Off kemaren aku pulang lagi dari Balikpapan ke Bali via Jakarta. Kali ini naik Air Asia sekitar jam 10 pagi dari Balikpapan. Setibanya di Jakarta aku langsung menuju Mandiri lounge di sudut bandara dan duduk santai menunggu pesawat ke Bali 2 jam berikutnya. Namun lama menunggu tak kunjung jua ada panggilan. Pada satu ketika ada pengumuman yang memberitahukan jikalau pesawat ditunda dan akan diberangkatkan pada pukul 3 sore. Jadilah saya menunggu dengan senang hati namun juga was-was. Senang karena lebih lama bisa mengakses internet via hot spot gratis di lounge yang ramai ini. Was-was karena takut orang yang jemput saya jadi bosan dan kasihan sudah menunggu terlalu lama. Maka saya telfon saja ia untuk pulang dan saya akan naik taxi bandara saja pulangnya nanti.
Waktu pun terus berlalu, belasan halaman website sudah dibuka. Puluhan blog orang sudah dibaca dan ratusan gambar baik-baik hingga gambar yang kena UUAPP sudah dibuka. Foto-foto pemain sinetron favoritku juga sudah kubuka dan kusimpan rapi di folder khusus, mulai dari Luna Maya hingga Wulan Guritno. Ribuan karakter sudah dikirim via Yahoo Messenger yang bikin ketagihan dan kecanduan tak mau berhenti. Seharusnya panggilan sudah dilakukan oleh mesin-mesin panggil otomatis itu, namun tak jua ku dengar dari ujung sana. Bertambah was-waslah hati ini. Jangan-jangan ada apa-apa nih dengan pesawat ini. Waktu semakin sore dan semakin was-was saja dibuatnya.
Jam 6 sore telah berlalu. Aku sudah terlalu lama di lounge ini. Tempat duduk paling pojok memang paling asyik. Sudah 3 group orang yang berganti keluar masuk di ruangan yang kian jam kian bertambah dingin ini. Namun pantatku yang sudah mulai berakar kini kugeser sedikit karena semakin terasa panas. Berbagai macam makanan sudah dicoba, perutku seperti tong sampah saja, kembung karena banyak makanan dan juga karena masuk angin. Kopi ginseng yang beberapa cangkir telah kutenggak tak jua membuat nafas ini hangat, kalah oleh udara AC yang diset terlalu dingin.
Jam 6 lewat 1 jam alias pukul 7 malam panggilan pun terdengar, hati ini yang was-was semakin was-was karena baru sadar jika waktu sudah menunjukkan jam 7 malam, berarti di Bali sudah jam 8 dan pesawat akan tiba 2 jam berikutnya, malam banget kalau harus pulang ke Tabanan malam itu. Mana badan pegel, leher pegel, pantat capek, becek plus tak ada ojek, cape' deh. Aku pun membereskan kabel-kabel yang terhambur di meja di depanku dan segera berlalu menuju pintu masuk. Aku berjalan dengan lunglai karena seluruh badan rasanya pegel setengah mampus. Hingga di pintu pesawat pun aku masih tak bersemangat. Para penumpang berhamburan memasuki ruang pesawat dan memilih tempat duduk sesuai selera. Aku masuk lewat pintu belakang saja dan duduk di kursi deretan nomor dua paling belakang. Karena kalau pas di belakang tak bisa merebahkan kursi saat tidur nyenyak. Aku duduk di jendela pinggir dan hingga penumpang sudah mulai sepi aku masih duduk sendiri saja di tiga deret bangku itu, seolah 3 bangku itu memang disediakan untukku. Aku masih lemas tak berdaya, bahkan jemariku pun terasa lunglai saat hendak mematikan handphone butut yang hitam itu, hitam mungkin karena terlalu sering berjemur itu.
Para penumpang sudah duduk rapi dan di kejauhan di depan sana nampak satu orang penumpang berjalan terburu-buru menenteng tas casual warna merah dengan T-shirt kuning ketat banget. Rambutnya yang panjang terjuntai di bahunya, kepalanya yang tengok kanan tengok kiri mencari tempat duduk kosong membuat rambut hitamnya terayun-ayun. Semakin dekat semakin aku kenal wajah itu. Para penumpang yang bagian tengah nampak mendongakkan kepalanya. Semakin dekat saja ia berjalan dan nampaknya ia tak menemukan kursi kosong barang satupun di depan sana. Tibalah ia di samping kursi tempat aku duduk, dengan serta merta ia hempaskan saja pantatnya di kursi sebelahku setelah ia menaruh tas merah di kabin di atas tempat ia duduk. Aku tak berdaya dibuatnya, aku terkaget bukan kepalang, jantungnya seperti dipompa mesin berkekuatan ribuan kali lipat pompa sumur di rumahku, sehingga darah yang mengalir terasa deras ke setiap ujung pembuluh darah. Lubang hidungku bagaikan disumbat botol air mineral sehingga dadaku terasa sesak seperti sedang ditindih belasan Roni Dozzer. Dan aku pun tersentak ketika ia tersenyum ke arahku, aku terkaget-kaget menahan riang. Bahkan seandainya stock cairan dalam kantong kemihku cukup saat itu, aku mungkin terkencing-kencing menahan rasa gembira karena moment seperti inilah yang sudah aku tunggu ribuan tahun lamanya. Luna Maya, ya benar, yang duduk di sebelahku adalah Luna Maya yang sejak lama sudah kuimpikan. Obsesiku bertemu lalu memotret dia dan serta kupajang di galery online-ku akan segera terealisasikan. Aku pun membalas senyumannya meskipun dengan terbata-bata aku menyebut namanya dengan tanda tanya dan dengan ekspresi mesum 24 karat kadarnya. Ia pun mengangguk pelan. Aku tak pernah membayangkan kalau ia akan naik pesawat kelas ekonomi ini. Dengan basa-basi garing aku pun berkomentar, "Kok naik Air Asia? Bukan Garuda?". Ia menjawab dengan cepat, "Iya nih, aku mendadak ada urusan pulang, Garuda penuh hari ini. Yang kosong cuman Air Asia." Mendengar suaranya seperti itu saja membuat hati ini berbunga-bunga seperti taman di Kebun Raya Bedugul yang banyak bunganya.
Kami pun berkenalan dan terlibat obrolan 'serius' dalam kursi yang menjadi memori itu. Badanku yang semula pegal-pegal mendadak jadi segar karena adrenalin mengucur dengan deras dalam setiap aliran darahku. Aku pun mengutarakan niatku serta obsesiku selama ini hendak memotret dia dalam satu sesi privat. Tanpa ku duga ia menyetujui saja dan aku pun dengan segera mendapat kartu nama plus nomor HP pribadinya. Dan dengan serta merta pula ia menawarkan bagaimana kalau take photo-nya di villa pribadinya saja di seputar Nusa Dua. Aku lebih cepat dari sekedar serta merta menyetujui dan rela kapanpun ia mau aku akan meluangkan waktu untuk sebuah obsesi selama ini kuukir di lapisan otakku yang paling kotor. Dua jam terasa seperti 2 menit saja. Tak terasa pesawat mendarat dengan selamat. Kami pun menuju pintu kedatangan bersama. Diujung sana sudah menunggu pasukan penjemputnya sedangkan aku hendak berlalu ke loket taxi bandara. Kami bersalaman dan ia menepuk-nepuk pundakku bagaikan menepuk pundak adiknya memberi semangat mau berangkat sekolah. Ia menepuk-nepuk pundaku terus, aku tak mengerti mengapa ia melakukannya. Ia terus menepuk, semakin lama semakin terasa keras saja. Semakin lama wajah Luna semakin berubah, namun tangannya tetap saja menepuk pundakku. Hingga akhirnya wajahnya berubah seratus persen dan kini ia berpakaian ala pramugari, warna merah menyala. Ketika kugosok-gosok mataku ternyata pramugari pesawat sedang menepuk pundakku berusaha membangunkan aku dari tidur yang nyenyak itu. Ah ternyata semuanya hanya mimpi….
Saturday, November 22, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment