Friday, December 26, 2008

Menghadiri Pernikahan Orang Batak

Tanggal 8 December 2008 lalu saya menghadiri upacara pernikahan teman saya Binto dan Mona, mulai dari upacara pemberkatan di gereja, upacara adat dan ditutup dengan resepsi di sebuah gedung mewah berkelas internasional di seputar by pass Ngurah Ray, Sanur, Bali.

Upacara pemberkatan dilakukan di gereja Batak HKBP di daerah Pulau Belitong, Pedungan, Denpasar. Saya sudah hadir di gereja jam 8 padahal upacara akan dilakukan pada pukul 10.00. Anton yang jauh-jauh datang dari Surabaya bersama 2 orang teman Tionghoa-nya belum juga berangkat dari hotel murmer tempat ia menginap di seputar Legian Kuta. Jadilah saya menunggu penuh haru di sebuah mini market di depan gereja. Agar mobil bisa parkir di area parkir mini market itu saya belanja ala kadarnya sambil menggombali si penjaga toko yang bertingkah sok cantik dan berdandan ala artis-artis sinetron yang akhir-akhir ini meracuni otak anak-anak muda Indonesia, hanya demi dibilang gawul, sekali lagi gawul.

Lama menunggu tak kunjung datang akhirnya saya duduk-duduk di mobil sambil menikmati hiburan mendengarkan musik. Lagu-lagu campur sari Didi Kempot menemani saya pagi itu menunggu datangnya rombongan penganten 1.5 jam lagi. Tak berapa lama dan baru 5 lagu Didi Kempot saya dengarkan sambil berdendang, datang mobil pick up barang. Saya diusir dari parkir dan terpaksa parkir di belakang sana agak jauh dari gereja. Ternyata strategi menggombali penjaga mini market tak terlalu ampuh untuk merebut lahan parkir.

Lalu datanglah rombongan mobil. Yang pertama datang adalah mobil sejenis jeep wilis hitam dan keluarlah berhamburan orang-orang berpakaian hitam-hitam membawa senjatanya masing-masing. Team fotografi dan videografi yang kemudian saya tahu dari infocusbali yang saya tahu juga "online buddy" saya di Multiply, Bayu KW eh salah Bayu GD, bergerak cepat seperti pasukan Anti Teror Densus 88 meringsek sarang teroris.

Lalu mobil berikutnya adalah mobil-mobil mewah berkelas, parkir memenuhi halaman parkir gereja bahkan melimpah hingga di depan gereja. Saya melihat seseorang keluar berpakaian rapi berdasi, jas dan celana hitam, lalu dengan gentle dan gerakan lambat seperti di film-film, mengenakan Ulos, yang berwarna kemerahan di bahunya. Hitam dan merah berpadu indah. Mulutnya tak hentinya komat-kamit mengunyah permen karet yang sudah tak lagi manis. Lalu di sebelahnya turun seorang gadis berpakaian rapi juga, gaun merah muda. Saya berkesimpulan mereka adalah pasangan pengantin dan juga menikah pagi ini di gereja ini. Wah ada 2 pasang dong yang menikah.

Tak lama kemudian, datang rombongan lagi dan ada mobil yang paling mewah, sebuah Mercedes silver seri terbaru berhiaskan pita-pita berwarna cerah dan bunga-bunga berwarna ceria memasuki parkir gereja. Saya hanya perhatikan dari jauh, tak tampak batang hidungnya Binto. Saya jadi ragu dan was-was jangan-jangan bukan gereja ini yang dimaksud. Dan yang menikah sebenarnya orang lain. Semua pikiran buruk berkecamuk.

Orang-orang sudah siap dan semuanya berpakaian rapi berdasi, jas dan celananya berwarna senada. Berdiri berbaris-baris di depan gereja dan semuanya mengenakan ulos. Saya yang hanya berpakaian ala kadarnya dan saya pikir salah kostum, kemeja dan celana jeans butut, menenteng kamera butut D70, mondar-mandir gelisah tak tentu arah. Saya hanya berdiri di belakang sambil sekali-sekali menjepretkan kamera kesayangan saya itu yang ternyata sudah low bat. Tak enak hati rasanya bergabung bersama orang-orang berpakaian rapi dan ber-Ulos di depan sana. Untuk mengurangi rasa panik, saya menelfon si Hitam Roland yang pagi itu pula pulang dari Bali. Darinya saya mendapatkan informasi komplet seputar adat pernikahan Batak.

Tibalah pasangan pengantin keluar dari sisi kanan, lega rasanya karena si penganten memang Binto. Sungguh romantis mereka dan mukanya tampak sumringah, bisa jadi karena malam nanti adalah malam pertama bagi mereka. Mungkin saja sebuah handycamp yang standby di atas tripod siap merekam peristiwa langka nanti malam di kamar penganten berwarna merah jambu. Ah pikiran nakal saya jadi berkelana ke tempat yang paling kotor. Lalu si penganten berjalan memasuki gereja diiringi lagu-lagu yang sering saya dengar di film-film Amerika yang ada orang kawinnya. Lalu semua orang yang berpakaian rapi dan ber-Ulos itu memasuki gereja mengiringi kedua mempelai.

Dan prosesi upacara pun dimulai. Dengan muka tebal dan tak kenal malu saya masuki gereja dan duduk di deretan paling belakang, sendiri di kursi panjang itu. Tak lama menunggu akhirnya datang Anton bersama 2 temannya yang pagi itu tidak mandi, karena hotel murmernya mati lampu, mati air, matilah kau, kawan! Pelajaran berharga bisa dipetik dari peristiwa "tidak mandi dalam menghadiri upacara perkawinan" itu adalah jangan terlalu percaya dengan hotel murah meriah, kecuali Surattown saja, kawan! Datangnya Anton Cs, membuat hati saya lega, dress code-nya juga sama dengan saya, sehingga hati saya bertambah lega, lega seperti habis ujian pendadaran skripsi, yang baru-baru ini dilakukan ROland dan Mugi. Lalu upacara pun berlanjut terus, mondar-mandir fotografer "infocus" mengabadikan peristiwa langka itu. Saya yakin jepretan mereka tak akan out of focus. Suasana dalam gereja memang agak gelap, namun cahaya matahari menerobos masuk melalui celah-celah jendela lalu menembus salib yang menempel besar di dinding tinggi, membuat suasananya jadi tambah fotografis. Kuabadikan dari belakang saja.

Lalu upacara pun selesai, para hadirwan dan hadirwati satu persatu keluar, sedangkan di depan sana MC memanggil satu persatu keluarga untuk foto bersama penganten. Aku, Anton dan 2 orang temannya sepakat berangkat duluan ke tempat resepsi, karena jika dilihat dari expresi mukanya, Anton sepertinya sudah lapar, ditambah lagi bau badannya yang belum mandi sehabis dari perjalanan dari Surabaya yang katanya makan waktu 12 jam. Bau asem dari badannya serasi dengan mukanya.

Tiba di tempat resepsi, Hongkong Oriental, di bilangan by pass Ngurah Ray, kami kira langsung makan, karena waktu sudah menunjukkan jam 12 siang. Tapi ternyata akan ada prosesi upacara adat khas Batak. Bagi saya ini menarik tapi juga musibah, menarik karena saya bisa tahu adat khas Batak dan bisa jepret sana jepret sini. Musibah karena acara akan berlangsung lama, kasihan Anton yang sudah lapar, hehehe.

Kami duduk di tempat paling belakang dan upacara adat pun dimulai. Musik Batak di atas panggung bertalu-talu dan orang-orang sudah mulai berdiri berbaris rapi. Di luar sana sudah menunggu tamu-tamu adat dari berbagai klan Batak yang ada di Bali. MC yang bersuara lantang memanggil dengan bahasa Batak, saya terus terang tak paham sama sekali, tapi saya sok mengerti, si MC mempersilahkan keluarga tamu masuk. Lalu barisan keluarga penganten berjalan sambil menari Tor-tor menyambut ke pintu masuk tamu. Tangan mereka menari-nari dengan telapak tangan menghadap ke atas yang berarti menyambut, sedangkan rombongan keluarga tamu menari dengan tangan menghadap ke atas. Sungguh meriah upacara itu, serasi berpadu dengan ornamen gedung mewah itu, mewah sekali. Mungkin sewanya puluhan kali lipat basic salary-ku belum termasuk KKJK dan offshore allowance dan belum dipotong pajak 35%. Tamu-tamu dipersilahkan duduk sesuai dengan kursi yang sudah disediakan dan dikelompokkan berdasarkan marga. Upacara penyambutan masih berlanjut hingga semua tamu undangan masuk dan menempati tempat duduk. Anton yang sudah lapar tampak gelisah dan mondar-mandir kesana-kemari tak tentu arah. Tak sampai upacara selesai, saya terpaksa pulang duluan karena di rumah ada upacara yang tidak boleh saya tinggalkan. Melalui tulisan ini pula saya minta maaf kepada mu kawan, karena tidak bisa mengikuti upacara hingga selesai. Dan melalui tulisan ini pula Selamat Menempuh Hidup Baru, semoga menjadi keluarga sesuai dengan doa di gereja tadi pagi.

Menurut cerita dari sumber yang tidak bisa dipercaya, katanya, hotel murmer tempat Anton menginap masih mati lampu dan mati air. Sehingga Anton hingga balik ke Surabaya belum mandi-mandi juga. Capek deh, nggak ada ojek, becek....

Maaf jikalau ada kata-kata yg tidak sopan.

Tipu Lewat HP

Cerita-cerita penipuan lewat HP yang sering saya baca di email, kali ini saya temui sendiri. Tetangga saya di kampung baru-baru ini hampir kehilangan uang 10 juta rupiah. Kejadiannya menimpa 2 orang anggota keluarga yakni bapak yang sudah pensiunan dan anaknya yang pegawai bank swasta.

Ceritanya begini. Suatu siang si anak, sebut saja namanya Nyoman, sedang istirahat siang dan pergi makan siang naik motor di luar kantor . Ketika makan ia menerima SMS dari nomor tidak dikenal yang isinya menyatakan bahwa ia harus mematikan HP karena dalam satu hari itu HP-nya akan diteror seseorang. Tanpa pikir panjang ia matikan saja HP murahannya itu. Di rumah, si bapak, sebut saja namanya Pak Wayan, mendapat telfon dari seseorang yang mengaku bernama dokter Thomas, menyatakan bahwa anaknya si Nyoman mengalami kecelakan dan sedang dirawat di ICU rumah sakit A. Dokter Thomas mengatakan si Nyoman dalam kondisi kritis dan harus segera dioperasi. Jika terlambat sedikit maka nyawa Nyoman akan melayang. Dokter Thomas dengan meyakinkan menginformasikan agar Pak Wayan harus segera mentransfer uang 20 juta ke nomor rekening agar anaknya segera bisa dioperasi dan bisa diselamatkan.

Pak Wayan pun tak langsung percaya, ia mencoba menelfon anaknya. Namun tak bisa tersambung. Dengan logika sederhananya, ia membenarkan dan setuju jika mungkin anaknya memang sedang tak sadarkan diri. Pak Wayan yang punya ATM tapi udik spontan saja karena panik menyetujui syarat itu. Kemudian ia mengajak istri tercintanya, yang sudah ia nikahi lebih dari seperempat abad, pergi ke ATM ke bank tempat anaknya kerja, hendak mentransfer sejumlah uang yang diminta. Tapi ia hanya punya stock 10 juta, namun dokter Thomas menyetujui saja walaupun tidak bisa bayar lunas. Beberapa meter sebelum tiba di bank tempat anaknya bekerja, di sebuah tempat tambal ban, ia melihat sesosok orang yang ia kenal sedang menunggu motornya ditambal bannya. Sesosok orang itu adalah anaknya yang tampak masih segar bugar tak kurang suatu apapun. Tertawa bersenda gurau sambil menghisap batang putih yang ujungnya terbakar dan mengepulkan asap putih juga. Kontan saja Pak Wayan dan istrinya shock berat dan sadar karena baru saja ia kena tipu dan uang 10 juta simpanannya yang ia tabung selama 10 tahun hampir saja lenyap begitu saja. Ia bersyukur Yang Di Atas masih menunjukkan jalan terang padanya.

Hal aneh yang bisa ditarik dari cerita itu adalah kenapa si Dokter gadungan itu bisa tahun nomor HP si Nyoman dan Bapaknya. Tidak mungkin rasanya jika si dokter gadungan itu main spekulasi dengan mengirimi nomor sembarang. Pasti ada permainan orang dalam, setuju Kawan?

Bule Selalu Diistimewakan

Jika kita pergi ke suatu pusat pelayanan publik mulai dari Bandara, restoran, supermarket dan lain sebagainya kita pasti akan melihat perbedaan pelayanan antara tamu lokal dan tamu dari luar negeri. Tamu lokal akan diberlakukan ala kadarnya mulai dari mereka datang, disapa dengan senyum seadanya, lalu tanpa dipersilahkan sama sekali, cara mereka ditanyapun sekenanya bahkan sering dengan muka masam tanpa senyum.

Berbeza jika tamunya adalah bule atau paling tidak berwajah bule. Pelayanan super ramah pasti mereka berikan tanpa pamrih. Mulai dari ketika mereka datang, si pelayan pasang senyum 24 karat. Lalu dipersilahkan duduk dengan aksi sampai bungkuk-bungkuk. Lalu ketika bertanya dipenuhi dengan senyum sumringah. Jelas bertolak belakang dengan apa yang kita, sebagai tamu lokal, dapatkan.

Seharusnya pelayanan untuk umum seperti itu tidak membeda-bedakan suku, agama, ras dan juga status sosial. Karena status sosial, yang ditunjukkan dari penampilan, sering juga jadi pembeda dalam pelayanan. Sebut saja jika seorang yang masuk ke suatu restoran berpakaian rapi, muka bersih cling dan bahkan berdasi, mereka cenderung dilayani dengan wah. Padahal belum tentu status sosial mereka juga wah seperti penampilan mereka. Bisa aja mereka hanya sopir atau sejenisnya. Bertolak belakang jika yang hadir bercelana lusuh, kaos oblong, tas ransel dan rambut tak disisir. Orang dengan penampilan seperti ini sering diacuhkan, disepelekan. Padahal bisa aja si orang ini bosnya si rapi dan berdasi tadi, bisa aja kan?

Ya begitulah pelayanan ala Indonesia yang suka membedakan. Kata teman saya di luar negeri, hal seperti itu tidak ada. Pelayanan semua sama untuk setiap golongan, penampilan dan warna kulit. Meskipun di beberapa negara masih ada juga yang mendewakan ras (warna kulit).

Ketika Pura ada Atapnya

Orang-orang terhenti melakukan aktifitasnya, proses upacara terhenti secara otomatis karena hujan turun lebih dari sekedar rintik-rintik. Lalu orang-orang hanya duduk rapi dan pemimpin upacara juga tak bisa berbuat apa.

Pemandangan seperti itu sering kita lihat di setiap pura. Prosesi upacara terhenti ketika hujan turun. Tak ada yang mau berhujan-hujan ria. Kondisi ini tentu saja terjadi sejak dulu kala dan turun temurun. Jika dilanjutkan dengan menerobos hujan, orang-orang takut pada sakit dan malah tidak bisa melanjutkan upacara. Serba salah memang. Mungkin dari segi kesehatan, tindakan mereka tidak salah. Namun jika mereka tak terobos hujan, upacara jadi tertunda dalam, bahkan bisa mengulur-ulur waktu lama. Jika hujan terus saja tak berhenti dan jika ditunggu, bisa menyita waktu hingga larut malam.

Mungkin sepuluh atau dua puluh tahun lagi atau bahkan puluhan tahun lagi, seorang revolusionis mungkin akan melakukan revolusi, merancang pura yang ada atapnya. Berarti atap akan dibikin sangat besar dan tinggi, yang tentu saja bisa menaungi pelinggih-pelinggih di bawahnya. Tentu saja seluruh kegiatan upacara maupun non upacara tidak akan tergantung dari hujan. Namun bisakah tradisi ditembus? Mampukah orang itu akan mengubah tradisi turun-turun yang sudah menempel kokoh dalam benak setiap umatnya. Kita lihat saja nanti.

Ketemu Artis di Bandara

Dalam perjalanan bolak-balik Balikpapan-Denpasar baik via Surabaya, Jogja, Jakarta maupun via Makassar saya pernah beberapa kali ketemu artis ibukota atau sekedar melihat dari kejauhan. Yang pertama adalah ketika penerbangan dari Balikpapan via Jogja. Ketika turun pesawat dan sedang menunggu barang di conveyor, saya melihat Duta Sheila on 7 berjalan menuju pintu kedatangan. Tak ada yang menyambut atau mengelu-elukan dia secara histeris.

Kemudian ketika perjalanan dari Surabaya ke Balikpapan, ketemu Naif, salah satu favorit band saya. Si David Naif terlihat gempal dan pendek dengan rompi hitam dan kacamata khasnya. Dengan serta merta saya dekati saja tanpa rasa malu. Saya hanya sempat bersalaman karena waktu itu saya harus segera naik pesawat. Waktu itu mereka baru tiba dari Jakarta untuk konser di Surabaya.

Masih di Bandara Juanda Surabaya, waktu itu perjalanan dari Balikpapan ke Surabaya dan saya sedang menunggu pesawat Lion ke Denpasar. Biar gak bosan saya keluar melalui pintu kedatangan dan duduk sambil menyulut sebatang rokok di tempat tunggu taxi. Ketika asyik menghisap rokok putih beracun itu, ada seorang kurus kering ceking datang dan duduk di deretan kursi di samping saya. Ia sendiri dan sepertinya sedang menunggu jemputan. Saya masih penasaran apakah ia benar Fariz RM penyanyi jazz legendaris itu. Saya perhatikan dengan seksama dan dia cuek saja sambil menelfon dengan HPnya. Saya bahkan foto dia dari jarak jauh dengan HP. Setelah saya benar-benar yakin ia adalah Fariz RM dan hendak mendekati dan hendak berkenalan eh ia malah ngeloyor pergi mendekati mobil jemputan yang sudah datang. Gak jadi deh kenalan atau sekedar minta tanda tangan.

Baru-baru ini dalam perjalanan dari Bali ke Balikpapan, ketika hendak masuk ruang ke ruang check in, saya melihat dari jauh orang berambut gondrong berkacamata dan di lehernya tergantung kamera DSLR. Ketika lebih mendekat saya tahu mereka adalah Nidji yang besok malam akan konser di Singaraja, Bali. Ternyata Giring Nidji juga hobby fotografi dan ketika saya tanya ia hanya menjawab, "Ah saya cuman pemula, Mas". Tapi sayang waktu itu saya tak bawa D70 sehingga tak bisa mengabadikan mereka.

Dan yang terakhir adalah ketemu Andrea Hirata. Waktu itu juga dalam perjalanan ke Balikpapan dari Denpasar, ketika saya memasuki ruang check in dan sedang memasukkan barang di X-Ray conveyor. Di belakang saya terlihat orang berambut Ikal dengan kemeja hitam dan topi khas si Andrea Hirata si Laskar Pelangi itu. Ia bersama seorang wanita gendut dan hitam. Sebenarnya waktu itu sudah akan menyapanya, tapi ketika saya teliti lebih jauh kok seperti bukan dia ya. Orang itu agak gendut dan mukanya capek. Apakah Andrea sekarang lebih gendut seperti itu, berbeda dengan yang saya lihat di internet atau koran. Dan akhirnya saya tidak jadi menyapanya. Padahal setelah cari-cari informasi, 2 hari yang lalunya memang ada pre-launching novel Maryamah Karpov di Gianyar Bali. Dan sepertinya orang itu adalah si Ikal yang sekarang jadi milyarder itu.

Lupa Matikan HP di Pesawat

Off yang lalu di awal Desember, aku lupa mematikan HP. Waktu itu aku pulang via Makassar bersama Garuda. Pada penerbangan dari Balikpapan ke Makassar tidak ada masalah, HP sudah dimatikan. Namun ketika berangkat dari Makassar ke Denpasar aku sama sekali tidak ingat mematikan HP butut itu.

Masalahnya waktu itu aku konsentrasi hendak menemui anaknya Pak Richard yang waktu itu juga satu pesawat ke Bali. Menunggu sms-ku dibalas, tak kunjung datang balasan. Ketika naik pesawat aku sudah kirim sms terakhir ke si ms dudul mengabarkan bahwa aku sudah boarding. Hendak hati menunggu balasannya akhirnya aku malah jadi lupa. Ditambah aku waktu itu bawa buku "Kumpulan Cerpen Terbaik Indonesia" yang asik kubaca, lengkap sudah kelupaan itu. Saat terbang juga sama sekali aku tak ingat untuk matikan HP. Aku hanya terfokus pada buku yang kubaca dan fokus ingin bertemu anaknya Pak Richard. Apa mau dikata, ketika pesawat mendarat dan akan turun pesawat, aku iseng hendak menyalakan HP. Eh HP masih menyala dengan sinyal penuh sama sekali. Aduh kagetnya aku setengah mati hingga hampir tak bisa bergerak aku menuruni pesawat. Tapi syukurlah tidak terjadi apa-apa selama penerbangan 1 jam itu.

Setiba di Ngurah Ray, aku bersama ms dudul makan malam di KFC yang membosankan. Lalu aku pinjam motornya tuk pulang ke Tabanan. Asiiiiikkkkkkkkkk....