Siang itu, hari Sabtu 19 July 2008, jam 2 sore aku sudah ada di Bandara. Terlalu awal tapi aku hanya nebeng adikku yang masuk kerja siang. Pesawat akan berangkat jam 6 sore jadi aku harus menunggu 4 jam lagi. Aku langsung menuju kursi panjang tempat ku biasa memadu rindu, lalu ku duduk dan kusulut sebatang rokok putih yang penuh racun. Angin yang berhembus cukup kencang dari arah timur tepat menerpa wajahku yang kedinginan. Asap-asap rokok terlempar, terhempas begitu keluar dari mulutku. Orang-orang lalu lalang, berganti-ganti lewat di depanku. Seorang gadis berjilbab tampak duduk di kursi panjang di sebelahku yang hanya berbatas asbak rokok dari kursi panjangku. Ia tampak sedang menunggu seseorang yang dari tadi tak kunjung datang.
Jam 6 hampir tiba dan lalu ku masuki ruang tunggu yang ramai dipenuhi penumpang dari berbagai negara. Karena pesawat Garuda Airbus A330 yang akan kutumpangi ini adalah pesawat yang akan menuju Tokyo, jadi pesawat parkirnya di terminal keberangkatan internasional. Jam 5.45 tepat penumpangnaik pesawat dan begitu masuk aku tertegun dan tersentak, karena pesawat yang memiliki 3 pintu masuk ini begitu besarnya. Tediri dari 2 gangway dengan formasi kursi 2-3-2. Aku duduk di kursi 2 baris di pinggir bagian kanan. Pesawat ini memang besar dan lebar, tengok depan dan belakang tak habis mata memandang.
Jam 18.00 tepat pesawat berangkat dengan mulus. Dua jam kemudian tiba di Bandara Cengkareng di pintu kedatangan 1F. Begitu keluar pintu seorang pemuda berdiri di pintu keluar sambil membawa kertas bertuliskan namaku. Ia adalah petugas hotel FM7 temapt aku menginap semalam sebelum esok hari akan melanjutkan perjalanan ke Bandung. Hotel terletak hanya 15 menit dari bandara dan karena hanya terdiri dari 2 tingkat lantai, maka untuk mencari kamar dari lobby jaraknya setengah mati. Tapi pelayanan yang ramah dan petugas-petugas yang murah senyum serta kamar yang tak mengecewakan, membuat rasa pegal sirna dan aku menikmat kamar dengan puas tingkat 1.
Keesokan harinya, jam 11 aku sudah check out dan standby di lobby hotel, menunggu shuttle bus ke Bandara. Sesampai bandara aku langsung mencari loket Primajasa pintu 1B. Aku pesan kursi dengan harga 75 ribu hingga Bandung. Perjalanan akan ditempuh cukup lama sehingga aku putuskan membeli makanan dan minuman sebagai bekal. Aku naik ke atas bus dengan gagah seperti prajurit muda yang akan bertempur ke medan laga. Perjalanan berjalan lancar karena melewati jalan tol yang lapang. Pemandangan begitu asri ketika sudah hampir mencapai Bandung. Tiga jam berlalu akhirnya bus yang cukup nyaman ini tiba di Bandung Super Mall (BSM). Aku turun di depan primajasa stop.
Dari BSM naik taxi menuju Sheraton. Blue Bird hanya bisa menjemput di luar area BSM, makanya harus berjalan ke depan BSM agar tidak bentrok dengan taxi lainnya. Perjalanan begitu khas dan karena ini perjalanan pertamaku di Bandung, semuanya tampak unik. Mulai dari bangungan dan udara dingin di luar. Di suatu lampu merah taxi berhenti, otomatis banyak pengamen dan penjual koran menghampiri setiap mobil yang berhenti, begitu juga taxi yang aku tumpangi. Seorang anak kecil membawa kecek-kecek dari bekas tutup botol minuman setengah bernyanyi sambil meminta-minta duit sambil merengek-rengek. Belum habis rengekannya, di sebelahnya sudah berdiri anak kecil yang agak lebih tua dari yang pertama. Berteriak-teriak agak keras menawarkan untuk membeli koran. Tapi aku tolak. Yang anak kecil pertama aku kasi 1000, si anak kecil penjual koran berteriak semakin keras, hingga semua pengendara motor yang berhenti menengok ke arahnya. Aku abaikan saja sambil meletakkan jari telujukku melintang di bibirku. Untungnya taksi segera berangkat dan sopir taxi yang berwajah khas Bandung, putih pucat berambut luruh jigrak, berkata sambil cengengesan, "Sudah biasa atuh kang..."
Tak berapa lama taxi tiba di Sheraton. Setelah check in aku mendapat kamar 346 dengan formasi double bad. Huh payah. Tapi untungnya view belakang kamar adalah garden view, depan pool view. Tak terlalu mengecewakan. Begitu masuk kamar langsung ku keluarkan kamera paling setiaku. Ia sudah melanglang buana ke berbagai kota di Indonesia. Jakarta, Surabaya, Malang, Yogya, Semarang, Denpasar, Balikpapan hingga Makazzar sudah dijelajahinya. Lalu kubidik saja kamar yang masih rapi itu dari berbagai sudut pandang. So exotique. Tak terlalu jelek untuk kamar dengan corporate rate 760k. Kulanjutkan untuk menyelesaikan kamar mandi, lighting kamar mandi yang asik membuat hasil foto cukup fantastik.
Lalu kuputuskan melanjutkan jalan-jalan ke taman di bagian belakang hotel yang juga di belakang kamarku. Di ujung sana bukit kecil melatarbelakangi taman yang bergaya perpaduan Sunda dan Eropa itu. Ditengah-tengah taman ada rumah tanpa dinding tempat duduk-duduk menikmati taman di sekitarnya. Tambah asyik jika dingin-dingin seperti itu ditemani secangkir teh manis dan sebungkus rokok putih. Sluuurrrppp.
Di sisi bagian barat terdapat taman dengan gaya tanaman merambat ke atas pilar-pilar yang dibangun sedemikian rupa. Sungguh indah dan menawan untuk dijadikan lokasi foto prewedding, pikirku. Di sisi bagian selatan ada tempat permainan anak-anak dengan ayunan mungil dan indah sekali ditambah background tanaman yang berwarna hijau, jadi tambah kontras ayunannya.
***
Sore hari menjelang, kami putuskan untuk jalan ke arah turun dari Sheraton, ke arah pusat keramaian. Dengan naik angkot warna hijau-putih rute Kalapa-Dago kami diantarkan menuju Dago Plaza. Ternya Plaza yang satu ini tak begitu ramai karena tak ada supermarket dan departement store. Yang ada hanya warung makan cafe-cafe di depan plaza, fitness centre, dan layanan kebugaran dan hiburan lainnya. Ku putuskan makan masakan Padang di lantai dasar plaza ini. Cukup murah dan gratis 1 cangkir teh manis hangat. Karena tidak tahu kalau gratis, akhirnya minumnya jadi double, satunya juice.
Perut kenyang, jadi lebih lega dan semangat, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki saja menuju BIP. Di sepanjang jalan bertebaran FO-FO yang menjamur bak kacang goreng. DI sepanjang jalan menuju BIP itu juga terdapat Holiday Inn di sebelah kanan jalan. Di depan BIP terdapat FO Merdeka yang lumayan besar, namun heran kok pengunjungnya sepi. Tak kami hiraukan masuk saja dan ambil seperlunya. Ternyata begitu membayar, aku mendapat struk pembayaran plus voucher belanja yang besarnya sebanding dengan berapa banyak kita belanja. Wow, ini salah satu penarik pelanggan agar esok atau kapan hari kembali kesana untuk membelanjakan vouchernya.
Perlu ditiru.
Setelah puas di FO megah itu, kami masuk ke HyperMart di dalam BIP. Membeli persediaan makan dan minum untuk di hotel dalam beberapa hari ke depan. Dibanding membeli makanan ringan di mini bar hotel yang harganya 10x lipat, lebih baik kita belanja sepuasnya di supermarket sekelas HyperMart ini. Tapi sayang malam itu keburu malam, jam 9 supermarket sudah mau tutup, niat untuk mampir di BIP lantai atas diurungkan saja. Besok masih ada waktu. Malam itu pulang naik angkot dengan jalan kaki terlebih dahulu menuju perempatan ujung sana. Karena jalan depan BIP 1 arah. Di perjalanan naik angkot, sempat terhenti karena iring-iringan motor yang pengendaranya membawa sepanduk membuat macet lalu lintas Dago malam itu. Awalnya ku kira Geng Motor sedang beraksi, namun ternyata Bobotoh Persib yang pulang uring-uringan menanggung malu atas kekalahan tim idola mereka. Aksi brutal pun dilakukan, ugal-ugalan, selip sana selip sini seenak perutnya membuat lalu lintas jadi sempat macet walau sebentar. Untungnya tak sampai terjadi tindakan yang memakan korban.
Sampai di Hotel langsung menuju kamar, badan yang cukup pegel ini karena sehabis perjalanan Jakarta-Bandung, plus jalan-jalan seputar Dago membuat mata jadi tak tahan ingin segera dipejamkan. Akhirnya tidur nyenyak untuk menyusun tenaga esok hari.
Hari Pertama
Pagi pertama di Bandung diawali dengan training hari pertama di Hotel Jayakarta. Ternyata jaraknya dari Sheraton hanya 500 meter, tapi kami dijemput oleh provider training. Perjalanan hanya 3 menit. Training diawali dengan perkenalan masing-masing peserta. Ada 3 kelas yang dengan tema training berbeda. Kelas pertama dan kedua terdiri dari masing-masing 4 peserta. Kelas satunya terdiri dari 2 orang peserta saja, kayak privat. Pembukaannya saja memakan waktu lama dan diselingin cerita-cerita jayus para trainernya. Ketika training, kami menggigil kedinginan karena AC diset dingin sekali, bahkan di luar udara sudah dingin tanpa AC karena cuaca Bandung memang demikian. Istirahat makan siang dilakukan di tempat makan di pinggir kolam renang. Banyak anak kecil bule yang renang, padahal siang itu udara dingin, bisa dibayangkan bagaimana dinginnya air dalam kolam. Mungkin si anak bule sudah biasa dengan dingin segitu.
Sore hari setelah training aku langsung pulang ke Sheraton dan ingin segera menikmati kamar yang romantis itu.
Malam hari sekitar jam 7-an jalan ke Pasar Simpang (Dago). Masih satu jalan dengan Sheraton. Naik angkot cuma 1000 sekitar 10 menit. Disana makan ayam bakar madu dan ayam bakar asem manis. Dengan nasi bakar yang dibungkus daun pisang. Rasanya jadi beda. Khas dan unik, Bandung memang unik. Abis makan lanjut jalan kaki menyusuri pasar Simpang yang ramai oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Warung-warung dengan rombong berjajar rapi di pinggir kanan dan kiri jalan, sedangkan di bagian belakangnya toko-toko yang menjual anek keperluan. Akhirnya langkah kami terhenti di warung Serabi, kami beli Serabi duren dan strawbery yang rasanya aduhai, dibungkus dimakan di hotel. Di samping penjual Serabi ada yang jualan sop buah, hajar juga.
Jalan kaki dilanjutkan terus ke arah bawah atau ke arah selatan. Di kanan jalan kami menemukan Edward Forrer, sempat masuk lihat-lihat sandal namun harganya mahal-mahal juga. Lalu ke Level FO beli kaos Adidas merah hati dan kaos Hard Rock warna hitam.
Tak terasa malam semakin larut, jam 9 sudah hampir tiba. Kami pulang naik angkot duduk di depan. Sopirnya masih muda belia, ngebut, hati jadi ciut. Ngeri juga sopirnya bawa mobil kayak kerasukan setan. Tapi untungnya sampai hotel dengan selamat.
Hari Kedua
Pagi-pagi aku sudah bangun dan langsung menuju taman belakang hotel. Pagi itu matahari belum menyembul. Sembari menunggu sunrise kami foto-foto di sekitar balai bengong di tengah-tengah taman. View yang indah tercipta ketika matahari sudah menampakkan dirinya dari balik cakrawala fajar. Embun mulai berjatuhan dan sebagian menguap bersama mimpi orang-orang yang baru bangun. Tukang potong rumput berkeliling dan alat penyiram rumput otomatis mulai berputar dengan tertib dan teratur.
Rumput-rumput seolah melihat dan menonton aksi kami yang foto sana foto sini menikmati keindahan pagi Bandung di garden belakang Sheraton ini. Tak disangka mentari sudah mulai agak tinggi dan ini adalah hari kedua aku training di Jayakarta. Aku pun kembali dan berangkat bersama teman-teman.
Sore hari pulang dengan rasa lesu dan badan rasanya pegal semua. Mungkin karena dingin ruangan yang begitu menusuk tulang hingga merasuk ke sumsum yang paling dalam. Sedangkan aku tak memakai jaket, tubuh hanya dibalut kemeja tipis, dingin dan jadi sering ke toilet.
Malamnya sekitar jam 7-an kami semua, kecuali Adi tidak ikut, dijemput untuk makan malam di Sangkuriang. Menu ikan bakar dan aneka menu tambahan lainnya membuat malam itu kenyang dan asik juga bersantap lesehan yang dihiasi kolam di depan bale-bale bambu dengan sinar temaran dan suara gemericik pancuran membuat malam semakin romatis. Ke-12 orang yang training dijamu sepuasnya pada malam itu.
Habis makan kita keluar dan foto-foto di depan Warung Makan Sangkuriang itu. Lalu kami serombongan menuju ke arah kanan dari Sangkuriang. Kami menemukan segudang FO di sepanjang jalan itu. Namun kami hanya masuk ke FO yang ada di sebelah kanan, mulai dari Donatello, Natural, Mode Plus. Ternyata jam tutup FO adalah jam 9 malam. Namun beberapa menit sebelum jam 9, mereka sudah siap-siap untukt tutup. Akhirnya dengan sedikit kecewa kami pulang diantar 2x oleh sopir kang Asep yang setia mengantarkan kami. Cape deh...
Hari Ketiga
She's got to Jayakarta for lunch. Training berjalan lancar dan semakin hari semakin dingin aja rasanya ruangan training yang garing itu. Garing karena tidak ada guyonan dari pengajarnya dan juga karena materi yang disampaikan tidak sesuai dengan harapan.
Sore harinya pulang langsung menuju hotel jalan kaki. Ternyata deket aja jalan kaki dari Jayakarta, cuma 15 menit, sambil olahraga dan olahmata, hehehe. Lalu sekitar jam 5 kami naik angkot menuju Braga. Kami turun percis di ujung jalan Braga lalu jalan kaki menyusuri Braga yang exotis dan jadoel. Dari start pertama kami sudah menemukan bangunan kuno peninggalan jaman penjajahan dengan gaya eropa. Lalu langkah kami terhenti di depan Braga Citiwalk, langsung saja masuk dan jalan-jalan muter di dalam mall yang dikemas menarik. Jalan masuknya didesain sedemikian rupa sehingga konsep city walk-nya tercipta dengan indah. Di dalam sana kami menemukan toko-toko standar mall, ada juga toko mebel/furniture yang luas, jarang kan biasanya ada stan mebel di mall. Trus ada juga Braga 21. Kami sempat berfoto narsis di depan label 21. Sungguh dangdut warna yang tercipta karena backgroundnya berwarna orang dengan tulisan warna biru.
Setelah puas menikmati city walk ala Braga, langkah kami lanjut terus menyusuri Braga hingga ke ujung. Sepanjang jalan memang mengesankan kota tua, seperti Kota Lama di Stasiun kota Jakarta atau Kota Lama Semarang. Bangunan-bangunan dengan pintu dan jendela unik menarik hati untuk membidikkan lensa D70-ku. Ada sebuah pintu dan jendela yang cukup unik dan asik kufoto, ternyata 2 bulan kemudian aku menemukan foto prewedding oleh Darwis Triadi di depan pintu tua itu, dengan pasangan prewedding yang berpakaian casual.
Di sepanjang jalan juga ada beraneka penjual lukisan yang memajang begitu saja lukisannya di tepi trotoar. Akhirnya di ujung jalan ada pertigaan bertemu dengan jalan Asia Afrika. Di jalan AA itu kami menemukan hotel (lupa namanya) yang konon adalah hotel peninggalan jaman Belanda dulu. Ada juga hotel Panghegar. Lalu perjalanan memutar terus hingga kembali ke dekat ujung jalan Braga. Kami menemukan Gereja dengan menara yang tinggi dan Gedung Bank Indonesia yang memanfaatkan bangungan peninggalan Belanda yang exotis sebagai gedung utama. Putih bersih dengan lampu-lampu temaram. Sayang malam itu tak bawa tripod.
Lalu kami menyusuri jalan satu arah, dan kami berjalan berlawanan arah dengan arus kendaraan. Hendak naik angkot tapi tak tau naik angkot apa, dan juga harus mutar sana mutar sini lagi. Akhirnya kami putuskan untuk jalan kaki saja menuju BIP (Bandung Indah Plaza). Sempat mutar-mutar di area Plaza yang modis itu. Pengunjungnya juga modis dan berdandan rapi dan gaul. Pengunjungnya rata-rata anak mudah dengan dandanan khas yang lagi ngetren. Kalau diperhatikan rata-rata mereka menggunakan sepatu. Rata-rata juga menggunakan kaos dan celana jeans dengan model sejenis, yang lagi ngetren saat itu. Muda-mudinya ganteng dan cakep-cakep sungguh dipandang dan sedap dilihat, namun tak bisa diraba. Sungguh fashionable.
Karena perut sudah lapar, niat beli sepatu di Sport Station diurungkan. Dinner saja di Rice Bowl BIP. Menu yang dipilih adalah BBQ chicken noodle, oriental fried rice, es shanghai, jus strawberry. Yang lucu dan sedikit menjengkelkan adalah ketika saya memesan jus semangka, eh malah dibawakan es shanghai. Dalam hati berkata "Sana korek dulu kupingnya biar gak salah denger". Tapi kasihan juga akhirnya es itu kuterima juga, karena 'tampangnya' membuat air liur ini minta untuk ditelan segera.
Sembari menunggu makanan datang ku mampir di ATM Mandiri untuk membayar tagihan credit card Mandiri dan Citibank.
Selesai makan tiba-tiba HP berbunyi, teman-teman yang lain menjemput dan sudah ada di depan BIP untuk jalan entah kemana. Akhirnya kami keluar dan melanjutkan jalan-jalan menembus malam yang semakin indah itu. Sebenarnya setelah makan es habis jalan jauh itu rasanya badan sudah agak kurang beres. Trus selama jalan kaki tadi, keringat hanya sedikit mengucur bahkan bisa dibilang tidak keringetan, karena udara sungguh dingin. Lalu mall yang dipilih adalah Paris Van Java. Desain mallnya unik dengan mengemas mirip city walk juga. Stan-stan dibangun mengapit gang-gang yang terbuka, kalau kita melihat ke atas bintang gumintang menyambut dengan senyum. Di tengah gang-gang ditanamin pohon-pohon exotis sehingga mengesankan kita berjalan-jalan di kota-kota eropa. Terang benderang lampu-lampu membuat semuanya tampak indah, walaupun sebenarnya semua itu semu oleh sinaran lampu neon.
Paris Van Java adalah mall terbaru di Bandung. Di pintu masuk kita disambut dengan tulisan Paris Van Java dari lampu lalu langsung masuk ke area parkir yang sangat luas. Mungkin 2x lipat luas mall-nya sendiri. Dan mungkin juga yang parkir lebih banyak mobil dibandingkan sepeda motor. Sungguh mewah.
Malam hari pulang dengan rasa yang agak kurang enak. Badan rasanya pengen langsung tidur saja. Lalu langsung mandi dengan kucuran air hangat yang mengucur dari shower hotel yang mengucur tanpa henti. Tak disangka tak diduga, selesai mandi rasa tak enak badan menjadi-jadi. Badanku jadi menggigil seperti disiram air es yang dingin. Menggigil demam dan badanku panas melawan rasa dingin itu. Akhirnya aku dibelikan Decolgen di luar sana. Aku lansung minum dan tidur, malam hari minum lagi. Aku tidur dalam suasana gelisah dan kadang terbangun pada malam hari. Aku demam.
Hari Keempat
Esok harinya aku bangun dengan rasa yang belum fit. Aku mandi seperlunya. Dan berangkat ke Jayakarta dengan jaket dan badan masih terasa dingin. Keringat sedikitpun belum mengucur. Di kelas juga rasanya tidak karuan, mau tidur tak bisa. Badan masih terasa dingin. Ketika Niko menyenggol keningku dengan tangannya, ia rasakan panas, ternyata bandanku masih panas.
Setelah makan siang aku, Niko dan Santo kembali ke Sheraton naik angkot biar dapat tidur siang. Namun aku sudah tak tahan, after lunch aku tak ikut training lagi, aku tewas, aku tak kuat menahan beban siang itu. Aku terkulai lemas tak berdaya di atas kasur empuk Sheraton yang mahal. Aku menjadi manusia lemah yang harus dikasihani dan harus dirawat dengan manja. Aku sakit.
Akhirnya kuputuskan menelfon front office dan katanya di hotel menyediakan dokter. Sembari menunggu dokter yang datang 1 jam lagi, seorang perawat laki-laki datang dan memberi obat penurun panas saja, Sanmol. Ketika dokter datang, aku diperiksa seadanya dan secukupnya saja. Disuruh buka mulut, buka. Disuruh ukur suhu tubuh, cuman 37 derajat selsius, tak terlalu panas. Namun tensiku yang turun drastis, 100 mmHG. Dengan gagah perkasa dokter menyerahkan kertas bon untuk kuparaf, kulihat angka 450.000 dan sepertinya aku tak tak salah, tapi waktu itu aku berharap aku salah liat. Namun aku tak salah liat. Gilaaa...!
Setelah diperiksa dokter ku kembali tertidur lemas, pulas. Ketika bangun aku ke tempat Aditama ambil tas tertinggal dan souvenir dari sponsor. Sore menjelang malam ketika suara-suara jangkrik sudah berpadu dengan suara kendaraan yang mulai pulang, aku ke luar hotel untuk makan malam di depan hotel, seadanya, yang penting makan.
Malam hari tanpa pikir panjang langsung tidur untuk esok bangun dengan ceria.
Hari Kelima
Pagi-pagi sudah bangun pagi lalu dengan sekuat tenaga ku langsung mandi dan mencoba untuk semangat. Semoga hari ini yang panjang bakal bisa kulalui dengan lancar dan sehat. Foto-foto bentar di Sofa yang aduhai dengan tampang yang masih sakit dan rambut yang kucel. Jam 9.30 kami semua berangkat ke Pasar Baru. Di sepanjang jalan sempat mampir sebentar di ATM Mandiri Dago. Sepanjang perjalanan tak hentinya senda gurau di antara kami karena training sudah selesai. Hari terakhir ini sebenarnya masih training, namun dari pihak penyelenggara memberikan bonus dengan mengajak jalan-jalan sesuka hati ke mana pun mau hingga ke pelosok Bandung. Si sopir Asep berpesan agar hati-hati di dalam pasar Baru sana, karena banyak copet. Dari cerita itu kontan saja semuanya pada hati-hati naruh barang-barang berharga mereka. Ada yang menyimpan dompet di saku depan celana jeansnya. Ada yang menaruh HP di tasnya. Ada yang menyimpan dompet dalam tas, lalu tas ditaruh di depan perut agar mudah diawasi.
Ketika memasuki areal pasar yang terdiri dari beberapa lantai, aroma murah meriah sudah muncul di pintu masuk. Di sana semuanya langsung menuju tempat tujuan masing-masing sesuai dengan rencana mereka dari rumah hendak membeli apa. Ada yang langsung membeli sandal, tas dan baju. Aku hanya membeli dompet 5000-an, kaos label Bandung, gantungan kunci dan kain batik yang lumayan klasik motifnya. Setelah puas dan memuaskan nafsu shopaholic-nya kami semua melanjutkan perjalanan untuk makan siang, kami diantarkan makan di sebuah Hypermart namanya Pascal. Makan siang baru jam 1 lewat. Siang itu menu yang dipesan adalah Nasi Hainan dengan lauk B2, Nasi Timble dan Teh Anget.
Lalu sekitar jam setengah 3 kami tiba di Ciwalk. Inilah icon Bandung yang sebenarnya menjadi idaman dan impian kami sejak kemaren-kemaren. Karena konon disinilah segalanya ada. Sepanjang jalan Cihampelas inilah pusat keramaian Bandung tumpah ruah. Di dalam Ciwalk aku sempatkan membeli kaos di Yogya Store. Kaos hitam dengan label "We Are Best Couple" menjadi kenangan tersendiri, kaos hitam kenang-kenangan Bandung. Juga memiliki arti yang dalam dan harapan yang mulia, kami ingin menjadi pasangan terbaik dan terindah di dunia ini, terkesan muluk-muluk namun itulah harapan kami. Setelah puas menggerayangi Ciwalk, akhirnya duduk-duduk ria di depannya sambil foto-foto narsis tak tentu gaya. Lalu keluar jalan kaki menuju jalan Cihampelas. Namun tak jadi menyusuri jalan Cihampelas yang bersejarah ini. Karena sudah kesorean.
Akhirnya kami diajak menuju tempat lain, tidak tahu lagi kami diarahkan kemana. Namun di tengah jalan kami berhenti di depan Gedung Sate. Ah ini dia yang ditunggu-tunggu. Aku langsung sikat saja bangunan bersejarah ini, dan yang lain juga berfoto narsis bukan kepalang. Setelah puas, ternyata kami diantarkan ke Heritage FO, sebuah FO dengan bangunan gaya mediteranian. Gaya londo kata orang jawa. FO ini memang terkenal murah dan barang-barangnya bagus-bagus. Malah ada kaos berlabel Ralph Laurent rejected seharga 55000 saja. Ralph Laurent adalah nama pemilik Kaos POLO yang terkenal itu. Tapi kok tak satupun aku beli kaos berkerahnya, mungkin karena kemaren-kemaren sudah banyak belanja, jadi enggan untuk tambah lagi.
Setelah puas window shopping (maksudnya cuman lihat-lihat dan pegang-pegang saja), kami keluar dan nongkrong di depan. Ada bapak-bapak tua yang menawarkan kaca mata riben seharga murah, dan dengan PD-nya si bapak bilang kalau kaca mata itu asli bin abdul kadir. Ah yang bener saja pak, masak Oakley harganya segitu. Bapak menipu orang yang salah. Setelah tawar menawar dengan sengit dan perang otot leher yang membuat kerongkongan kering, akhirnya aku beli 1 seharga 4 juta rupiah, temen yang lain juga beli 1. Sembari menunggu teman yang lain keluar dari Heritage kami sempatkan mampir di FO Stamp di seberang jalan sana, namun harganya mahal-mahal.
Di sebelah Heritage ada Cascade dengan desain gerbang depan yang minimalis eksotis yang membuat virus narsis kami menyebar ke seluruh darah dalam tubuh ini. Lalu ia menerobos syaraf-syaraf otak dan memerintahkan kami untuk berfoto ria di depan gerbang eksotis itu. Romatis sekali sore itu plus sinar lampu mulai dinyalakan, suasana dingin kota Bandung menjadi saksi bisu. Tampak seorang anak kecil penjual koran menawarkan koran Kompas yang sudah telat dijual sore. Tapi ia mau saja menerima ketika ada yang memberikan uang receh sekedar untuk menambah bekal. Sungguh kasihan anak kecil yang tegar itu. Di umur sekian ia sudah berperang melawan rasa malas, ia sudah bertarung melawan rasa takut, ia sudah membunuh rasa malu dalam dirinya. Ia hanya manusia kecil yang sebenarnya dan seharusnya mengenyam bangku sekolah, lalu sore-sore seperti itu harusnya ia mandi, bersih dan ditemani ibu atau bapaknya belajar membaca di rumahnya yang nyaman, bukan malah keluyuran seperti yang kulihat ini.
Teman-teman sudah pada bosan mungkin dan capek, bahkan untuk berbicarapun mereka malas. Berbeda dengan ketika tadi pagi mulai berangkat, sore ini kita semua lunglai tak berdaya. Akhirnya dengan rasa malas tingkat tinggi, kita semua kembali ke mobil yang berplat nomor D 1238 sama dengan plat mobil di rumah. Kebetulan yang menggelikan. Kang Asep sudah menunggu dari tadi, tampaknya ia sudah bosan menunggu kita. Dengan segenap hati, dengan rasa yang paling dalam, akhirnya kami sepakat pulang kembali ke hotel dan mbak Rita juga langsung diantarkan ke stasiun kereta untuk ke Jogja malam itu juga. Thanks semuanya atas segala partisipasinya.
Di dalam kamar aku letih, lemah dan lesu tak bertenaga. Badanku baru terasa pegal dan sekujur tubuh mulai seperti tertusuk benda tumpul. Ingin sekali dipijat malam itu.
Setelah mandi kami keluar ke Simpang Dago makan malam Pepes Ayam, Ati dan Ayam Bakar. Tanpa babibu lagi kami langsung menuju Merdeka FO untuk membeli jaket pesanan untuk adikku tersayang, sekalian memakai voucher belanja yang diberikan kemaren. Dan juga tanpa babibu kami langsung pulang dan membeli air mineral dan bekal lainnya di mini market depan hotel.
PUlang ke hotel langsung ke kamar dan packing dengan semangat namun badan tentu saja masih kurang fit dan sedikit pegal. Setelah dipacking baru ketahuan kalau barangnya banyak betul, 1 tas travelling, 2 kardus dan 1 ransel laptop. Esok hari akan check out dari hotel yang romantis dan penuh kenangan indah ini walaupun twin bad. Badanku sudah agak mendingan dibanding sehari sebelumnya, sudah tidak panas lagi, namun hidung jadi berair.
Hari Terakhir
26 Juli 2008 adalah hari terakhir kami di Bandung. Sudah sekian hari namun rasanya masih kurang saja. Manusia memang tak ada puasnya. Namun suasana Bandung yang dingin-dingin empuk membuat hati rasanya betah dan bikin mabuk kepayang. Kalau ada sumur di ladang bolehlah kita kesini lagi lain kali kalau ada duit tentunya.
Pagi-pagi sebelum mandi kami sempatkan berfoto-foto ria lagi di taman kenangan di belakang hotel, kami menyebutnya sebagai Garden of Memory. Oh so sweet.
Pagi itu kami sudah siap, jam 11 kami check out dan jam 12 kami diantar menuju bandara Cengkareng Jakarta dengan Innova. Perjalanan begitu lancar dan sesampai di Jakarta suasana sungguh berbeda, dinginnya Bandung tergantikan oleh suasana hingar dan panasnya Bandara SoeTa ini. Tak ada lagi taman kenangan tempat kami berfoto ria, tak ada lagi guyonan di FO-FO kacang goreng, tak ada lagi kang Ujang, kang Asep dan kang-kang lainnya. Yang ada hanya keringat dinginku mengucur deras melawan panas yang cukup terik sore itu. Kami sampai jam 3 lewat, sedangkan pesawatku ke Bali 3 jam lagi.
I miss everything...
Wednesday, July 30, 2008
Pilkada 9 Juli
Setelah melalui prosesi kampanye ke berbagai pelosok daerah dan menghadiri acara debat calon kepala daerah di stasiun TV nasional akhirnya hari H pilkada tiba dengan aman. 9 Juli 2008, tapi aku tak bisa menghadiri karena hari itu juga aku sedang di lokasi untuk sesuap nasi.
Tiga pasang calon berjuang secara sportif meskipun di beberapa artikel yang beredar lewat internet dan email ada saja yang menjelek-jelekkan salah satu calon. Yang paling banyak dijelek-jelekkan adalah Winasa yang berpasangan dengan IB Alit Putra. Mulai dari kasus islamisasi Jembrana hingga kasus proyek-proyek egosentrisnya. Yang paling tak pernah ku dengar cemoohnya adalah pasangan CBS-Suweta yang berjalan dengan tenang. Pasangan ini konon nge-trend di daerah timur Bali yang katanya juga masih 'memegang kepercayaan' bahwa yang jadi pemimpin adalah harus dari keturunan pemimpin (baca: Raja). Dan syarat ini ada pada CBS.
Sedangkan yang paling menonjol dan paling gencar 'susupannya' di daerah Tabanan adalah pasangan Mangku Pastika-Puspayoga. Di sekitar daerahku sering kulihat kunjungan beliau yang diakhiri dengan tanpa malu-malu penduduk desa sana meminta sumbangan atau donasi untuk pembangunan pura, balai banjar atau sarana umum desa itu. Dan anehnya setiap permintaan pasti mendapat persetujuan, mungkin dengan embel-embel 'pilihlah saya' maka semuanya pasti beres. Entah dapat darimana uang para calgub itu. Apakah sehabis 'berpesta pora dan foya-foya' demokrasi itu mereka lalu mengambil keuntungan dari keuangan negara setelah mereka terpilih nantinya. Apakah mereka kemudian menilep uang negara demi menutupi modal-modal kampanye dan money politic yang sudah mereka praktekkan pra pilgub lalu. Apakah hal itu benar adanya?
Semoga saja semuanya hanya isapan jempol saya saja. Semoga setiap pemimpin pilihan rakyat itu, siapapun yang terpilih, kelak menjadi pemimpin yang bisa melayani rakyat berlandaskan teori-teori sesuai dengan janji-janji yang mereka lontarkan pra pilgub selama kampanye. Saya mendukung semua calon dan mendukung siapapun yang akan terpilih. Semoga pikiran positif datang dari segala penjuru.
Tiga pasang calon berjuang secara sportif meskipun di beberapa artikel yang beredar lewat internet dan email ada saja yang menjelek-jelekkan salah satu calon. Yang paling banyak dijelek-jelekkan adalah Winasa yang berpasangan dengan IB Alit Putra. Mulai dari kasus islamisasi Jembrana hingga kasus proyek-proyek egosentrisnya. Yang paling tak pernah ku dengar cemoohnya adalah pasangan CBS-Suweta yang berjalan dengan tenang. Pasangan ini konon nge-trend di daerah timur Bali yang katanya juga masih 'memegang kepercayaan' bahwa yang jadi pemimpin adalah harus dari keturunan pemimpin (baca: Raja). Dan syarat ini ada pada CBS.
Sedangkan yang paling menonjol dan paling gencar 'susupannya' di daerah Tabanan adalah pasangan Mangku Pastika-Puspayoga. Di sekitar daerahku sering kulihat kunjungan beliau yang diakhiri dengan tanpa malu-malu penduduk desa sana meminta sumbangan atau donasi untuk pembangunan pura, balai banjar atau sarana umum desa itu. Dan anehnya setiap permintaan pasti mendapat persetujuan, mungkin dengan embel-embel 'pilihlah saya' maka semuanya pasti beres. Entah dapat darimana uang para calgub itu. Apakah sehabis 'berpesta pora dan foya-foya' demokrasi itu mereka lalu mengambil keuntungan dari keuangan negara setelah mereka terpilih nantinya. Apakah mereka kemudian menilep uang negara demi menutupi modal-modal kampanye dan money politic yang sudah mereka praktekkan pra pilgub lalu. Apakah hal itu benar adanya?
Semoga saja semuanya hanya isapan jempol saya saja. Semoga setiap pemimpin pilihan rakyat itu, siapapun yang terpilih, kelak menjadi pemimpin yang bisa melayani rakyat berlandaskan teori-teori sesuai dengan janji-janji yang mereka lontarkan pra pilgub selama kampanye. Saya mendukung semua calon dan mendukung siapapun yang akan terpilih. Semoga pikiran positif datang dari segala penjuru.
Aku ke Santan Lagi
Hari Minggu tanggal 13 July aku ke Santan lagi untuk memenuhi panggilan MCU (medical check up) tahunan yang harusnya sudah aku lakukan pada bulan Mei, tapi karena berbagai kesibukan dan short man power akhirnya ditunda sampai 2 bulan (2 kali ON Duty). Niat ingin ketemu dokter Tony Tirtamulya tidak kesampaian. Kabarnya ia hari itu juga pulang dan hari itu adalah hari terakhirnya mengabdi di perusahaan yang besar ini. Menurut kabar dari seorang tenaga medis di Attaka, beliau akan menghabiskan waktu purnakaryanya di Bali dengan membuka bisnis penginapan alias hotel. Tapi sayang, waktu itu saya tidak bisa ketemu, padahal aku ingin tahu dimana beliau membuka bisnis di Bali.
Hari Minggu itu, pagi-pagi, subuh-subuh jam 5.30 Kepodang sudah melaju dari Attaka tercinta. Cuaca yang masih gelap dan udara yang masih dingin membungkus aku pagi itu. Tapi semangat membara dalam hati mengalahkan udara dingin pagi itu. Karena hari itu aku akan ke Santan lagi, bertemu dengan kicauan burung dan lambaian pohon-pohon albesia yang tumbuh kokoh di belakang ruang tunggu dock site. Jam 6.30 akhirnya boat sudah merapat di boat landing dock site aku pun bergegas turun lalu melanjutkan langkah kaki yang semangat ini menuju Santan Clinic. Begitu memasuki ruang clinic, ku terobos saja pintu-pintu yang bisa kembali sendiri lalu di ujung sana aku temui 2 orang tenaga medis, yang salah satunya perawat gadis yang seumuran adikku, namanya Christine. Mereka sedang diskusi ngalor-ngidul dengan dokter Cong, dokter baru yang masih muda dan berwajah kuning bersih. Pakaian mereka merah-merah dan seolah menandakan semangat mereka "menggarap" aku pagi itu.
Lalu aku langsung menuju ruang pengambilan darah. Dipandu Christine yang berwajah kuning bersih juga, darahku diambil untuk kemudian ditest. Lalu gadis yang lulusan Akper Pertamina Jakarta ini menyerahkan sebotol kecil dan menyuruhku mengambil urine di belakang sana. Setelah itu aku dipersilahkan menyantap sarapan pagi di Mess Hall. Mess Hall pagi itu sudah sunyi, karena waktu makan sudah hampir habis, sisa 15 menit lagi.
Kemudian dengan tetap bersemangat aku kembali ke Clinic lalu langsung disambut si cantik Christine dan diajak ke ruang rekam jantung. Di sana aku buka setengah baju lalu tiduran di atas pembaringan dengan seprai dan sarung bantal putih-putih, bersih. Lalu ia meraba-raba dadaku yang berdegup dag dig dug, menempelkan benda-benda aneh yang berisi kabel-kabel terjuntai. Semakin membuat aku sedikit tegang, semoga hasil rekam jantung ini tidak dipengaruhi oleh ketegangannku saat itu. Setelah melakukan test nafas dengan menghembuskan nafas sekuat tenaga pada sebuah alat elektronik, lalu dilanjutkan dengan foto rontgen yang diambil oleh tenaga medis yang pria. Aku membuka setengah pakaian atasku lalu disuruh menghadap ke dinding. Tarik nafas dan tahan, lalu suara shutter release berbunyi dengan lembut menandakan aku sudah bisa bernafas seperti biasa dan kembali ke posisi rileks.
Medical check up diakhiri dengan test pendengaran. Aku masuk ke sebuah ruangan kecil ukuran 1 meter persegi yang kedap suara. Lalu disuruh mengenakan headphone dengan warna merah di sebelah kanan, biru di telinga kiri. Suara-suara denging aku dengarkan, sembari memencet tombol-tombol jika suara-suara dengan berbagai frekuensi itu aku masih bisa dengar dengan jelas. Lalu aku dipersilahkan menunggu dan kembali ke clinic after lunch.
Tanpa pikir panjang aku melangkahkan kakiku yang rapuh menuju BB11. Ruang kenangan tempat dulu kami nge-rock dan aktifitas gila lainnya selama field development training. Akhirnya aku keluarkan senjata kesayanganku lalu aku nonton film "Maaf saya menghamili istri anda" dan 2 CD bagian 1 dan 2 dari Pak Tung yang merupakan paket bonus dari buku Marketing Revolution.
Siang telah tiba dan setelah istirahat makan siang, aku bergegas ke clinic dan sudah tidak sabar melihat hasil kesehatanku. Aku bertemu dengan seorang security yang pensiun 2 tahun lagi. Kami bersama menuju clinic karena ia juga MCU hari itu. Langkahnya tegap pertanda ia rajin berolahraga dan menjaga kebugaran badannya.
Sampai di Clinic aku langsung disuruh foto rontgen lagi, katanya yang tadi kurang tajam. Lalu dokter mempersilahkan memasuki ruangannya. Ia cerita panjang lebar tentang hasil test darahku. Ternyata kolesterolku yang naik drastis, 245 point dan 191 point untuk LDL Kolesterol. Dan aku bertanggung jawab untuk meyakinkan diriku untuk selalu berolahraga teratur dan mengatur pola makan sehat bebas lemak dan kolesterol. Aku pulang dengan lunglai karena rasanya semangatku pagi tadi sudah hilang dimakan kolesterol jahat yang cukup banyak bercokol dalam darahku.
Karena sorenya tidak ada boat ke Attaka, aku memilih menginap di Santan saja. Aku disediakan kamar di camp dekat mess hall, kamar nomor 3 menghadap kolam renang. Sore hari karena tak ada kerjaan aku jalan-jalan ke Santan Airport, karena disana sedang ada kompetisi olahraga terbang layang PON 2008 Kaltim. Udara panas sore itu tidak menyurutkan langkahku untuk jepret sana jepret sini dari mata besi kesayanganku. Lalu aku menyudahi saja karena aku haus, di perjalanan pulang aku ketemu crew TMG sedang duduk santai di shop mereka. Aku minta sebotol air mineral kepada Aditama yang waktu itu sedang on duty. Lalu aku melanjutkan langkah menuju kamar, tapi aku singgah sebentar ke IS shop untuk sekedar membaca email, karena tadi pagi kekasihku mengirim SMS untuk membaca email paling tidak sore ini. Disana aku bertemu Lutfi.
Lalu aku pulang dan memutuskan untuk mandi. Keesokan harinya aku hampir ketinggalan boat menuju Attaka. Menurut informasi boat akan berangkat jam 7. Tapi ketika jam 6.05 aku ke dock site, Kepodang sudah hendak beranjak dari landing boat. Kontan para security berteriak memanggil kembali Kepodang yang sudah 20 meter beranjak. Aku hanya senyum-senyum malu-malu ke Kaptennya. Ah suasana yang romantis memang kalau tidur di Santan. Karena di laut tak akan menemukan suara gemericik burung berkicau di pagi yang indah. Di laut tidak akan menemukan sinar mentari menerobos di sela-sela dedaunan yang membentuk semburat cahaya yang indah. Karena di laut tak akan menemui petugas pemotong rumput yang yang pagi-pagi sudah berkeliaran membawa pemotong rumput senjata andalannya. Karena di laut yang ada hanya gelombang, karat dan makanan basi.
Lima platform 07.30
Hari Minggu itu, pagi-pagi, subuh-subuh jam 5.30 Kepodang sudah melaju dari Attaka tercinta. Cuaca yang masih gelap dan udara yang masih dingin membungkus aku pagi itu. Tapi semangat membara dalam hati mengalahkan udara dingin pagi itu. Karena hari itu aku akan ke Santan lagi, bertemu dengan kicauan burung dan lambaian pohon-pohon albesia yang tumbuh kokoh di belakang ruang tunggu dock site. Jam 6.30 akhirnya boat sudah merapat di boat landing dock site aku pun bergegas turun lalu melanjutkan langkah kaki yang semangat ini menuju Santan Clinic. Begitu memasuki ruang clinic, ku terobos saja pintu-pintu yang bisa kembali sendiri lalu di ujung sana aku temui 2 orang tenaga medis, yang salah satunya perawat gadis yang seumuran adikku, namanya Christine. Mereka sedang diskusi ngalor-ngidul dengan dokter Cong, dokter baru yang masih muda dan berwajah kuning bersih. Pakaian mereka merah-merah dan seolah menandakan semangat mereka "menggarap" aku pagi itu.
Lalu aku langsung menuju ruang pengambilan darah. Dipandu Christine yang berwajah kuning bersih juga, darahku diambil untuk kemudian ditest. Lalu gadis yang lulusan Akper Pertamina Jakarta ini menyerahkan sebotol kecil dan menyuruhku mengambil urine di belakang sana. Setelah itu aku dipersilahkan menyantap sarapan pagi di Mess Hall. Mess Hall pagi itu sudah sunyi, karena waktu makan sudah hampir habis, sisa 15 menit lagi.
Kemudian dengan tetap bersemangat aku kembali ke Clinic lalu langsung disambut si cantik Christine dan diajak ke ruang rekam jantung. Di sana aku buka setengah baju lalu tiduran di atas pembaringan dengan seprai dan sarung bantal putih-putih, bersih. Lalu ia meraba-raba dadaku yang berdegup dag dig dug, menempelkan benda-benda aneh yang berisi kabel-kabel terjuntai. Semakin membuat aku sedikit tegang, semoga hasil rekam jantung ini tidak dipengaruhi oleh ketegangannku saat itu. Setelah melakukan test nafas dengan menghembuskan nafas sekuat tenaga pada sebuah alat elektronik, lalu dilanjutkan dengan foto rontgen yang diambil oleh tenaga medis yang pria. Aku membuka setengah pakaian atasku lalu disuruh menghadap ke dinding. Tarik nafas dan tahan, lalu suara shutter release berbunyi dengan lembut menandakan aku sudah bisa bernafas seperti biasa dan kembali ke posisi rileks.
Medical check up diakhiri dengan test pendengaran. Aku masuk ke sebuah ruangan kecil ukuran 1 meter persegi yang kedap suara. Lalu disuruh mengenakan headphone dengan warna merah di sebelah kanan, biru di telinga kiri. Suara-suara denging aku dengarkan, sembari memencet tombol-tombol jika suara-suara dengan berbagai frekuensi itu aku masih bisa dengar dengan jelas. Lalu aku dipersilahkan menunggu dan kembali ke clinic after lunch.
Tanpa pikir panjang aku melangkahkan kakiku yang rapuh menuju BB11. Ruang kenangan tempat dulu kami nge-rock dan aktifitas gila lainnya selama field development training. Akhirnya aku keluarkan senjata kesayanganku lalu aku nonton film "Maaf saya menghamili istri anda" dan 2 CD bagian 1 dan 2 dari Pak Tung yang merupakan paket bonus dari buku Marketing Revolution.
Siang telah tiba dan setelah istirahat makan siang, aku bergegas ke clinic dan sudah tidak sabar melihat hasil kesehatanku. Aku bertemu dengan seorang security yang pensiun 2 tahun lagi. Kami bersama menuju clinic karena ia juga MCU hari itu. Langkahnya tegap pertanda ia rajin berolahraga dan menjaga kebugaran badannya.
Sampai di Clinic aku langsung disuruh foto rontgen lagi, katanya yang tadi kurang tajam. Lalu dokter mempersilahkan memasuki ruangannya. Ia cerita panjang lebar tentang hasil test darahku. Ternyata kolesterolku yang naik drastis, 245 point dan 191 point untuk LDL Kolesterol. Dan aku bertanggung jawab untuk meyakinkan diriku untuk selalu berolahraga teratur dan mengatur pola makan sehat bebas lemak dan kolesterol. Aku pulang dengan lunglai karena rasanya semangatku pagi tadi sudah hilang dimakan kolesterol jahat yang cukup banyak bercokol dalam darahku.
Karena sorenya tidak ada boat ke Attaka, aku memilih menginap di Santan saja. Aku disediakan kamar di camp dekat mess hall, kamar nomor 3 menghadap kolam renang. Sore hari karena tak ada kerjaan aku jalan-jalan ke Santan Airport, karena disana sedang ada kompetisi olahraga terbang layang PON 2008 Kaltim. Udara panas sore itu tidak menyurutkan langkahku untuk jepret sana jepret sini dari mata besi kesayanganku. Lalu aku menyudahi saja karena aku haus, di perjalanan pulang aku ketemu crew TMG sedang duduk santai di shop mereka. Aku minta sebotol air mineral kepada Aditama yang waktu itu sedang on duty. Lalu aku melanjutkan langkah menuju kamar, tapi aku singgah sebentar ke IS shop untuk sekedar membaca email, karena tadi pagi kekasihku mengirim SMS untuk membaca email paling tidak sore ini. Disana aku bertemu Lutfi.
Lalu aku pulang dan memutuskan untuk mandi. Keesokan harinya aku hampir ketinggalan boat menuju Attaka. Menurut informasi boat akan berangkat jam 7. Tapi ketika jam 6.05 aku ke dock site, Kepodang sudah hendak beranjak dari landing boat. Kontan para security berteriak memanggil kembali Kepodang yang sudah 20 meter beranjak. Aku hanya senyum-senyum malu-malu ke Kaptennya. Ah suasana yang romantis memang kalau tidur di Santan. Karena di laut tak akan menemukan suara gemericik burung berkicau di pagi yang indah. Di laut tidak akan menemukan sinar mentari menerobos di sela-sela dedaunan yang membentuk semburat cahaya yang indah. Karena di laut tak akan menemui petugas pemotong rumput yang yang pagi-pagi sudah berkeliaran membawa pemotong rumput senjata andalannya. Karena di laut yang ada hanya gelombang, karat dan makanan basi.
Lima platform 07.30
Terbang Bersama Atlet PON
Hari itu aku terbang lagi bersama Garuda menuju kota minyak nan panas. Siang itu, seperti biasa aku menghabiskan waktu menunggu pesawat yg selalu on time itu di Solaria, sebuah warung mewah nan mahal. Aku terduduk dengan lemas karena 2 minggu lagi akan kutinggalkan dia, terbang bersama harapan yang kian hari kian membara untuk segera meminang dirinya. Di luar sana aku lihat sobat lamaku di FN, Pak Yoyon dari Yogya. Dengan penampilan seadanya ia berjalan menuju ruang tunggu. Ku SMS dia, dia bilang hendak ke Jogja.
Waktu keberangkatan sudah tiba dan aku langsung berlalu di balik roda-roda berputar yang memutar-mutar meja-meja berjalan. Ternyata semua penumpang sudah naik, tinggal aku sendiri yang setengah berlari aku menuju pintu 17. Tak sengaja ku lihat Pak Yoyon duduk di ruang tunggu pintu 17 dan segera saja ku sapa. Ternyata ia habis meeting di Nusa Dua dan akan kembali ke Jogja. Setelah berbasa-basi aku lanjutkan langkahku menuju pesawat yang sudah tinggal menunggu aku saja. Di ujung sana petugas-petugas cantik nan rapi sudah menanti dengan senyum yang manis menggoda. Aku berlalu dan segera ditutup pintu pesawat. Kami terbang dengan mulus.
Transit di Makassar tak terlalu lama, hanya 30 menit. Aku memilih untuk turun pesawat. Kursi di ruang tunggu hampir dan bahkan banyak calon penumpang yang berdiri tak kebagian tempat duduk. Aku menyelinap masuk ke ruang rokok. Disana sudah duduk beberapa orang memenuhi beberapa bangku. Beberapa orang lainnya berdiri sambil tak hentinya menghisap dan mengepulkan racun dunia. Aku sulut sebatang rokok putih dan sambil bersandar di dinding kaca aku mengamati lalu lalang petugas di sekitar runway sana. Di sela-sela orang-orang menghisap dan menghembuskan batang-batang putih itu, datanglah seorang setengah baya. Ia mengeluarkan rokok lalu menyulut seperti yang lain. Dalam sekejap ia sudah berkomentar yang cukup mengagetkan orang-orang di dalam sana yang semuanya merokok, "Maaf, Bapak-bapak semua, sebenarnya kita ini buta huruf ya. Sudah tau di setiap bungkus rokok dikasi peringatan sama pemerintah tapi kita tetap saja merokok, padahal sudah jelas bahayanya". Spontan saja orang-orang disana kaget dan beberapa diantaranya ada yang mengomel dan ada juga yang berkomentar "Sama-sama mati juga Pak nantinya. Orang yang nggak ngerokok juga nanti mati kok." Komentar lain dari sudut ruangan dekat aku berdiri, "Kita hanya membantu petani tembakau dan pekerja di pabrik rokok Pak. Kalau kita semua berhenti merokok berapa ribu karyawan yang akan PHK dan berapa keluarga yang akan menderita", ujarnya menggebu-gebu. Trus dia masih melanjutkan, "Sebenarnya secara tidak langsung kita juga menyumbang pajak terbesar kepada pemerintah loh. Coba dihitung-hitung saja, 1 batang rokok kena cukai 35%. Gimana jadinya negara kalau kita serempak berhenti merokok". Hehehe. "Betul juga kalau dipikir-pikir," kata Bapak yang memberi kritik pertama tadi. Namun dengan muka masam dan senyum yang terpaksa dia buru-buru mematikan rokok yang masih tersisa 75% itu, lalu ia berlalu keluar dari ruangan berkabut penuh asap rokok itu.
Tak lama kemudian panggilan naik pesawat terdengar dari balik kisi-kisi yang bisa bersuara. Aku berjalan paling awal dan kembali duduk di tempat duduk semula. Lalu terdengar suara ramai dari balik gerombolan pemuda-pemudi. Melihat jaketnya yang seragam dengan tulisan PON aku simpulkan mereka adalah rombongan atlet PON ke Kaltim. Dua orang duduk di sampingku dan kutanya dengan ramah. Salah seorang diantaranya dengan logat khas Makassar-nya berusaha menjawab pertanyaanku, dan akhirnya aku tahu mereka adalah atlet PON cabor panjat tebing. Hiruk pikuk suara atlet membuatku semangat dan membarakan semangatku seperti semangat mereka untuk merebut emas di PON ini. Kuperhatikan, sebagian dari mereka sibuk mengamati pesawat, mungkin baru kali ini naik pesawat. Ada juga yang sibuk membuka meja di depannya lalu mengeluarkan buku dan ballpoint dari balik jaket seragam merahnya yang masih bau toko. Ternyata TTS siap diisi dengan sesekali ia bertanya pada temannya di seberang. Sehingga paduan suara-suara teriakan terdengar, sungguh ramai sekali siang itu.
Tak lama pesawat pun take off dan tiba tepat waktu di Sepinggan. Aku turun dengan tetap semangat dan tambah semangat ketika di ujung sana tampak panggung meriah berhiaskan pernak-pernik PON Kaltim, ada yang menari tarian penyambutan untuk atlet PON yang baru datang. Sungguh sangat elok dan rupawan dan jarang aku melihat pemandangan seperti itu. Aku pun berlalu dan langsung menuju pilot jety untuk meneruskan 2 minggu perjalanan panjang ini.
Di laut tak banyak perubahan terjadi, tak banyak peristiwa mengagetkan atau mengejutkan terjadi. Tak ada yang terlalu istimewa. Hanya saja setelah tiba di laut dan membaca email, aku mendapat kesempatan mengikuti training selama 5 hari di Bandung dari tanggal 21-25 July 08. Awalnya training hendak dilaksanakan di Jogja, tapi dari pihak penyelenggara memindahkan ke Bandung. Awalnya aku sedih karena tak jadi ke Jogja namun akhirnya aku senang karena dari dulu memang hanya Bandung yang belum pernah ku singgahi kota-kota besar di Jawa.
***
Dua minggu kemudian aku off dan senang hatiku. Seperti biasa karena pesawatku masih jam 4 sore, pagi-pagi kami ber-4 nongkrong di tempat biasa di sebuah rumah makan mewah dan mahal di pinggir jalan besar di kota minyak ini. Pagi-pagi jalanan masih sepi dan suara kendaraan belum terdengar bersahut-sahutan. Sehabis makan aku beli oleh-oleh dan akhirnya aku ke airport juga.
Dari kejauhan sudah kulihat bandara ini semakin padan saja pengunjungnya. Sudah bukan seperti bandara internasional lagi, lebih mirip terminal bis kota atau stasiun kereta api ekonomi, ramai dan berjubel. Bahkan untuk berjalanpun susah, harus miring sana miring sini. Langsung saja aku menuju counter check in. Namun antrian begitu panjang. Ternyata hari itu adalah hari-hari kepulangan atlet PON yang usai bertanding untuk kebanggaan propinsi mereka. Aku coba mengantri di tempat mengikat bagasi namun antrian juga panjang. Tak habis akal aku masuk Blue Sky lounge saja dan minta tolong petugas lounge untuk melakukan check in, beres.
Jam berangkat pun tiba. Benar saja, hampir seluruh kursi pesawat diisi oleh orang-orang berseragam merah-merah atlet yang pulang. Aku duduk diapit oleh bapak dan ibu-ibu berseragam merah-merah juga. Aku pusing dan pusing sekali mendengar obrolan dari kegembiraan mereka sore itu. Namun aku cuek bebek saja tak menghiraukan mereka. Di makazzar mereka semua turun dan yang naik di sebelahku bule Polandia. Lalu kuajak ngobrol seputar perjalanannya ke Indonesia. Kami asyik ngobrol hingga pesawat landing di Ngurah Ray dengan selamat jam 19.00
Waktu keberangkatan sudah tiba dan aku langsung berlalu di balik roda-roda berputar yang memutar-mutar meja-meja berjalan. Ternyata semua penumpang sudah naik, tinggal aku sendiri yang setengah berlari aku menuju pintu 17. Tak sengaja ku lihat Pak Yoyon duduk di ruang tunggu pintu 17 dan segera saja ku sapa. Ternyata ia habis meeting di Nusa Dua dan akan kembali ke Jogja. Setelah berbasa-basi aku lanjutkan langkahku menuju pesawat yang sudah tinggal menunggu aku saja. Di ujung sana petugas-petugas cantik nan rapi sudah menanti dengan senyum yang manis menggoda. Aku berlalu dan segera ditutup pintu pesawat. Kami terbang dengan mulus.
Transit di Makassar tak terlalu lama, hanya 30 menit. Aku memilih untuk turun pesawat. Kursi di ruang tunggu hampir dan bahkan banyak calon penumpang yang berdiri tak kebagian tempat duduk. Aku menyelinap masuk ke ruang rokok. Disana sudah duduk beberapa orang memenuhi beberapa bangku. Beberapa orang lainnya berdiri sambil tak hentinya menghisap dan mengepulkan racun dunia. Aku sulut sebatang rokok putih dan sambil bersandar di dinding kaca aku mengamati lalu lalang petugas di sekitar runway sana. Di sela-sela orang-orang menghisap dan menghembuskan batang-batang putih itu, datanglah seorang setengah baya. Ia mengeluarkan rokok lalu menyulut seperti yang lain. Dalam sekejap ia sudah berkomentar yang cukup mengagetkan orang-orang di dalam sana yang semuanya merokok, "Maaf, Bapak-bapak semua, sebenarnya kita ini buta huruf ya. Sudah tau di setiap bungkus rokok dikasi peringatan sama pemerintah tapi kita tetap saja merokok, padahal sudah jelas bahayanya". Spontan saja orang-orang disana kaget dan beberapa diantaranya ada yang mengomel dan ada juga yang berkomentar "Sama-sama mati juga Pak nantinya. Orang yang nggak ngerokok juga nanti mati kok." Komentar lain dari sudut ruangan dekat aku berdiri, "Kita hanya membantu petani tembakau dan pekerja di pabrik rokok Pak. Kalau kita semua berhenti merokok berapa ribu karyawan yang akan PHK dan berapa keluarga yang akan menderita", ujarnya menggebu-gebu. Trus dia masih melanjutkan, "Sebenarnya secara tidak langsung kita juga menyumbang pajak terbesar kepada pemerintah loh. Coba dihitung-hitung saja, 1 batang rokok kena cukai 35%. Gimana jadinya negara kalau kita serempak berhenti merokok". Hehehe. "Betul juga kalau dipikir-pikir," kata Bapak yang memberi kritik pertama tadi. Namun dengan muka masam dan senyum yang terpaksa dia buru-buru mematikan rokok yang masih tersisa 75% itu, lalu ia berlalu keluar dari ruangan berkabut penuh asap rokok itu.
Tak lama kemudian panggilan naik pesawat terdengar dari balik kisi-kisi yang bisa bersuara. Aku berjalan paling awal dan kembali duduk di tempat duduk semula. Lalu terdengar suara ramai dari balik gerombolan pemuda-pemudi. Melihat jaketnya yang seragam dengan tulisan PON aku simpulkan mereka adalah rombongan atlet PON ke Kaltim. Dua orang duduk di sampingku dan kutanya dengan ramah. Salah seorang diantaranya dengan logat khas Makassar-nya berusaha menjawab pertanyaanku, dan akhirnya aku tahu mereka adalah atlet PON cabor panjat tebing. Hiruk pikuk suara atlet membuatku semangat dan membarakan semangatku seperti semangat mereka untuk merebut emas di PON ini. Kuperhatikan, sebagian dari mereka sibuk mengamati pesawat, mungkin baru kali ini naik pesawat. Ada juga yang sibuk membuka meja di depannya lalu mengeluarkan buku dan ballpoint dari balik jaket seragam merahnya yang masih bau toko. Ternyata TTS siap diisi dengan sesekali ia bertanya pada temannya di seberang. Sehingga paduan suara-suara teriakan terdengar, sungguh ramai sekali siang itu.
Tak lama pesawat pun take off dan tiba tepat waktu di Sepinggan. Aku turun dengan tetap semangat dan tambah semangat ketika di ujung sana tampak panggung meriah berhiaskan pernak-pernik PON Kaltim, ada yang menari tarian penyambutan untuk atlet PON yang baru datang. Sungguh sangat elok dan rupawan dan jarang aku melihat pemandangan seperti itu. Aku pun berlalu dan langsung menuju pilot jety untuk meneruskan 2 minggu perjalanan panjang ini.
Di laut tak banyak perubahan terjadi, tak banyak peristiwa mengagetkan atau mengejutkan terjadi. Tak ada yang terlalu istimewa. Hanya saja setelah tiba di laut dan membaca email, aku mendapat kesempatan mengikuti training selama 5 hari di Bandung dari tanggal 21-25 July 08. Awalnya training hendak dilaksanakan di Jogja, tapi dari pihak penyelenggara memindahkan ke Bandung. Awalnya aku sedih karena tak jadi ke Jogja namun akhirnya aku senang karena dari dulu memang hanya Bandung yang belum pernah ku singgahi kota-kota besar di Jawa.
***
Dua minggu kemudian aku off dan senang hatiku. Seperti biasa karena pesawatku masih jam 4 sore, pagi-pagi kami ber-4 nongkrong di tempat biasa di sebuah rumah makan mewah dan mahal di pinggir jalan besar di kota minyak ini. Pagi-pagi jalanan masih sepi dan suara kendaraan belum terdengar bersahut-sahutan. Sehabis makan aku beli oleh-oleh dan akhirnya aku ke airport juga.
Dari kejauhan sudah kulihat bandara ini semakin padan saja pengunjungnya. Sudah bukan seperti bandara internasional lagi, lebih mirip terminal bis kota atau stasiun kereta api ekonomi, ramai dan berjubel. Bahkan untuk berjalanpun susah, harus miring sana miring sini. Langsung saja aku menuju counter check in. Namun antrian begitu panjang. Ternyata hari itu adalah hari-hari kepulangan atlet PON yang usai bertanding untuk kebanggaan propinsi mereka. Aku coba mengantri di tempat mengikat bagasi namun antrian juga panjang. Tak habis akal aku masuk Blue Sky lounge saja dan minta tolong petugas lounge untuk melakukan check in, beres.
Jam berangkat pun tiba. Benar saja, hampir seluruh kursi pesawat diisi oleh orang-orang berseragam merah-merah atlet yang pulang. Aku duduk diapit oleh bapak dan ibu-ibu berseragam merah-merah juga. Aku pusing dan pusing sekali mendengar obrolan dari kegembiraan mereka sore itu. Namun aku cuek bebek saja tak menghiraukan mereka. Di makazzar mereka semua turun dan yang naik di sebelahku bule Polandia. Lalu kuajak ngobrol seputar perjalanannya ke Indonesia. Kami asyik ngobrol hingga pesawat landing di Ngurah Ray dengan selamat jam 19.00
Blambangan Akhir Juni Kelabu
Sore-sore jam 5 aku tiba dari buka toko di Bajera bersama bapak dan adikku. Di rumah tua kosong dan tampaknya tak ada orang di rumah karena sepeda motor tak terlihat. Namun begitu masuk ada paman dan tante Ita yang sudah datang 1/2 jam lalu guna mengabarkan kakek Muncar meninggal tadi siang jam 1 di rumah. Paman-pamanku tiba 15 menit kemudian dan kontan semuanya panik, langkah apa yang harus ditempuh. Semuanya berpikir kusut dan hampir emosi. Namun bapakku memohon petunjuk suci ke Sanggah keluarga. Dan akhirnya diputuskan berangkat ke Muncar esok harinya subuh-subuh jam 5 dengan membaca tirta suci dari leluhur.
Malam itu juga kami sibuk menyiapkan segalanya, mulai dari air mineral, canang sari untuk pekeling hingga memesan nasi 20 bungkus di utara gedung dekat perempatan kampungku. Lalu malam itu juga aku mandi agak malam lalu tidur cepat agar esok bangun dengan segar.
Keesokan subuhnya jam 4 aku sudah bersiap-siap dan mandi pagi. Jam 4.30 kami berangkat dengan 1 mobil dengan penumpang 7 orang dari kampung. Kami mampir di Yeh Embang untuk menjemput 2 orang paman dan bibi. Jadi seluruh penumpang 9 orang berdesak-desakkan di mobil yang sebenarnya cukup luas itu. Akhirnya pagi-pagi sekali dan masih sepi kami tiba di Gilimanuk. Perjalanan dari Yeh Embang aku yang nyetir. Setelah membayar karcis sekitar 90 ribu tak lama kapal ferry berangkat dengan tenang dengan ombak yang lapang.
Satu jam kemudian kapal sudah mendarat di Ketapang lalu kendaraan langsung melaju dengan kencang menuju kota Banyuwangi. Di kota Banyuwangi kami melewati pinggiran kota dan terus berjalan ke arah selatan lagi menuju semenanjung Blambangan. Ketika tiba di tujuan, rumah kak Muncar, sedang berlangsung upacara memandikan jenasah yang dipimpin seorang pemangku disana. Setelah upacara kebesaran militer dilakukan di depan rumah akhirnya jenasah diberangkatkan jam 12.30 ke kuburan yang berjarak lumayan jauh 3 kilo. Di kuburan juga dilakukan upacara militer dengan tembakan ke udara (salto) oleh beberapa orang prajurit AL. Tak berapa lama juga kami semua kembali. Suasana panas terhapuskan oleh air mineral yang kami minum sesampai di rumah duka.
Jam 15.00 tepat kami kembali pulang ke Bali. Mobil melaju dengan tenang dan kecepatan stabil. Setelah menyeberang dan mampir di Yeh Embang perjalanan dilanjutkan dengan mampir beli maem di Bajera selama 1/2 jam. Akhirnya dengan badan pegel dan suasana duka masih terasa kami tiba di rumah jam 20.30. Esok hari aku harus sudah berangkat ke Balikpapan guna menghabiskan 2 minggu di samudera nan elok permai.
Itinerary:
4.30 start from Bali
6.00 arrive at Yeh Embang
6.30 start from Yeh Embang
7.30 sampai Gilimanuk
8.10 kapal berangkat
9.00 sampai Ketapang
10.15 sampai tujuan
10.00 mandiin jenasah
12.30 ke kuburan
15.00 pulang ke Bali
16.00 kapal berangkat
17.00 sampai Yeh Embang
mampir di Bajera 1/2 jam
20.30 sampai Pandak
Malam itu juga kami sibuk menyiapkan segalanya, mulai dari air mineral, canang sari untuk pekeling hingga memesan nasi 20 bungkus di utara gedung dekat perempatan kampungku. Lalu malam itu juga aku mandi agak malam lalu tidur cepat agar esok bangun dengan segar.
Keesokan subuhnya jam 4 aku sudah bersiap-siap dan mandi pagi. Jam 4.30 kami berangkat dengan 1 mobil dengan penumpang 7 orang dari kampung. Kami mampir di Yeh Embang untuk menjemput 2 orang paman dan bibi. Jadi seluruh penumpang 9 orang berdesak-desakkan di mobil yang sebenarnya cukup luas itu. Akhirnya pagi-pagi sekali dan masih sepi kami tiba di Gilimanuk. Perjalanan dari Yeh Embang aku yang nyetir. Setelah membayar karcis sekitar 90 ribu tak lama kapal ferry berangkat dengan tenang dengan ombak yang lapang.
Satu jam kemudian kapal sudah mendarat di Ketapang lalu kendaraan langsung melaju dengan kencang menuju kota Banyuwangi. Di kota Banyuwangi kami melewati pinggiran kota dan terus berjalan ke arah selatan lagi menuju semenanjung Blambangan. Ketika tiba di tujuan, rumah kak Muncar, sedang berlangsung upacara memandikan jenasah yang dipimpin seorang pemangku disana. Setelah upacara kebesaran militer dilakukan di depan rumah akhirnya jenasah diberangkatkan jam 12.30 ke kuburan yang berjarak lumayan jauh 3 kilo. Di kuburan juga dilakukan upacara militer dengan tembakan ke udara (salto) oleh beberapa orang prajurit AL. Tak berapa lama juga kami semua kembali. Suasana panas terhapuskan oleh air mineral yang kami minum sesampai di rumah duka.
Jam 15.00 tepat kami kembali pulang ke Bali. Mobil melaju dengan tenang dan kecepatan stabil. Setelah menyeberang dan mampir di Yeh Embang perjalanan dilanjutkan dengan mampir beli maem di Bajera selama 1/2 jam. Akhirnya dengan badan pegel dan suasana duka masih terasa kami tiba di rumah jam 20.30. Esok hari aku harus sudah berangkat ke Balikpapan guna menghabiskan 2 minggu di samudera nan elok permai.
Itinerary:
4.30 start from Bali
6.00 arrive at Yeh Embang
6.30 start from Yeh Embang
7.30 sampai Gilimanuk
8.10 kapal berangkat
9.00 sampai Ketapang
10.15 sampai tujuan
10.00 mandiin jenasah
12.30 ke kuburan
15.00 pulang ke Bali
16.00 kapal berangkat
17.00 sampai Yeh Embang
mampir di Bajera 1/2 jam
20.30 sampai Pandak
Subscribe to:
Posts (Atom)