Saturday, September 27, 2008

Gek Nisa dan Komang Adi

Pagi-pagi Gek Nisa sudah bertemu dengan kekasih hatinya, Komang Adi.

"Ibuku, bapakku, keluargaku tak setuju dengan hubungan kita," ucap Gek Nisa.

Komang Adi tersentak mendengar ucapan Gek Nisa bagai bom Bali 3 di siang bolong. Ia seperti disetrum listrik bertegangan 4000 volt. Ia bagai tersengat tawon sebesar gajah. Ia lemas, bulu-bulu kuduknya terurai lemas tak berdaya. Ia jadi teringat, sebelum ucapan itu akhirnya disampaikan Gek Nisa, ia dulu sempat mengajak Gek Nisa ke rumahnya dan mendapati orang tua laki Komang Adi sakit, terkapar di tempat tidur. Dari sejak saat itu, sikap Gek Nisa yang berkasta lebih tinggi daripada Komang jadi berubah dan terkesan agak menjauh. Disamping hambatan kasta yang menghalangi hubungan mereka, juga keadaan Bapaknya Komang yang sedang menderita sakit yang tak terdiagnosa dokter. Keluarga Komang Adi sudah pasrah, puluhan dokter sudah menyerah, belasan paranormal sudah dikerahkan, dan sudah berapa obat cina bersarang di badan Pak Ketut, Bapaknya Komang yang bekas pejabat DPRD. Namun tak kunjung sembuh jua.

Sebenarnya Gek Nisa tak terlalu memperdulikan urusan kasta, karena menurutnya jaman sekarang sudah tak relevan lagi membicarakan kasta dan menggunakannya sebagai alasan perbedaan derajat. Gek Nisa kecewa dengan perlakuan keluarganya yang masih kolot. Namun disisi lain ia masih tetap ingin membahagiakan keluarganya. Ia dilarang karena dua alasan, orang tua Komang yang sakit-sakitan dan karena berkasta lebih rendah dari keluarganya yang Gusti.

"Buat apa kamu nikah sama dia. Apa kamu sanggup nanti ngurusin orang sakit terus-terusan?", bentak ibunya. Kata-kata itu terus membayang dalam benak Gek Nisa yang mudah goyah.

Setelah peristiwa itu, jadilah hari-hari Komang muram dan kosong. Pikirannya kalut. Ia yang baru 1 minggu pulang dari bekerja di sebuah kapal pesiar di Amerika mendadak lemas dan tak terlihat semangatnya lagi seperti beberapa hari sebelum ia akan pulang. Tiga hari sebelum ia pulang kampung, ia sibuk mencarikan oleh-oleh paling mempesona buat kekasihnya di rumah, Gek Nisa. Ia belikan barang-barang mewah khas negeri Paman Sam, mulai dari parfum, baju hingga tas bermerk kelas dunia. Gek Nisa yang diberi barang-barang mewah ini terima saja, setelah ia menerima barang-barang itu ia lalu berkata yang membuat hati Komang gundah gulana. Sejak hari itu pula Gek Nisa resmi putus dari Komang, dan Komang yang pasrah menerima begitu saja tanpa memberikan pembelaan. Komang pulang dengan hati hampa, Gek Nisa pulang dengan barang-barang oleh-oleh kelas atas dengan hati senang bercampur mie dan bakso ayam eh bercampur gulana, biar sama dengan Komang.

Sebulan berlalu, akhirnya terdengar kabar Gek Nisa bakal menikah dengan Gus Tu, seorang pemuda pekerja kapal pesiar juga asal daerah lain. Gus Tu memiliki kasta yang sama dengan Gek Nisa. Maka dari itu orang tua Gek Nisa setuju dan pacaran yang tak lama itu mengantarkan kedua mempelai dalam perkawinan ala Bali yang mewah meriah karena si Gus Tu baru pulang dari kapal pesiar yang terkenal dengan uang mengalir itu.

Gek Nisa pun ikut sang suami tinggal di rumah mertua di kampung yang masyarakatnya masih agak kolot. Bulan berganti bulan, hari berganti hari pasangan ini hidup bahagia dan Gek Nisa pun melahirkan bayi pertamanya, laki-laki. Sungguh senang hati keluarga Gus Tu menyambut kehadiran si kecil yang cakep seperti tetangga eh bapak dan ibunya dong. Matanya mirip mata bapaknya, hitam dan tajam dengan alis yang tebal dan garis tajam. Sedangkan bibirnya mirip bibir ibunya, tipis dan merah merekah. Sungguh rupawan anak mereka.

Suatu hari, sebulan setelah melahirkan, ketika sedang sibuk mengemasi pakaian si bayi, Gek Nisa merasa pusing. Kepalanya pening dan rasanya ingin muntah. Perutnya juga seperti melilit-lilit tak karuan. Dokter bilang hanya mag biasa dan hanya diberikan obat mag ala kadarnya. Kian hari perutnya semakin melilit. Mertua dan keluarga suaminya seperti tak memperdulikannya. Terkadang ia menangis sedih karena hanya diberikan obat yang didapat dari seorang Balian yang 'praktik' dekat rumahnya. Sehari-hari hanya makan lauk seadanya, bahkan jauh dari kesan bergisi. Keluarga Gus Tu seperti tak peduli dan hanya lebih peduli sama bayi mereka yang lucu dan laki-laki.

Kian hari perutnya semakin melilit dan terus melilit. Pada puncaknya akhirnya Gek Nisa memutuskan untuk ke rumah sakit sendirian, tanpa seorang keluarga, teman atau sang suami yang menemani. Ketika diperiksa dokter, didapat bahwa ada pembengkakan paru-paru dan sudah terkumpul air yang banyak dalam paru-parunya,. Dokter menyatakan penyakitnya parah dan memutuskan untuk merujuk ke rumah sakit di propinsi. Gek Nisa yang sendirian diantarkan ke rumah sakit umum pusat. Suami yang dulu memuja dan memujinya kini seperti tak pedulu padanya. Seperti ada tangan-tangan jahat mencengkeram Gus Tu dan melarangnya menemui istrinya sendiri. Selama di rumah sakit, tak seorang keluargapun yang datang menjenguk, bahkan suaminya sendiri. Akhirnya Gek Nisatak tahan juga diperlakukan seperti ini lalu menghubungi orang tuanya sendiri. Mendengar kabar itu, keluarganya marah besar dan memutuskan untuk tak akan mengembalikan Gek Nisa ke keluarga Gus Tu.

Dengan perawatan intensif, sudah sebulan Gek Nisa dirawat di rumah sakit pusat itu namun sakitnya belum juga sembuh-sembuh. Sepertinya penyakitnya sudah menyatu dengan badannya dan tak terpisahkan.

Ngurus PDAM

Hari Senin pagi-pagi saya sudah ada di kantor PDAM di kota kecamatan tempat saya tinggal, mengantarkan Bapak mengurus PDAM biar cepat dipasang di kampung. Pipa induk yang dipasang di depan rumah sangat disayangkan kalau cuman lewat saja tanpa sempat mampir di rumahku.

Ada 2 loket atau lebih tepatnya meja yang melayani orang luar. Mejanya setinggi dada orang dewasa. Meja pertama lebih lebar tempat pembayaran tagihan air sedangkan satu meja sebelahnya lebih sempit tempat mengurus untuk pemasangan PDAM baru. Kami disambut oleh petugas yang ramah nan sopan. Di ujung sana tampak beberapa petugas bersenda gurau tertawa renyah seolah tak ada pekerjaan berat hari itu. Hari Senin seperti bukan hari yang tidak disukai, seperti cerita pegawai-pegawai kantor lain yang "I dont line Monday". Di ujung sana tampak beberapa orang mengantri bayar air, duduk di sofa di lobby yang luas dan lapang juga sejuk.

Petugas pemasangan baru tersenyum dengan ramah penuh wibawa seorang petugas yang baik. Ia menyambut kami dengan ramah dan mempersilahkan kami menyerahkan foto kopi KTP dan 1 lembar materai 6000 perak sebagai syarat kelengkapan pendaftaran pemasangan PDAM baru. Kemudian ia menyerahkan 1 lembar blanko untuk diisi yang pada akhirnya ia menanyakan nomor HP yang bisa dihubungi. Lalu menyerahkan 1 lembar kertas kecil berukuran 1/4 kertas kuarto. Kami disuruh menggambar denah lokasi rumah tinggal kami. Segera kugambar dengan sigap dan cepat dan juga jelas sehingga dengan sekali liat saja, siapapun pasti akan segera mengerti kemana harus mencari rumah saya.

Lalu dengan penuh wibawa lagi ia menginformasikan bahwa pemasangan diawali dengan survey lokasi terlebih dahulu oleh petugas PDAM. Survey akan dilakukan hingga 1 minggu setelah kami mendaftar. Setelah survey baru kami akan dihubungi lagi guna membayar biaya yang berkisar 1,5 juta rupiah. Dua minggu setelah pembayaran inilah baru akan dilakukan instalasi, itu juga kalau peralatannya sudah komplit datang. Ditambah lagi tukang pasang yang nota bene orang Jawa yang lagi mudik, seminggu setelah Lebaran baru datang kembali ke Bali. Jadi, ia menambahkan, total sekitar 4 minggu baru akan dipasang. Sungguh malang, padahal sebenarnya kami ingin segera melakukan pemasangan. Namun apa mau dikata, dipercepat sih sebenarnya bisa, katanya. Namun karena petugas gali tanah pasang pipanya mudik, jadinya harap maklum saja.

Niat cepat karena air sumur yang biasa kami pakai di rumah sedang surut airnya, maklum musim kemarau sedang melanda daerah kami. Biasanya air sumur akan terisi penuh ketika sawah di belakang kami sudah mulai ditanami, karena air akan dialirkan kesana. Namun kini, sawah-sawah itu kering kerontang. Batang-batang bekas panen padi dibiarkan apa adanya tanpa disentuh setelah panen kemaren. Akhirnya sumur kami yang cuma 4 meter kekeringan bukan kepalang.

Solusi lain adalah menggali ulang memperdalam sumur itu atau bikin sumur bor. Biaya menggali sumur di kampung sekitar 50 ribu per meter dalamnya. Mungkin kalau diperdalam, 10 meter saja cukup. Sedangkan untuk sumur bor biayanya 45 ribu per meter. Kata tukang sumur bor kedalaman sumur biasanya di daerah kami sekitar 50 meter, sedangkan permukaan air tanah sudah berada di kedalaman 28 meter.

Sumur bor atau sumur artesis adalah sumur yang digali dengan dibor, biasanya diameternya sekitar 10 cm. Menggalinya bisa secara manual dengan alat putar yang diputar orang atau ada juga yang pakai mesin bor. Setelah dibor, sumur diisi dengan casing diameter 4 dim (4 inch), lalu di dalam casing dipasang lagi 2 buah pipa 1 dim dan 1 1/4 dim untuk saluran air keluar dan air recycle. Nah kedalaman pipa yang dipasang ini harus mencapai atau melebihi permukaan air yang berkisar 28 meter tadi. Jika dikalkulasi untuk sumur bor kedalaman 50 meter sudah menghabiskan biaya 2,25 juta untuk biaya penggalian dan pemasangan. Sedangkan pipa dan pompa kita siapkan sendiri. Pompa yang dipakai yakni pompa berdaya tinggi 900 watt (rekomendasi tukangnya) seharga 1,3 juta rupiah. Wah kalau 900 watt apa kuat untuk listrik saya yang hanya 900 watt di rumah? Jadi total biaya akan habis sekitar 4 juta. Mahal juga, tapi servis yang diberikan sungguh menarik hati. Karena si tukang sumur bor menjamin sumur akan jadi dalam 2 hari, air yang didapat juga bersih karena jauh di bawah tanah. Kalau sumur bor yang rumit ini bisa 2 hari, kenapa pemasangan PDAM yang hanya menyambung pipa dari pipa induk ke rumah kita bisa memakan waktu 3 minggu lebih? Yang saya tak habis pikir juga, apakah PDAM tidak menyetok barang-barang di gudang, agar setiap ada orang pasang baru tidak meng-order dulu sehingga memakan waktu lebih lama. Saya yakin di jaman yang serba cepat ini, PDAM harusnya lebih mengutamakan kualitas dan kecepatan pelayanan. Jangan terpaku pada paradigma birokrasi jaman orde baru yang terkenal dengan susah dan berbelit-belit. Bukan begitu kawan?

Tanah Lot Kite Festival 2008

Jumat 12 September 2008 Tanah Lot Kite Festival ato Festival Layang-layang Tanah Lot resmi dibuka di sore hari setelah paginya panitia menyelesaikan Tanah Lot 10K yaitu lari 10 kilometer dari Kediri dan finish di Tanah Lot.

Festival Layangan yang diadakan setahun sekali ini berlangsung hingga hari Minggu 14 September dengan melombakan 4 kategori, layangan Bucu Dua (pecuk), layangan Bebean (bentuk ikan), layangan Janggan (ekor panjang sekali) dan layangan kreasi. Festival diikuti oleh 300 lebih layangan dari berbagai desa di Tabanan dan sekitarnya. Biaya pendaftaran per layangan adalah 75 ribu rupiah saja. Bayangkan, untuk 300 peserta panitia bisa mendapatkan total 22,5 juta rupiah. Itu angka di luar sponsor dan sumbangan lainnya. Dengan adanya festival ini juga diharapkan akan menyedot wisatawan untuk datang ke objek wisata Tanah Lot. Tentu saja harapan akhirnya guna meningkatkan devisa daerah.

Festival ini diadakan di sebelah barat Pura Pekendungan, pura suci yang terletak di bagian barat areal Pura Tanah Lot. Hamparan sawah yang pada hari biasa sepi melompong 3 hari itu jadi lautan manusia. Ratusan peserta sibuk mengadu aksi menampilkan layangan kebanggaannya, memegang, menarik, lalu berlari terbirit-birit menyusuri tanah sawah yang kering kerontang dimakan kemarau yang tak kunjung diguyur hujan akhir-akhir ini. Tanah-tanah sawah yang kering itu terbelah-belah menimbulkan pemandangan yang eksotis atau mungkin miris. Mereka juga tak lupa berpakaian lengkap dengan busana khas Bali dengan kamben, saput dan udeng batik mereka seperti terbius oleh taksu layangan yang mereka tarik. Panas siang itu jadi tak terasa akibat semangat kebersamaan yang tumbuh mulai dari proses pembuatan, pengangkutan hingga saat lomba berlangsung.

Seorang peserta dari Bongan Gede, Tabanan mengaku mengikuti kegiatan ini untuk mencari kesenangan semata, "Kalau cari untung jelas tak bisa, Bli". Menurut peserta yang juga teman SMA saya ini, ia mengirimkan 3 layangan, 2 layangan bebean dan 1 layangan pecuk. Satu layangan bebean menghabiskan sekitar 1 juta rupiah. Sedangkan layangan pecuk berkisar setengahnya. Untuk layangan jenis lain yaitu Janggan bisa menghabiskan hingga 14 juta. Angka yang sungguh luar biasa kalau disumbangkan ke pura kahyangan desa atau ke panti asuhan misalnya. Tapi, kesenangan itu mahal, kata seorang teman. Kesenangan itu tak dapat dibeli, mungkin saking mahalnya. Disini, kesenangan yang mahal itu mengalahkan segalanya. Biaya di atas hanya untuk biaya layangan saja. Biaya mengangkut layangan dari desa masing-masing ditanggung juga oleh peserta. Sedangkan biaya konsumsi biasanya urunan oleh masing-masing anggota peserta. Layangan yang akan dipertandingkan esok hari harus sudah dibawa ke lokasi pada sore/malam sebelumnya untuk menghindari kemacetan di jalan. Tentu saja perlu seorang atau beberapa orang menjaga layangan itu pada malam hari. Tentu pula diperlukan tenaga dan biaya tambahan bagi yang menginap di malam hari.

Calo Tiket Bandara

Di setiap Bandara di sebagian kota besar di Indonesia yang sudah pernah saya kunjungi, pasti ada calo tiket, yang 'bertugas' menjadi tenaga pemasar ilegal setiap maskapai penerbangan. Calo juga merusak harga tiket pesawat. Calo juga yang bikin kursi pesawat penuh, padahal sebenarnya masih ada yang kosong. Namun dengan adanya calo, kadang ada aja kursi kosong, meskipun dengan harga yang dimark up. Rata-rata penumpang yang memang perlu pasti mau saja, daripada tak jadi berangkat pikirnya.

Bandara Juanda Surabaya, Soetta Jakarta dan Sepinggan Balikpapan calonya kentara banget. Bahkan sebelum kita sampai di loket sebuah maskapai, kita disamperin duluan oleh calo-calo yang siap mengelabuhi mangsanya. Di ketiga bandara ini, para calo tak malu-malu menunjukkan dirinya. Biasanya penampilan mereka rapi dengan kemeja yang dimasukkan ke dalam celananya yang disetrika tajam. Ditambah sebuah tas kecil dikempit di ketiaknya, melengkapi penampilan yang sungguh meyakinkan. Kumis yang dicukur rapi dan kaca mata bening bersih, siapa sangka ia adalah seorang calo yang menjual tiket dengan harga jauh lebih mahal.

Suatu pagi di Bandara Sepinggan ketika saya mengambil tiket di counter Lion Air, datang seorang ibu muda dengan logat khas Jawa Timur menanyakan apakah penerbangan ke Surabaya masih ada kosong apa tidak. Si penjaga loket menjawab tanpa melihat si calon penumpang, "Sudah penuh, Mbak." Si mbak-mbak itu hanya manggut-manggut pertanda mendengar sambil bergumam kecil namun tak kudengar. Tak disangka tak diduga di sampingnya sudah berdiri seorang bapak yang yang berpenampilan rapi, kemeja yang dimasukkan dan tas kempit, kumisnya menari-nari saat ia berujar ke mbak-mbak tadi,

"Mau kemana mbak?"
"Ke Surabaya"
"Mana KTP-nya"
Si mbak-mbak hanya terdiam, bingung antara memberi KTP atau lari. Si bapak yang rapi bicara lagi,

"Ayo, mana KTP-nya. KTP-nya dulu nanti baru tiketnya. Duitnya nanti aja kalau sudah ada tiket."

Si mbak-mbak tadi seperti terhipnotis, mengeluarkan dompet begitu saja lalu menyerahkan KTP ke bapak rapi itu.

"Mbak tunggu di sini saja. Nanti saya kembali"

Lalu si bapak yang rapi pergi sambil nyengir kuda ke teman di sebelahnya. Sepertinya pertanda ia bakal dapat mangsa, kawan. Si mbak-mbak hanya tersenyum kecut menunggu dalam suasana hati yang tak pasti, KTP dibawa orang tak dikenal. Memang benar-benar tak dikenal, namanya saja tak dikenalkan tadi.

Masih banyak cerita-cerita konyol seputar calo, tapi tak layak diceritakan disini. Disamping melanggar kode etik percaloan juga bisa memburukkan citra calo yang sudah eksis di dunia bandara. ;)

Kalau di Ngurah Rai Bali dan Adi Soecipto Jogja lain lagi tingkah polah calo bandara. Di Bali calonya masih malu-malu. Mereka biasanya duduk-duduk menunggu korbannya di kursi tunggu check in. Namun penampilan mereka tak seperti calo-calo di tiga kota di atas. Terkesan lebih oportunis dan seperti iseng-iseng. Mereka tak agresif, mereka hanya menawari penumpang yang mendekat di tempat duduknya. Kalau dapat syukur, kalau tidak ya tak jadi masalah. Mungkin bagi mereka pekerjaan calo adalah sambilan. Kalau di Jogja lebih malu-malu lagi calonya. Saya malah tak melihat satu pun orang yang bisa disebut mempunyai tanda-tanda calo. Tak ada yang sok baik nawarin tiket ketika saya luntang-lantung di ruang tunggu di luar bandara. Waktu itu saya simpulkan di Jogja tak ada calo, namun kata seorang teman yang piawai dalam dunia travel, di Jogja juga ada, bahkan banyak. Namun ya itu tadi, masih malu-malu.

Aku Selalu Sendiri

Jika dipikir-pikir, akhir-akhir ini aku menjadi sering sendiri dan merasa sendiri. Dibanding tahun-tahun yang lalu ketika masih kost waktu kuliah di Jogja, masih sering kumpul-kumpul sama teman-teman. Pokoknya setiap hari tak pernah sepi. Sekarang, semuanya seperti diatur agar aku selalu sepi sendiri.

Mulai dari kerja di daerah yang sepi, jauh dari peradaban wanita-wanita cantik, jauh dari keramaian dan sulit untuk mencapai keramaian. Lalu ketika sampai di rumah juga selalu terjebak oleh suasana sepi rumah yang hanya dihuni oleh Bapak dan adikku tercinta. Kadang hati tak tega meninggalkan Bapak yang sekarang sakit-sakitan untuk bersenang-senang di luar sana. Kadang kepergianku 2 minggu meninggalkan keluargaku tak rela juga rasanya, namun harus kulakukan demi sepanci nasi.

Dalam perjalanan dari rumah ke tempat kerja dan sebaliknya juga aku selalu sendiri dan merasa sendiri, padahal selalu ramai oleh orang-orang yang sibuk menggunakan pesawat. Dalam setiap perjalanan aku hanya ditemani laptop, buku-buku bacaan, dan HP kesayanganku. Kadangkala mencari teman ngobrol di jalan juga sering merasa tak sopan. Misalnya mengajak ngobrol teman duduk di pesawat. Seringnya dapat teman duduk yang gak doyan ngobrol, kebanyakan langsung tidur pulas tak peduli ada aku disampingnya. Giliran dapat teman duduk cewek cakep, jutek dan tak ramah. Jadinya aku terlena dalam kesepian dan kesunyian jiwa.

Namun di balik kesunyian-kesunyian yang aku lewati, sebenarnya hatiku ramai dan ingin sekali mengungkapkan segudang keramaian hati itu ke dalam selembar kertas maupun menjadi halaman-halaman di lembar-lembar digital seperti ini. Namun kadang waktu yang pendek, waktu yang terasa pendek membuat tangan ini susah menjangkau pena maupun papan ketik komputer kesayanganku.

Akhirnya aku hanya bisa merenung dan berkhayal, menerbangkan nurani menembus mentari pagi yang lembut, lalu menerobos gugusan bintang, membelah birunya langit, menusuk dewi rembulan yang bersinar penuh dikala purnama tiba. Jadilah aku seperti ini, aku hanya bisa menulis puisi kesunyian, namun tak sesunyi isi dalam jiwa yang selalu ingin merasa ramai ini.