Pagi-pagi sudah ia terjebak dalam dinginnya udara STS yang goyang. Hujan turun rintik-rintik mengenai pelipis lalu menetes melewati pipinya, tatkala ia meloncat lewat swing rope yang mulai rapuh. Suara kapal menderu diperkuat suara angin yang mendayu-dayu, mengibarkan rambutnya yang kian basah oleh hujan. Ia lalu naik main deck dan ditinggal kapal pergi ke platform di ujung sana.
Pipa-pipa berdiameter 12" lebih yang menyangga platform tak kuasa menahan kerasnya gelombang dan kencangnya arus, sehingga ketika rintik hujan kian membasahi wearpack birunya dan angin pagi dingin menerpa wajahnya, ia harus berjalan terhuyung-huyung kesana-kemari membuka, lalu menutup valve-valve yang berukuran melebihi diameter tangannya yang kokoh.
Ia hanya ditemani radio butut yang sudah lowbat dan juga tas hitam dekil, tak kuasa menghentikan kucuran rintik hujan dari langit. Ia bersembunyi di antara sela-sela tubing, terhempas, terhuyung lalu bangkit lagi menggampai mimpi.
Dalam hati ia berfikir tak habis-habisnya, mengapa dalam cuaca yang buruk seperti ini ia disuruh naik lalu bertempur dengan tekanan tinggi, bergumul dengan valve-valve yang kian hari kian berkarat. Mengapa justru dalam perusahaan yang katanya menempatkan safety dalam urutan paling tinggi ini, malah disuruh bermain dengan resiko, bermandi rintik hujan hingga pakaiannya basah kuyup, tembus hingga pakaian bagian dalam. Namun perasaan itu semua hanya dipendam dalam hati. Hanya kepingan-kepingan karat dan tubing-tubing yang dibengkokkan sembarangan yang tahu isi hatinya pagi itu.
Ia terus bekerja tanpa lelah, hingga sumur-sumur kesayangannya mengucur dengan deras, hingga tercurah tiada henti. Ia tak peduli lagi dengan semakin derasnya rintik hujan, semakin kencangnya angin menusuk tulang. Tak peduli lagi dengan semakin kerasnya gelombang yang menghempas STS tempat ia berpijak.
Wednesday, October 29, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment