Pagi-pagi sudah aku memutar tuas-tuas yang menggerakkan roda-roda, menggelinding dan menerjang embun pagi yan masih menempel di permukaan jalan raya yang belum ramai. Tiba di kota tempat aku tuju, hanya 15 menit sudah sampai, aku mencoba mencari alamat kantor pajak yang dikasi tahu temanku. Dua kali aku mutar dan kuputuskan berhenti dulu membeli selembar map ukuran standar dan sekedar bertanya pada sapa saja yang bisa ditanya. Petugas hanya 1 yang sibuk memfotokopi buku-buku tebal, sementara orang-orang pada tak sabar menunggu gilirannya termasuk aku. Sembari menunggu, aku liat seorang agak tua dengan seragam kebanggaanya sedang menunggu di salah satu kursi di ruangan 6x4 meter itu. Dengan sopan ku bertanya dan dengan ramah pula ia menunjukkan aku dimana kantor yang hendak ku tuju. Lalu setelah mendapat amplop dengan merayu penjaga toko tadi, aku berlalu, menyelinap di balik orang-orang yang berdiri semakin banyak di toko fotokopian itu.
Lalu aku masuki kantor pajak dan beberapa petugas keamanan merangkap tukang parkir mempersilahkan aku parkir di sudut parkir yang tak terlalu luas itu. Di sudut halaman sana terdapat tenda darurat dengan barisan kursi kayu rapi dengan 2 orang petugas duduk di sisi yang berlawanan. Aku mencoba cari toilet dulu lalu ikut antrian di kursi-kursi tadi. Seorang ibu agak lanjut rasanya aku kenal juga ikut dalam antrian. Ternyata ia adalah guru SD ku dulu dan ketika kusapa ia masih ingat dengan aku. Lalu untuk mengisi waktu luang itu kami ngobrol basa-basi hingga akhirnya giliran ia dipanggil petugas. Walaupun antrian sudah tertib namun masih saja ada bapak-bapak tua dengan cuek bebek menyerobot antrian dan tanpa muka berdosa mendahuluiku. Aku hanya geleng-geleng. Apakah orang Bali tak bisa tertib. Karena aku pernah hidup di beberapa kota di Indonesia, aku melihat orang Bali paling parah dalam mengantri.
Setelah mendaftar di petugas tadi aku disuruh masuk ke ruangan besar yang penuh sesak orang. Tiga petugas duduk di depan komputer dengan layar-layar LCD mewah memanggil-manggil nasabah yang hendak mengumpulkan formulir SPT masing-masing. Antrian sudah semakin canggih dan lebih modern, sudah elektronis. Angka-angka antrian dalam tampilan 7 segmen menghiasi dinding ruangan yang sejuk oleh AC itu. Aku sibuk mencari-cari loket tempat mencetak karcis antrian. Ternyata ia tersembunyi di balik bapak-bapak lanjut usia yang berdiri bergerombol karena tak kebagian kursi tempat menunggu antrian, ruangan itu memang penuh manusia. Kebanyakan dari mereka berseragam dan terlihat bangga dengan atribut-atribut yang dikenakannya, meskipun mereka sadar gaji mereka tak sesuai dengan mewahnya atribut itu. Bahkan kenaikan gajinya tak mampu mengimbangi laju inflasi negeri ini. Aku kebagian nomor antrian 146, masih 20 antrian lagi. Namun petugas-petugas di kursi di ujung sana tampak sigap dan cerdas memainkan tombol-tombol komputer lalu memencet nomor antrian selanjutnya, suar 'ting' keluar dari speaker pertanda antrian berikutnya dipersilahkan maju. Dua nomor lagi giliranku, seorang bapak duduk di sampingku dan menyapa dengan sopan dan ia bercerita mendapat antrian nomor 165 dan nomor 146 tertera di 7-segment mengakhiri obrolan kami pagi itu. Petugas dengan lancar memainkan jari-jemarinya di atas papan keyboard. Tak sampai 5 menit aku sudah keluar dari ruangan dan langsung menuju parkiran. Mobil silverku tertutup oleh motor-motor yang diparkir ngawur. Petugas akhirnya menyingkirkan motor-motor liar dan aku pun bisa berlalu.
Rasanya puas pagi itu berurusan dengan bureaucratique yang biasanya terkenal berbelit-belit. Namun pagi itu aku cukup puas dan merasa teknologi sudah membantu mempercepat proses itu. Mulai dari sistem antrian yang sudah elektronik hingga input data yang semuanya computerized. Semoga aja sistem-sistem seperti ini lebih cepat diterapkan di kantor-kantor pemerintah lainnya agar masyarakat luas semakin nyaman dan lega melakukan urusan birokrasi. Salut!
Monday, May 12, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment