Sunday, October 02, 2016

Teringat Masa Kecil

Mendengarkan lagu Singing in the Rain milik Jamie Cullum, mengantarkan aku pada kenangan masa lalu. Suasana lagu seperti malam yg penuh bintang. Rumahku masih berdinding gedeg dan jalanan di depan rumahku belum beraspal seperti sekarang. Jika hujan maka jalanan seperti kubangan kebo. Suasana ketika melaspas rumah gedeg bapakku, hasil keringatnya sendiri. Para keluarga semua datang ke Bajera. Tidur bersama di beranda rumah. Pada malam yg ke sekian aku diajak jalan ke utara rumah menyusuri jalan tanah, ke arah agak tinggi. Aku melihat bintang dan memandang ke arah selatan. Kerlip bintang di pantai kuta terlihat megah malam itu. Ketika bermain di sawah dekat rumah. Ketika kami para sahabat pernah tertawa pernah berkelahi. Ketika kami membangun gubuk di tengah sawah menaikkan layang-layang di siang bolong. Gubuk jerami kami terbakar. Asapnya hitam membubung tinggi. Ketika sawah-sawah kering dekat rumah kami menjadi lapangan bola. Kami bermain hingga senja menghilang dan bapak selalu mencari kami, jangan main melewati sandikala karena sandikala itu tenget. Para memedi sedang lalu lalang. Ketika Nyepi kami menginap di pos kamling dekat rumah. Tepat tengah malam jam 12 segumpal api terbang dari arah utara menuju pos kamling. Ternyata para orang tua kami ronda mengawasi sehingga segumpal api pergi ke arah timur sebelum menyaksikan kami tergolek di pos kamling, di malam yg paling gelap di sasih kesanga. Ketika para orang tua kami bergerombol mengejar seorang tak dikenal telanjang bulat menyusuri sawah dekat rumah. Ketika fajar menyingsing ternyata tak lebih dari seorang gila yg tak tahu harus kemana. Tak kenal rasa takut pun rasa malu. Ketika hujan adalah hari paling bahagia buat saya karena toko bapak sepi dan saya bisa bermain sesuka hati. Ketika hari minggu para sahabat senang bukan kepalang nonton si unyil di TVRI, namun saya harus membantu bapak jualan di pasar. Ketika kami bermain di sawah dekat rumah. Seorang sahabat membawa gegemet berupa buntalan disemat peniti di kerah bajunya. Ia membawa capung lalu mengucap mantra sakti entah untuk apa. Kami yg tak paham hanya menganga. Ketika kami bermain gambaran, main kelereng, main kocok-kocokan dengan dadu bergambar buatan kami sendiri. Ketika sahabat ku mulai berdatangan ada Dedeng, Yan Pande alias celakkuir, Mang Jentot, Dek Jojon, Rusdi, Nursidin. Mereka tinggal dekat-dekat rumah. Entah kemana mereka sekarang entah bagaimana kita akan berkumpul kembali. Mengenang apa yg sudah berlalu. Bersama sawah2 yg kini sudah jadi perumahan.

No comments: