil kan? Para petugas yang tadi duduk-duduk sejak kami datang berlalu naik ke lantai 2, menyiapkan tempat spa. Begitu kami dipersilahkan naik, aku clingak-clinguk bingung harus berekspresi dan bereaksi apa ketika tiba di atas. Terus terang ini pertama kali saya masuk ke ruangan spa yang katanya ada segudang di Bali. Ternyata saya harus duduk di atas kursi yang sudah disediakan plus sebaskom air hangat di depannya. Kaki saya dimasukkan dan dibasuh bak raja-raja jaman dulu kala. Jari-jemari disikat dengan sikat lembut, padahal kuku saya sedang hitam pinggirnya, malu rasanya. Lalu dikeringkan dengan handuk dan saya dipersilahkan masuk ke "ranjang pembantaian".

Gorden-gorden ditutup, rapat. Si mbak petugas pijat memberi saya segulung kain kecil yang ketika saya buka ternyata sebuah celana dalam sekali pakai yang kemudian saya tahu untuk dipakai selama pijat. Lalu semua busana pun dibuka hanya CD dan CD sekali pakai itu saja yang nempel di badan. Saya disuruh telungkup lalu kain tipis diselimutkan di punggung saya hingga menutupi betis. Lalu si tukang pijat pun memulai aksinya. Dimulai dari bagian bawah, kaki kanan kiri, punggung, leher dan kepala. Ia mulai dengan memijat lalu dioleskan lotion dan terakhir dibasuh dengan handuk berair hangat. Setiap ia memijat bagian tubuh tertentu, hanya penutup handuk dibagian itu saja yang disingkap/dibuka. Sehingga bagian yang lain masih tertutup dan tidak menimbulkan 'efek samping'.

Ketika ia mulai meremas-remas bagian tubuh saya, muncul suara aneh dari ranjang yang kreat-kreot. Seperti suara yang gimana gitu loh, tapi tentu saja itu hanya suaranya saja yang mirip, karena itu bukan pijat mesum. Setelah semua bagian belakang selesai digarap, saya disuruh berbalik badan lalu si mbak itu memijit bagian tangan hingga pangkal lengan. Pijatan ditutup dengan memijat bagian kepala dari atas. Selesai itu, saya pun langsung memakai celana dan baju. Eh celana dalam sekali pakai itu lupa ngelepas, ya sudah biarkan saja.

Kita pun lalu turun setelah ngasi tips ala kadarnya ke tukang pijat itu. Good bye drink berupa wedang jahe disediakan dengan cangkir yang lebih besar. Malam yang sungguh menyenangkan. Malam itu aku tidur nyenyak untuk esok harinya ke Balikpapan via Makazzar.

Satu Mulut Dua Telinga

Sudah sering mungkin kita mendengar orang memberi nasihat, sedikitlah kalian bicara dan banyaklah mendengar. Karena itu sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa, terbukti dari diberikanNya kita satu mulut dan dua telinga. Artinya prosentase kita mendengarkan 2x lipat kita seharusnya berbicara.

Nasihat ini ada benarnya juga. Karena ketika kita banyak bicara tentu akan banyak salah bisa terjadi terlebih jika kita bicara ngawur dan menyinggung perasaan orang lain. Mendengar tentu saja memiliki seribu makna, disamping juga dengan mendengar kita akan mendapat lebih banyak informasi, lebih banyak ilmu yang masuk ke otak kita yang serba kekurangan dan cepat lupa.

Namun jika kita teliti lebih dalam, ternyata ada sisi egois manusia tersirat dari nasihat itu. Kasarnya kita seperti diperintah untuk menjadi egois, dalam arti kita hanya pasif mendengar, menerima informasi, menerima ilmu dari orang lain tanpa mau berbagi/berbicara tentang ilmu apa yang kita miliki dan dibagikan ke orang lain. Jadi harusnya bagaimana? Apakah antara mendengar dan berujar harus seimbang sama-sama fifty-fifty?
Jika demikian agar cocok dengan analisa di atas, seharusnya kita mempunyai dua telinga dan dua mulut dong. Ah tentu saja bukan begitu. Dengan satu mulutpun kita bisa lipat gandakan ucapan kita, toloh lubang mulut kita, yang walaupun hanya 1, lebih lebar dari lubang 2x telinga kita. Hehehehe.. Ah jangan terlalu serius, ini hanya pikir-pikir orang yang susah mikir.

Cerita Lubak

Ketika saya kecil, orang tua, khususnya Bapak sering mendongengkan cerita tentang lubak, atau orang Jawa mungkin menamainya luwak. Sosok lubak sering digambarkan sebagai sosok menakutkan oleh mereka, sehingga ketika kita bandel dan susah dikasi tahu atau sedang menangis, mereka selalu menakut-nakuti bahwa kita akan dicari dan diterkam lubak jika bandel terus. Mereka selalu bilang, "Jangan nangis dong, nanti dicari lubak!"

Parahnya sejak kecil dan hingga dewasa kini saya tak pernah melihat yang namanya lubak apalagi memegangnya. Dan lebih parahnya mengapa dulu sewaktu kecil justru takut dibuatnya padahal kita belum pernah melihat tampangnya apakah seram atau angker. Seorang teman sewaktu SMA baru pertama kalinya melihat lubak dan jadi tertawa terbahak-bahak, "Loh ini toh yang dulu kita takuti selama ini? Tampangnya gak serem, malah lucu dan imut," katanya membela kaum lubak.

Ya mungkin pelajaran berharga yang bisa kita ambil, janganlah takut pada sesuatu yang belum pernah kita lihat (kecuali Tuhan). Janganlah mau melakukan sesuatu yang belum kita tahu secara pasti. Jika ada orang memerintahkan atau meminta tolong melakukan sesuatu kita seharusnya lebih kritis bertanya, untuk apa dan apa resikonya. Tapi tentu saja bertanya bukan berarti tidak mempercayai. Anak-anak muda jaman sekarang sering bertanya apa makna banten yang dibikin oleh ibu-ibunya. Ketika ibunya menjawab 'nak mulo keto' si anak pun bersungut-sungut lalu si bapak menyimpulkan kalau anaknya tidak percaya dan sering dianggap anak yang tidak berbakti pada orang tua dan leluhur.

Ya serba salah memang. Untuk itu, orang tua jaman sekarang harus belajar tidak hanya bisa membuat namun harus bisa menerangkan makna tersembunyi dibaliknya yang tentu saja diwariskan turun-temurun dari leluhur. Agar tidak kata-kata 'nak mulo keto' selalu jadi kalimat sakti penangkal setiap pertanyaan yang susah atau bahkan tak bisa dijawab bukan karena tidak tahu tapi memang karena tidak pernah ada yang menerangkan dan tidak pula ada yang menanyakan.

Attaka Dikepung Badai

Attaka Dikepung Badai

Pagi ini, udara cukup terang di atas langit Attaka, namun di ujung sana, hujan sudah turun dengan lebat. Di sisi utara, timur laut, timur, selatan, dan barat sudah tak tampak lagi. Yang tampak hanya awal tebal yang mengucurkan hujan ke lautan. Di ujung selatan tampak samar-samar saja kapal-kapal tanker penyerap batubara dan minyak bumi kita, tergoncang-goncang dihempas angin dan gelombang. Di ujung timur dan utara hanya tampak gumpalan awan kelabu, tak tampak lagi kokohnya platform mencengkeram lautan.

Hari ini adalah hari terakhir aku di laut yang kalut ini. Hari ini akan datang beberapa orang asing, mengadakan audit operation excellent, memastikan apa yang kita lakukan sesuai dengan 'kitab suci' perusahaan yang 'safety first' ini. Namun melihat cuaca yang begitu tak bersahabat, kecepatan angin melebihi 30 knot, mustahil jika para auditor yang naik chopper akan berani datang dan landing di helipad Attaka Raya ini. Nampaknya doa orang-orang hebat di platform ini terkabul tanpa syarat.

Hari ini pula hari terakhir aku tak melihat kamu, hari esok aku akan berjumpa dengannya, belahan jiwa dan juga pujaan hatiku. Ia yang selalu menceritakan dan mendengar ceritaku, ia yang selalu mengipasi dikala aku panas dan menyelimuti dikala aku menggigil dihempas angin kencang. Ia yang selalu menghangatkan jiwaku dengan senyumnya yang penuh makna. Ia yang selalu mencurahkan segenap isi hatinya agar aku selalu tahu bahwa ia akan tetap menyayangi diriku.

Hari ini pula hari terakhir ku berteman karat, berselimut suara turbine compressor yang membuat telinga pekak. Cuaca yang kembang kempis, kadang hujan kadang matahari bersinar terik akan segera kulewati dengan pesawat-pesawat besar berkecepatan hampir menyamai suara. Aku akan berlabuh pada hati yang telah menunggu di ujung bandara. Aku akan menoreh cerita cinta lagi dalam prasasti yang akan menjadi kenangan seumur hidup kami. Aku akan berlalu bersama semua mimpi yang belum sempat semua ku nyatakan di negeri air ini.

Pagi ini, aku sedang menunggu saat-saat malam nanti, ketika kapal-kapal besar menjemput kami lalu mengantarkan kami bersama mimpi hingga tiba esok pagi, di kota minyak. Sehari ini aku akan semakin rindu dan menanti saat esok hari, saat yang paling kunantikan dalam 2 minggu di belakang. Pagi ini aku sedang menanti datangnya orang-orang berkemampuan tinggi mengaudit kami.

Ketemu Luna Maya

Off kemaren aku pulang lagi dari Balikpapan ke Bali via Jakarta. Kali ini naik Air Asia sekitar jam 10 pagi dari Balikpapan. Setibanya di Jakarta aku langsung menuju Mandiri lounge di sudut bandara dan duduk santai menunggu pesawat ke Bali 2 jam berikutnya. Namun lama menunggu tak kunjung jua ada panggilan. Pada satu ketika ada pengumuman yang memberitahukan jikalau pesawat ditunda dan akan diberangkatkan pada pukul 3 sore. Jadilah saya menunggu dengan senang hati namun juga was-was. Senang karena lebih lama bisa mengakses internet via hot spot gratis di lounge yang ramai ini. Was-was karena takut orang yang jemput saya jadi bosan dan kasihan sudah menunggu terlalu lama. Maka saya telfon saja ia untuk pulang dan saya akan naik taxi bandara saja pulangnya nanti.

Waktu pun terus berlalu, belasan halaman website sudah dibuka. Puluhan blog orang sudah dibaca dan ratusan gambar baik-baik hingga gambar yang kena UUAPP sudah dibuka. Foto-foto pemain sinetron favoritku juga sudah kubuka dan kusimpan rapi di folder khusus, mulai dari Luna Maya hingga Wulan Guritno. Ribuan karakter sudah dikirim via Yahoo Messenger yang bikin ketagihan dan kecanduan tak mau berhenti. Seharusnya panggilan sudah dilakukan oleh mesin-mesin panggil otomatis itu, namun tak jua ku dengar dari ujung sana. Bertambah was-waslah hati ini. Jangan-jangan ada apa-apa nih dengan pesawat ini. Waktu semakin sore dan semakin was-was saja dibuatnya.

Jam 6 sore telah berlalu. Aku sudah terlalu lama di lounge ini. Tempat duduk paling pojok memang paling asyik. Sudah 3 group orang yang berganti keluar masuk di ruangan yang kian jam kian bertambah dingin ini. Namun pantatku yang sudah mulai berakar kini kugeser sedikit karena semakin terasa panas. Berbagai macam makanan sudah dicoba, perutku seperti tong sampah saja, kembung karena banyak makanan dan juga karena masuk angin. Kopi ginseng yang beberapa cangkir telah kutenggak tak jua membuat nafas ini hangat, kalah oleh udara AC yang diset terlalu dingin.

Jam 6 lewat 1 jam alias pukul 7 malam panggilan pun terdengar, hati ini yang was-was semakin was-was karena baru sadar jika waktu sudah menunjukkan jam 7 malam, berarti di Bali sudah jam 8 dan pesawat akan tiba 2 jam berikutnya, malam banget kalau harus pulang ke Tabanan malam itu. Mana badan pegel, leher pegel, pantat capek, becek plus tak ada ojek, cape' deh. Aku pun membereskan kabel-kabel yang terhambur di meja di depanku dan segera berlalu menuju pintu masuk. Aku berjalan dengan lunglai karena seluruh badan rasanya pegel setengah mampus. Hingga di pintu pesawat pun aku masih tak bersemangat. Para penumpang berhamburan memasuki ruang pesawat dan memilih tempat duduk sesuai selera. Aku masuk lewat pintu belakang saja dan duduk di kursi deretan nomor dua paling belakang. Karena kalau pas di belakang tak bisa merebahkan kursi saat tidur nyenyak. Aku duduk di jendela pinggir dan hingga penumpang sudah mulai sepi aku masih duduk sendiri saja di tiga deret bangku itu, seolah 3 bangku itu memang disediakan untukku. Aku masih lemas tak berdaya, bahkan jemariku pun terasa lunglai saat hendak mematikan handphone butut yang hitam itu, hitam mungkin karena terlalu sering berjemur itu.

Para penumpang sudah duduk rapi dan di kejauhan di depan sana nampak satu orang penumpang berjalan terburu-buru menenteng tas casual warna merah dengan T-shirt kuning ketat banget. Rambutnya yang panjang terjuntai di bahunya, kepalanya yang tengok kanan tengok kiri mencari tempat duduk kosong membuat rambut hitamnya terayun-ayun. Semakin dekat semakin aku kenal wajah itu. Para penumpang yang bagian tengah nampak mendongakkan kepalanya. Semakin dekat saja ia berjalan dan nampaknya ia tak menemukan kursi kosong barang satupun di depan sana. Tibalah ia di samping kursi tempat aku duduk, dengan serta merta ia hempaskan saja pantatnya di kursi sebelahku setelah ia menaruh tas merah di kabin di atas tempat ia duduk. Aku tak berdaya dibuatnya, aku terkaget bukan kepalang, jantungnya seperti dipompa mesin berkekuatan ribuan kali lipat pompa sumur di rumahku, sehingga darah yang mengalir terasa deras ke setiap ujung pembuluh darah. Lubang hidungku bagaikan disumbat botol air mineral sehingga dadaku terasa sesak seperti sedang ditindih belasan Roni Dozzer. Dan aku pun tersentak ketika ia tersenyum ke arahku, aku terkaget-kaget menahan riang. Bahkan seandainya stock cairan dalam kantong kemihku cukup saat itu, aku mungkin terkencing-kencing menahan rasa gembira karena moment seperti inilah yang sudah aku tunggu ribuan tahun lamanya. Luna Maya, ya benar, yang duduk di sebelahku adalah Luna Maya yang sejak lama sudah kuimpikan. Obsesiku bertemu lalu memotret dia dan serta kupajang di galery online-ku akan segera terealisasikan. Aku pun membalas senyumannya meskipun dengan terbata-bata aku menyebut namanya dengan tanda tanya dan dengan ekspresi mesum 24 karat kadarnya. Ia pun mengangguk pelan. Aku tak pernah membayangkan kalau ia akan naik pesawat kelas ekonomi ini. Dengan basa-basi garing aku pun berkomentar, "Kok naik Air Asia? Bukan Garuda?". Ia menjawab dengan cepat, "Iya nih, aku mendadak ada urusan pulang, Garuda penuh hari ini. Yang kosong cuman Air Asia." Mendengar suaranya seperti itu saja membuat hati ini berbunga-bunga seperti taman di Kebun Raya Bedugul yang banyak bunganya.

Kami pun berkenalan dan terlibat obrolan 'serius' dalam kursi yang menjadi memori itu. Badanku yang semula pegal-pegal mendadak jadi segar karena adrenalin mengucur dengan deras dalam setiap aliran darahku. Aku pun mengutarakan niatku serta obsesiku selama ini hendak memotret dia dalam satu sesi privat. Tanpa ku duga ia menyetujui saja dan aku pun dengan segera mendapat kartu nama plus nomor HP pribadinya. Dan dengan serta merta pula ia menawarkan bagaimana kalau take photo-nya di villa pribadinya saja di seputar Nusa Dua. Aku lebih cepat dari sekedar serta merta menyetujui dan rela kapanpun ia mau aku akan meluangkan waktu untuk sebuah obsesi selama ini kuukir di lapisan otakku yang paling kotor. Dua jam terasa seperti 2 menit saja. Tak terasa pesawat mendarat dengan selamat. Kami pun menuju pintu kedatangan bersama. Diujung sana sudah menunggu pasukan penjemputnya sedangkan aku hendak berlalu ke loket taxi bandara. Kami bersalaman dan ia menepuk-nepuk pundakku bagaikan menepuk pundak adiknya memberi semangat mau berangkat sekolah. Ia menepuk-nepuk pundaku terus, aku tak mengerti mengapa ia melakukannya. Ia terus menepuk, semakin lama semakin terasa keras saja. Semakin lama wajah Luna semakin berubah, namun tangannya tetap saja menepuk pundakku. Hingga akhirnya wajahnya berubah seratus persen dan kini ia berpakaian ala pramugari, warna merah menyala. Ketika kugosok-gosok mataku ternyata pramugari pesawat sedang menepuk pundakku berusaha membangunkan aku dari tidur yang nyenyak itu. Ah ternyata semuanya hanya mimpi….