Tanggal 8 December 2008 lalu saya menghadiri upacara pernikahan teman saya Binto dan Mona, mulai dari upacara pemberkatan di gereja, upacara adat dan ditutup dengan resepsi di sebuah gedung mewah berkelas internasional di seputar by pass Ngurah Ray, Sanur, Bali.
Upacara pemberkatan dilakukan di gereja Batak HKBP di daerah Pulau Belitong, Pedungan, Denpasar. Saya sudah hadir di gereja jam 8 padahal upacara akan dilakukan pada pukul 10.00. Anton yang jauh-jauh datang dari Surabaya bersama 2 orang teman Tionghoa-nya belum juga berangkat dari hotel murmer tempat ia menginap di seputar Legian Kuta. Jadilah saya menunggu penuh haru di sebuah mini market di depan gereja. Agar mobil bisa parkir di area parkir mini market itu saya belanja ala kadarnya sambil menggombali si penjaga toko yang bertingkah sok cantik dan berdandan ala artis-artis sinetron yang akhir-akhir ini meracuni otak anak-anak muda Indonesia, hanya demi dibilang gawul, sekali lagi gawul.
Lama menunggu tak kunjung datang akhirnya saya duduk-duduk di mobil sambil menikmati hiburan mendengarkan musik. Lagu-lagu campur sari Didi Kempot menemani saya pagi itu menunggu datangnya rombongan penganten 1.5 jam lagi. Tak berapa lama dan baru 5 lagu Didi Kempot saya dengarkan sambil berdendang, datang mobil pick up barang. Saya diusir dari parkir dan terpaksa parkir di belakang sana agak jauh dari gereja. Ternyata strategi menggombali penjaga mini market tak terlalu ampuh untuk merebut lahan parkir.
Lalu datanglah rombongan mobil. Yang pertama datang adalah mobil sejenis jeep wilis hitam dan keluarlah berhamburan orang-orang berpakaian hitam-hitam membawa senjatanya masing-masing. Team fotografi dan videografi yang kemudian saya tahu dari infocusbali yang saya tahu juga "online buddy" saya di Multiply, Bayu KW eh salah Bayu GD, bergerak cepat seperti pasukan Anti Teror Densus 88 meringsek sarang teroris.
Lalu mobil berikutnya adalah mobil-mobil mewah berkelas, parkir memenuhi halaman parkir gereja bahkan melimpah hingga di depan gereja. Saya melihat seseorang keluar berpakaian rapi berdasi, jas dan celana hitam, lalu dengan gentle dan gerakan lambat seperti di film-film, mengenakan Ulos, yang berwarna kemerahan di bahunya. Hitam dan merah berpadu indah. Mulutnya tak hentinya komat-kamit mengunyah permen karet yang sudah tak lagi manis. Lalu di sebelahnya turun seorang gadis berpakaian rapi juga, gaun merah muda. Saya berkesimpulan mereka adalah pasangan pengantin dan juga menikah pagi ini di gereja ini. Wah ada 2 pasang dong yang menikah.
Tak lama kemudian, datang rombongan lagi dan ada mobil yang paling mewah, sebuah Mercedes silver seri terbaru berhiaskan pita-pita berwarna cerah dan bunga-bunga berwarna ceria memasuki parkir gereja. Saya hanya perhatikan dari jauh, tak tampak batang hidungnya Binto. Saya jadi ragu dan was-was jangan-jangan bukan gereja ini yang dimaksud. Dan yang menikah sebenarnya orang lain. Semua pikiran buruk berkecamuk.
Orang-orang sudah siap dan semuanya berpakaian rapi berdasi, jas dan celananya berwarna senada. Berdiri berbaris-baris di depan gereja dan semuanya mengenakan ulos. Saya yang hanya berpakaian ala kadarnya dan saya pikir salah kostum, kemeja dan celana jeans butut, menenteng kamera butut D70, mondar-mandir gelisah tak tentu arah. Saya hanya berdiri di belakang sambil sekali-sekali menjepretkan kamera kesayangan saya itu yang ternyata sudah low bat. Tak enak hati rasanya bergabung bersama orang-orang berpakaian rapi dan ber-Ulos di depan sana. Untuk mengurangi rasa panik, saya menelfon si Hitam Roland yang pagi itu pula pulang dari Bali. Darinya saya mendapatkan informasi komplet seputar adat pernikahan Batak.
Tibalah pasangan pengantin keluar dari sisi kanan, lega rasanya karena si penganten memang Binto. Sungguh romantis mereka dan mukanya tampak sumringah, bisa jadi karena malam nanti adalah malam pertama bagi mereka. Mungkin saja sebuah handycamp yang standby di atas tripod siap merekam peristiwa langka nanti malam di kamar penganten berwarna merah jambu. Ah pikiran nakal saya jadi berkelana ke tempat yang paling kotor. Lalu si penganten berjalan memasuki gereja diiringi lagu-lagu yang sering saya dengar di film-film Amerika yang ada orang kawinnya. Lalu semua orang yang berpakaian rapi dan ber-Ulos itu memasuki gereja mengiringi kedua mempelai.
Dan prosesi upacara pun dimulai. Dengan muka tebal dan tak kenal malu saya masuki gereja dan duduk di deretan paling belakang, sendiri di kursi panjang itu. Tak lama menunggu akhirnya datang Anton bersama 2 temannya yang pagi itu tidak mandi, karena hotel murmernya mati lampu, mati air, matilah kau, kawan! Pelajaran berharga bisa dipetik dari peristiwa "tidak mandi dalam menghadiri upacara perkawinan" itu adalah jangan terlalu percaya dengan hotel murah meriah, kecuali Surattown saja, kawan! Datangnya Anton Cs, membuat hati saya lega, dress code-nya juga sama dengan saya, sehingga hati saya bertambah lega, lega seperti habis ujian pendadaran skripsi, yang baru-baru ini dilakukan ROland dan Mugi. Lalu upacara pun berlanjut terus, mondar-mandir fotografer "infocus" mengabadikan peristiwa langka itu. Saya yakin jepretan mereka tak akan out of focus. Suasana dalam gereja memang agak gelap, namun cahaya matahari menerobos masuk melalui celah-celah jendela lalu menembus salib yang menempel besar di dinding tinggi, membuat suasananya jadi tambah fotografis. Kuabadikan dari belakang saja.
Lalu upacara pun selesai, para hadirwan dan hadirwati satu persatu keluar, sedangkan di depan sana MC memanggil satu persatu keluarga untuk foto bersama penganten. Aku, Anton dan 2 orang temannya sepakat berangkat duluan ke tempat resepsi, karena jika dilihat dari expresi mukanya, Anton sepertinya sudah lapar, ditambah lagi bau badannya yang belum mandi sehabis dari perjalanan dari Surabaya yang katanya makan waktu 12 jam. Bau asem dari badannya serasi dengan mukanya.
Tiba di tempat resepsi, Hongkong Oriental, di bilangan by pass Ngurah Ray, kami kira langsung makan, karena waktu sudah menunjukkan jam 12 siang. Tapi ternyata akan ada prosesi upacara adat khas Batak. Bagi saya ini menarik tapi juga musibah, menarik karena saya bisa tahu adat khas Batak dan bisa jepret sana jepret sini. Musibah karena acara akan berlangsung lama, kasihan Anton yang sudah lapar, hehehe.
Kami duduk di tempat paling belakang dan upacara adat pun dimulai. Musik Batak di atas panggung bertalu-talu dan orang-orang sudah mulai berdiri berbaris rapi. Di luar sana sudah menunggu tamu-tamu adat dari berbagai klan Batak yang ada di Bali. MC yang bersuara lantang memanggil dengan bahasa Batak, saya terus terang tak paham sama sekali, tapi saya sok mengerti, si MC mempersilahkan keluarga tamu masuk. Lalu barisan keluarga penganten berjalan sambil menari Tor-tor menyambut ke pintu masuk tamu. Tangan mereka menari-nari dengan telapak tangan menghadap ke atas yang berarti menyambut, sedangkan rombongan keluarga tamu menari dengan tangan menghadap ke atas. Sungguh meriah upacara itu, serasi berpadu dengan ornamen gedung mewah itu, mewah sekali. Mungkin sewanya puluhan kali lipat basic salary-ku belum termasuk KKJK dan offshore allowance dan belum dipotong pajak 35%. Tamu-tamu dipersilahkan duduk sesuai dengan kursi yang sudah disediakan dan dikelompokkan berdasarkan marga. Upacara penyambutan masih berlanjut hingga semua tamu undangan masuk dan menempati tempat duduk. Anton yang sudah lapar tampak gelisah dan mondar-mandir kesana-kemari tak tentu arah. Tak sampai upacara selesai, saya terpaksa pulang duluan karena di rumah ada upacara yang tidak boleh saya tinggalkan. Melalui tulisan ini pula saya minta maaf kepada mu kawan, karena tidak bisa mengikuti upacara hingga selesai. Dan melalui tulisan ini pula Selamat Menempuh Hidup Baru, semoga menjadi keluarga sesuai dengan doa di gereja tadi pagi.
Menurut cerita dari sumber yang tidak bisa dipercaya, katanya, hotel murmer tempat Anton menginap masih mati lampu dan mati air. Sehingga Anton hingga balik ke Surabaya belum mandi-mandi juga. Capek deh, nggak ada ojek, becek....
Maaf jikalau ada kata-kata yg tidak sopan.
Friday, December 26, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment