Hari itu mendung, awan hitam bagai selimut, selimuti langit hingga ke kaki langit yang terdampar di ujung samudera. Awan hitam, tiada putih sedikitpun dan tebal menggantung di ujung utara dan selatan anjungan tempat kami berempat berpijak. Semua sudah makan siang dan kamipun tertidur dengan pulas setelah kalori yang habis diisi ulang oleh makanan yang tak dihangati yang dimasak malam tadi. Sungguh tragis.
Dan kamipun terbangun oleh dentuman petir dan geledek yang menyambar-nyambar. Salah satu dari kami masih tertidur pulas, entah takut atau memang ngantuk menghadapi badai yg sebentar lagi menghantam. Di ujung sana, daratan sudah tak terlihat, di ujung sana lagi, anjungan lain yang biasanya terlihat titik-titik saja kini memudar ditelan derasnya hujan dengan angin yang menggila. Kami hanya termangu dan masuk ke dalam ruangan yang lebih layak disebut rumah monyet daripada ruang kendali yang sengaja disiapkan sekedar untuk duduk dan melepas lelas dan juga menghindarkan diri dari serangan angin atau hujan seperti sekarang ini.
Petir kembali menyambar di kejauhan sana dan guntur menyahut beberapa detik kemudian.
Pintu akhirnya ditutup rapat-rapat. Kami menggigil di dalam dengan dingin dan sepakat melepas sepatu; kami duduk berhimpitan agar panas tak terlalu cepat hilang. Kawan yang tadi masih tertidur, kini semakin tak bersuara. Entah sudah pulas atau hanya ingin melarikan sejenak diri dari kenyataan yang berbadai ini. Kecepatan angin saat itu kurang lebih 50 knot. Cukup kencang dan tak akan sanggup berdiri dengan tegak ketika kita berdiri di ruangan terbuka tanpa penghalang.
Salah seorang yang lain dari kami, mencoba untuk tetap membaca berita dari koran yang sudah telat seminggu dengan kaca mata minusnya yang agak tebal dan dengan penerangan yang semakin redup yang ia dapatkan dari sela-sela seng penutup ruangan yang sedikit terbuka. Namun tak berani ia buka lebar-lebar karena takut akan menyusupnya air hujan dengan anginnya yang tak berperikemanusiaan sore ini menghadang kami.
Kapal yang mengantar dan menunggu kami di luar sana terombang-ambing tak karuan. Di saat menit yang lalu arus mengalir dari tenggara ke barat laut dan sang kapal pun terseret arus ke arah barat laut, namun beberapa saat kemudian, angin sudah berubah arah dari timur laut menuju barat daya. Tali-tali pengikat kapal yang cukup panjang berputar berlawanan arah seolah hendak mengikat dan melilit kaki-kai anjungan tempat kami berpijak ini. Tak ada yang terlihat berada di deck kapal atau pun kelihatan di dalam di balik kaca kapal yang terlihat suram oleh derasnya hujan sore itu. Sore itu adalah hari pertama di tahun yang baru, 2008.
Hari itu juga, kami cukup puas mengistirahatkan diri setelah semalam sebelumnya menikmati pesta musik dangdut malam tahun baru di deck puncak bersama-sama teman-teman semuanya. Pesta yang dimeriahkan artis-artis itu cukup menarik untuk kuabadikan dari balik bidikan mainan besi kesayanganku. Sayang batreku habis, sehingga tak banyak moment yang didapat dari wireless flashku. Namun rasa ngantuk akibat malam kemaren, terbayar sudah siang ini dengan tidur pulas tanpa dosa, makan gaji buta. Salah seorang di antara kita yang lain lagi terlihat hanya bisa bersandar di pojokan ruangan yang kian menit kian bertambah dingin ini. Air hujan dengan angin kencang ini semakin menyusup dari sela-sela nako besi yang berlubang di setiap selanya. Cukup besar, cukup untuk masuknya ribuan titik-titik hujan ke dalam ruangan yang kian menit kian dingin ini. Kami tutup dengan remasan koran-koran yang sudah basi yang lainnya. Sang teman yang bersandar tadi kembali memperbaiki posisi duduknya, memperbaiki posisi bersandarnya, berusaha mendapatkan tempat yang senyaman mungkin di tempat yang paling tidak nyaman ini. Akhirnya teman ku yang membaca koran tadi menyerah juga, dia mengakhiri membaca koran basinya seiring petir menyambar udara kosong untuk ke sekian kalinya.
Hujan masih saja turun. Sebenarnya kekuatan menghadapi badai ini juga karena nanti malam aku sudah beranjak dari anjungan sana menuju ke habitatku apa adanya, bersama-sama semua. Entah kekuatan itu memang kita miliki atau kiriman dari alam atau kekuatan itu bangkit karena energi alam mempengaruhi energi manusia. Ya sudahlah, yang penting di antara badai itu kami terpaku selamat dan tak tersentuh sama sekali oleh air hujan yang meledak-ledak dengan arogan... Selamat tahun baru 2008. I'll be missing this moment...
Tuesday, January 22, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment