Bagi sebagian orang, kehidupan tradisional identik dengan kuno, katrok maupun ndeso. Pantas saja kini para ABG memilih menjalani gaya hidup modern yang terlihat lebih mewah dan bergengsi, meskipun banyak makan biaya. Entah untuk menyenangkan siapa... Sebut saja Gek Dwi, Gek Tri tak sempet belajar bikin sampiyan. Sepulang kuliah mereka kini sibuk membagi waktu agar sempet ke salon: menicure, pedicure, meluruskan rambut, sulam alis atau sekedar creambath, hingga luluran di spa yang paling terkenal di pusat kota. Luh Mirah, Luh Ayu pun tak sempat membantu mertuanya ngulat tipat atau sekedar bikin canang ceper untuk rainan purnama besok. Aktivitas padat sosialitanya membuat ia harus lebih intens berkumpul bersama ibu-ibu muda gaul di restoran yg lagi happening, ber-wefie ria dan tak lupa upload di social media. Nang Lecir, Nang Jempaluk sekarang lupa bagaimana rasanya "mecil siap", atau sekedar "mangin" celeng "ngamah". Mereka kini disibukkan oleh "mecil" gadget atau sibuk nyari pokemon hingga ke batas desa. Rah Mang atau Gus Tut sudah makin jarang membaca kekawin ataupun sekedar menembangkan pupuh sinom, pupuh ginada. Kini mereka disibukkan jadwal meeting dengan client, bertemu di resto siap saji atau di tempat minum kopi yang penuh wifi. Yan Dogler, Tut Mancrut kini lupa cara ngulat klatkat sudamala, lupa cara merangkai "sanggah surya". Mereka kini sibuk dengan bisnis menjadi maklar jual beli tanah. Mereka ikut andil memperjualbelikan tanah warisan orang-orang desa yg sedang kebingungan karena terjerat hutang. |
Friday, October 14, 2016
Modernisasi Membunuh Tradisi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment