Jam setengah delapan malam boat Perkutut tiba di dock side. Aku langsung menuju pos empat dengan naik kendaraan transportasi internal Santan Terminal. Di posko aku bertemu beberapa security yang sering ke Attaka dan mereka sangat welcome malam itu. Tas saya diperiksa dan saya ditawari bikin kopi atau sekedar minum teh di belakang. Malam itu aku berhasil menahan diri untuk selalu rendah hati dan ramah.
Dengan bantuan salah seorang dari mereka aku menuju portal bersama sebuah mobil pick up yang malam itu berangkat ke Balikpapan sehabis menjemput barang di Santan. Kami bertiga duduk di depan. Sang sopir berkisah tentang masa lalunya jadi pekerja tambang. Kini, dengan bangga, ia mengaku membangun usaha sendiri. Membuat usaha ekspedisi, kadang disopiri sendiri seperti yang ia lakukan malam ini.
Setengah jam kemudian kami berhasil melewati jalanan beton gelap dan tiba di portal. Aku berlalu menuju sebuah masjid di dekat pertigaan, menunggu travel Innova cabutan yang akan berangkat dari Bontang jam 11 malam. Sementara jam di tangan kiri saya menunjukkan jam 8 lewat 15 menit. Masih ada waktu sekitar 3 jam menunggu sambil numpang duduk di depan mesjid. Beberapa truk barang yang besar-besar tampak berhenti di sebelah barat mesjid. Para sopir dan kenek istirahat di warung kopi di samping masjid. Lalu-lalang kendaraan meramaikan suasana malam itu. Aku masih menunggu. Sinar lampu mobil yang lewat menerangi sudut-sudut jalan yang tak ada sama sekali lampu penerangannya. Suara genset terdengar sayup di belakang masjid.
Akhirnya perutku keroncongan. Mau tak mau aku harus makan di warung sebelah. Ransel dan sekotak amplang asli Marangkayu kubawa serta ke warung sebelah. Ternyata tidak menjual nasi. Kupesan saja popmie rebus dan secangkir teh manis panas. Di warung hanya ada seorang anak dan kedua orang tuanya. Sang bapak sedang menonton stand up komedi di stasiun TV swasta. Kadang siaran diganti dengan film-film religius yang gotong-gotong mayat. Seram.
Jam 9 lewat warung mulai tutup. Aku harus menyingkir lagi dari sini. Kembali duduk di lantai teras masjid, sambil mendengarkan ceramah Gede Prama. Lalu lalang kendaraan masih menderu bersahutan. Tepat jam 10 malam tiba-tiba semua lampu mati, suasana jadi gelap gulita, suara genset tak ada lagi di belakang sana. Kendaraan lalu lalang makin sedikit sehingga gelapnya malam terasa mencekam. Aku hanya duduk seorang diri di teras masjid. Earpone masih menempel ketat di telingaku. Battery di layar HP menunjukkan angka 20% sedangkan battery bank hanya sisa 20%. Gawat pikirku.
Tak lama berselang ada truk berhenti di depan masjid. Nyala lampu terangnya menyilaukan mataku. Dua orang turun dari kabin depan lalu menyapaku ramah. Mereka berbaring di teras masjid di ujung timur sana. Berbantalkan lengan, mengobrol dalam bahasa Bugis.
Aku jadi gelisah, berulang-ulang melihat jam di tangan kiriku atau jam yang ada di handphone. Suasana masih gelap mencekam. Jalanan makin sepi. HP ku menyala ada panggilan dengan nama Slamet, sopir travel malam itu. "Saya sudah di kilo 24 pak," katanya menginformasikan. Berarti masih sekitar setengah jam lagi mereka tiba.
Makin malam makin gelap. Bulan sabit makin bergeser ke ufuk barat, sebentar lagi tenggelam. Beberapa anjing liar lalu-lalang di depan masjid seolah dikirim untuk menjagaku. Nyamuk berseliweran dan berusaha hinggap di pipiku yang mengkilap berminyak. Dua orang sopir dan kenek truk tadi masih berbicang seru. Entah apa yang mereka obrolkan. Sementara pantatku kian panas. Berbagai posisi duduk sudah dicoba selama hampir 3 jam ini. Dari balik telingaku Guru Gede Prama selalu mengingatkan "terima mengalir senyum".
Sampai akhirnya jam 11 lewat, sebuah mobil Innova berwarna gelap berhenti di depan mesjid. Sang sopir menyapaku dan aku langsung masuk saja dan duduk di belakang sopir. Di samping sopir ada 1 penumpang tujuan Balikpapan juga. Mobil berjalan dan aku langsung terlelap kelelahan. Hingga terbangun 4 jam kemudian karena sopir beristirahat di sebuah rumah makan. Aku memilih melanjutkan tidurku di mobil saja. Setengah jam kemudian sisa 1 jam perjalanan ini dilanjutkan.
Jam 4.30 aku tiba di Bandara Sepinggan. Lalu mencari tempat charge HP. Kulihat di instagram Gatot memposting foto pulang. Ternyata ia juga di bandara pagi ini. Aku langsung samperin dia di gate 10. Obrolan kami langsung hangat mengenai topik meditasi. Hanya 10 menit kami sempat berbicang, panggilan pesawat ke Jogja pun berkumandang. Gatot berlalu menghilang di kerumunan penumpang.
Juanda 28 Sept 2017
Di sela Gunung Agung yang bertatus Awas level 4.