Monday, February 01, 2010

Balikpapan (revisited, again)

Untuk kesekian kalinya aku transit lagi di Balikpapan, walaupun hanya sebentar, hanya 4 jam untuk meneruskan perjalanan panjang dari Bali tadi pagi via Surabaya lalu dari Balikpapan menuju lepas pantai selat Makassar yang indah.

Semuanya terasa hampa, hambar dan tawar. Jika tadi terakhir kalinya aku melihat senyum-senyum renyah dari bayiku, kini senyum itu hanya bayang-bayang, yg terus terbayang di mataku. Ingin rasanya membolos kerja dan menumpahkan segala kerinduan bersama kedua orang yg kucintai, istri dan anakku, namun kewajiban lebih utama. Aku harus mampu dan bisa menahan gejolak emosi ini. Semoga juga istriku senantiasa memiliki jiwa yang kuat dan tegar.

Tadi selepas dari turun pesawat aku langsung menuju pintu keluar dan mendapati angkot nomor 7 sudah menunggu, ternyata ada Puguh dan Mas XXX disana. Tak lama Yudi juga datang dan bersama menuju terminal DAM. Lalu turun dan semuanya memisahkan diri sesuai tujuan masing-masing. Aku mampir di warung guna membeli amplop dan sebotol minuman ion. Lalu makan di warung ayam goreng seharga 11 ribu rupiah sudah termasuk es teh manis. Kenyang dan nikmat juga makan di warung tenda sederhana itu.

Lalu aku langsung menuju bank Niaga, ketemu Mbak Yusi guna menyelesaikan urusan terakhir dan sehabis itu aku putuskan ke warnet samping Happy Puppy sambil menunggu jam 5 tiba. Lalu aku corat-coret sketsa ini, sekedar untuk catatan kelak 5 atau 10 tahun lagi bakal menjadi sejarah yang tak terlupakan, biar ada yg dibaca.

Lalu aku terlibat chatting dengan Ibu Santi, curhat seputar cerita kosong para tetua ku di kampung yang begitu menggebu-gebu menasehati. Aku pusing dengan semua itu.

Cerita Pagi Ini, Kawan!

Pagi ini aku diguyur hujan ketika akan berangkat dari rumah menuju bandara, diantar adikku yang paling baik. Rencana naik motor tapi hujan seperti melarang aku naik motor, sehingga dikeluarkanlah mobil warisan mendiang Bapak disaat guyuran hujan sedang lebatnya. Aku tertegun dan tak kuasa menahan keharuan tatkala si kecil melihat aku dari balik tangga rumah, ia tersenyum-senyum tanpa dosa. Ia tak tahu entah kemana bapaknya sekarang.

Langsung saja aku genjot gas dan menembus guyuran hujan, yang sialnya, sudah mulai mereda. Di pertengahan perjalanan hingga bandara hujan tak meneteskan setitik air pun dan udara begitu cerah dan hangat. Aku langsung check in di counter Garuda dan mendapat kursi 7F, pesawat tampak sepi. Kursi-kursi nomor B dan E tampak kosong dari depan hingga belakang. Di ruang tunggu iseng kugoreskan setetes cerita sebelum pesawat lepas landas. Aku tertegun dan masih shock oleh cerita para orang tua tadi malam. Aku bingung.

Di sudut sana aku melihat orang-orang lalu lalang memilih tempat duduk yang sekiranya paling nyaman di ruang tunggu nomor 17 itu. Tak lama panggilan boarding pun bergema dari balik plafon-plafon megah bandara internasional ini.

Aku lanjutkan cerita ini di Majapahit Lounge Bandara Juanda Surabaya. Aku duduk di sela-sela kursi di bagian belakang lounge dan di ujung sana tampak seorang pemuda sibuk mengasingkan diri bermain-main dengan BB-nya yang bersilicon hijau kinclong. Lalu di sebelahku tampak bapak tua kira-kira usianya hampir sama dengan bapakku, membaca koran yang ia ambil dari tumpukan koran di sampingnya duduk.

Di ujung kananku, di sofa lebar dengan latar belakang lukisan pepohonan, seorang nenek tua sedang menikmati menu lezat plus secangkir teh manis. Aku hanya amati dan merenung sambil meneruskan goresan bimbang ini. Di sudut sana, mengoceh layar lebar televisi flat yang menyiarkan berita-berita yang setiap hari tak pernah berganti, bosan jadinya.

Ruangan semakin bergemuruh, orang-orang pada berdatangan dan kursi lounge semakin dipenuhi oleh orang-orang bermata sipit dan berpakaian necis, menenteng tas bagus dan tentunya pasti punya kartu kredit. Di belakangku, di balik kaca, di luar sana tampak seorang bapak setengah baya duduk kaku di tepi konveyor manusia sambil melihat tas di seberang jalan tempat ia duduk. Ternyata ia sedang men-charge HP-nya yang ia taruh di atas tas hitam kesayangannya. Ingin rasanya mengajak ia masuk dengan memanfaatkan kartu kreditku satunya, biar ia pernah merasakan lounge yang hanya bisa dimasuki orang-orang berkartu kredit. Aku urungkan niat itu tanpa alasan.

Pandangan mataku merayap menyusupi sela-sela kursi lalu tertumpu pada rangkaian lampu-lampu baca dan hiasan-hiasan dinding ukiran jawa yang berwarna-warni cerah. Aku tak kuasa menahan sedih, aku selalu teringat pada sang Bapak, yang 8 bulan lalu tlah pergi mendahului aku. Aku masih sedih, mengapa kedua orang tuaku begitu cepat meninggalkan kami, di saat kami sedang memerlukan, mereka pergi begitu saja, tanpa pesan padaku, adikku atau istriku.

Leherku pegal dan kakiku kesemutan menopang laptop yang sambil kupakai sambil ku charge di samping kursi ini. Kembali, hari ini aku kembali menikmati perjalanan menantang menuju samudera indah di ujung Borneo. Kembali aku nikmat kepingan karat dan suara mesin menderu memecah gelembang samudera dan juga desingan angin laut. Semoga perjalanan ini mampu aku lalui lebih baik lagi dibanding hari-hari sebelumnya, agar beberapa hari berikutnya kami bisa melaksanakan upacara 3 bulanan bayi pertamaku. Semoga kelak ia menjadi bagian keluarga kami agar pintar dan cerdas dan tentunya lebih baik dibanding orang tuanya. Semoga.

Aku Lagi Bingung, Aku Bingung Lagi

Terus terang aku bingung, sekarang aku tambah bingung, entah mana kini yang benar dan mana yang salah. Aku jadi bingung, pikiranku diaduk-aduk oleh suasana. Sebenarnya aku sudah lelah berfikir, otakku sudah buntu, aku ingin berhenti berfikir, tapi aku selalu dihantui oleh berbagai peristiwa yang aku sendiri bingung harus menyikapinya secara positif atau negatif. Aku sungguh tidak bisa berteriak lalu memaki suasana agar semua tahu jika aku ini bisa dan aku bukan binatang dungu yang ketika dicocok hidungnya, bisa didorong kesana-kemari. Aku muak dengan ketidakberdayaanku, aku ingin menggugat Yang Maha Kuasa, tapi aku bingung harus menggugat kemana dan sudah bukan layaknya lagi aku menggugatNya. Aku tercipta dengan segenap karma-karmaku dan aku terikat pada dunia juga akhirat. Jika diijinkan aku ingin bersama gelombang, aku ingin berhembus bersama angin kencang, dan aku ingin bersetubuh dengan jilatan bunga api matahari agar aku bisa menguasai langit dan bumi. Tapi aku tak kan pernah berdaya, aku tahu aku tak berdaya dan tak bisa untuk berdaya. Mulutku bungkam disumpal batok kelapa, mulutku bisu, lidahku dijerat tali pancing setajam sembilu. Aku ingin menghujat tapi siapa yang harus dihujat, aku ingin menghujat diriku sendiri, tapi aku ragu, apakah aku layak untuk dihujat.

Aku ingin meratap tapi aku malu dan ragu, apa yang musti aku ratapi. Aku ingin mengaum, tapi aku takut mengalahkan suara singa karena aku bukan singa dan entahlah, mungkin aku tak layak menjadi singa. Aku ingin menggores kulitku hingga berdarah, tapi aku tak berani melihat darah. Aku ingin mengguncang dunia dan surga, aku aku tak tahu bagaimana caranya. Aku ingin mengais sampah di pinggiran jalan depan rumahku, tapi aku bingung apakah aku akan menemukannya disana. Aku masih bimbang, apakah aku layak berteriak di telinga-telinga tuli sang ego? Aku masih bingung, berjuta kali bingung, apakah ombak benar-benar biru dan awan-awan putih benar-benar seputih kapas? Aku ingin tertawa terbahak-bahak, apakah aku layak membawa amanat ini ke hadapanMu. Aku malu pada dunia, aku takut pada tanah, aku pengecut pada sang Raja dan aku merasa terhina karena aku tak mampu membuat coretan di dinding yang sudah usang. Aku bingung, terus terang aku bingung.

Bahkan aku bingung hanya untuk berbicara saat ini, aku ragu apakah bicaraku hari ini berguna untuk siapa saja? Aku miskin akan kepercayaan diri aku kaya dengan kebingungan dan kebimbangan semu ini. Hyang Widhi, tolonglah hambaMu ini.



Ngurah Ray Airport 2/2/2010