Thursday, December 12, 2024

Ibuku Yang Pendiam, Namun Menginspirasi

Di sebuah desa kecil di pinggiran sebuah kota kecamatan, hiduplah seorang ibu bernama Bu Putu. Dia bukanlah sosok yang menonjol atau suka bicara panjang lebar. Bu Putu lebih dikenal sebagai pribadi yang pendiam, sederhana, dan apa adanya. Namun, di balik sikapnya yang tenang, ada kekuatan besar yang menginspirasi keluarganya, khususnya kami anak-anaknya. 

Bersama bapak, ibuku adalah seorang pedagang toko kelontong kecil di pinggiran pasar tradisional. Setiap pagi, sebelum matahari terbit, jam 5 subuh, ia sudah bangun untuk mempersiapkan dagangannya. Barang yang dijual mulai dari sepatu, sandal, tas, baju hingga peralatan sekolah lainnya. Begitu buka toko, semua barang digelar dan ditata di depan toko. Sehingga memerlukan waktu beberapa menit untuk menggelar semua dagangan. Aku selalu ikut bangun pagi membantu ibu buka toko, sebelum mandi dan berangkat sekolah. 

Yang membuat ibuku istimewa adalah caranya menjalani hidup. Ia jarang sekali berbicara panjang lebar, bahkan kepada anak-anaknya. Namun, lewat tindakannya, ia mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang sangat dalam.  

Ibuku adalah gambaran nyata tentang kerja keras, setidaknya menurut anak-anaknya. Ia tidak pernah mengeluh, meskipun pekerjaannya berat dan hasilnya sering kali pas-pasan. Dalam diamnya, ia mengajarkan anak-anaknya bahwa keberhasilan tidak datang begitu saja. Setiap pagi, hingga sore kami melihat ibu berjuang tanpa henti, meski terkadang tubuhnya lelah. Meskipun terkadang pembeli tidak ramai, tapi selalu bersyukur dengan berapapun rejeki hari itu. 

"Kerja keras itu seperti menanam benih," kata Ibuku suatu ketika kepada adikku, Kadek. "Mungkin hasilnya tak terlihat sekarang, tapi nanti kita akan panen jika sabar."  

Awalnya aku tidak mengerti maksud kata-kata itu. Namun, seiring waktu, aku melihat sendiri bagaimana ibu terus berusaha tanpa menyerah. Ketika dagangan tidak laku, ibu tidak pernah marah atau menyalahkan orang lain. Ia hanya tersenyum dan berkata, "Rejeki itu kadang memang begitu, hari ini sedikit, besok bisa banyak. Tenang saja, sudah diatur oleh Yang Di Atas." 

Sikap ibu kepada orang lain juga menjadi pelajaran berharga. Ia selalu membantu saudara yang kesulitan, meskipun dirinya sendiri tidak hidup berlebih. Misalnya, ketika salah satu keluarga dekat butuh uang untuk membuka usaha, ibu tanpa banyak bicara memberikan sebagian penghasilannya.  

"Bu, kenapa Ibu kasih uang ke mereka? Kan kita juga butuh," tanya ku suatu ketika.  

"Rejeki itu titipan, De. Kalau kita bisa membantu orang lain, berarti kita sedang menyalurkan apa yang Tuhan titipkan kepada kita," jawab ibu dengan tenang.  

Jawaban itu terus terngiang di kepalaku hingga dewasa. Aku belajar bahwa kebaikan tidak perlu diumumkan atau dibanggakan, cukup dilakukan dengan tulus dan ikhlas. 

Ibu juga adalah seorang yang teliti dalam menyiapkan berbagai hal. Jika kami di kampung akan mengadakan kegiatan adat, ibu selalu paling pertama sibuk mulai dari persiapan hingga mengatur kami anak-anaknya dan sanak-saudara dalam menyiapkan, mulai dari makanan hingga rangkaian janur yang dibutuhkan. Ibu selalu mencatat lalu membagi tugas dengan rapi sehingga kami semua merasa terlibat dan saling support. Seberat apapun pekerjaan jika dikerjakan secara bersama-sama, pasti jadi lebih ringan, begitu ibu sering menyemangati. 

Sebagai seorang ibu, ibuku memiliki gaya mendidik yang unik. Ia tidak pernah memarahi anak-anaknya dengan bentakan, apalagi sampai bermain tangan. Sebaliknya, ia lebih banyak memberikan contoh lewat perilaku. Walk the talk kalau kata anak jaman sekarang. 

Misalnya, ketika adikku pernah membuang sampah sembarangan, ibu tidak langsung memarahinya. Ia hanya memungut sampah itu dan membuangnya ke tempat yang benar sambil berkata, "Bumi ini rumah kita juga, Nak. Kalau kita kotori, siapa yang rugi?"  

Sikap sederhana ini justru lebih membekas di hati kami, anak-anaknya. Kami secara tidak langsung belajar bahwa tindakan kecil seperti membuang sampah pada tempatnya adalah bagian dari tanggung jawab kami sebagai manusia.  

Suatu ketika ibu sakit, namun ibu tidak menunjukkan rasa sakit sedikitpun. Ia tetap beraktivitas seperti biasa seperti tidak ada apa-apa. Ibuku memang tegar dan kuat. Kami anak-anaknya kadang lebih sering cengeng dan manja walaupun secara fisik seharusnya kami lebih kuat. 

Di akhir cerita ini, kami diingatkan bahwa ibu bukan hanya seorang yang melahirkan kita, tetapi juga guru terbaik yang mengajarkan cinta, ketulusan, dan kesederhanaan. Bukan lewat kata-kata, tapi lewat tindakan nyata yang penuh makna. 

Ibu, kami rindu denganmu. Semoga engkau tenang di alam keabadian. 
 

No comments: