Sunday, February 03, 2013

Desaku Yang Kucinta

Berkehidupan beragama di kampung memang tidak bisa lepas dari masalah adat. Adat memegang peran utama dalam kehidupan kemasyarakatan. Buktinya sampai ada kelihan adat (ketua adat) di setiap banjar/dusun dan desa di Bali.

Semakin saya masuk dalam kehidupan tradisional Hindu Bali, semakin saya dihadapkan pada berbagai perilaku kehidupan beragama yang tak bisa lepas dari adat. Bahkan tak dapat dibedakan lagi mana agama mana adat. Adat adalah budaya atau kebiasaan turun-temurun yg dilakukan manusia pada satu wilayah tertentu. Tentu saja tidak setiap perilaku adat kini masih up to date, masih "layak" dilakukan karena pesatnya perkembangan jaman.

Kadang saya menemukan kebiasaan agama (atau adat?) yg kurang sreg di hati. Namun karena saya hanya masyarakat biasa, tentu tak punya "taring" untuk memberikan masukan apalagi mengubah secara keseluruhan. Berikut adalah beberapa adat kebiasaan yg dalam kacamata "bodoh" saya perlu mendapat perhatian.

Contohnya:
- Ngaben yg mewah. Tak bisa dipungkiri ngaben adalah ajang "pamer" bahwa mereka adalah orang punya. Makin kaya yg meninggal, biasanya banten dan upacaranya makin mahal. Bukan berarti saya tidak menghargai leluhur. Bukankah inti dari upacara ngaben adalah upacara yg menuntun atma yg meninggal agar mudah menuju jalan-Nya? Lalu kenapa musti dibikin sarana upacara/banten secara jor-joran? Tidakkah lebih baik uang yg berlimpah digunakan untuk perbaikan nasib kita di rumah atau sebagian disumbangkan pada umat yg masih kekurangan dan membutuhkan.
- Banten nasi segunung. Saya pribadi juga kurang paham kepada siapa saja semestinya menghaturkan yadnya sesa sehabis masak. Kadang saya amati para tetangga bahkan ada saudara yg membuat banten nasi satu tempeh besar, mungkin berisi sekitar 30-40 lembar. Entahlah.

- WC di lantai 2. Ketika saya hendak membangun rumah lantai 2 saya survey tetangga sekitar tidak ada yg membuat WC di lantai 2. Mungkin karena alasan kesucian atau melangkahi tempat suci, saya kurang paham. Tapi masa sih ida bethara "selembek" itu. Apakah hanya karena dilangkahi WC saja ida bethara turun kesuciannya?

- Black Magic Woman (BMW). Masih banyak cerita soal leak dan kawan-kawannya di kampung. Si A disangka bisa ngeleak, si B disangka nyari "ilmu" untuk mengguna-guna si C dan cerita sejenis. Jadilah kehidupan serba saling curiga, bahkan saudara kandung sampai musuhan. Ketika bertamu pun jadi was-was ketika disuguhi hidangan karena curiga diisi guna-guna.

- Banten jor-joran, abis itu dibuang. Kadang harga banten dan harga sanggah hampir sama. Sebenarnya apakah harus selengkap itu? Apakah tidak cukup diambil inti filosofisnya saja? Apakah tidak cukup mantra dan doa ida pedanda memuput setiap upacara. Coba amati, sehabis melaspas, semua banten itu akan dibuang begitu saja.

- Bale banjar bagus, rumah tak terurus. Kadang untuk memenuhi obsesi segelintir orang, mempunyai bale banjar mewah, setiap orang dipungut biaya sumbangan yg memberatkan. Untuk memperbaiki rumahnya saja tidak ada, kini ia dipaksa membayar sumbangan yg sering membuat penduduk miskin harus berhutang. Buat apa bale banjar mewah, tapi masih ada masyarakat yg rumahnya berlantai tanah. Tidakkah lebih mulia kita kumpulkan dana untuk, misalnya, melakukan bedah rumah mereka yg kurang mampu?

- Uyak adat, gotong royong yg menyiksa umat. Di kebanyakan daerah di Bali khususnya di desa, ketika satu anggota masyarakat desa punya gawe, setiap anggota desa adat/banjar diwajibkan ikut membantu mulai dari persiapan hingga pelaksanaan. Tidak ada yg salah untuk membantu orang lain, tetangga apalagi saudara. Tapi coba diamati, semakin banyaknya kepentingan membuat setiap anggota masyarakat makin banyak urusan masing-masing. Kadang yg mengenaskan ketika anak-anak kecilnya di rumah belum makan, si ibu dan bapaknya sudah harus membantu tetangga dari pagi hingga acara selesai.

- Ngemit di pura. Makin hari kegiatan ngemit atau nginep di pura sudah makin berkurang. Karena di rumah sudah lebih nyaman dan di pura mungkin karena tidak ada hiburan dan sebagainya. Mungkin beberapa tahun kemudian, acara ngemit di pura pelan-pelan akan "punah". So haruskah punah?

- Bazzar muda-mudi. Setiap hari raya atau ulang tahunnya, muda-mudi banjar biasanya membuka bazzar yaitu "warung amal" yg harga barang2nya tentu lebih mahal dari warung biasa. Dibuka malam hari dan difungsikan untuk menggalang dana. Yang dijual mulai dari makanan dan minuman. Kadang bazzar menjadi ajang minum dan mabuk-mabukan. Tidak bisakah kegiatan mabuk dan jualan minuman beralkoholnya dihilangkan. Biasanya jadi ajang atau pemicu perkelahian antar pemuda bahkan kelompok pemuda bahkan berujung perkelahian antar kampung. Jika kegiatannya bisa direvisi menjadi yg lebih positif misalnya ceramah agama, pengumpulan dana buat dana punia warga tidak mampu, tentu menjadi lebih bermakna.

- Meceki.
Saat magebagan atau menghadiri kunjungan malam di rumah orang meninggal, biasanya kegiatannya meceki atau main domino. Memang sih kalau tak diijinkan meceki mana ada yg mau begadang. Yang parah saat ngemit di pura juga meceki, pakai uang, bukankah itu berjudi? Bukannya judi itu dilarang agama? Apakah etis main judi di pura?

- Tabuh Rah di Pura.
Tajen di pura saat hari-hari tertentu apakah memang hanya tradisi atau merupakan kewajiban agama? Saya belum menemukan penjelasan agama mengenai tabuh rah ini.


Gede A Setiawan
(gedeasetiawan@yahoo.com)

No comments: