Angkot atau angkutan kota adalah angkutan rakyat yang sering dipakai masyarakat ekonomoni menengah ke bawah. Angkot identik dengan kemiskinan atau ketidakpunyaan, mulai dari tidak punya motor, tidak punya mobil bahkan karena tidak punya malu. Maksudnya, kadang-kadang orang malu naik angkot dan memilih naik taxi atau angkutan kota lainnya, gengsi mengalahkan fungsi. Yang namanya angkutan kota, jelas semua jenis angkutan yang beroperasi di daerah kota termasuk angkot. Namun kadang ada semacam kebiasaan, jika sudah menyebut angkot pikiran kita akan mengidentikkan dengan sebuah mobil kecil yang berkapasitas hingga sepuluh orang. Namun secara fungsi, bus kota tentu bisa disebut angkot bukan?
Di masing-masing kota di Indonesia biasanya terdapat angkot dengan bentuk dan fungsi yang khas daerah tersebut. Kalau di Jogja, angkot kebanyakan terdiri dari bus kota. Kondisi bus di Jogja sangat parah, ketika sekitar tahun 99 pertama kali saya kesana. Bus-bus tua dengan bodi sudah karatan dan asap mengepul hitam masih tetap saja dipakai bahkan beroperasi di dalam kota di pusat keramaian hingga kampus UGM pula. Sebagian besar bus kota di Jogja mempunyai trayek yang melewati kampus UGM. Bus akan keliling kampus yang menjangkau seluruh fakultas. Sungguh mahasiswa oriented. Maklum kota pendidikan. Waktu saya kesana, ongkos bus kota masih sangat murah. Hanya 150 rupiah untuk pelajar dan mahasiswa dan 300 untuk penumpang umum. Bagaimana membedakan penumpang umum dan mahasiswa? Para kenek mempunyai cara mengidentifikasi penumpang yaitu penumpang yang termasukmahasiswa (lebih tepatnya kena tarif mahasiswa) adalah penumpang dengan pakaian kuliah yaitu celana pajang, kemeja, sepatu dan tas ransel. Jangan harap dikenakan tarif mahasiswa jika kita tak memakai salah satu saja dari aksesoris tersebut, walaupun kita mahasiswa baru misalnya bahkan walaupun kita pergi ke mapus sekalipun. Itulah uniknya.
Setiap hari bus-bus berputar-putar mengelilingi kota sesuai dengan trayeknya. Saling kebut-kebutan antar bus kota mengejar penumpang sudah mejadi pemandangan biasa di Jogja. Jangan harap disaat kita menyeberang jalan bus akan berhenti lalu mempersilahkan kita untuk menyeberang terlebih dahulu. Yang ada justru kita bisa kembali mundur tak jadi menyeberang karena melihat bus kota melaju dengan kencang bukan kepalang. Ugal-ugalan. Karena aksi ngebut ini banyak kecelakaan terjadi yang melibatkan bus kota. Konon pada tahun 98, seorang mahasiswa dari Bali tewas ditabrak bus ketika menyeberang jalan di areal kampus Teknik UGM. Pada waktu itu solidaritas mahasiswa melakukan unjuk rasa pada bus-bus liar. Sungguh tragis.
Berbeda dengan di Jogja, di Balikpapan lain lagi angkotnya. Angkot di kota minyak ini biasa disebut Taxi, yaitu sebuah mobil kecil mikrolet yang biasa kita sebut angkot itu. Yang unik dari angkot ini adalah ia menerima permintaan rute yang keluar dari rute utama. Angkota bisa masuk menyusuri gang-gang kecil menuju rumah penumpang, hanya untuk mengantarkan dia seorang lalu kembali lagi ke jalur utama. Bayarannya tergantung kesepakatan penumpang dan sopir. Customer friendly. Disini juga angkot sungguh berbeda dengan bus kota Jogja, tidak saja sopir angkot yang tertib, sopir kendaraan pribadipun semuanya tertib. Jika terlihat seseorang atau beberapa orang yang akan menyeberang jalan, sopir yang melaju akan berhenti dan mempersilahkan pengguna jalan menyeberang terlebih dahulu. Sabar dan sepertinya tak ada sesuatu yang terlalu diburu-buru di Balikpapan.
Di Bandung angkotnya sama dengan di Balikpapan. Namun rata-rata sopir-sopirnya masih muda dan doyan ngebut. Mobil melaju dengan kencang, liuk sana liuk sini. Jika ada penumpang, rem ditekan secara mendadak sehingga penumpang doyong ke depan. Yang asik kalau di sebelah kita penumpang cewek cakep. Tentu Anda paham maksud saya, bukan?
Sayang sekali belum pernah merasakan angkot di
Malang dan Surabaya. Karena ketika berkunjung kesana, murni dianter oleh teman dengan kendaraan pribadi. Jadi tak tahu gimana karakter angkot di Jawa Timur yang mana orangnya terkenal paling blak-blakan dan to the point, ya kan?
Kalau di Jakarta, beragam jenis angkot menguasai kota yang bersahabat dengan kemacetan ini. Mulai dari angkot mikrolet, bus kota, busway hingga bajaj yang bersuara menggelegar.
Jika naik bajaj harus siap-siap ear plug kalau tak mau kuping kita kepanasan. Sopirnya juga harus ditepuk punggungnya kalau kita mau stop, kecuali teriakan kita bisa mengalahkan suara bajaj yang fals itu.
Suatu hari saya pernah naik angkot mikrolet di sekitar Mangga Dua-Stasiun Kota. Karena arah stasiun kota macet dan jika diikuti sesuai jalur pastinya angkot akan lama nyampainya. Si sopir dengan sigap dan berpengalaman mengendarai angkotnya dengan arah mundur. Spontan saja para penumpang (khususnya penumpang deretan belakang) dipaksa memutar lehernya 180 derajat karena takut juga nabrak. Ah so tricky.
Kalau di Bali angkot sekarang sudah tak laku. Ketika jaman saya SMA awal-awal, ketika belum dikasi sepeda motor, masih suka menggunakan angkot jika ingin bepergian dari kos ke pusat kota. Tarifnya pun masih sangat murah jaman itu. Jaman sekarang angkot semakin langka. Sopir angkot juga semakin jarang jadinya, entah lari kemana mobil kecil itu. Di kota angkot dikalahkan taxi. Apalagi sekarang ada motor taxi yang lebih gesit, cepat dan murah. Angkot tambah terdesak dan terjungkal diperempatan jalan, ada yang terjerembab dalam lubang got yang hitam pekat. Angkot juga dikalahkan oleh sepeda motor. Rata-rata setiap keluarga mempunyai minimal 1 sepeda motor untuk bepergian baik dalam kota maupun dari kota ke desa dan sebaliknya. Apalagi anak-anak ABG yang gengsinya gede-gedean tak sudi naik angkot. Lebih baik gak jalan-jalan daripada menanggung malu naik angkot, oh so absurd. Apanya sih yang digengsiin. Kalau diitung-itung harga angkot lebih mahal daripada sepeda motor, kan? Kalau pertimbangannya harga, jelas motor kalah. Atau barangkali dengan naik sepeda motor bisa menaikkan gengsi seseorang? Yang bener menaikkan pengeluaran dong, bro..! Atau untuk menarik lawan jenis? Ah memang keberadaan kuda jepang ini mengalahkan segalanya. Pesan nenek saya, "Jangan terbawa arus"
Saturday, September 27, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment