Tuesday, July 09, 2024

Reformasi Ngaben di Bali

Sudah waktunya sistem ngaben di Bali direformasi. Terlepas dari tujuannya yang sangat mulia dan prosesnya yang harus ikhlas. Harus diakui, upacara ngaben memakan biaya yang tidak sedikit. Sudah banyak terlihat di masyarakat ngaben menguras banyak uang, waktu dan tenaga. 
Memang ngaben ada tingkatan2nya. Tapi kadang di masyarakat ada sebuah standar tidak tertulis kalau ngaben ya yang gitu aja. Bahkan untuk tingkat yang paling nista pun masih cukup mahal untuk orang miskin. 

Memang ada ngaben masal. Namun beberapa tradisi di suatu desa atau di sebuah keluarga tidak pernah mengikuti ngaben masal sejak dulu para leluhurnya ada. Jadinya, demi menjaga tradisi dan tidak berani mengubah apa yg diwariskan, mau gak mau harus ngaben sendiri di rumah. Tentu saja ketika generasi sekarang punya uang pas2an, solusinya adalah jual warisan atau jika zonder warisan terpaksa berhutang. Sudah miskin, berhutang lagi. Tidak mampu bayar, dikejar2 debt collector. Karena tidak tenang hidupnya, sakit kronis muncul. Jadinya beban hidupnya kian bertambah: udah punya hutang, dikejar debt collector lantas punya sakit yg menguras dana dan pikiran. Lengkap sudah penderitaanmu kawan. 

Sudah waktunya ngaben direformasi, dibuat lebih simpel, lebih hemat waktu dan tenaga. Saya bermimpi ngaben bisa diselesaikan dalam waktu setengah hari, ngelanus, sehari tuntas. Biaya habisnya 1 juta saja sudah cukup, atau maksimal 5 juta lah. Coba pikir, udah keluarganya meninggal, persiapan ngaben begitu lama, pengeluaran biaya juga bejibun. Bisa dibayangkan peningnya kepala penyandang dana. Jangan2 orang Bali takut mati bukan karena takut masuk neraka, namun takut karena tidak mampu bayar biaya ngabennya. 

Apa sejatinya ngaben itu? Mana yang lebih penting, doa sang pandita yang muput ngaben atau besar kecil banten ngaben? Mungkin saja ada jawab: antara banten dan doa saling melengkapi. Semoga saja bantennya bisa diperingkas, atau minimal diambil yang paling esensial saja. Pikiran bodoh saya, tinggal doa sang pinandita yang diperkuat agar mampu mengantarkan sang atma menuju alam sunya dengan lancar.

Di sisi lain sang pemimpin upacara, alangkah baiknya pula memberi pencerahan agar umat lebih tercerahkan. Tidak memeteng dalam menjalani setiap upacara dengan seabrek upakaranya. Bukan sibuk jualan banten saja. Mohon maaf, masa bhiksuka yang seharusnya fokus pada kehidupan spiritual, para penjual banten malah sibuk berbisnis yang nota bene masih keduniawian. 

Disisi lain tak kalah penting mengajari umat sedharma untuk lebih bersyukur dan menjalani gaya hidup sederhana, secukupnya. Ngaben tidak perlu jor-joran. Ngaben bukan ajang pamer kekayaan. Bukankah uang segitu banyak yang keluar untuk ngaben,  lebih elok dipakai semaksimal mungkin saat ortu kita masih hidup. 

Terakhir, jika karma adalah penentu seseorang bersatu denganNya, lantas buat apa upacara ngaben yang megah itu. 


No comments: