Pagi-pagi jam 6 lewat 5 menit aku menembus pagi menuju arah timur, Sanur. Jalanan masih sepi dan matahari masih belum terbit. Perjalanan lancar dan sekitar 45 menit berikutnya aku t'lah tiba di IGBB Sanur. Jarak tempuh sekitar 25 km. Kacong, Jales dan Jerry sudah menunggu di kantin. Aku ikutan sarapan nasi kuning dan teh anget. Tak lama kami berempat berlalu menuju timur lagi, menyusuri jalanan lebar by pass Ida Bagus Mantra. Jales nyetir dengan mulus. Berbekal GPS dan ketidaktahuan jalan, akhirnya kami tiba dengan selamat di Desa Tenganan. Seperti di desa asing. Aku merasa seperti bukan berada di Bali, agak aneh. Terutama logat orang-orangnya. Jarak tempuh dari Sanur sekitar 55 km tak terasa dengan senda gurau kami sepanjang jalan.
Setelah melakukan registrasi dan medana punia di pintu masuk, sukarela aku memilih Rp 50 ribu, kami memasuki kawasan Desa Tenganan Pegeringsingan. Bangunan memang masih asri. Atap-atap rumah masih menggunakan Jerami. Tampak duduk-duduk para fotografer, ngopi sambil membicarakan strategi memotret perang pandan nanti yang dimulai jam 1 siang. Kami terus jalan menuju utara, hulu. Bangunan tertata rapi. Pintu gerbang rumah mereka sebagian besar bertuliskan bahasa asing, menjual songket dan pernik lainnya. Nampak kebo-kebo di depan rumah penduduk berjalan terseok otomatis tanpa dihalau. Ternyata kebo-kebo ini tak bertuan, kebo liar yang jumlahnya tak diketahui. Disini, kebo dan sapi dihormati dan disucikan. Tampak para lelaki tua duduk-duduk mengobrol di jineng besar. Mereka bertelanjang dada dan menggunakan kamben Bali. Terselip keris kecil di belakang. Tampak pula para ibu-ibu pakai kamben dan kain setinggi dada membawa buah-buah persembahan pulang dari pura. Mereka tidak mengenal canang.
Sambil menunggu siang kami mampir makan siang di rumah Gede, temannya Kacong. Gede ini mengambil istri orang Tenganan. Sajian babi goreng dan lawar merah ditutup dengan tuak khas tenganan. Darinya aku tahu kalau di Tenganan tidak mengenal Galungan dan Nyepi. Mereka juga punya kalender sendiri. Hari besar mereka ya hari perang pandan ini. Orang Tenganan adalah kaum landrefarm atau tuan tanah. Mereka memiliki tanah yang diusahakan oleh orang-orang sekitar Tenganan. Mereka juga punya sistem masyarakat yang teratur. Tidak boleh mengambil istri dari luar Tenganan kecuali triwangsa. Jika dilakukan maka akan dibuang dari lingkungan banjar, diberi rumah sempit di luar wilayah utama. Setiap pasangan nikah baru diberi lahan tanah lengkap dibangun rumah dengan gotong-royong. Semua asset adalah milik adat desa.
Sehabis makan siang, sekitar jam 12, kami melihat ada rombongan ngelawang mengitari desa. Setelah selesai ngelawang, perang pandan pun dilanjutkan. Ternyata disekitar panggung sudah penuh sesak dengan orang-orang, terutama fotografer. Berharap bisa mendapatkan tempat di atas panggung pupus, kami tak mendapat ijin meskipun kami punya orang "dalam", Gede. Terpaksa nyari tempat kesana-kemari tapi semua sudut sudah penuh. Aku hanya mendapat angin. Nasib pula sebagai fotografer memiliki postur kurang tinggi :)
Dekat-dekat akhir acara akhirnya dapat posisi yang agak tinggi dari sisi timur. Namun tidak mendapat hasil foto yang dahsyat karena orang yang perang pandan, dihalangi 'wasit' yang jumlahnya terlalu banyak di panggung.
Berikut tips memotret perang pandan versi saya: - Kenakan pakaian adat Bali, agar lebih blending dengan masyarakat sekitar. - Datang lebih awal dan standby di sekitar panggung beberapa saat sebelum acara. - Jika punya bawa 2 body 2 lensa. Dengan lensa tele dan wide, atau jika body kamera 1 bawa lensa sapujagad, namun lensa 18-70 saya rasa sudah cukup mengcover perang dari sekitar panggung. - Siapkan fisik dan tenaga karena panas dan terik. - Lebih baik bawa kamera terhunus, jangan bawa tas besar karena menyulitkan saat berdesakan ketika meringsek panggung. - lebih baik bawa kursi dari rumah atau nyewa di warung-warung kecil agar dapat angle dan moment yang bagus. - Ketahui susunan acara agar dapat angle yang sudah ditunggu-tunggu.
Karena makin hari makin banyak saja fotografer yang memotret acara-acara, maka kadang yang difoto adalah kamera. Kadang yang menjadi foreground objek utama adalah deretan tangan-tangan yang memegang DLSR yang diangkat untuk mendapat foto meskipun blind shot. Mungkin ke depannya ada beberapa hal yang patut diubah atau ditingkatkan dari acara-acara seperti ini.
Berikut sedikit saran buat panitia perang pandan: - Acara dibikin lebih profesional dengan panitia yang lebih sip - Dibikin panggung seperti tinju atau kecak di Uluwatu dengan penonton yang terorganizir sehingga menyamankan penonton, fotografer dan pelaksana upacara - Disediakan spot/tempat khusus fotografer sehingga tidak ikut berdesakan dengan penonton
Mungkin itu saja saran saya semoga selanjutnya lebih meningkat dan lebih banyak moment yang bisa ditangkap.
No comments:
Post a Comment