Kemaren sore ketika sedang buka-buka email yang masuk bejibun dari sebuah milis guyon, ada salah satu email dengan sebuah attachment gambar seorang pengemis dan anaknya. Si pengemis adalah ibu-ibu tua dan bertampang lusuh, kulit hitam. Sedangkan anaknya berumur sekitar 1.5 tahun putih bersih dan sepertinya tak cocok menjadi anaknya. Si pengirim email curiga dan menghimbau anggota milis untuk waspada, siapa tahu anak itu adalah anak korban penculikan yang dijadikan anak bohongan oleh para pengemis yang tak punya anak, hanya untuk menimbulkan rasa kasihan orang-orang di lampu merah.
Di lampu merah di sebuah perempatan dan dekat sebuah SPBU di Jogja, saya sering melihat seorang pengemis duduk di atas trotoar di bawah lampu merah dan memelas-melas menengadahkan tangannya sambil membungkuk-bungkuk dan menyeret-nyeret tubuhnya -karena kakinya cacat dan tak mampu berjalan- hingga kadang turun ke jalan aspal dan menghalangi orang yang lewat. Salah satu tangannya memegang rokok dan sesekali ia menghisapnya ketika para pengendara sepi yang berhenti atau sudah berlalu. Merokok, hal yang paling saya benci dari seorang pengemis. Sudah tahu dirinya mengemis, hidup serba susah, tapi masih saja ia membuang-buang duitnya dengan merokok, ironi atau paradok? Pengemis ini hampir tiap hari mangkal di lampu merah yang sama dan hampir ada sepanjang hari, ketika hari gelap ia pergi entah kemana.
Suatu hari, ketika saya lewat lampu merah itu diwaktu senja setelah matahari tenggelam. Lampu-lampu jalan baru saja menyala dan kendaraan yang lewat belum semuanya menyalakan lampunya. Saya melihat laki-laki pengemis yang biasanya duduk di bawah lampu merah itu yang'mengaku' cacat tak bisa jalan itu, berjalan dengan badan tegak dan tanpa terseok sedikitpun, meninggalkan lampu merah menggendong sebuah bungkusan dari kulit karung tepung yang mungkin isinya duit hasil ngemis tadi dan asap tebal mengepul dari bibirnya yang hitam. Oh sungguh dramatis dan suatu tipuan sudah terjadi dan saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, apa yang sebenarnya sedang terjadi. Mungkin pengemis-pengemis di lampu merah yang lain hampir sama dengan yang ini. 'Mengaku' cacat tapi sebenarnya ia adalah seorang sehat jasmani yang malas bekerja. Ia hanya mengandalkan belas kasihan orang lain dan berharap mengasihi dirinya dengan 'menyamarkan' dirinya sebagai seorang cacat yang layak dikasihani.
Lain lagi dengan cerita pengemis dari rumah ke rumah. Aku tak pernah ngasi sama sekali pengemis jenis ini. Kalau dilihat dari badannya, ia seharusnya mampu mencangkul di sawah, mampu menambang batu kali atau pasir untuk majikannya. Ia seharusnya -paling tidak- jadi kuli angkut barang di pasar tradisional yang sederhana, bukan malah menistakan dirinya hanya mengemis dan berjalan seolah terseok-seok lemah. Kebanyakan teman, saudara atau kerabat tak pernah memberi pengemis tipe ini. Satu hal yang sering dicurigai orang, ketika mereka berjalan dari rumah ke rumah dan mengemis, mereka sebenarnya sedang memata-matai rumah mana yang layak dijadikan sasaran pencurian atau perampokan. Serem kalo gini.
Kalau pengemis berikut lain lagi ceritanya. Mereka sering datang dari satu rumah ke rumah lain dengan pakaian sederhana dan berusaha untuk rapi. Dengan mengenakan peci dan tas ala kadarnya mereka menyerahkan semacam 'proposal' sumbangan malai dari tempat ibadah atau yayasan anak terlantar, kemudian berharap si tuan rumah mau menyumbang seiklasnya. Ketika menyumbang ala kadarnya atau kalo tak mau dibilang terlalu sedikit, mereka marah dan mengomel tak karuan, ketika tak mau menyumbang sama sekali, mereka malah mengumpat dan menyumpah seperti tak bermoral saja. Sungguh terlalu. "Pengemis" sejenis ini berkeliaran juga di kampus-kampus. Seorang muda dan sederhana datang dengan sopan membagi-bagikan amplop pada setiap mahasiswa yang sedang duduk-duduk di plasa kampus. Dalam amplop terselip selembar kertas bertuliskan beraneka kalimat yang intinya minta sumbangan, antara lain untuk pembangunan suatu bangunan. Setelah semua amplop habis terbagi, ia mulai mengambil lagi dari amplop pertama dan berharap-harap sumbangan diselipkan di dalamnya.Namanya juga mahasiswa, buat makan hari itu saja kadang tak ada. Malah ada yang nakal menyelipkan kerta bertuliskan "maaf kiriman bulanan kami telat datang".
Di setiap lampu merah atau bis-bis umum di Jogja atau kota-kota besar lainnya di Indonesia, pasti selalu ada tukang ngamen baik tukang ngamen beneran atau hanya ala kadarnya. Tukang ngamen beneran memang bermodal, mulai dari bawa gitar hingga ada yang duet gitar dan biola. Mereka bernyanyi dengan lantang dan diantaranya ada yang suaranya memang berkualitas rekaman. Karena nasib yang kurang berpihak, mereka selamanya jadi tukang ngamen (beneran). Tukang ngamen yang sebenarnya pengemis ada juga. Ia hanya bermodal kecek-kecek yang terbuat dari tutup-tutup botol minuman yang dipaku di sepotong kayu dan dipukul-pukulkan di tangan sambil mulutnya hanya bergumam-guman (bukan bernyanyi), hanya bergumam ataupun lebih tepatnya hanya menggerak-gerakkan bibirnya seolah bernyanyi, persis seperti seorang penyanyi yang sedang lipsynch. Lalu menadahkan tangannya dan berharap belas kasihan pengendara mobil di lampu merah atau penumpang bis yang baik hati.Mereka tak ubahnya pengemis yang berkedok pengamen. Mungkin dilema bagi mereka. Di sisi lain mereka ingin bernyanyi dan main gitar untuk mengamen, di sisi lain mereka tak punya modal untuk membeli gitar apalagi biola. Untuk kasus ini mereka lebih buruk daripada pengamen beneran bersuara rekaman yang gagal rekaman, mereka bahkan telah gagal hanya utk menjadi pengamen beneran.
Lain lagi dengan kota-kota di Bali. Berbeda dengan kota-kota besar di Indonesia, di Bali tak ada satupun pengamen apalagi pengemis di lampu merah apalagi di bis antar kota. Mungkin karena menjaga image sebagai daerah wisata yang dituntut serba rapi dan elit juga bersih. Saya jadi teringat dulu ketika SMA pernah ngamen di sebuah terminal yang disulap jadi pasar senggol di malam hari. Saya mengamen dari warung tenda satu ke lainnya bersama seorang teman gila yang menyanyi cuman satu lagu itu-itu saja. Tak lama datang seorang satpam dan berkata bahwa tak boleh mengamen di daerah sana. Ketika ditanya saya mengaku dari luar daerah dan untungnya ia percaya dan kami berlalu dengan malu. Padahal kami adalah salah seorang siswa SMA gak ada kerjaan di kotanya.
Meskipun tak ada pengemis di lampu merah ataupun bis kota, di Bali kerap ditemui pengemis orang-orang Munti yang berkeliaran dari rumah ke rumah. Mereka meminta beras bukan uang. Mereka datang musiman pada bulan-bulan tertentu saja dan mereka datang bergerombol dari kampungnya dengan berjalan kaki berkilo-kilo jauhnya, lalu secara serempak menyebar ke satu rumah ke rumah lain. Jika satu rumah memberi beras, maka si pengemis pertama akan mengiformasikan ke pengemis temannya. Serta merta informasi berantai terjadi dan para pengemis bergiliran ke rumah baik hati tadi. Strategi pengemis semacam ini sudah diketahui para ibu-ibu rumah tangga yang sering dimintai beras. Kebanyakan malah menolak terlebih dahulu memberi beras sebagai antisipasi mengemis berantai. Konon, mereka diutus oleh 'raja' mereka di kampungnya untuk mencari bantuan beras di luar kampung mereka yang kaya. Tradisi ini menjadi turun-temurun dan dilakukan pada bulan-bulan khusus.
Demikian sekilas cerita tentang pengemis. Saran saya, jangan sampai Anda jadi pengemis kalau tak kepepet. Kalau sudah kepepet apapun jadi untuk cari makan, ya kan? Oleh karena itu rajin-rajinlah menabung, tidak sombong dan tidak pelit.