Hari itu aku terbang lagi bersama Garuda menuju kota minyak nan panas. Siang itu, seperti biasa aku menghabiskan waktu menunggu pesawat yg selalu on time itu di Solaria, sebuah warung mewah nan mahal. Aku terduduk dengan lemas karena 2 minggu lagi akan kutinggalkan dia, terbang bersama harapan yang kian hari kian membara untuk segera meminang dirinya. Di luar sana aku lihat sobat lamaku di FN, Pak Yoyon dari Yogya. Dengan penampilan seadanya ia berjalan menuju ruang tunggu. Ku SMS dia, dia bilang hendak ke Jogja.
Waktu keberangkatan sudah tiba dan aku langsung berlalu di balik roda-roda berputar yang memutar-mutar meja-meja berjalan. Ternyata semua penumpang sudah naik, tinggal aku sendiri yang setengah berlari aku menuju pintu 17. Tak sengaja ku lihat Pak Yoyon duduk di ruang tunggu pintu 17 dan segera saja ku sapa. Ternyata ia habis meeting di Nusa Dua dan akan kembali ke Jogja. Setelah berbasa-basi aku lanjutkan langkahku menuju pesawat yang sudah tinggal menunggu aku saja. Di ujung sana petugas-petugas cantik nan rapi sudah menanti dengan senyum yang manis menggoda. Aku berlalu dan segera ditutup pintu pesawat. Kami terbang dengan mulus.
Transit di Makassar tak terlalu lama, hanya 30 menit. Aku memilih untuk turun pesawat. Kursi di ruang tunggu hampir dan bahkan banyak calon penumpang yang berdiri tak kebagian tempat duduk. Aku menyelinap masuk ke ruang rokok. Disana sudah duduk beberapa orang memenuhi beberapa bangku. Beberapa orang lainnya berdiri sambil tak hentinya menghisap dan mengepulkan racun dunia. Aku sulut sebatang rokok putih dan sambil bersandar di dinding kaca aku mengamati lalu lalang petugas di sekitar runway sana. Di sela-sela orang-orang menghisap dan menghembuskan batang-batang putih itu, datanglah seorang setengah baya. Ia mengeluarkan rokok lalu menyulut seperti yang lain. Dalam sekejap ia sudah berkomentar yang cukup mengagetkan orang-orang di dalam sana yang semuanya merokok, "Maaf, Bapak-bapak semua, sebenarnya kita ini buta huruf ya. Sudah tau di setiap bungkus rokok dikasi peringatan sama pemerintah tapi kita tetap saja merokok, padahal sudah jelas bahayanya". Spontan saja orang-orang disana kaget dan beberapa diantaranya ada yang mengomel dan ada juga yang berkomentar "Sama-sama mati juga Pak nantinya. Orang yang nggak ngerokok juga nanti mati kok." Komentar lain dari sudut ruangan dekat aku berdiri, "Kita hanya membantu petani tembakau dan pekerja di pabrik rokok Pak. Kalau kita semua berhenti merokok berapa ribu karyawan yang akan PHK dan berapa keluarga yang akan menderita", ujarnya menggebu-gebu. Trus dia masih melanjutkan, "Sebenarnya secara tidak langsung kita juga menyumbang pajak terbesar kepada pemerintah loh. Coba dihitung-hitung saja, 1 batang rokok kena cukai 35%. Gimana jadinya negara kalau kita serempak berhenti merokok". Hehehe. "Betul juga kalau dipikir-pikir," kata Bapak yang memberi kritik pertama tadi. Namun dengan muka masam dan senyum yang terpaksa dia buru-buru mematikan rokok yang masih tersisa 75% itu, lalu ia berlalu keluar dari ruangan berkabut penuh asap rokok itu.
Tak lama kemudian panggilan naik pesawat terdengar dari balik kisi-kisi yang bisa bersuara. Aku berjalan paling awal dan kembali duduk di tempat duduk semula. Lalu terdengar suara ramai dari balik gerombolan pemuda-pemudi. Melihat jaketnya yang seragam dengan tulisan PON aku simpulkan mereka adalah rombongan atlet PON ke Kaltim. Dua orang duduk di sampingku dan kutanya dengan ramah. Salah seorang diantaranya dengan logat khas Makassar-nya berusaha menjawab pertanyaanku, dan akhirnya aku tahu mereka adalah atlet PON cabor panjat tebing. Hiruk pikuk suara atlet membuatku semangat dan membarakan semangatku seperti semangat mereka untuk merebut emas di PON ini. Kuperhatikan, sebagian dari mereka sibuk mengamati pesawat, mungkin baru kali ini naik pesawat. Ada juga yang sibuk membuka meja di depannya lalu mengeluarkan buku dan ballpoint dari balik jaket seragam merahnya yang masih bau toko. Ternyata TTS siap diisi dengan sesekali ia bertanya pada temannya di seberang. Sehingga paduan suara-suara teriakan terdengar, sungguh ramai sekali siang itu.
Tak lama pesawat pun take off dan tiba tepat waktu di Sepinggan. Aku turun dengan tetap semangat dan tambah semangat ketika di ujung sana tampak panggung meriah berhiaskan pernak-pernik PON Kaltim, ada yang menari tarian penyambutan untuk atlet PON yang baru datang. Sungguh sangat elok dan rupawan dan jarang aku melihat pemandangan seperti itu. Aku pun berlalu dan langsung menuju pilot jety untuk meneruskan 2 minggu perjalanan panjang ini.
Di laut tak banyak perubahan terjadi, tak banyak peristiwa mengagetkan atau mengejutkan terjadi. Tak ada yang terlalu istimewa. Hanya saja setelah tiba di laut dan membaca email, aku mendapat kesempatan mengikuti training selama 5 hari di Bandung dari tanggal 21-25 July 08. Awalnya training hendak dilaksanakan di Jogja, tapi dari pihak penyelenggara memindahkan ke Bandung. Awalnya aku sedih karena tak jadi ke Jogja namun akhirnya aku senang karena dari dulu memang hanya Bandung yang belum pernah ku singgahi kota-kota besar di Jawa.
***
Dua minggu kemudian aku off dan senang hatiku. Seperti biasa karena pesawatku masih jam 4 sore, pagi-pagi kami ber-4 nongkrong di tempat biasa di sebuah rumah makan mewah dan mahal di pinggir jalan besar di kota minyak ini. Pagi-pagi jalanan masih sepi dan suara kendaraan belum terdengar bersahut-sahutan. Sehabis makan aku beli oleh-oleh dan akhirnya aku ke airport juga.
Dari kejauhan sudah kulihat bandara ini semakin padan saja pengunjungnya. Sudah bukan seperti bandara internasional lagi, lebih mirip terminal bis kota atau stasiun kereta api ekonomi, ramai dan berjubel. Bahkan untuk berjalanpun susah, harus miring sana miring sini. Langsung saja aku menuju counter check in. Namun antrian begitu panjang. Ternyata hari itu adalah hari-hari kepulangan atlet PON yang usai bertanding untuk kebanggaan propinsi mereka. Aku coba mengantri di tempat mengikat bagasi namun antrian juga panjang. Tak habis akal aku masuk Blue Sky lounge saja dan minta tolong petugas lounge untuk melakukan check in, beres.
Jam berangkat pun tiba. Benar saja, hampir seluruh kursi pesawat diisi oleh orang-orang berseragam merah-merah atlet yang pulang. Aku duduk diapit oleh bapak dan ibu-ibu berseragam merah-merah juga. Aku pusing dan pusing sekali mendengar obrolan dari kegembiraan mereka sore itu. Namun aku cuek bebek saja tak menghiraukan mereka. Di makazzar mereka semua turun dan yang naik di sebelahku bule Polandia. Lalu kuajak ngobrol seputar perjalanannya ke Indonesia. Kami asyik ngobrol hingga pesawat landing di Ngurah Ray dengan selamat jam 19.00
Wednesday, July 30, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment