Tuesday, June 17, 2008

Pak Somat Ahli Bengkok Tubing

Sudah hampir 25 tahun Pak Somat bekerja disini. Anjungan nan rapi dan berwarna kuning. Ia bekerja sebagai ahli bengkok tubing yang selalu membengkokkan tubing dengan hati, dengan seni. Hasil karyanya menghiasi setiap anjungan. Tak ada yang bisa mengalahkan keindahan hasil bengkokan tubingnya.

Wajahnya sudah mulai keriput, usianya sudah menjelang pensiun, 2 tahun lagi. Namun ia tak bosan, tak juga muak membengkokkan tubing-tubing berukuran 1/4 hingga 3/4 inchi. Tangannya yang kokoh berotot, berwarna hampir terbakar, lincah dan gesit memainkan binder sesuai ukuran tubingnya. Jari-jarinya dengan cekatan memutar alat pemotong tubing, memotong tubing sesuai dengan ukuran yang dikehendakinya, akurat dan tak ada bandingannya. Rambutnya yang mulai tumbuh putih tak menyurutkan langkahnya, mulai dari bawah, bahkan naik ke tiang-tiang melebihi tinggi badannya ia mengukur, membengkokkan lalu memasang nut di setiap ujung tubing. Terakhir ia memasang tubing pada konektor yang bersesuaian. Benda keras dan kaku itu menjadi sungguh indah dipandang mata.

Jalannya tegak, badannya kokoh menahan beban pekerjaan yang selalu ditimpakan padanya, tatkala sang atasan menginginkan hasil maksimal. Ia selalu dipercaya di setiap kesempatan. Ia adalah pekerja berdedikasi tinggi, ia bertanggung jawab dan pantang menyerah. Sosok yang benar-benar menjadi inspirasiku saat ini. Aku tertegun, ia lugu namun cermat dan cerdas. Sopan namun bisa menyegarkan suasana tatkala terjebak suatu obrolan bersamanya.

Suatu hari ia mendapat tugas memasang sebuah safety device di sebuah anjungan kaki 3 yang berjarak 15 menit dari tempat biasa ia bekerja, dengan boat tentunya. Anjungan itu terdiri dari 7 sumur menjulang ke bawah angkuh menancap mencakar samudera. Kaki-kaki anjungan yang berwarna kuning bersih bebas karat kokoh berdiri sejak 10 tahun yang lalu. Sumur-sumur berletakan saling-silang membentuk deret geometri yang indah. Warnanya yang juga kuning berpadu dengan warna laut dan langit yang biru, sungguh indah hari itu. Awan-awan rendah berarak-arakan seolah mengucap kata bahagia di hari yang cerah itu. Awan yang putih bagai kapas dipadu dengan indahnya langit yang biru, sungguh fotografis siang itu. Matahari bersinar dengan lembut, mengantarkan Pak Somat pada gelombang yang sedikit pasang.

Siang itu Pak Somat tertegun menatap sumur-sumurnya yang kian hari kian sedikit mengucurkan minyak mentah. Ia sedih, kelak seperti apa nasibnya jika sebelum pensiun sumur-sumur itu sudah tak sanggup mengucurkan minyak untuknya lagi. Kelak anak-anaknya yang masih sekolah diberi makan apa jika seandainya ia terpaksa tak bisa mengais-ngais sumur minyak -yang mulai kering- itu lagi. Ia masih tertegun meskipun ia sudah berdiri sejak tadi di bawah naungan sumur-sumurnya itu. Ia menarik beberapa tubing lalu meletakkan dekat ia berdiri. Ia mulai melihat dan mengamati lalu membayangkan kira-kira kemana akan ia lewatkan tubing-tubing yang harus dibengkokkan. Pikirannya mulai menggambar di awang-awang agar hasilnya akurat dan juga indah. Otak kanan dan kirinya bekerja dengan seimbang.
Ia lalu mengambil pensil penanda dari balik saku baju overallnya yang penuh percikan cat. Lalu menandai setiap ukuran dan mulai membengkokkan setiap tubing dengan sigap dan tepat. Peluhnya yang hangat membasahi keningnya yang berkerut, mengalir melewati pipi yang sudah tak lagi kencang, lalu menetes jatuh membasahi lantai anjungan yang penuh bekas jejak-jejak sepatu safety. Ia tak gentar meskipun terik mentari katulistiwa mengenai tepat bahunya yang masih kokoh dan tak bungkuk sedikitpun. Ia tak silau oleh pantulan sinar mentari mengenai air laut yang berkilau-kilau bagai berlian. Hingga matahari tepat di atas kepala, ia masih melanjutkan pekerjaan yang sudah di luar kepala baginya. Padahal jam makan siang sudah seharusnya ia tepati. Namun keasyikkan dirinya mengalahkan segalanya, itulah dedikasinya bagi perusahaan. Disela-sela ia berkutat disela-sela tubing lalu ia berhenti, menari nafas dalam-dalam seakan hendak menghirup seluruh udara di muka bumi ini. Lalu ia menatap sumurnya lagi, kelak aku akan buat kau menangis, menangis mengucurkan minyak bumi sebanyak-banyaknya ke muka bumi. Agar ia bisa melanjutkan kerja ini, hingga ia pensiun, atau bahkan seribu tahu lagi, agar kelak anak cucunya juga bisa menikmati apa yang ia nikmati hari itu.

Tampaknya ia sudah tak tahan untuk segera menyulut rokok kegemarannya. Lalu ia turun menuju boat landing dan melompat ke atas crew boat yang sudah sejak tadi pagi mengantarkan ia ke anjungan kaki tiga ini. Ia duduk di atas kotak berwarna merah bertuliskan PPE, lalu mengeluarkan sebungkus Gudang Garam dan menyulut salah satu. Sedotan demi sedotan ia padukan dengan merem melek matanya yang dimabuk asap nikotin. Ia seakan lupa panas yang tadi menerpa keningnya, menerpa keringatnya yang jatuh membasahi lantai-lantai kotor penuh kepingan karat, terhapus oleh asap-asap tebal rokoknya.

Ia adalah perokok berat, 2 hingga tiga bungkus ia habiskan sehari. Ia sudah merokok sejak ia masih muda, sejak pacarnya belum menjadi ibu dari anak-anaknya sekarang. Ia merokok di setiap ada kesempatan, bahkan makanpun ia tunda jika sedang asyik menikmati asap penuh racun ini. Saking fasihnya merokok, bahkan di saat ia tak merokokpun, kedua jarinya, telunjuk dan jari tengahnya mengacung seolah menyelip rokok. Rokok sudah merasuk dalam sanubarinya. Rokok sudah menjadi semboyan hidupnya dan rokok adalah nafasnya.

Suatu hari Pak Somat tak kulihat masuk kerja, tak kulihat ia menggotong-gotong tubing yang panjangnya 4 meteran, seperti biasa yang kulihat di hari-hari sebelumnya. Hanya kulihat kotak tool yang ia selipkan di bawah barisan tubing-tubing karya indahnya. Menurut salah seorang kawan, ia menjalani operasi di Jakarta karena menderita serangan jantung. Ia terpaksa harus dioperasi untuk memasang cincin di pembuluh darah yang dekat jantung, karena terjadi penyempitan parah. Supply oksigen jadi berkurang ke jantung dan itu juga yang membuat jantungnya terasa nyeri, nyeri sekali waktu itu. Aku harap ia segera sembuh dan kembali ke anjungan yang indah ini, melewati hari-hari bersamaku lagi. Aku harap bukan hanya tubing-tubingnya yang menghiasi sudut-sudut anjungan ini, tapi juga humor-humor segarnya yang tak pernah basi. Aku harap Pak Somat cepat pulih seperti sedia kala.

Kini Aku Jauh (Lagi) Darimu

Sudah hari ke empat aku membenamkan diri dalam gelombang selat makassar. Sudah empat siang aku terbakar panas mentari ekuator. Sudah empat malam aku jauh darimu, sayangku. Aku tak kuasa menahan rindu. Ingin rasanya segera kutemui dirimu, bertemu dan menemukan dirimu dalam irama syair yang penuh lagu rindu. Aku tembus dinding nan kokoh, aku tepis gelombang nan ganas, aku terobos arus pasang yang menggilas. Tapi aku tak mampu, aku harus lanjutkan sisa 10 hari lagi.

Aku mulai merasa bosan. Mulai merasa kewalahan menghadapi kesendirian jiwaku. Aku mulai merasa sangat perlu dan butuh saat-saat yang bahagia seperti biasa kita bertemu. Aku mengoyak senja, menerjang malam. Aku berselimut dingin lautan dan berbantal kepingan karat. Aku diberi kekuatan malam, aku dikuatkan siang, aku akan mengejar bayangmu.
Disela-sela aku rindu, aku selalu sempatkan tuk mendengar suaramu nan syahdu. Aku selalu sempatkan berkabar dan mendapatkan kabar darimu. Aku goreskan setetes rindu dalam huruf-hufur digital, lalu kukirimkan bersama angin, menembus awan ribuan kilometer, ke tempatmu nun jauh di sana.

Tak lama lagi, panas katulistiwa ini akan segera berlalu. Jeritan mesin-mesin yang berputar berkecepatan tinggi akan sirna ditelan gelombang samudera. Kepingan-kepingan karat akan lenyap bersama semburat matahari senja yang tenggelam di ufuk barat. Lalu aku meloncat dari pulau ke pulau, aku lewati 3 pulau, aku lalui 3 kota besar negeri ini. Aku menerjang lembutnya awan-awan, membubung di ketinggian 20000 kaki. Melesat melebihi kecepatan mobil balap, menghampiri kecepatan suara, melampaui cahaya. Lalu mendengar lagi bisikan lembutmu.
Aku juga berharap. Rindu ku akan segera terkabulkan. Akan segera termanjakan tawa-tawa renyah dari bibirmu yang selalu berhias senyum. Aku harap rindu kita segera menyatu dalam lagu, berdendang tembang cinta dan menggali sumur asmara untuk semburkan lagu suka cita. Kita akan menjadi insan yang dimabuk asmara, dirasuki dewi ratih dan dewa asmara, menari berdendang di bawah sinar rembulan, terang.
Aku rindu...

>> Room 313A 4th day <<

Kelas Ekonomi Surabaya-Balikpapan

Hari ini aku datang lagi ke kota minyak melewati Surabaya. Dan aku akan menginap semalam disini, di tempat biasa, Surattown. Tak terasa sudah beberapa kali ini aku tidak berangkat melewati Surabaya. Aku masih trauma naik Lion Air beberapa bulan yang lalu karena waktu itu pesawat ditunda sekitar 6 jam. Pesawat harusnya berangkat jam 17:40 WIB namun karena alasan yang tidak jelas, dan diumumkan oleh petugas, pesawat tertunda dan akan diberangkatkan pukul 20:45. Dan tibalah jam keberangkatan ini. Namun panggilan tak kunjung datang. Petugas juga tak menginformasikan ulang kalau ada keterlambatan lagi. Menunggu dalam ketidakpastian, akhirnya pesawat diberangkatkan tepat pukul 24:00. Tengah malam bolong. Dan bisa dihitung, pesawat tiba di Balikpapan jam 02:30 subuh. Sungguh mengecewakan pelayanan maskapai ini. Bahkan setelah jam 02:30 itu pun pesawat masih melanjutkan penerbangan ke Surabaya. Bayangkan, berapa jam penumpang BPN-SBY menunggu di ruang tunggu pesawat.
Untungnya, kemaren malam pesawat tak tertunda terlalu lama. Bukan Lion Air namanya kalau tidak ada delay. Pesawat sudah berangkat jam 19:00 WIB. Aku akhirnya sampai kota minyak 1,5 jam kemudian. Lega.

Rute Surabaya-Balikpapan memang merupakan rute super sibuk. Pesawat yang mengambil rute ini juga banyak. Mulai dari Lion, Mandala, Citilink, Batavia, hingga Adam Air (dulu). Hampir semua maskapai mengambil rute ini, mungkin hanya Merpati dan Garuda yang tidak melakukannya. Pengalaman terbang dari Surabaya-Balikpapan vv merupakan pengalaman yang unik dan menggelitik. Pasalnya, suasana yang muncul adalah suasana penumpang yang merakyat mirip suasana di stasiun kereta kelas menengah ke bawah atau terminal bus. Penumpang bervariasi dari mulai kelas atas hingga kelas ekonomi melarat hadir dalam satu pesawat. Tak ayal lagi, kita bakal menemukan gerombolan penumpang berpakaian lusuh mirip di kereta api ekonomi. Meskipun saya juga berpenampilan selalu lusuh. Ada banyak penumpang yang kayaknya baru pertama kali naik pesawat. Sehingga mereka ada yang salah mengambil kursi. Mereka duduk sembarangan tanpa melihat nomor di boarding pas, mereka mungkin samakan dengan sistem di bus kota. Kita juga akan melihat penumpang membawa tas atau barang bawaan yang banyak ke kabin dan pasti menaruhnya di bawah kursi. Dengan sabar pramugari memberi tahu kalau tasnya musti di taruh di bagasi kabin di atas tempat duduk penumpang. Ada penumpang yang masih saja mengobrol lewat HP padahal pesawat sudah mau tinggal landas. Suara tangis bayi terasa biasa pada penerbangan rute ini. Disana akan banyak penumpang yang membawa serta bayinya. Mungkin karena tak biasa dengan suasana ramai, atau sang ibu yang kurang lengkap membawa peralatan bayi, sehingga si bayi menjadi kurang nyaman. Menangislah sejadi-jadinya tanpa tau dimana ia sedang berada. Suara tangis bayi, suara pramugari yang memberi tahu penumpang, suara orang teriak-teriak lewat handphone plus bau yang agak menyengat jadi satu menimbulkan suasana khas penerbangan rute Surabaya-Balikpapan yang merakyat.

Disamping itu, suasana juga sangat ramai dan berisik. Penumpang yang mau masuk ke pesawat sibuk mengobrol dengan sanak saudaranya dengan suara yang cukup keras terdengar dari jarak 10 meteran. Bahasanya pun masih medok menggunakan bahasa daerah masing-masing. Jadi lucu dan sedikit menghibur.
Di ruang tunggu bahkan kadang-kadang benar-benar mirip terminal bis kota. Ada penumpang yang dengan seenak perutnya tiduran di atas 3 deretan kursi saking lamanya menunggu pesawat delay. Di sisi lain ada penumpang yang terpaksa berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Perilaku yang paling katrok adalah ketika melakukan antrian, ada yang menyerobot kanan kiri tidak perduli dengan penumpang lain yang sedang antri di sebelahnya.
Pada penerbangan hari kemaren saya agak kecewa namun juga senang. Kecewa karena saya duduk bersebelahan dengan ibu-ibu yang menggendong anak kecil. Otomatis ruang gerak saya menjadi terbatas. Saya duduk dekat jendela dan si ibu di 'aisle', di deret 2 kursi. Anak 1 tahunnya yang ramai dan hiperaktif mengusik lamunan saya malam itu. Ia berusaha mengambil buku yang sedang saya baca. Ia menunjuk-nunjuk pesawat yang ada di luar sana. Ia juga menunjuk-nunjuk ke arah pramugari. Entah dia mengisyaratkan padaku bahwa pramugarinya cantik atau hanya ia sekedar tertarik dengan kecantikan sang pramugari pada usia segitu? Sepertinya tidak ada dugaanku yang benar. Aku hanya menikmati malam gerah itu. Lubang-lubang AC kuputar namun yang keluar hanya udara dingin bertekanan lemah, hanya tekanan sisa-sisa.

Ketika pesawat sudah take off dan pada ketinggian idle, anaknya sedikit tenang dan malah tidur. Aku pun bersyukur. Aku menarik nafas lega karena AC mulai mengeluarkan suara-suara dingin. Belum berhenti tarikan nafasku. Si ibu mulai mengambil sesuatu di bawah tempat duduknya. Ia mengeluarkan tas tenteng dan menaruh di kursi depannya dengan cara menggelantungkan. Aku hanya manggut-manggut dalam hati. Lalu dia minta maaf yang malah diikuti dengan naiknya kaki kirinya ke sandaran kursi di tangan kananku, lalu menempatkan kepala anaknya di atas pahanya yang gembrot. Otomatis ruang gerak tangan kananku jadi terganggu dan cenderung tak bisa bergerak karena kepala anaknya agak masuk ke wilayah kursiku. Aku keberatan namun mau bagaimana lagi. Selang beberapa lama penumpang di depanku menurunkan sandaran kursinya sehingga ruangan di depanku semakin sempit. Aku jadi semakin terdesak. Lengkap sudah 'penderitaan' malam itu. Aku urungkan niatku untuk melanjutkan membaca buku saku yang aku siapkan dari rumah untuk dibaca di pesawat. Aku lebih baik bersandar manis di kursi sambil kucoba untuk tidur dengan memejamkan mataku.

Disamping kecewa aku juga merasa senang. Sebabnya adalah sedikit tidak, walaupun sedikit, paling tidak aku sudah membantu memberikan tempat yang agak nyaman buat si ibu meski aku jadi 'korban'. Aku hanya merasa iba melihat si ibu tanpa suami melakukan perjalanan Surabaya-Balikpapan dan harus melajutkan perjalanan malam itu juga ke Samarinda yang berjarak 2 jam dari Balikpapan. Bisa dibayangkan jika dalam waktu penerbangan 1,5 jam tadi ia duduk menggendong anaknya yang cukup montok hanya dengan tangannya, pasti pegal dan capai sekali. Sedikit tidak dengan naik kaki kirinya membantu tugas tangannya memberi rasa nyaman anaknya yang tidur. Bahkan mungkin aku tak tau, bisa jadi kaki kirinya mungkin kesemutan karena ditekuk dan ditindih selama waktu itu. Sungguh perjuangan yang mempesona, menurutku. Aku hanya bisa membayangkan kelak aku punya istri dan mengalami suasana seperti itu, aku harap tangan-tangan maha dahsyat memberi jalan yang terang dan mudah.

NB: Boarding pass Lion sekarang hanya selembar kertas putih HVS yg tipis dipotong berbentuk boarding pas biasa. Sungguh ekonomis sekarang.
Pagi-pagi di Surattown 3 June 2008

Thursday, June 05, 2008

Kangen Jogja

Tiba-tiba aku merasa rindu sekali dengan Jogja. Tadi malam aku bermimpi kuliah lagi dan bergabung dengan teman-teman yang dulu. Bahagia sekali rasanya mengingat masa-masa indah dulu. Masa penuh tawa, masa tanpa beban apa-apa. Berjalan lurus pantang mundur dan seolah tak pernah ada halangan.

Terakhir aku menginjakkan kakiku disana sekitar 4 bulan yang lalu. Waktu itu melakukan sesi fotografi yang sudah lama dinantikan. Sebelumnya, aku juga telah menginjakkan kakiku ketika adikku Wisuda tahun yang lalu. Dan yang terakhir dan merupakan detik-detik terakhir penutup aku disana disaat aku wisuda 21 November 2006. Semuanya berlalu bersama gelombang kenangan yang bergetar dalam setiap aliran darah di sekujur tubuhku.

Jogja memang penuh kenangan. Jogja adalah kota segalanya, yang memberi segalanya bagiku. Di sana juga cintaku sempat berlabuh, hanyut, karam dan terdampar. Di sana juga mimpiku tuk jadi musisi terkenal dan punya album kenangan kandas di pinggir jalan. Di Jogja juga tubuhku pernah dilindas meteor jutaan ton, dihempas topan ribuan kilometer per jam dan dibakar suhu jalanan ratusan derajat Fahrenheit. Di sana juga segalanya dimulai. Aku mulai belajar, aku mulai merangkak dari nol. Aku mulai mengaduh, aku mulai tertawa. Aku mulai membasuh muka, aku mulai berteriak pada dunia.

Jogja juga menjadi jendela dunia fotografiku. Disanalah gudang foto terpampang dengan gratis. Disana bakat terpendamku sedikit terkuak namun tak juga layak bersanding dengan potret dunia. Aku meloncat, terbang dan melesat melebihi kecepatan cahaya. Mencabik-cabik tombol dan memutar-mutar diafragma dengan kecepatan cahaya. Aku membingkai alam dalam sebuah tema dan memebekukan setiap gerakan di dalamnya. Aku tertawa bersama sinar mentari pagi dan gembira diterjang langit biru.

Di Jogja juga aku sadar betapa arti persahabatan, arti keramahtamahan. Tak ada yang mengalahkan ramah tamah orang Jogja. Mereka tersenyum tanpa pamerih. Mereka tertawa menutupi derita. Mereka berdoa pada dunia. Mereka bersahabat tanpa mengharapkan imbalan, tulus. Mereka adalah bagaikan Tugu Jogja yang berdiri kokoh diterjang mentari, jogja dan tegar.
Tiba-tiba aku rindu Jogja. Kapan aku bisa ke sana lagi, bersenda gurau dan menyenangkan hati. Apakah kau masih menunggu disana? Bersama tombol-tombol cahaya?
Someday I'll be there..