Panji adalah seorang anak muda, bujangan yang sedang menempuh on the job training di sebuah perusahaan minyak lepas pantai timur Kalimantan. Ia training bersama 59 orang temannya yang lain. Ia mempunyai 3 orang sahabat karib yang satu schedule dengannya. Schedule yang 2 minggu kerja dan 2 minggu off membuat keempat orang itu selalu bersama, baik di tempat kerja maupun disaat off duty. Ketiga teman Panji itu adalah Topan Baskoro yang nasionalis, Jacky Wasito yang pintar mandraguna dan Zarhan yang religius dan juga agresor.
Panji mempunyai hobby Fotografi jatuh cinta pada seorang model yang secara tak sengaja ia temui di Bandara Juanda Surabaya. Saat itu ia sedang dalam perjalanan balik dari kampung halamannya, Yogya, menuju Balikpapan via Surabaya. Ia yang lama menunggu pesawat yang tertunda keberangkatannya berkenalan dengan seorang gadis yang ternyata model dan setelah ngobrol ia tahu kalau gadis itu satu pesawat dengan dia.
Ketika panggilan untuk berangkat tiba, mereka berdua pun naik pesawat. Tak disangka mereka duduk bersebelahan di dalam pesawat. Akhirnya perkenalan mereka semakin akrab. Dan akhirnya mereka sepakat kalau Panji ikut nebeng saat dijemput orang tuanya. Ketika pesawat mendarat datang panggilan ke si model Novita yang mengatakan orang tuanya tak bisa menjemput karena sibuk. Akhirnya kami berdua mencari taksi gelap yang mangkal ramai di Bandara. Aku pun terpaksa mengantarkan hingga ke rumahnya di Samarinda. Dalam perjalanan itu juga tercipta benih-benih cinta yang mulai bersemi. Setiba di rumah Novita, Panji bermaksud permisi dan akan menginap di hotel saja. Namun orang tua Novita meminta Panji untuk menginap di rumahnya saja. Panji menerima tanpa perlawanan. Keesokan harinya giliran Panji berangkat ke laut dan mereka pun tetap saling berhubungan via telepon dan SMS.
Kisah cinta merekapun semakin bersemi, semakin maknyus.
Suatu hari ketika Panji menikmati keindahan langit sore di atas platform, secara tak sengaja handphone jatuh ke laut. Maksud hati hendak menelfon pujaan hati, tapi HP nyemplung ke laut. Jadilah Panji tak bisa menghubungi Novita lagi hingga ia off nanti. Ketika off Panji memutuskan untuk menghampiri Novita langsung ke rumahnya. Namun ia kecewa, hatinya gundah karena ternyata Novita dan keluarganya pindah rumah entah kemana. Hati Panji kian tak karuan. Pujaan hati yang sedang ia cari tak kunjung datang.
Akhirnya ia pulang dengan hati hampa, tangan hampa. Hari berlalu tak ada rasanya. Ia pun mulai putus asa. Niat hati untuk melupakan saja namun ia tak bisa. Ia pun memulai kesibukan lain bersama 3 orang sahabat karibnya, Topan, Jacky dan Zarhan.
Untuk mengisi kebosanan, suatu hari mereka main-main di seputar Bandara Sepinggan. Lalu foto-foto hingga masuk ke Runway Bandara. Kontan saja satpam bandara mengusir tanpa ragu-ragu.
Ketika naik on duty pada hari-hari terakhir mereka berempat sepakat untuk mengisi kebosanan main alat musik, tapi tanpa ijin. Panji dengan asik memainkan bas sambil bernyanyi lagu elvis presley. Zarhan yang jago gitar memetik dengan penuh perasaan. Jacky main drum dengan kelembutan tingkat tinggi. Topan tak bisa main musik sehingga ia jadi penonton saja. Petugas pengawas alat musik marah alatnya dimainkan tanpa ijin. Mereka diusir. Lalu masuk kamar dan di kamar ada gitar. Panji yang gundah gulana hatinya membuat puisi sedih lalu membacakan. Zarhan tanpa dikomando memainkan musik bernuansa sedih. Jacky yang maniak musik digital langsung saja merekam aksi kami dengan laptop kesayangannya. Topan mengabadikan dengan kamera digital D70 milik Panji.
Hari-hari berlalu. 9 bulan tak terasa. Hari pembantaian pun tiba. Mereka ditugaskan membuat presentasi dan akan diuji oleh tim penguji khusus. Tibalah mereka berempat mendapat giliran melakukan presentasi. Ketika pengumuman tiba Panji dan Zarhan lolos namun sayang sekali Topan yang nasionalis dan tidak mau bekerja di perusahaan milik asing memilih untuk hengkang dari seleksi. Sedangkan Jacky yang terlalu pintar malah ditendang karena tak sejalan dengan pikiran penguji. Ia menentang prinsip penguji yang ia anggap salah.
Setelah pengumuman mereka diijinkan pulang ke rumah masing-masing selama 10 hari. Bagi yang tidak lulus, pulang selamanya. Panji pulang dan 1 pesawat bersama Zarhan. Ketika di pesawat Panji melihat Novita dan mereka bertemu mengadu rindu. Mereka berpelukan penuh haru dan mata Novita tampak berkaca-kaca. Mereka berdiri di gang dan tak perduli kalau semua penumpang mengarahkan pandang ke arah mereka berdua. Mereka tak peduli ketika pramugari hendak lewat. Lalu dengan sedikit teriak si pramugari menepuk pundak Panji sambil berkata, "Panji bangun.. bangun euy..!" Panji menoleh dan melihat sosok Zarhan di sampingnya. Menepuk-nepuk pundak Panji hingga terbangun dari tidur. Ternyata Panji hanya bermimpi. Betapa kecewanya Panji dan dengan dongkol tiada terkira ia mengambil tas lalu turun dari pesawat dengan langkah lemas.
Saturday, September 27, 2008
Qualified Electrician
Orangnya ramah, tenang dan murah senyum. Itulah kesan pertama jika bertemu dengan bapak berkumis tebal ini. Penampilannya yang sederhana kerap membuat orang lain segan terhadapnya. Tata bahasanya yang sopan membuat setiap orang yang berbincang dengannya pasti merasa senang dan mendapat pencerahan. Pengetahuannya yang luas mulai dari ilmu elektrik hingga ilmu marketing ia kuasai. Bahkan ia dikenal sebagai tukang sulap Attaka, karena aksinya suatu hari menampilkan atraksi sulap pada suatu acara perusahan. Waktu itu ia tampil dalam acara 17-an di Santan Terminal. Semua orang terkesima dan terhibur oleh sulapnya yang unik. Tepuk tangan riuh penonton menambah semangatnya memainkan trik-trik sulapnya. Namun kini ia sudah tidak kelihatan main sulap lagi. "Saya dituduh menggunakan ilmu," keluhnya. Padahal ia tak memakai ilmu sama sekali, itu semua adalah trik sulap yang memang dirahasiakan. Jika tidak tahu pasti menganggap mustahil dan orang yang tidak mengerti sama sekali tentang sulap lalu menuduhnya mempraktekkan ilmu-ilmu tertentu.
Pak Prayitno, itulah sosok ahli listrik yang selalu tampil dengan senyumnya yang khas dan membuat setiap orang gembira. Moto hidupnya: "Mengasihi orang lain seperti mengasihi diri sendiri" selalu dijadikan pedoman dalam setiap pergaulannya. Oleh karena itu disamping mengasihi sesama, ia termasuk pecinta binatang dan suatu hari ikut misi bersama WWF untuk melepaskan beberapa orang hutan di pedalaman kalimantan bersama Marabunta, klub pecinta alam di perusahannya. Pak Prayitno juga salah satu voluntir berdirinya klub pecinta alam ini.
Ia adalah sosok yang mempunyai banyak hobby. Ia berbakat dalam berbagai hal. Mulai dari memainkan alat musik, ia mahir memainkan gitar, keyboard bahkan drum. Ia juga jago memainkan ketipung yang merupakan alat musik utama musik dangdut, musik favoritnya. Ia juga piawai memainkan kamera digital. Meskipun hanya menggunakan sebuah kamera digital poket biasa, namun hasil jepretannya tak kalah dibanding jepretan fotografer profesional dengan kamera SLR-nya. Objek kesukaannya adalah pemandangan alam.
Sudah 15 tahun lebih ia bekerja disini. Ia mengabdi demi bangsa, keluarga dan anak istri. Selama bekerja ia tak pernah membuat masalah, apalagi sampai di-warning. Ia adalah seorang pekerja yang berdedikasi tinggi. Ia juga pekerja yang gemar sharing pengetahuan. Tak ayal lagi, jika ada pegawai baru yang sedang training, ia pasti kebagian tugas menjadi trainer dan coach, mendidik, melatih dan menemani trainee. Diajari hingga ke tetek bengek, mulai dari tidak bisa hingga menjadi mahir, itulah keahliannya yang lain. Hingga saat ini ia juga bekerja tak pernah mengalami kecelakaan kerja. Ia selalu mematuhi aturan perusahan dan menerapkan TENETs operation dalam setiap langkah kerjanya. Ia selalu berprinsip jika tidak aman tidak akan bekerja dan akan mengerjakan pekerjaan dengan tidak terburu-buru karena selalu ada waktu untuk bekerja secara selamat.
Bapak yang asli Banyuwangi, Jawa Timur ini juga adalah teman yang baik. Ia selalu berusaha menyenangkan hati teman-temannya walaupun ia mengorbankan kesenangan dirinya. Ia tak ragu berbagi makanan di remote jika kedapatan temannya tak kebagian makanan. Ia tak ragu menolong teman lain departemen ketika butuh bantuan mengerjakan pekerjaan yang agak berat. Ia juga teman main musik yang mengasyikkan. Meskipun dangdut adalah musik favoritnya, namun ia juga piawai memainkan aliran musik lain.
Disamping pekerja yang baik, ia juga adalah pengusaha yang sukses. Warung yang dibuka di garase rumahnya cukup laris dan beromset lumayan tiap bulan. Warung yang dikelola oleh istrinya ini menjual sembako dan keperluan sehari-hari. Lokasinya yang strategis di pertigaan Sumber Rejo membuat warungnya selalu ramai dikunjungi baik pelanggan ataupun orang yang kebetulan lewat di wilayah Sumber Rejo. "Lumayanlah nambah uang bulanan," ujar bapak 3 anak dan 1 istri ini. "Disamping memberi kesibukan tambahan buat istri juga paling tidak bisa lah buat nambah-nambah uang saku anak-anak," ujarnya penuh semangat. Ilmu bisnis yang ia dapat dari membaca berbagai buku marketing dan juga pernah ikut MLM membuat usahanya semakin lancar.
Namun suatu hari Pak Prayit terlihat murung dan melamuni matahari tenggelam di suatu sore yang dramatis. Ia gundah dan risau karena produksi minyak di lapangan ia bekerja semakin turun. Ia khawatir apakah bisa melanjutkan bekerja disini hingga pensiun nanti. Ia ragu, apakah jika pindah kerja di tempat lain bisa memperoleh kesejahteraan seperti di tempat yang sekarang ini. Ia khawatir akan nasib anak istrinya kelak. Ia terlarut dalam lamunan seiring sang surya larut dalam air samudera selat makassar. Ia terlarut dalam lelah karena siang tadi terkuras tenaga membongkar shipping pump yang beratnya bukan kepalang. Ia larut dalam lamunan, dalam penantian kapal yang akan segera menjemputnya pulang, kembali ke peraduan mimpi.
Dalam mimpi ia seperti didatangi oleh keyakinan, keyakinan bahwa lapangan ini masih menghasilkan. Lapangan ini perlu dukungan segenap orang-orang di dalamnya agar lapangan ini bisa bertahan lebih lama. Tak hanya sebulan dua bulan. Namun bertahun-tahun bahkan kalau bisa 100 tahun lagi. Ia yakin jika semua karyawan bersatu padu maka produksi akan bisa ditingkatkan. Ia yakin jika semua karyawan bahu-membahu, bukan saling cela dan saling mencari kesalahan, produksi paling tidak bisa dipertahankan. Keyakinan selalu membuatnya berfikir positif dan keyakinan pula yang akan membuat ia bertahan. Ia tak perlu pujian atau segala macam award yang selalu didengang-dengungkan. Yang ia perlukan hanya semangat untuk mencapai tujuan bersama, motivasi untuk selalu bergerak maju. Ia tak bisa berjalan sendiri, ia perlu dukungan segenap penghuni lapangan ini. Ia ingin bergerak bersama-sama mewujudkan impiannya yang masih tertunda.
Pak Prayitno, itulah sosok ahli listrik yang selalu tampil dengan senyumnya yang khas dan membuat setiap orang gembira. Moto hidupnya: "Mengasihi orang lain seperti mengasihi diri sendiri" selalu dijadikan pedoman dalam setiap pergaulannya. Oleh karena itu disamping mengasihi sesama, ia termasuk pecinta binatang dan suatu hari ikut misi bersama WWF untuk melepaskan beberapa orang hutan di pedalaman kalimantan bersama Marabunta, klub pecinta alam di perusahannya. Pak Prayitno juga salah satu voluntir berdirinya klub pecinta alam ini.
Ia adalah sosok yang mempunyai banyak hobby. Ia berbakat dalam berbagai hal. Mulai dari memainkan alat musik, ia mahir memainkan gitar, keyboard bahkan drum. Ia juga jago memainkan ketipung yang merupakan alat musik utama musik dangdut, musik favoritnya. Ia juga piawai memainkan kamera digital. Meskipun hanya menggunakan sebuah kamera digital poket biasa, namun hasil jepretannya tak kalah dibanding jepretan fotografer profesional dengan kamera SLR-nya. Objek kesukaannya adalah pemandangan alam.
Sudah 15 tahun lebih ia bekerja disini. Ia mengabdi demi bangsa, keluarga dan anak istri. Selama bekerja ia tak pernah membuat masalah, apalagi sampai di-warning. Ia adalah seorang pekerja yang berdedikasi tinggi. Ia juga pekerja yang gemar sharing pengetahuan. Tak ayal lagi, jika ada pegawai baru yang sedang training, ia pasti kebagian tugas menjadi trainer dan coach, mendidik, melatih dan menemani trainee. Diajari hingga ke tetek bengek, mulai dari tidak bisa hingga menjadi mahir, itulah keahliannya yang lain. Hingga saat ini ia juga bekerja tak pernah mengalami kecelakaan kerja. Ia selalu mematuhi aturan perusahan dan menerapkan TENETs operation dalam setiap langkah kerjanya. Ia selalu berprinsip jika tidak aman tidak akan bekerja dan akan mengerjakan pekerjaan dengan tidak terburu-buru karena selalu ada waktu untuk bekerja secara selamat.
Bapak yang asli Banyuwangi, Jawa Timur ini juga adalah teman yang baik. Ia selalu berusaha menyenangkan hati teman-temannya walaupun ia mengorbankan kesenangan dirinya. Ia tak ragu berbagi makanan di remote jika kedapatan temannya tak kebagian makanan. Ia tak ragu menolong teman lain departemen ketika butuh bantuan mengerjakan pekerjaan yang agak berat. Ia juga teman main musik yang mengasyikkan. Meskipun dangdut adalah musik favoritnya, namun ia juga piawai memainkan aliran musik lain.
Disamping pekerja yang baik, ia juga adalah pengusaha yang sukses. Warung yang dibuka di garase rumahnya cukup laris dan beromset lumayan tiap bulan. Warung yang dikelola oleh istrinya ini menjual sembako dan keperluan sehari-hari. Lokasinya yang strategis di pertigaan Sumber Rejo membuat warungnya selalu ramai dikunjungi baik pelanggan ataupun orang yang kebetulan lewat di wilayah Sumber Rejo. "Lumayanlah nambah uang bulanan," ujar bapak 3 anak dan 1 istri ini. "Disamping memberi kesibukan tambahan buat istri juga paling tidak bisa lah buat nambah-nambah uang saku anak-anak," ujarnya penuh semangat. Ilmu bisnis yang ia dapat dari membaca berbagai buku marketing dan juga pernah ikut MLM membuat usahanya semakin lancar.
Namun suatu hari Pak Prayit terlihat murung dan melamuni matahari tenggelam di suatu sore yang dramatis. Ia gundah dan risau karena produksi minyak di lapangan ia bekerja semakin turun. Ia khawatir apakah bisa melanjutkan bekerja disini hingga pensiun nanti. Ia ragu, apakah jika pindah kerja di tempat lain bisa memperoleh kesejahteraan seperti di tempat yang sekarang ini. Ia khawatir akan nasib anak istrinya kelak. Ia terlarut dalam lamunan seiring sang surya larut dalam air samudera selat makassar. Ia terlarut dalam lelah karena siang tadi terkuras tenaga membongkar shipping pump yang beratnya bukan kepalang. Ia larut dalam lamunan, dalam penantian kapal yang akan segera menjemputnya pulang, kembali ke peraduan mimpi.
Dalam mimpi ia seperti didatangi oleh keyakinan, keyakinan bahwa lapangan ini masih menghasilkan. Lapangan ini perlu dukungan segenap orang-orang di dalamnya agar lapangan ini bisa bertahan lebih lama. Tak hanya sebulan dua bulan. Namun bertahun-tahun bahkan kalau bisa 100 tahun lagi. Ia yakin jika semua karyawan bersatu padu maka produksi akan bisa ditingkatkan. Ia yakin jika semua karyawan bahu-membahu, bukan saling cela dan saling mencari kesalahan, produksi paling tidak bisa dipertahankan. Keyakinan selalu membuatnya berfikir positif dan keyakinan pula yang akan membuat ia bertahan. Ia tak perlu pujian atau segala macam award yang selalu didengang-dengungkan. Yang ia perlukan hanya semangat untuk mencapai tujuan bersama, motivasi untuk selalu bergerak maju. Ia tak bisa berjalan sendiri, ia perlu dukungan segenap penghuni lapangan ini. Ia ingin bergerak bersama-sama mewujudkan impiannya yang masih tertunda.
Gek Nisa dan Komang Adi
Pagi-pagi Gek Nisa sudah bertemu dengan kekasih hatinya, Komang Adi.
"Ibuku, bapakku, keluargaku tak setuju dengan hubungan kita," ucap Gek Nisa.
Komang Adi tersentak mendengar ucapan Gek Nisa bagai bom Bali 3 di siang bolong. Ia seperti disetrum listrik bertegangan 4000 volt. Ia bagai tersengat tawon sebesar gajah. Ia lemas, bulu-bulu kuduknya terurai lemas tak berdaya. Ia jadi teringat, sebelum ucapan itu akhirnya disampaikan Gek Nisa, ia dulu sempat mengajak Gek Nisa ke rumahnya dan mendapati orang tua laki Komang Adi sakit, terkapar di tempat tidur. Dari sejak saat itu, sikap Gek Nisa yang berkasta lebih tinggi daripada Komang jadi berubah dan terkesan agak menjauh. Disamping hambatan kasta yang menghalangi hubungan mereka, juga keadaan Bapaknya Komang yang sedang menderita sakit yang tak terdiagnosa dokter. Keluarga Komang Adi sudah pasrah, puluhan dokter sudah menyerah, belasan paranormal sudah dikerahkan, dan sudah berapa obat cina bersarang di badan Pak Ketut, Bapaknya Komang yang bekas pejabat DPRD. Namun tak kunjung sembuh jua.
Sebenarnya Gek Nisa tak terlalu memperdulikan urusan kasta, karena menurutnya jaman sekarang sudah tak relevan lagi membicarakan kasta dan menggunakannya sebagai alasan perbedaan derajat. Gek Nisa kecewa dengan perlakuan keluarganya yang masih kolot. Namun disisi lain ia masih tetap ingin membahagiakan keluarganya. Ia dilarang karena dua alasan, orang tua Komang yang sakit-sakitan dan karena berkasta lebih rendah dari keluarganya yang Gusti.
"Buat apa kamu nikah sama dia. Apa kamu sanggup nanti ngurusin orang sakit terus-terusan?", bentak ibunya. Kata-kata itu terus membayang dalam benak Gek Nisa yang mudah goyah.
Setelah peristiwa itu, jadilah hari-hari Komang muram dan kosong. Pikirannya kalut. Ia yang baru 1 minggu pulang dari bekerja di sebuah kapal pesiar di Amerika mendadak lemas dan tak terlihat semangatnya lagi seperti beberapa hari sebelum ia akan pulang. Tiga hari sebelum ia pulang kampung, ia sibuk mencarikan oleh-oleh paling mempesona buat kekasihnya di rumah, Gek Nisa. Ia belikan barang-barang mewah khas negeri Paman Sam, mulai dari parfum, baju hingga tas bermerk kelas dunia. Gek Nisa yang diberi barang-barang mewah ini terima saja, setelah ia menerima barang-barang itu ia lalu berkata yang membuat hati Komang gundah gulana. Sejak hari itu pula Gek Nisa resmi putus dari Komang, dan Komang yang pasrah menerima begitu saja tanpa memberikan pembelaan. Komang pulang dengan hati hampa, Gek Nisa pulang dengan barang-barang oleh-oleh kelas atas dengan hati senang bercampur mie dan bakso ayam eh bercampur gulana, biar sama dengan Komang.
Sebulan berlalu, akhirnya terdengar kabar Gek Nisa bakal menikah dengan Gus Tu, seorang pemuda pekerja kapal pesiar juga asal daerah lain. Gus Tu memiliki kasta yang sama dengan Gek Nisa. Maka dari itu orang tua Gek Nisa setuju dan pacaran yang tak lama itu mengantarkan kedua mempelai dalam perkawinan ala Bali yang mewah meriah karena si Gus Tu baru pulang dari kapal pesiar yang terkenal dengan uang mengalir itu.
Gek Nisa pun ikut sang suami tinggal di rumah mertua di kampung yang masyarakatnya masih agak kolot. Bulan berganti bulan, hari berganti hari pasangan ini hidup bahagia dan Gek Nisa pun melahirkan bayi pertamanya, laki-laki. Sungguh senang hati keluarga Gus Tu menyambut kehadiran si kecil yang cakep seperti tetangga eh bapak dan ibunya dong. Matanya mirip mata bapaknya, hitam dan tajam dengan alis yang tebal dan garis tajam. Sedangkan bibirnya mirip bibir ibunya, tipis dan merah merekah. Sungguh rupawan anak mereka.
Suatu hari, sebulan setelah melahirkan, ketika sedang sibuk mengemasi pakaian si bayi, Gek Nisa merasa pusing. Kepalanya pening dan rasanya ingin muntah. Perutnya juga seperti melilit-lilit tak karuan. Dokter bilang hanya mag biasa dan hanya diberikan obat mag ala kadarnya. Kian hari perutnya semakin melilit. Mertua dan keluarga suaminya seperti tak memperdulikannya. Terkadang ia menangis sedih karena hanya diberikan obat yang didapat dari seorang Balian yang 'praktik' dekat rumahnya. Sehari-hari hanya makan lauk seadanya, bahkan jauh dari kesan bergisi. Keluarga Gus Tu seperti tak peduli dan hanya lebih peduli sama bayi mereka yang lucu dan laki-laki.
Kian hari perutnya semakin melilit dan terus melilit. Pada puncaknya akhirnya Gek Nisa memutuskan untuk ke rumah sakit sendirian, tanpa seorang keluarga, teman atau sang suami yang menemani. Ketika diperiksa dokter, didapat bahwa ada pembengkakan paru-paru dan sudah terkumpul air yang banyak dalam paru-parunya,. Dokter menyatakan penyakitnya parah dan memutuskan untuk merujuk ke rumah sakit di propinsi. Gek Nisa yang sendirian diantarkan ke rumah sakit umum pusat. Suami yang dulu memuja dan memujinya kini seperti tak pedulu padanya. Seperti ada tangan-tangan jahat mencengkeram Gus Tu dan melarangnya menemui istrinya sendiri. Selama di rumah sakit, tak seorang keluargapun yang datang menjenguk, bahkan suaminya sendiri. Akhirnya Gek Nisatak tahan juga diperlakukan seperti ini lalu menghubungi orang tuanya sendiri. Mendengar kabar itu, keluarganya marah besar dan memutuskan untuk tak akan mengembalikan Gek Nisa ke keluarga Gus Tu.
Dengan perawatan intensif, sudah sebulan Gek Nisa dirawat di rumah sakit pusat itu namun sakitnya belum juga sembuh-sembuh. Sepertinya penyakitnya sudah menyatu dengan badannya dan tak terpisahkan.
"Ibuku, bapakku, keluargaku tak setuju dengan hubungan kita," ucap Gek Nisa.
Komang Adi tersentak mendengar ucapan Gek Nisa bagai bom Bali 3 di siang bolong. Ia seperti disetrum listrik bertegangan 4000 volt. Ia bagai tersengat tawon sebesar gajah. Ia lemas, bulu-bulu kuduknya terurai lemas tak berdaya. Ia jadi teringat, sebelum ucapan itu akhirnya disampaikan Gek Nisa, ia dulu sempat mengajak Gek Nisa ke rumahnya dan mendapati orang tua laki Komang Adi sakit, terkapar di tempat tidur. Dari sejak saat itu, sikap Gek Nisa yang berkasta lebih tinggi daripada Komang jadi berubah dan terkesan agak menjauh. Disamping hambatan kasta yang menghalangi hubungan mereka, juga keadaan Bapaknya Komang yang sedang menderita sakit yang tak terdiagnosa dokter. Keluarga Komang Adi sudah pasrah, puluhan dokter sudah menyerah, belasan paranormal sudah dikerahkan, dan sudah berapa obat cina bersarang di badan Pak Ketut, Bapaknya Komang yang bekas pejabat DPRD. Namun tak kunjung sembuh jua.
Sebenarnya Gek Nisa tak terlalu memperdulikan urusan kasta, karena menurutnya jaman sekarang sudah tak relevan lagi membicarakan kasta dan menggunakannya sebagai alasan perbedaan derajat. Gek Nisa kecewa dengan perlakuan keluarganya yang masih kolot. Namun disisi lain ia masih tetap ingin membahagiakan keluarganya. Ia dilarang karena dua alasan, orang tua Komang yang sakit-sakitan dan karena berkasta lebih rendah dari keluarganya yang Gusti.
"Buat apa kamu nikah sama dia. Apa kamu sanggup nanti ngurusin orang sakit terus-terusan?", bentak ibunya. Kata-kata itu terus membayang dalam benak Gek Nisa yang mudah goyah.
Setelah peristiwa itu, jadilah hari-hari Komang muram dan kosong. Pikirannya kalut. Ia yang baru 1 minggu pulang dari bekerja di sebuah kapal pesiar di Amerika mendadak lemas dan tak terlihat semangatnya lagi seperti beberapa hari sebelum ia akan pulang. Tiga hari sebelum ia pulang kampung, ia sibuk mencarikan oleh-oleh paling mempesona buat kekasihnya di rumah, Gek Nisa. Ia belikan barang-barang mewah khas negeri Paman Sam, mulai dari parfum, baju hingga tas bermerk kelas dunia. Gek Nisa yang diberi barang-barang mewah ini terima saja, setelah ia menerima barang-barang itu ia lalu berkata yang membuat hati Komang gundah gulana. Sejak hari itu pula Gek Nisa resmi putus dari Komang, dan Komang yang pasrah menerima begitu saja tanpa memberikan pembelaan. Komang pulang dengan hati hampa, Gek Nisa pulang dengan barang-barang oleh-oleh kelas atas dengan hati senang bercampur mie dan bakso ayam eh bercampur gulana, biar sama dengan Komang.
Sebulan berlalu, akhirnya terdengar kabar Gek Nisa bakal menikah dengan Gus Tu, seorang pemuda pekerja kapal pesiar juga asal daerah lain. Gus Tu memiliki kasta yang sama dengan Gek Nisa. Maka dari itu orang tua Gek Nisa setuju dan pacaran yang tak lama itu mengantarkan kedua mempelai dalam perkawinan ala Bali yang mewah meriah karena si Gus Tu baru pulang dari kapal pesiar yang terkenal dengan uang mengalir itu.
Gek Nisa pun ikut sang suami tinggal di rumah mertua di kampung yang masyarakatnya masih agak kolot. Bulan berganti bulan, hari berganti hari pasangan ini hidup bahagia dan Gek Nisa pun melahirkan bayi pertamanya, laki-laki. Sungguh senang hati keluarga Gus Tu menyambut kehadiran si kecil yang cakep seperti tetangga eh bapak dan ibunya dong. Matanya mirip mata bapaknya, hitam dan tajam dengan alis yang tebal dan garis tajam. Sedangkan bibirnya mirip bibir ibunya, tipis dan merah merekah. Sungguh rupawan anak mereka.
Suatu hari, sebulan setelah melahirkan, ketika sedang sibuk mengemasi pakaian si bayi, Gek Nisa merasa pusing. Kepalanya pening dan rasanya ingin muntah. Perutnya juga seperti melilit-lilit tak karuan. Dokter bilang hanya mag biasa dan hanya diberikan obat mag ala kadarnya. Kian hari perutnya semakin melilit. Mertua dan keluarga suaminya seperti tak memperdulikannya. Terkadang ia menangis sedih karena hanya diberikan obat yang didapat dari seorang Balian yang 'praktik' dekat rumahnya. Sehari-hari hanya makan lauk seadanya, bahkan jauh dari kesan bergisi. Keluarga Gus Tu seperti tak peduli dan hanya lebih peduli sama bayi mereka yang lucu dan laki-laki.
Kian hari perutnya semakin melilit dan terus melilit. Pada puncaknya akhirnya Gek Nisa memutuskan untuk ke rumah sakit sendirian, tanpa seorang keluarga, teman atau sang suami yang menemani. Ketika diperiksa dokter, didapat bahwa ada pembengkakan paru-paru dan sudah terkumpul air yang banyak dalam paru-parunya,. Dokter menyatakan penyakitnya parah dan memutuskan untuk merujuk ke rumah sakit di propinsi. Gek Nisa yang sendirian diantarkan ke rumah sakit umum pusat. Suami yang dulu memuja dan memujinya kini seperti tak pedulu padanya. Seperti ada tangan-tangan jahat mencengkeram Gus Tu dan melarangnya menemui istrinya sendiri. Selama di rumah sakit, tak seorang keluargapun yang datang menjenguk, bahkan suaminya sendiri. Akhirnya Gek Nisatak tahan juga diperlakukan seperti ini lalu menghubungi orang tuanya sendiri. Mendengar kabar itu, keluarganya marah besar dan memutuskan untuk tak akan mengembalikan Gek Nisa ke keluarga Gus Tu.
Dengan perawatan intensif, sudah sebulan Gek Nisa dirawat di rumah sakit pusat itu namun sakitnya belum juga sembuh-sembuh. Sepertinya penyakitnya sudah menyatu dengan badannya dan tak terpisahkan.
Ngurus PDAM
Hari Senin pagi-pagi saya sudah ada di kantor PDAM di kota kecamatan tempat saya tinggal, mengantarkan Bapak mengurus PDAM biar cepat dipasang di kampung. Pipa induk yang dipasang di depan rumah sangat disayangkan kalau cuman lewat saja tanpa sempat mampir di rumahku.
Ada 2 loket atau lebih tepatnya meja yang melayani orang luar. Mejanya setinggi dada orang dewasa. Meja pertama lebih lebar tempat pembayaran tagihan air sedangkan satu meja sebelahnya lebih sempit tempat mengurus untuk pemasangan PDAM baru. Kami disambut oleh petugas yang ramah nan sopan. Di ujung sana tampak beberapa petugas bersenda gurau tertawa renyah seolah tak ada pekerjaan berat hari itu. Hari Senin seperti bukan hari yang tidak disukai, seperti cerita pegawai-pegawai kantor lain yang "I dont line Monday". Di ujung sana tampak beberapa orang mengantri bayar air, duduk di sofa di lobby yang luas dan lapang juga sejuk.
Petugas pemasangan baru tersenyum dengan ramah penuh wibawa seorang petugas yang baik. Ia menyambut kami dengan ramah dan mempersilahkan kami menyerahkan foto kopi KTP dan 1 lembar materai 6000 perak sebagai syarat kelengkapan pendaftaran pemasangan PDAM baru. Kemudian ia menyerahkan 1 lembar blanko untuk diisi yang pada akhirnya ia menanyakan nomor HP yang bisa dihubungi. Lalu menyerahkan 1 lembar kertas kecil berukuran 1/4 kertas kuarto. Kami disuruh menggambar denah lokasi rumah tinggal kami. Segera kugambar dengan sigap dan cepat dan juga jelas sehingga dengan sekali liat saja, siapapun pasti akan segera mengerti kemana harus mencari rumah saya.
Lalu dengan penuh wibawa lagi ia menginformasikan bahwa pemasangan diawali dengan survey lokasi terlebih dahulu oleh petugas PDAM. Survey akan dilakukan hingga 1 minggu setelah kami mendaftar. Setelah survey baru kami akan dihubungi lagi guna membayar biaya yang berkisar 1,5 juta rupiah. Dua minggu setelah pembayaran inilah baru akan dilakukan instalasi, itu juga kalau peralatannya sudah komplit datang. Ditambah lagi tukang pasang yang nota bene orang Jawa yang lagi mudik, seminggu setelah Lebaran baru datang kembali ke Bali. Jadi, ia menambahkan, total sekitar 4 minggu baru akan dipasang. Sungguh malang, padahal sebenarnya kami ingin segera melakukan pemasangan. Namun apa mau dikata, dipercepat sih sebenarnya bisa, katanya. Namun karena petugas gali tanah pasang pipanya mudik, jadinya harap maklum saja.
Niat cepat karena air sumur yang biasa kami pakai di rumah sedang surut airnya, maklum musim kemarau sedang melanda daerah kami. Biasanya air sumur akan terisi penuh ketika sawah di belakang kami sudah mulai ditanami, karena air akan dialirkan kesana. Namun kini, sawah-sawah itu kering kerontang. Batang-batang bekas panen padi dibiarkan apa adanya tanpa disentuh setelah panen kemaren. Akhirnya sumur kami yang cuma 4 meter kekeringan bukan kepalang.
Solusi lain adalah menggali ulang memperdalam sumur itu atau bikin sumur bor. Biaya menggali sumur di kampung sekitar 50 ribu per meter dalamnya. Mungkin kalau diperdalam, 10 meter saja cukup. Sedangkan untuk sumur bor biayanya 45 ribu per meter. Kata tukang sumur bor kedalaman sumur biasanya di daerah kami sekitar 50 meter, sedangkan permukaan air tanah sudah berada di kedalaman 28 meter.
Sumur bor atau sumur artesis adalah sumur yang digali dengan dibor, biasanya diameternya sekitar 10 cm. Menggalinya bisa secara manual dengan alat putar yang diputar orang atau ada juga yang pakai mesin bor. Setelah dibor, sumur diisi dengan casing diameter 4 dim (4 inch), lalu di dalam casing dipasang lagi 2 buah pipa 1 dim dan 1 1/4 dim untuk saluran air keluar dan air recycle. Nah kedalaman pipa yang dipasang ini harus mencapai atau melebihi permukaan air yang berkisar 28 meter tadi. Jika dikalkulasi untuk sumur bor kedalaman 50 meter sudah menghabiskan biaya 2,25 juta untuk biaya penggalian dan pemasangan. Sedangkan pipa dan pompa kita siapkan sendiri. Pompa yang dipakai yakni pompa berdaya tinggi 900 watt (rekomendasi tukangnya) seharga 1,3 juta rupiah. Wah kalau 900 watt apa kuat untuk listrik saya yang hanya 900 watt di rumah? Jadi total biaya akan habis sekitar 4 juta. Mahal juga, tapi servis yang diberikan sungguh menarik hati. Karena si tukang sumur bor menjamin sumur akan jadi dalam 2 hari, air yang didapat juga bersih karena jauh di bawah tanah. Kalau sumur bor yang rumit ini bisa 2 hari, kenapa pemasangan PDAM yang hanya menyambung pipa dari pipa induk ke rumah kita bisa memakan waktu 3 minggu lebih? Yang saya tak habis pikir juga, apakah PDAM tidak menyetok barang-barang di gudang, agar setiap ada orang pasang baru tidak meng-order dulu sehingga memakan waktu lebih lama. Saya yakin di jaman yang serba cepat ini, PDAM harusnya lebih mengutamakan kualitas dan kecepatan pelayanan. Jangan terpaku pada paradigma birokrasi jaman orde baru yang terkenal dengan susah dan berbelit-belit. Bukan begitu kawan?
Ada 2 loket atau lebih tepatnya meja yang melayani orang luar. Mejanya setinggi dada orang dewasa. Meja pertama lebih lebar tempat pembayaran tagihan air sedangkan satu meja sebelahnya lebih sempit tempat mengurus untuk pemasangan PDAM baru. Kami disambut oleh petugas yang ramah nan sopan. Di ujung sana tampak beberapa petugas bersenda gurau tertawa renyah seolah tak ada pekerjaan berat hari itu. Hari Senin seperti bukan hari yang tidak disukai, seperti cerita pegawai-pegawai kantor lain yang "I dont line Monday". Di ujung sana tampak beberapa orang mengantri bayar air, duduk di sofa di lobby yang luas dan lapang juga sejuk.
Petugas pemasangan baru tersenyum dengan ramah penuh wibawa seorang petugas yang baik. Ia menyambut kami dengan ramah dan mempersilahkan kami menyerahkan foto kopi KTP dan 1 lembar materai 6000 perak sebagai syarat kelengkapan pendaftaran pemasangan PDAM baru. Kemudian ia menyerahkan 1 lembar blanko untuk diisi yang pada akhirnya ia menanyakan nomor HP yang bisa dihubungi. Lalu menyerahkan 1 lembar kertas kecil berukuran 1/4 kertas kuarto. Kami disuruh menggambar denah lokasi rumah tinggal kami. Segera kugambar dengan sigap dan cepat dan juga jelas sehingga dengan sekali liat saja, siapapun pasti akan segera mengerti kemana harus mencari rumah saya.
Lalu dengan penuh wibawa lagi ia menginformasikan bahwa pemasangan diawali dengan survey lokasi terlebih dahulu oleh petugas PDAM. Survey akan dilakukan hingga 1 minggu setelah kami mendaftar. Setelah survey baru kami akan dihubungi lagi guna membayar biaya yang berkisar 1,5 juta rupiah. Dua minggu setelah pembayaran inilah baru akan dilakukan instalasi, itu juga kalau peralatannya sudah komplit datang. Ditambah lagi tukang pasang yang nota bene orang Jawa yang lagi mudik, seminggu setelah Lebaran baru datang kembali ke Bali. Jadi, ia menambahkan, total sekitar 4 minggu baru akan dipasang. Sungguh malang, padahal sebenarnya kami ingin segera melakukan pemasangan. Namun apa mau dikata, dipercepat sih sebenarnya bisa, katanya. Namun karena petugas gali tanah pasang pipanya mudik, jadinya harap maklum saja.
Niat cepat karena air sumur yang biasa kami pakai di rumah sedang surut airnya, maklum musim kemarau sedang melanda daerah kami. Biasanya air sumur akan terisi penuh ketika sawah di belakang kami sudah mulai ditanami, karena air akan dialirkan kesana. Namun kini, sawah-sawah itu kering kerontang. Batang-batang bekas panen padi dibiarkan apa adanya tanpa disentuh setelah panen kemaren. Akhirnya sumur kami yang cuma 4 meter kekeringan bukan kepalang.
Solusi lain adalah menggali ulang memperdalam sumur itu atau bikin sumur bor. Biaya menggali sumur di kampung sekitar 50 ribu per meter dalamnya. Mungkin kalau diperdalam, 10 meter saja cukup. Sedangkan untuk sumur bor biayanya 45 ribu per meter. Kata tukang sumur bor kedalaman sumur biasanya di daerah kami sekitar 50 meter, sedangkan permukaan air tanah sudah berada di kedalaman 28 meter.
Sumur bor atau sumur artesis adalah sumur yang digali dengan dibor, biasanya diameternya sekitar 10 cm. Menggalinya bisa secara manual dengan alat putar yang diputar orang atau ada juga yang pakai mesin bor. Setelah dibor, sumur diisi dengan casing diameter 4 dim (4 inch), lalu di dalam casing dipasang lagi 2 buah pipa 1 dim dan 1 1/4 dim untuk saluran air keluar dan air recycle. Nah kedalaman pipa yang dipasang ini harus mencapai atau melebihi permukaan air yang berkisar 28 meter tadi. Jika dikalkulasi untuk sumur bor kedalaman 50 meter sudah menghabiskan biaya 2,25 juta untuk biaya penggalian dan pemasangan. Sedangkan pipa dan pompa kita siapkan sendiri. Pompa yang dipakai yakni pompa berdaya tinggi 900 watt (rekomendasi tukangnya) seharga 1,3 juta rupiah. Wah kalau 900 watt apa kuat untuk listrik saya yang hanya 900 watt di rumah? Jadi total biaya akan habis sekitar 4 juta. Mahal juga, tapi servis yang diberikan sungguh menarik hati. Karena si tukang sumur bor menjamin sumur akan jadi dalam 2 hari, air yang didapat juga bersih karena jauh di bawah tanah. Kalau sumur bor yang rumit ini bisa 2 hari, kenapa pemasangan PDAM yang hanya menyambung pipa dari pipa induk ke rumah kita bisa memakan waktu 3 minggu lebih? Yang saya tak habis pikir juga, apakah PDAM tidak menyetok barang-barang di gudang, agar setiap ada orang pasang baru tidak meng-order dulu sehingga memakan waktu lebih lama. Saya yakin di jaman yang serba cepat ini, PDAM harusnya lebih mengutamakan kualitas dan kecepatan pelayanan. Jangan terpaku pada paradigma birokrasi jaman orde baru yang terkenal dengan susah dan berbelit-belit. Bukan begitu kawan?
Tanah Lot Kite Festival 2008
Jumat 12 September 2008 Tanah Lot Kite Festival ato Festival Layang-layang Tanah Lot resmi dibuka di sore hari setelah paginya panitia menyelesaikan Tanah Lot 10K yaitu lari 10 kilometer dari Kediri dan finish di Tanah Lot.
Festival Layangan yang diadakan setahun sekali ini berlangsung hingga hari Minggu 14 September dengan melombakan 4 kategori, layangan Bucu Dua (pecuk), layangan Bebean (bentuk ikan), layangan Janggan (ekor panjang sekali) dan layangan kreasi. Festival diikuti oleh 300 lebih layangan dari berbagai desa di Tabanan dan sekitarnya. Biaya pendaftaran per layangan adalah 75 ribu rupiah saja. Bayangkan, untuk 300 peserta panitia bisa mendapatkan total 22,5 juta rupiah. Itu angka di luar sponsor dan sumbangan lainnya. Dengan adanya festival ini juga diharapkan akan menyedot wisatawan untuk datang ke objek wisata Tanah Lot. Tentu saja harapan akhirnya guna meningkatkan devisa daerah.
Festival ini diadakan di sebelah barat Pura Pekendungan, pura suci yang terletak di bagian barat areal Pura Tanah Lot. Hamparan sawah yang pada hari biasa sepi melompong 3 hari itu jadi lautan manusia. Ratusan peserta sibuk mengadu aksi menampilkan layangan kebanggaannya, memegang, menarik, lalu berlari terbirit-birit menyusuri tanah sawah yang kering kerontang dimakan kemarau yang tak kunjung diguyur hujan akhir-akhir ini. Tanah-tanah sawah yang kering itu terbelah-belah menimbulkan pemandangan yang eksotis atau mungkin miris. Mereka juga tak lupa berpakaian lengkap dengan busana khas Bali dengan kamben, saput dan udeng batik mereka seperti terbius oleh taksu layangan yang mereka tarik. Panas siang itu jadi tak terasa akibat semangat kebersamaan yang tumbuh mulai dari proses pembuatan, pengangkutan hingga saat lomba berlangsung.
Seorang peserta dari Bongan Gede, Tabanan mengaku mengikuti kegiatan ini untuk mencari kesenangan semata, "Kalau cari untung jelas tak bisa, Bli". Menurut peserta yang juga teman SMA saya ini, ia mengirimkan 3 layangan, 2 layangan bebean dan 1 layangan pecuk. Satu layangan bebean menghabiskan sekitar 1 juta rupiah. Sedangkan layangan pecuk berkisar setengahnya. Untuk layangan jenis lain yaitu Janggan bisa menghabiskan hingga 14 juta. Angka yang sungguh luar biasa kalau disumbangkan ke pura kahyangan desa atau ke panti asuhan misalnya. Tapi, kesenangan itu mahal, kata seorang teman. Kesenangan itu tak dapat dibeli, mungkin saking mahalnya. Disini, kesenangan yang mahal itu mengalahkan segalanya. Biaya di atas hanya untuk biaya layangan saja. Biaya mengangkut layangan dari desa masing-masing ditanggung juga oleh peserta. Sedangkan biaya konsumsi biasanya urunan oleh masing-masing anggota peserta. Layangan yang akan dipertandingkan esok hari harus sudah dibawa ke lokasi pada sore/malam sebelumnya untuk menghindari kemacetan di jalan. Tentu saja perlu seorang atau beberapa orang menjaga layangan itu pada malam hari. Tentu pula diperlukan tenaga dan biaya tambahan bagi yang menginap di malam hari.
Festival Layangan yang diadakan setahun sekali ini berlangsung hingga hari Minggu 14 September dengan melombakan 4 kategori, layangan Bucu Dua (pecuk), layangan Bebean (bentuk ikan), layangan Janggan (ekor panjang sekali) dan layangan kreasi. Festival diikuti oleh 300 lebih layangan dari berbagai desa di Tabanan dan sekitarnya. Biaya pendaftaran per layangan adalah 75 ribu rupiah saja. Bayangkan, untuk 300 peserta panitia bisa mendapatkan total 22,5 juta rupiah. Itu angka di luar sponsor dan sumbangan lainnya. Dengan adanya festival ini juga diharapkan akan menyedot wisatawan untuk datang ke objek wisata Tanah Lot. Tentu saja harapan akhirnya guna meningkatkan devisa daerah.
Festival ini diadakan di sebelah barat Pura Pekendungan, pura suci yang terletak di bagian barat areal Pura Tanah Lot. Hamparan sawah yang pada hari biasa sepi melompong 3 hari itu jadi lautan manusia. Ratusan peserta sibuk mengadu aksi menampilkan layangan kebanggaannya, memegang, menarik, lalu berlari terbirit-birit menyusuri tanah sawah yang kering kerontang dimakan kemarau yang tak kunjung diguyur hujan akhir-akhir ini. Tanah-tanah sawah yang kering itu terbelah-belah menimbulkan pemandangan yang eksotis atau mungkin miris. Mereka juga tak lupa berpakaian lengkap dengan busana khas Bali dengan kamben, saput dan udeng batik mereka seperti terbius oleh taksu layangan yang mereka tarik. Panas siang itu jadi tak terasa akibat semangat kebersamaan yang tumbuh mulai dari proses pembuatan, pengangkutan hingga saat lomba berlangsung.
Seorang peserta dari Bongan Gede, Tabanan mengaku mengikuti kegiatan ini untuk mencari kesenangan semata, "Kalau cari untung jelas tak bisa, Bli". Menurut peserta yang juga teman SMA saya ini, ia mengirimkan 3 layangan, 2 layangan bebean dan 1 layangan pecuk. Satu layangan bebean menghabiskan sekitar 1 juta rupiah. Sedangkan layangan pecuk berkisar setengahnya. Untuk layangan jenis lain yaitu Janggan bisa menghabiskan hingga 14 juta. Angka yang sungguh luar biasa kalau disumbangkan ke pura kahyangan desa atau ke panti asuhan misalnya. Tapi, kesenangan itu mahal, kata seorang teman. Kesenangan itu tak dapat dibeli, mungkin saking mahalnya. Disini, kesenangan yang mahal itu mengalahkan segalanya. Biaya di atas hanya untuk biaya layangan saja. Biaya mengangkut layangan dari desa masing-masing ditanggung juga oleh peserta. Sedangkan biaya konsumsi biasanya urunan oleh masing-masing anggota peserta. Layangan yang akan dipertandingkan esok hari harus sudah dibawa ke lokasi pada sore/malam sebelumnya untuk menghindari kemacetan di jalan. Tentu saja perlu seorang atau beberapa orang menjaga layangan itu pada malam hari. Tentu pula diperlukan tenaga dan biaya tambahan bagi yang menginap di malam hari.
Calo Tiket Bandara
Di setiap Bandara di sebagian kota besar di Indonesia yang sudah pernah saya kunjungi, pasti ada calo tiket, yang 'bertugas' menjadi tenaga pemasar ilegal setiap maskapai penerbangan. Calo juga merusak harga tiket pesawat. Calo juga yang bikin kursi pesawat penuh, padahal sebenarnya masih ada yang kosong. Namun dengan adanya calo, kadang ada aja kursi kosong, meskipun dengan harga yang dimark up. Rata-rata penumpang yang memang perlu pasti mau saja, daripada tak jadi berangkat pikirnya.
Bandara Juanda Surabaya, Soetta Jakarta dan Sepinggan Balikpapan calonya kentara banget. Bahkan sebelum kita sampai di loket sebuah maskapai, kita disamperin duluan oleh calo-calo yang siap mengelabuhi mangsanya. Di ketiga bandara ini, para calo tak malu-malu menunjukkan dirinya. Biasanya penampilan mereka rapi dengan kemeja yang dimasukkan ke dalam celananya yang disetrika tajam. Ditambah sebuah tas kecil dikempit di ketiaknya, melengkapi penampilan yang sungguh meyakinkan. Kumis yang dicukur rapi dan kaca mata bening bersih, siapa sangka ia adalah seorang calo yang menjual tiket dengan harga jauh lebih mahal.
Suatu pagi di Bandara Sepinggan ketika saya mengambil tiket di counter Lion Air, datang seorang ibu muda dengan logat khas Jawa Timur menanyakan apakah penerbangan ke Surabaya masih ada kosong apa tidak. Si penjaga loket menjawab tanpa melihat si calon penumpang, "Sudah penuh, Mbak." Si mbak-mbak itu hanya manggut-manggut pertanda mendengar sambil bergumam kecil namun tak kudengar. Tak disangka tak diduga di sampingnya sudah berdiri seorang bapak yang yang berpenampilan rapi, kemeja yang dimasukkan dan tas kempit, kumisnya menari-nari saat ia berujar ke mbak-mbak tadi,
"Mau kemana mbak?"
"Ke Surabaya"
"Mana KTP-nya"
Si mbak-mbak hanya terdiam, bingung antara memberi KTP atau lari. Si bapak yang rapi bicara lagi,
"Ayo, mana KTP-nya. KTP-nya dulu nanti baru tiketnya. Duitnya nanti aja kalau sudah ada tiket."
Si mbak-mbak tadi seperti terhipnotis, mengeluarkan dompet begitu saja lalu menyerahkan KTP ke bapak rapi itu.
"Mbak tunggu di sini saja. Nanti saya kembali"
Lalu si bapak yang rapi pergi sambil nyengir kuda ke teman di sebelahnya. Sepertinya pertanda ia bakal dapat mangsa, kawan. Si mbak-mbak hanya tersenyum kecut menunggu dalam suasana hati yang tak pasti, KTP dibawa orang tak dikenal. Memang benar-benar tak dikenal, namanya saja tak dikenalkan tadi.
Masih banyak cerita-cerita konyol seputar calo, tapi tak layak diceritakan disini. Disamping melanggar kode etik percaloan juga bisa memburukkan citra calo yang sudah eksis di dunia bandara. ;)
Kalau di Ngurah Rai Bali dan Adi Soecipto Jogja lain lagi tingkah polah calo bandara. Di Bali calonya masih malu-malu. Mereka biasanya duduk-duduk menunggu korbannya di kursi tunggu check in. Namun penampilan mereka tak seperti calo-calo di tiga kota di atas. Terkesan lebih oportunis dan seperti iseng-iseng. Mereka tak agresif, mereka hanya menawari penumpang yang mendekat di tempat duduknya. Kalau dapat syukur, kalau tidak ya tak jadi masalah. Mungkin bagi mereka pekerjaan calo adalah sambilan. Kalau di Jogja lebih malu-malu lagi calonya. Saya malah tak melihat satu pun orang yang bisa disebut mempunyai tanda-tanda calo. Tak ada yang sok baik nawarin tiket ketika saya luntang-lantung di ruang tunggu di luar bandara. Waktu itu saya simpulkan di Jogja tak ada calo, namun kata seorang teman yang piawai dalam dunia travel, di Jogja juga ada, bahkan banyak. Namun ya itu tadi, masih malu-malu.
Bandara Juanda Surabaya, Soetta Jakarta dan Sepinggan Balikpapan calonya kentara banget. Bahkan sebelum kita sampai di loket sebuah maskapai, kita disamperin duluan oleh calo-calo yang siap mengelabuhi mangsanya. Di ketiga bandara ini, para calo tak malu-malu menunjukkan dirinya. Biasanya penampilan mereka rapi dengan kemeja yang dimasukkan ke dalam celananya yang disetrika tajam. Ditambah sebuah tas kecil dikempit di ketiaknya, melengkapi penampilan yang sungguh meyakinkan. Kumis yang dicukur rapi dan kaca mata bening bersih, siapa sangka ia adalah seorang calo yang menjual tiket dengan harga jauh lebih mahal.
Suatu pagi di Bandara Sepinggan ketika saya mengambil tiket di counter Lion Air, datang seorang ibu muda dengan logat khas Jawa Timur menanyakan apakah penerbangan ke Surabaya masih ada kosong apa tidak. Si penjaga loket menjawab tanpa melihat si calon penumpang, "Sudah penuh, Mbak." Si mbak-mbak itu hanya manggut-manggut pertanda mendengar sambil bergumam kecil namun tak kudengar. Tak disangka tak diduga di sampingnya sudah berdiri seorang bapak yang yang berpenampilan rapi, kemeja yang dimasukkan dan tas kempit, kumisnya menari-nari saat ia berujar ke mbak-mbak tadi,
"Mau kemana mbak?"
"Ke Surabaya"
"Mana KTP-nya"
Si mbak-mbak hanya terdiam, bingung antara memberi KTP atau lari. Si bapak yang rapi bicara lagi,
"Ayo, mana KTP-nya. KTP-nya dulu nanti baru tiketnya. Duitnya nanti aja kalau sudah ada tiket."
Si mbak-mbak tadi seperti terhipnotis, mengeluarkan dompet begitu saja lalu menyerahkan KTP ke bapak rapi itu.
"Mbak tunggu di sini saja. Nanti saya kembali"
Lalu si bapak yang rapi pergi sambil nyengir kuda ke teman di sebelahnya. Sepertinya pertanda ia bakal dapat mangsa, kawan. Si mbak-mbak hanya tersenyum kecut menunggu dalam suasana hati yang tak pasti, KTP dibawa orang tak dikenal. Memang benar-benar tak dikenal, namanya saja tak dikenalkan tadi.
Masih banyak cerita-cerita konyol seputar calo, tapi tak layak diceritakan disini. Disamping melanggar kode etik percaloan juga bisa memburukkan citra calo yang sudah eksis di dunia bandara. ;)
Kalau di Ngurah Rai Bali dan Adi Soecipto Jogja lain lagi tingkah polah calo bandara. Di Bali calonya masih malu-malu. Mereka biasanya duduk-duduk menunggu korbannya di kursi tunggu check in. Namun penampilan mereka tak seperti calo-calo di tiga kota di atas. Terkesan lebih oportunis dan seperti iseng-iseng. Mereka tak agresif, mereka hanya menawari penumpang yang mendekat di tempat duduknya. Kalau dapat syukur, kalau tidak ya tak jadi masalah. Mungkin bagi mereka pekerjaan calo adalah sambilan. Kalau di Jogja lebih malu-malu lagi calonya. Saya malah tak melihat satu pun orang yang bisa disebut mempunyai tanda-tanda calo. Tak ada yang sok baik nawarin tiket ketika saya luntang-lantung di ruang tunggu di luar bandara. Waktu itu saya simpulkan di Jogja tak ada calo, namun kata seorang teman yang piawai dalam dunia travel, di Jogja juga ada, bahkan banyak. Namun ya itu tadi, masih malu-malu.
Aku Selalu Sendiri
Jika dipikir-pikir, akhir-akhir ini aku menjadi sering sendiri dan merasa sendiri. Dibanding tahun-tahun yang lalu ketika masih kost waktu kuliah di Jogja, masih sering kumpul-kumpul sama teman-teman. Pokoknya setiap hari tak pernah sepi. Sekarang, semuanya seperti diatur agar aku selalu sepi sendiri.
Mulai dari kerja di daerah yang sepi, jauh dari peradaban wanita-wanita cantik, jauh dari keramaian dan sulit untuk mencapai keramaian. Lalu ketika sampai di rumah juga selalu terjebak oleh suasana sepi rumah yang hanya dihuni oleh Bapak dan adikku tercinta. Kadang hati tak tega meninggalkan Bapak yang sekarang sakit-sakitan untuk bersenang-senang di luar sana. Kadang kepergianku 2 minggu meninggalkan keluargaku tak rela juga rasanya, namun harus kulakukan demi sepanci nasi.
Dalam perjalanan dari rumah ke tempat kerja dan sebaliknya juga aku selalu sendiri dan merasa sendiri, padahal selalu ramai oleh orang-orang yang sibuk menggunakan pesawat. Dalam setiap perjalanan aku hanya ditemani laptop, buku-buku bacaan, dan HP kesayanganku. Kadangkala mencari teman ngobrol di jalan juga sering merasa tak sopan. Misalnya mengajak ngobrol teman duduk di pesawat. Seringnya dapat teman duduk yang gak doyan ngobrol, kebanyakan langsung tidur pulas tak peduli ada aku disampingnya. Giliran dapat teman duduk cewek cakep, jutek dan tak ramah. Jadinya aku terlena dalam kesepian dan kesunyian jiwa.
Namun di balik kesunyian-kesunyian yang aku lewati, sebenarnya hatiku ramai dan ingin sekali mengungkapkan segudang keramaian hati itu ke dalam selembar kertas maupun menjadi halaman-halaman di lembar-lembar digital seperti ini. Namun kadang waktu yang pendek, waktu yang terasa pendek membuat tangan ini susah menjangkau pena maupun papan ketik komputer kesayanganku.
Akhirnya aku hanya bisa merenung dan berkhayal, menerbangkan nurani menembus mentari pagi yang lembut, lalu menerobos gugusan bintang, membelah birunya langit, menusuk dewi rembulan yang bersinar penuh dikala purnama tiba. Jadilah aku seperti ini, aku hanya bisa menulis puisi kesunyian, namun tak sesunyi isi dalam jiwa yang selalu ingin merasa ramai ini.
Mulai dari kerja di daerah yang sepi, jauh dari peradaban wanita-wanita cantik, jauh dari keramaian dan sulit untuk mencapai keramaian. Lalu ketika sampai di rumah juga selalu terjebak oleh suasana sepi rumah yang hanya dihuni oleh Bapak dan adikku tercinta. Kadang hati tak tega meninggalkan Bapak yang sekarang sakit-sakitan untuk bersenang-senang di luar sana. Kadang kepergianku 2 minggu meninggalkan keluargaku tak rela juga rasanya, namun harus kulakukan demi sepanci nasi.
Dalam perjalanan dari rumah ke tempat kerja dan sebaliknya juga aku selalu sendiri dan merasa sendiri, padahal selalu ramai oleh orang-orang yang sibuk menggunakan pesawat. Dalam setiap perjalanan aku hanya ditemani laptop, buku-buku bacaan, dan HP kesayanganku. Kadangkala mencari teman ngobrol di jalan juga sering merasa tak sopan. Misalnya mengajak ngobrol teman duduk di pesawat. Seringnya dapat teman duduk yang gak doyan ngobrol, kebanyakan langsung tidur pulas tak peduli ada aku disampingnya. Giliran dapat teman duduk cewek cakep, jutek dan tak ramah. Jadinya aku terlena dalam kesepian dan kesunyian jiwa.
Namun di balik kesunyian-kesunyian yang aku lewati, sebenarnya hatiku ramai dan ingin sekali mengungkapkan segudang keramaian hati itu ke dalam selembar kertas maupun menjadi halaman-halaman di lembar-lembar digital seperti ini. Namun kadang waktu yang pendek, waktu yang terasa pendek membuat tangan ini susah menjangkau pena maupun papan ketik komputer kesayanganku.
Akhirnya aku hanya bisa merenung dan berkhayal, menerbangkan nurani menembus mentari pagi yang lembut, lalu menerobos gugusan bintang, membelah birunya langit, menusuk dewi rembulan yang bersinar penuh dikala purnama tiba. Jadilah aku seperti ini, aku hanya bisa menulis puisi kesunyian, namun tak sesunyi isi dalam jiwa yang selalu ingin merasa ramai ini.
Angkot di Berbagai Kota
Angkot atau angkutan kota adalah angkutan rakyat yang sering dipakai masyarakat ekonomoni menengah ke bawah. Angkot identik dengan kemiskinan atau ketidakpunyaan, mulai dari tidak punya motor, tidak punya mobil bahkan karena tidak punya malu. Maksudnya, kadang-kadang orang malu naik angkot dan memilih naik taxi atau angkutan kota lainnya, gengsi mengalahkan fungsi. Yang namanya angkutan kota, jelas semua jenis angkutan yang beroperasi di daerah kota termasuk angkot. Namun kadang ada semacam kebiasaan, jika sudah menyebut angkot pikiran kita akan mengidentikkan dengan sebuah mobil kecil yang berkapasitas hingga sepuluh orang. Namun secara fungsi, bus kota tentu bisa disebut angkot bukan?
Di masing-masing kota di Indonesia biasanya terdapat angkot dengan bentuk dan fungsi yang khas daerah tersebut. Kalau di Jogja, angkot kebanyakan terdiri dari bus kota. Kondisi bus di Jogja sangat parah, ketika sekitar tahun 99 pertama kali saya kesana. Bus-bus tua dengan bodi sudah karatan dan asap mengepul hitam masih tetap saja dipakai bahkan beroperasi di dalam kota di pusat keramaian hingga kampus UGM pula. Sebagian besar bus kota di Jogja mempunyai trayek yang melewati kampus UGM. Bus akan keliling kampus yang menjangkau seluruh fakultas. Sungguh mahasiswa oriented. Maklum kota pendidikan. Waktu saya kesana, ongkos bus kota masih sangat murah. Hanya 150 rupiah untuk pelajar dan mahasiswa dan 300 untuk penumpang umum. Bagaimana membedakan penumpang umum dan mahasiswa? Para kenek mempunyai cara mengidentifikasi penumpang yaitu penumpang yang termasukmahasiswa (lebih tepatnya kena tarif mahasiswa) adalah penumpang dengan pakaian kuliah yaitu celana pajang, kemeja, sepatu dan tas ransel. Jangan harap dikenakan tarif mahasiswa jika kita tak memakai salah satu saja dari aksesoris tersebut, walaupun kita mahasiswa baru misalnya bahkan walaupun kita pergi ke mapus sekalipun. Itulah uniknya.
Setiap hari bus-bus berputar-putar mengelilingi kota sesuai dengan trayeknya. Saling kebut-kebutan antar bus kota mengejar penumpang sudah mejadi pemandangan biasa di Jogja. Jangan harap disaat kita menyeberang jalan bus akan berhenti lalu mempersilahkan kita untuk menyeberang terlebih dahulu. Yang ada justru kita bisa kembali mundur tak jadi menyeberang karena melihat bus kota melaju dengan kencang bukan kepalang. Ugal-ugalan. Karena aksi ngebut ini banyak kecelakaan terjadi yang melibatkan bus kota. Konon pada tahun 98, seorang mahasiswa dari Bali tewas ditabrak bus ketika menyeberang jalan di areal kampus Teknik UGM. Pada waktu itu solidaritas mahasiswa melakukan unjuk rasa pada bus-bus liar. Sungguh tragis.
Berbeda dengan di Jogja, di Balikpapan lain lagi angkotnya. Angkot di kota minyak ini biasa disebut Taxi, yaitu sebuah mobil kecil mikrolet yang biasa kita sebut angkot itu. Yang unik dari angkot ini adalah ia menerima permintaan rute yang keluar dari rute utama. Angkota bisa masuk menyusuri gang-gang kecil menuju rumah penumpang, hanya untuk mengantarkan dia seorang lalu kembali lagi ke jalur utama. Bayarannya tergantung kesepakatan penumpang dan sopir. Customer friendly. Disini juga angkot sungguh berbeda dengan bus kota Jogja, tidak saja sopir angkot yang tertib, sopir kendaraan pribadipun semuanya tertib. Jika terlihat seseorang atau beberapa orang yang akan menyeberang jalan, sopir yang melaju akan berhenti dan mempersilahkan pengguna jalan menyeberang terlebih dahulu. Sabar dan sepertinya tak ada sesuatu yang terlalu diburu-buru di Balikpapan.
Di Bandung angkotnya sama dengan di Balikpapan. Namun rata-rata sopir-sopirnya masih muda dan doyan ngebut. Mobil melaju dengan kencang, liuk sana liuk sini. Jika ada penumpang, rem ditekan secara mendadak sehingga penumpang doyong ke depan. Yang asik kalau di sebelah kita penumpang cewek cakep. Tentu Anda paham maksud saya, bukan?
Sayang sekali belum pernah merasakan angkot di
Malang dan Surabaya. Karena ketika berkunjung kesana, murni dianter oleh teman dengan kendaraan pribadi. Jadi tak tahu gimana karakter angkot di Jawa Timur yang mana orangnya terkenal paling blak-blakan dan to the point, ya kan?
Kalau di Jakarta, beragam jenis angkot menguasai kota yang bersahabat dengan kemacetan ini. Mulai dari angkot mikrolet, bus kota, busway hingga bajaj yang bersuara menggelegar.
Jika naik bajaj harus siap-siap ear plug kalau tak mau kuping kita kepanasan. Sopirnya juga harus ditepuk punggungnya kalau kita mau stop, kecuali teriakan kita bisa mengalahkan suara bajaj yang fals itu.
Suatu hari saya pernah naik angkot mikrolet di sekitar Mangga Dua-Stasiun Kota. Karena arah stasiun kota macet dan jika diikuti sesuai jalur pastinya angkot akan lama nyampainya. Si sopir dengan sigap dan berpengalaman mengendarai angkotnya dengan arah mundur. Spontan saja para penumpang (khususnya penumpang deretan belakang) dipaksa memutar lehernya 180 derajat karena takut juga nabrak. Ah so tricky.
Kalau di Bali angkot sekarang sudah tak laku. Ketika jaman saya SMA awal-awal, ketika belum dikasi sepeda motor, masih suka menggunakan angkot jika ingin bepergian dari kos ke pusat kota. Tarifnya pun masih sangat murah jaman itu. Jaman sekarang angkot semakin langka. Sopir angkot juga semakin jarang jadinya, entah lari kemana mobil kecil itu. Di kota angkot dikalahkan taxi. Apalagi sekarang ada motor taxi yang lebih gesit, cepat dan murah. Angkot tambah terdesak dan terjungkal diperempatan jalan, ada yang terjerembab dalam lubang got yang hitam pekat. Angkot juga dikalahkan oleh sepeda motor. Rata-rata setiap keluarga mempunyai minimal 1 sepeda motor untuk bepergian baik dalam kota maupun dari kota ke desa dan sebaliknya. Apalagi anak-anak ABG yang gengsinya gede-gedean tak sudi naik angkot. Lebih baik gak jalan-jalan daripada menanggung malu naik angkot, oh so absurd. Apanya sih yang digengsiin. Kalau diitung-itung harga angkot lebih mahal daripada sepeda motor, kan? Kalau pertimbangannya harga, jelas motor kalah. Atau barangkali dengan naik sepeda motor bisa menaikkan gengsi seseorang? Yang bener menaikkan pengeluaran dong, bro..! Atau untuk menarik lawan jenis? Ah memang keberadaan kuda jepang ini mengalahkan segalanya. Pesan nenek saya, "Jangan terbawa arus"
Di masing-masing kota di Indonesia biasanya terdapat angkot dengan bentuk dan fungsi yang khas daerah tersebut. Kalau di Jogja, angkot kebanyakan terdiri dari bus kota. Kondisi bus di Jogja sangat parah, ketika sekitar tahun 99 pertama kali saya kesana. Bus-bus tua dengan bodi sudah karatan dan asap mengepul hitam masih tetap saja dipakai bahkan beroperasi di dalam kota di pusat keramaian hingga kampus UGM pula. Sebagian besar bus kota di Jogja mempunyai trayek yang melewati kampus UGM. Bus akan keliling kampus yang menjangkau seluruh fakultas. Sungguh mahasiswa oriented. Maklum kota pendidikan. Waktu saya kesana, ongkos bus kota masih sangat murah. Hanya 150 rupiah untuk pelajar dan mahasiswa dan 300 untuk penumpang umum. Bagaimana membedakan penumpang umum dan mahasiswa? Para kenek mempunyai cara mengidentifikasi penumpang yaitu penumpang yang termasukmahasiswa (lebih tepatnya kena tarif mahasiswa) adalah penumpang dengan pakaian kuliah yaitu celana pajang, kemeja, sepatu dan tas ransel. Jangan harap dikenakan tarif mahasiswa jika kita tak memakai salah satu saja dari aksesoris tersebut, walaupun kita mahasiswa baru misalnya bahkan walaupun kita pergi ke mapus sekalipun. Itulah uniknya.
Setiap hari bus-bus berputar-putar mengelilingi kota sesuai dengan trayeknya. Saling kebut-kebutan antar bus kota mengejar penumpang sudah mejadi pemandangan biasa di Jogja. Jangan harap disaat kita menyeberang jalan bus akan berhenti lalu mempersilahkan kita untuk menyeberang terlebih dahulu. Yang ada justru kita bisa kembali mundur tak jadi menyeberang karena melihat bus kota melaju dengan kencang bukan kepalang. Ugal-ugalan. Karena aksi ngebut ini banyak kecelakaan terjadi yang melibatkan bus kota. Konon pada tahun 98, seorang mahasiswa dari Bali tewas ditabrak bus ketika menyeberang jalan di areal kampus Teknik UGM. Pada waktu itu solidaritas mahasiswa melakukan unjuk rasa pada bus-bus liar. Sungguh tragis.
Berbeda dengan di Jogja, di Balikpapan lain lagi angkotnya. Angkot di kota minyak ini biasa disebut Taxi, yaitu sebuah mobil kecil mikrolet yang biasa kita sebut angkot itu. Yang unik dari angkot ini adalah ia menerima permintaan rute yang keluar dari rute utama. Angkota bisa masuk menyusuri gang-gang kecil menuju rumah penumpang, hanya untuk mengantarkan dia seorang lalu kembali lagi ke jalur utama. Bayarannya tergantung kesepakatan penumpang dan sopir. Customer friendly. Disini juga angkot sungguh berbeda dengan bus kota Jogja, tidak saja sopir angkot yang tertib, sopir kendaraan pribadipun semuanya tertib. Jika terlihat seseorang atau beberapa orang yang akan menyeberang jalan, sopir yang melaju akan berhenti dan mempersilahkan pengguna jalan menyeberang terlebih dahulu. Sabar dan sepertinya tak ada sesuatu yang terlalu diburu-buru di Balikpapan.
Di Bandung angkotnya sama dengan di Balikpapan. Namun rata-rata sopir-sopirnya masih muda dan doyan ngebut. Mobil melaju dengan kencang, liuk sana liuk sini. Jika ada penumpang, rem ditekan secara mendadak sehingga penumpang doyong ke depan. Yang asik kalau di sebelah kita penumpang cewek cakep. Tentu Anda paham maksud saya, bukan?
Sayang sekali belum pernah merasakan angkot di
Malang dan Surabaya. Karena ketika berkunjung kesana, murni dianter oleh teman dengan kendaraan pribadi. Jadi tak tahu gimana karakter angkot di Jawa Timur yang mana orangnya terkenal paling blak-blakan dan to the point, ya kan?
Kalau di Jakarta, beragam jenis angkot menguasai kota yang bersahabat dengan kemacetan ini. Mulai dari angkot mikrolet, bus kota, busway hingga bajaj yang bersuara menggelegar.
Jika naik bajaj harus siap-siap ear plug kalau tak mau kuping kita kepanasan. Sopirnya juga harus ditepuk punggungnya kalau kita mau stop, kecuali teriakan kita bisa mengalahkan suara bajaj yang fals itu.
Suatu hari saya pernah naik angkot mikrolet di sekitar Mangga Dua-Stasiun Kota. Karena arah stasiun kota macet dan jika diikuti sesuai jalur pastinya angkot akan lama nyampainya. Si sopir dengan sigap dan berpengalaman mengendarai angkotnya dengan arah mundur. Spontan saja para penumpang (khususnya penumpang deretan belakang) dipaksa memutar lehernya 180 derajat karena takut juga nabrak. Ah so tricky.
Kalau di Bali angkot sekarang sudah tak laku. Ketika jaman saya SMA awal-awal, ketika belum dikasi sepeda motor, masih suka menggunakan angkot jika ingin bepergian dari kos ke pusat kota. Tarifnya pun masih sangat murah jaman itu. Jaman sekarang angkot semakin langka. Sopir angkot juga semakin jarang jadinya, entah lari kemana mobil kecil itu. Di kota angkot dikalahkan taxi. Apalagi sekarang ada motor taxi yang lebih gesit, cepat dan murah. Angkot tambah terdesak dan terjungkal diperempatan jalan, ada yang terjerembab dalam lubang got yang hitam pekat. Angkot juga dikalahkan oleh sepeda motor. Rata-rata setiap keluarga mempunyai minimal 1 sepeda motor untuk bepergian baik dalam kota maupun dari kota ke desa dan sebaliknya. Apalagi anak-anak ABG yang gengsinya gede-gedean tak sudi naik angkot. Lebih baik gak jalan-jalan daripada menanggung malu naik angkot, oh so absurd. Apanya sih yang digengsiin. Kalau diitung-itung harga angkot lebih mahal daripada sepeda motor, kan? Kalau pertimbangannya harga, jelas motor kalah. Atau barangkali dengan naik sepeda motor bisa menaikkan gengsi seseorang? Yang bener menaikkan pengeluaran dong, bro..! Atau untuk menarik lawan jenis? Ah memang keberadaan kuda jepang ini mengalahkan segalanya. Pesan nenek saya, "Jangan terbawa arus"
Friday, September 05, 2008
First Fasting Day
Hari ini tanggal 1 Sept 08 ku bangun agak telat jam 5.30 baru bangun dan langsung mandi ala kadarnya. Jam 6 kurang limabelas langsung turun menuju mess hall dan hendak sarapan pagi. Tapi aku bingung kok orang-orang pada sepi. Hanya terlihat 4 orang yang duduk santai sambil ngobrol secukupnya. Dan di belakang sana hanya seorang koki yang juga terlihat malas-malasan di balik kompor listrik yang besar. Kemudian datang 1 orang teman masuk ke mess hall lalu duduk di sebelahku. Aku tanya padanya kemana orang-orang kok pada hilang? Aku lihat jam tangan masih jam 6 kurang. Apakah aku ketinggalan boat atau boat berangkat lebih awal? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pikiran yang masih ngantuk ini.
Biasanya pagi-pagi sebelum jam 6 di mess hall ini selalu ramai dipenuhi orang-orang yang sarapan dengan lahap. Tidak seperti pagi ini, hanya ada 6 orang yang tak terlalu semangat. Apakah aku mimpi? Aku coba cubit tanganku masih terasa sakit. Lalu datang koki yang dari tadi tampak malas-malasan di belakang sana, membawa semangkuk indomi plus telor kepada teman yang duduk disampingku. Kutanya saja ia kenapa kok orang-orang pada sepi sarapan. Ia menjawab tanpa dosa, "Orang-orang sudah duluan sarapannya, Mas." Kontan saja aku jadi sadar bahwa hari ini adalah hari pertama kawan-kawan muslim menjalankan puasa bulan Ramadhan. Selamat menunaikan ibadah puasa, Kawan!
Biasanya pagi-pagi sebelum jam 6 di mess hall ini selalu ramai dipenuhi orang-orang yang sarapan dengan lahap. Tidak seperti pagi ini, hanya ada 6 orang yang tak terlalu semangat. Apakah aku mimpi? Aku coba cubit tanganku masih terasa sakit. Lalu datang koki yang dari tadi tampak malas-malasan di belakang sana, membawa semangkuk indomi plus telor kepada teman yang duduk disampingku. Kutanya saja ia kenapa kok orang-orang pada sepi sarapan. Ia menjawab tanpa dosa, "Orang-orang sudah duluan sarapannya, Mas." Kontan saja aku jadi sadar bahwa hari ini adalah hari pertama kawan-kawan muslim menjalankan puasa bulan Ramadhan. Selamat menunaikan ibadah puasa, Kawan!
Subscribe to:
Posts (Atom)