Orang-orang terhenti melakukan aktifitasnya, proses upacara terhenti secara otomatis karena hujan turun lebih dari sekedar rintik-rintik. Lalu orang-orang hanya duduk rapi dan pemimpin upacara juga tak bisa berbuat apa.
Pemandangan seperti itu sering kita lihat di setiap pura. Prosesi upacara terhenti ketika hujan turun. Tak ada yang mau berhujan-hujan ria. Kondisi ini tentu saja terjadi sejak dulu kala dan turun temurun. Jika dilanjutkan dengan menerobos hujan, orang-orang takut pada sakit dan malah tidak bisa melanjutkan upacara. Serba salah memang. Mungkin dari segi kesehatan, tindakan mereka tidak salah. Namun jika mereka tak terobos hujan, upacara jadi tertunda dalam, bahkan bisa mengulur-ulur waktu lama. Jika hujan terus saja tak berhenti dan jika ditunggu, bisa menyita waktu hingga larut malam.
Mungkin sepuluh atau dua puluh tahun lagi atau bahkan puluhan tahun lagi, seorang revolusionis mungkin akan melakukan revolusi, merancang pura yang ada atapnya. Berarti atap akan dibikin sangat besar dan tinggi, yang tentu saja bisa menaungi pelinggih-pelinggih di bawahnya. Tentu saja seluruh kegiatan upacara maupun non upacara tidak akan tergantung dari hujan. Namun bisakah tradisi ditembus? Mampukah orang itu akan mengubah tradisi turun-turun yang sudah menempel kokoh dalam benak setiap umatnya. Kita lihat saja nanti.
Friday, December 26, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment