Tuesday, June 17, 2008

Kelas Ekonomi Surabaya-Balikpapan

Hari ini aku datang lagi ke kota minyak melewati Surabaya. Dan aku akan menginap semalam disini, di tempat biasa, Surattown. Tak terasa sudah beberapa kali ini aku tidak berangkat melewati Surabaya. Aku masih trauma naik Lion Air beberapa bulan yang lalu karena waktu itu pesawat ditunda sekitar 6 jam. Pesawat harusnya berangkat jam 17:40 WIB namun karena alasan yang tidak jelas, dan diumumkan oleh petugas, pesawat tertunda dan akan diberangkatkan pukul 20:45. Dan tibalah jam keberangkatan ini. Namun panggilan tak kunjung datang. Petugas juga tak menginformasikan ulang kalau ada keterlambatan lagi. Menunggu dalam ketidakpastian, akhirnya pesawat diberangkatkan tepat pukul 24:00. Tengah malam bolong. Dan bisa dihitung, pesawat tiba di Balikpapan jam 02:30 subuh. Sungguh mengecewakan pelayanan maskapai ini. Bahkan setelah jam 02:30 itu pun pesawat masih melanjutkan penerbangan ke Surabaya. Bayangkan, berapa jam penumpang BPN-SBY menunggu di ruang tunggu pesawat.
Untungnya, kemaren malam pesawat tak tertunda terlalu lama. Bukan Lion Air namanya kalau tidak ada delay. Pesawat sudah berangkat jam 19:00 WIB. Aku akhirnya sampai kota minyak 1,5 jam kemudian. Lega.

Rute Surabaya-Balikpapan memang merupakan rute super sibuk. Pesawat yang mengambil rute ini juga banyak. Mulai dari Lion, Mandala, Citilink, Batavia, hingga Adam Air (dulu). Hampir semua maskapai mengambil rute ini, mungkin hanya Merpati dan Garuda yang tidak melakukannya. Pengalaman terbang dari Surabaya-Balikpapan vv merupakan pengalaman yang unik dan menggelitik. Pasalnya, suasana yang muncul adalah suasana penumpang yang merakyat mirip suasana di stasiun kereta kelas menengah ke bawah atau terminal bus. Penumpang bervariasi dari mulai kelas atas hingga kelas ekonomi melarat hadir dalam satu pesawat. Tak ayal lagi, kita bakal menemukan gerombolan penumpang berpakaian lusuh mirip di kereta api ekonomi. Meskipun saya juga berpenampilan selalu lusuh. Ada banyak penumpang yang kayaknya baru pertama kali naik pesawat. Sehingga mereka ada yang salah mengambil kursi. Mereka duduk sembarangan tanpa melihat nomor di boarding pas, mereka mungkin samakan dengan sistem di bus kota. Kita juga akan melihat penumpang membawa tas atau barang bawaan yang banyak ke kabin dan pasti menaruhnya di bawah kursi. Dengan sabar pramugari memberi tahu kalau tasnya musti di taruh di bagasi kabin di atas tempat duduk penumpang. Ada penumpang yang masih saja mengobrol lewat HP padahal pesawat sudah mau tinggal landas. Suara tangis bayi terasa biasa pada penerbangan rute ini. Disana akan banyak penumpang yang membawa serta bayinya. Mungkin karena tak biasa dengan suasana ramai, atau sang ibu yang kurang lengkap membawa peralatan bayi, sehingga si bayi menjadi kurang nyaman. Menangislah sejadi-jadinya tanpa tau dimana ia sedang berada. Suara tangis bayi, suara pramugari yang memberi tahu penumpang, suara orang teriak-teriak lewat handphone plus bau yang agak menyengat jadi satu menimbulkan suasana khas penerbangan rute Surabaya-Balikpapan yang merakyat.

Disamping itu, suasana juga sangat ramai dan berisik. Penumpang yang mau masuk ke pesawat sibuk mengobrol dengan sanak saudaranya dengan suara yang cukup keras terdengar dari jarak 10 meteran. Bahasanya pun masih medok menggunakan bahasa daerah masing-masing. Jadi lucu dan sedikit menghibur.
Di ruang tunggu bahkan kadang-kadang benar-benar mirip terminal bis kota. Ada penumpang yang dengan seenak perutnya tiduran di atas 3 deretan kursi saking lamanya menunggu pesawat delay. Di sisi lain ada penumpang yang terpaksa berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Perilaku yang paling katrok adalah ketika melakukan antrian, ada yang menyerobot kanan kiri tidak perduli dengan penumpang lain yang sedang antri di sebelahnya.
Pada penerbangan hari kemaren saya agak kecewa namun juga senang. Kecewa karena saya duduk bersebelahan dengan ibu-ibu yang menggendong anak kecil. Otomatis ruang gerak saya menjadi terbatas. Saya duduk dekat jendela dan si ibu di 'aisle', di deret 2 kursi. Anak 1 tahunnya yang ramai dan hiperaktif mengusik lamunan saya malam itu. Ia berusaha mengambil buku yang sedang saya baca. Ia menunjuk-nunjuk pesawat yang ada di luar sana. Ia juga menunjuk-nunjuk ke arah pramugari. Entah dia mengisyaratkan padaku bahwa pramugarinya cantik atau hanya ia sekedar tertarik dengan kecantikan sang pramugari pada usia segitu? Sepertinya tidak ada dugaanku yang benar. Aku hanya menikmati malam gerah itu. Lubang-lubang AC kuputar namun yang keluar hanya udara dingin bertekanan lemah, hanya tekanan sisa-sisa.

Ketika pesawat sudah take off dan pada ketinggian idle, anaknya sedikit tenang dan malah tidur. Aku pun bersyukur. Aku menarik nafas lega karena AC mulai mengeluarkan suara-suara dingin. Belum berhenti tarikan nafasku. Si ibu mulai mengambil sesuatu di bawah tempat duduknya. Ia mengeluarkan tas tenteng dan menaruh di kursi depannya dengan cara menggelantungkan. Aku hanya manggut-manggut dalam hati. Lalu dia minta maaf yang malah diikuti dengan naiknya kaki kirinya ke sandaran kursi di tangan kananku, lalu menempatkan kepala anaknya di atas pahanya yang gembrot. Otomatis ruang gerak tangan kananku jadi terganggu dan cenderung tak bisa bergerak karena kepala anaknya agak masuk ke wilayah kursiku. Aku keberatan namun mau bagaimana lagi. Selang beberapa lama penumpang di depanku menurunkan sandaran kursinya sehingga ruangan di depanku semakin sempit. Aku jadi semakin terdesak. Lengkap sudah 'penderitaan' malam itu. Aku urungkan niatku untuk melanjutkan membaca buku saku yang aku siapkan dari rumah untuk dibaca di pesawat. Aku lebih baik bersandar manis di kursi sambil kucoba untuk tidur dengan memejamkan mataku.

Disamping kecewa aku juga merasa senang. Sebabnya adalah sedikit tidak, walaupun sedikit, paling tidak aku sudah membantu memberikan tempat yang agak nyaman buat si ibu meski aku jadi 'korban'. Aku hanya merasa iba melihat si ibu tanpa suami melakukan perjalanan Surabaya-Balikpapan dan harus melajutkan perjalanan malam itu juga ke Samarinda yang berjarak 2 jam dari Balikpapan. Bisa dibayangkan jika dalam waktu penerbangan 1,5 jam tadi ia duduk menggendong anaknya yang cukup montok hanya dengan tangannya, pasti pegal dan capai sekali. Sedikit tidak dengan naik kaki kirinya membantu tugas tangannya memberi rasa nyaman anaknya yang tidur. Bahkan mungkin aku tak tau, bisa jadi kaki kirinya mungkin kesemutan karena ditekuk dan ditindih selama waktu itu. Sungguh perjuangan yang mempesona, menurutku. Aku hanya bisa membayangkan kelak aku punya istri dan mengalami suasana seperti itu, aku harap tangan-tangan maha dahsyat memberi jalan yang terang dan mudah.

NB: Boarding pass Lion sekarang hanya selembar kertas putih HVS yg tipis dipotong berbentuk boarding pas biasa. Sungguh ekonomis sekarang.
Pagi-pagi di Surattown 3 June 2008

No comments: