Waktu kuliah aku jadi tak suka main game khususnya game-game komputer. Sebabnya adalah karena waktu itu aku melihat teman-teman tetangga kos pada main game di komputernya yang super duper bagus, berkecepatan tinggi dan teknologi paling mutakhir di jamannya. Sedangkan di sisi lain waktu itu aku begitu butuh komputer sebagai sarana untuk ngerjain tugas kuliah yang musti diketik rapi. Orang tuaku tak sanggup (lebih tepatnya belum mengijinkan) belikan komputer karena berbagai alasan. Salah satunya karena aku dianggap masih bisa rental ataupun pinjem di tempat kawan-kawan. Jadilah waktu itu aku hanya bisa menyewa komputer yang mana pada umumnya komputer yg dipakai kelas jangkrik yang lambatnya super lelet, atau kadang meminjam di tempat temen setelah menunggu ia puas main game.
Waktu itu PS (playstation) masih belum sepopuler sekarang, yang mana sekarang mungkin masing-masing rumah yang ada anak kecilnya pasti punya, minimal satu. Dulu PS masih direntalkan di tempat-tempat khusus dengan tarif sekitar 20 ribu sehari semalam dan masih seri pertama. Kini PS sudah mewabah di seantero jagat. Kotak sakti dari Jepang ini bagaikan membius setiap penggemar game hingga ke pelosok desa. Mulai dari anak-anak kecil yang belum bisa baca tulis hingga orang-orang yg sudah dewasa yang seharusnya lebih mengutamakan mengurus anaknya.
Kita bagaikan dijajah dan diperbudak oleh teknologi. Seolah teknologi menguasai kehidupan kita. Ia mengendalikan setiap irama kehidupan di desa maupun di kota. Hampir lebih banyak efek negatif yang timbul. Contohnya di kampungku sekarang. Karena harganya masih mahal menurut ukuran orang kampung, maka anak-anak kecil rata-rata datang ke tempat penyewaan PS walaupun hanya sekedar nongkrong melihat teman-temannya yang punya lebih banyak duit. Si Dino misalnya, tiap pulang sekolah ia selalu datang ke sana hingga sore tiba. Kadang-kadang ia sering lupa makan siang sepulang sekolah. Orang tuanya sering bingung mencari-cari entah kemana ia pergi. Tapi lama-lama ibunya hapal di rumah tetangganya itulah Dino menghabiskan uang saku pemberian bapaknya yang hanya tukang jahit miskin. Dan akhir-akhir ini Dino jadi jarang di rumah. Uang sakunya pun sering habis dan selalu merengek-rengek minta lagi-minta lagi ke ibunya. Dino juga jadi jarang belajar. Pada saat pembagian raport semester ini nilainya jatuh anjlok dari nilai sebelumnya. Dino bukan anak kurang cerdas, namun ia hanya kurang belajar, terbius oleh pengaruh buruk PS dan dicengkram oleh tangan hitam teknologi.
Orang tua harusnya pintar-pintar mengatur waktu anaknya yang masih sangat labil. Namun anak jangan dilarang 100 % main game, berikan waktu khusus pada jam-jam tertentu saja. Selebihnya dikasi pengertian bahwa belajar jauh lebih penting. Guru-guru di sekolah juga sebaiknya lebih menekankan efek negatif dari terlalu banyaknya main game. Disinilah tanggung jawab pemerintah lewat guru untuk mengatur dan mengarahkan pola pendidikan yang diterapkan. Bukannya guru-guru malah cuek bebek tak mau tau fenomena yang terjadi di luar sekolah. Bukannya malah latah ikut-ikutan bikin rental PS yg akhir-akhir ini kian menjamur. Menjamur karena katanya nggak sampai 1 tahun sudah balik modal.
Waktu kecil aku juga tak jauh berbeda dengan si Dino. Namun waktu itu memang bukan PS namanya. Hanya semacam game watch. Pada masa berikutnya sudah berkembang dan beredar video game di kampungku. Pernah suatu hari aku disuruh Bapakku mengambil sesuatu pulang ke rumah. Tapi namanya pengennya selalu main, jadilah aku mampir di video game centre. Lama tak kunjung datang, bapakku sudah tau gelagatku dan langsung mencari ke sana. Aku dijewer di depan teman-temanku dan dan 'diskors' tak boleh main ke sana seminggu. Sungguh terlalu.
Berbeda dengan dulu. Game-game sekarang lebih mengarahkan anak-anak untuk menjadi lebih individualis. Apalagi gamenya bisa hanya dimainkan seorang diri. Anak hanya berinteraksi dengan mesin yang mati. Dulu lain. Jenis-jenis permainan yang sering dilakoni adalah permainan berkelompok misalnya main petak umpet, kasti atapun main bola kaki. Kita dituntut berinteraksi dengan sesama teman. Kita, secara tidak sadar, berlatih bagaimana bekerja dalam team dan menghargai pendapat orang lain. Lama-lama game-game baru sejenis PS itu hanya akan berdampak negatif dan buruk pada sifat dasar anak yang jelas sedang berkembang. Apalagi orang tuanya yang super sibuk jarang di rumah dan tak sempat mengawasi apa-apa yang sedang dilakukan anak-anaknya.
Namun ada satu buku yang mengatakan bahwa main game dapat membentuk pribadi yang lebih kreatif, inovatif dan lebih berani mengambil keputusan. Kesimpulan itu ia dapat dari penelitian selama beberapa tahun di beberapa tempat. Namun di tempat ku bekerja sekarang juga diberlakukan pelarangan tak boleh menginstall game di komputer kantor, apalagi main game pada waktu jam kerja.
Terlepas dari dampak positif main game, kita harus selalu waspada akan dampak buruknya. Jangan-jangan dibalik semakin merebak tersebarnya game-game konsol baru ada niat jahat yang ingin menguasai atau menjajah suatu negara dalam bentuk lain. Negara 'penjajah' akan untung secara finansial, negara terjajah akan menyerahkan 'upeti' dengan membeli peralatan-peralatan canggih itu yang berkembang terus, disamping dampak lainnya adalah bobroknya atittude anak-anak dalam dunia pendidikan.
Monday, May 12, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment