Pagi ini aku diguyur hujan ketika akan berangkat dari rumah menuju bandara, diantar adikku yang paling baik. Rencana naik motor tapi hujan seperti melarang aku naik motor, sehingga dikeluarkanlah mobil warisan mendiang Bapak disaat guyuran hujan sedang lebatnya. Aku tertegun dan tak kuasa menahan keharuan tatkala si kecil melihat aku dari balik tangga rumah, ia tersenyum-senyum tanpa dosa. Ia tak tahu entah kemana bapaknya sekarang.
Langsung saja aku genjot gas dan menembus guyuran hujan, yang sialnya, sudah mulai mereda. Di pertengahan perjalanan hingga bandara hujan tak meneteskan setitik air pun dan udara begitu cerah dan hangat. Aku langsung check in di counter Garuda dan mendapat kursi 7F, pesawat tampak sepi. Kursi-kursi nomor B dan E tampak kosong dari depan hingga belakang. Di ruang tunggu iseng kugoreskan setetes cerita sebelum pesawat lepas landas. Aku tertegun dan masih shock oleh cerita para orang tua tadi malam. Aku bingung.
Di sudut sana aku melihat orang-orang lalu lalang memilih tempat duduk yang sekiranya paling nyaman di ruang tunggu nomor 17 itu. Tak lama panggilan boarding pun bergema dari balik plafon-plafon megah bandara internasional ini.
Aku lanjutkan cerita ini di Majapahit Lounge Bandara Juanda Surabaya. Aku duduk di sela-sela kursi di bagian belakang lounge dan di ujung sana tampak seorang pemuda sibuk mengasingkan diri bermain-main dengan BB-nya yang bersilicon hijau kinclong. Lalu di sebelahku tampak bapak tua kira-kira usianya hampir sama dengan bapakku, membaca koran yang ia ambil dari tumpukan koran di sampingnya duduk.
Di ujung kananku, di sofa lebar dengan latar belakang lukisan pepohonan, seorang nenek tua sedang menikmati menu lezat plus secangkir teh manis. Aku hanya amati dan merenung sambil meneruskan goresan bimbang ini. Di sudut sana, mengoceh layar lebar televisi flat yang menyiarkan berita-berita yang setiap hari tak pernah berganti, bosan jadinya.
Ruangan semakin bergemuruh, orang-orang pada berdatangan dan kursi lounge semakin dipenuhi oleh orang-orang bermata sipit dan berpakaian necis, menenteng tas bagus dan tentunya pasti punya kartu kredit. Di belakangku, di balik kaca, di luar sana tampak seorang bapak setengah baya duduk kaku di tepi konveyor manusia sambil melihat tas di seberang jalan tempat ia duduk. Ternyata ia sedang men-charge HP-nya yang ia taruh di atas tas hitam kesayangannya. Ingin rasanya mengajak ia masuk dengan memanfaatkan kartu kreditku satunya, biar ia pernah merasakan lounge yang hanya bisa dimasuki orang-orang berkartu kredit. Aku urungkan niat itu tanpa alasan.
Pandangan mataku merayap menyusupi sela-sela kursi lalu tertumpu pada rangkaian lampu-lampu baca dan hiasan-hiasan dinding ukiran jawa yang berwarna-warni cerah. Aku tak kuasa menahan sedih, aku selalu teringat pada sang Bapak, yang 8 bulan lalu tlah pergi mendahului aku. Aku masih sedih, mengapa kedua orang tuaku begitu cepat meninggalkan kami, di saat kami sedang memerlukan, mereka pergi begitu saja, tanpa pesan padaku, adikku atau istriku.
Leherku pegal dan kakiku kesemutan menopang laptop yang sambil kupakai sambil ku charge di samping kursi ini. Kembali, hari ini aku kembali menikmati perjalanan menantang menuju samudera indah di ujung Borneo. Kembali aku nikmat kepingan karat dan suara mesin menderu memecah gelembang samudera dan juga desingan angin laut. Semoga perjalanan ini mampu aku lalui lebih baik lagi dibanding hari-hari sebelumnya, agar beberapa hari berikutnya kami bisa melaksanakan upacara 3 bulanan bayi pertamaku. Semoga kelak ia menjadi bagian keluarga kami agar pintar dan cerdas dan tentunya lebih baik dibanding orang tuanya. Semoga.
Monday, February 01, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment