Thursday, March 27, 2008

Anjungan yg Terluka

Pagi itu dengan terburu-buru kubereskan Laptop yang masih tersambung di Panel PLC FS, karena si Baruna sudah datang dan siap menjemput kami berdua menuju UA dan EB. Mendung pagi itu tak menyurutkan gairah langkahku menembus cuaca yang tak terlalu hangat, meskipun mentari bersinar namun sedikit tertutup mendung tipis-tipis.


Aku dan Pak Yam diantar menuju anjungan berkaki tiga itu. Sinar mentari yang sejak tadi muncul malu-malu, sedikit-sedikit sembunyi di balik awan, kini semakin hilang. Awan tebal menggumpal, menggantung dan membungkus mentari hingga cuaca pagi menjelang siang itu menjadi tambah dingin. Ditambah dengan angin dari arah barat daya yang berhembus cukup kencang. Lengkap sudah dingin yang merasuki jiwa.


Diujung jauh di sana, ke arah datangnya angin berhembus, di arah barat daya, awan menggantung semakin tebal, hitam, berbentuk tangan raksasa dan menggumpal bagai rambut kribo. Pelan-pelan merayap-rayap seram di atas kepala kami seiring angin menderu. Mendengus bagai singa, mengaum bagai si raja hutan yang siap melahap tubuh penuh dosa ini. Mukaku dingin, kepalaku dingin, badanku dingin dan sekujur tubuhku bagai membeku. Balutan jacket keselamatan warna merah di tubuhku tak kuasa juga mengurangi dinginnya yang mampu menusuk-nusuk tulang. Di sudut sana, kawanku Pak Yam terkulai layu, letih dan membisu karena tatkala ia naik, anjungan ini sudah tewas dan tak berkutik. Gas-gas pembangkit aliran telah dimatikan dan sumur-sumur yang ia rawat hingga hari ini jadi bergelimpangan, tewas dan tak bernafas lagi. Ia tak putus asa, ia bangkit dan menarik tuas-tuas berwarna merah dengan kunci Inggrisnya yang sudah mengabdi lebih lama dari aku bekerja disana. Kucuran aliran dari balik pipa-pipa penuh karat kembali berdenging, mendesing melebihi kecepatan peluru, melebihi kelebat angin musim utara, melebihi dentingan suara gitar Ian Antono.


Teriakan pasti dari radio-radio panggil berkumandang dengan jelas. Seolah awan-awan hitam yang menggantung tadi memantulkan dengan sempurna bahkan diperkuat beberapa desibel. Suara teriakan itu menderu seiring angin yang berdesing kian cepat, memaksa kami harus turun dari deck dan menyembunyikan tubuh-tubuh kedinginan kami di balik Si Baruna yang berbadan biru. Tak lama ku sembunyi, awan hitam telah lewat dan ia hanya lewat tak memuntahkan kandungan air di atas kami berdiri. Ia seolah memberi isyarat bahwa kami harus istirahat karena waktu minum kopi sudah tiba.


Kami pun kembali ke anjungan kaki tiga. Suara angin sudah berkurang desingnya, suara mesin kapal bagai menimpali sunyinya di tengah samudera. Saat kami naik, pipa-pipa sumur yang ukurannya lebih besar dari badan kami berderat-derat, bergesek-gesekan dengan deck utama di anjungan kaki tiga itu. Tak lama, haripun tambah siang, waktunya makan. Kapal pengantar makan siang datang. Aku lahap dengan rakus untuk menambah kalori badanku, biar tak dingin, biar kuat menahan dingin. Ku lahap dengan rakus dan kali ini tak kusisakan makan sedikitpun kepada ikan-ikan peliharaanku di bawah sana. Maaf kawan, aku sedang lapar sekali. Besok kau kan ku beri dua kali lipat.


Belum habis buah-buah pencuci mulut ku lahap, terdengar suara-suara serak dari balik radio panggil yang digenggam temanku. Ternyata ada kebocoran pipa dan gas mengucur keluar tak terkendali, cairan minyak mentah mengalir dengan egois menutupi alunan ombak yang biru. Tak seharusnya ia mengotori permukaan laut ini, tak seharusnya. Namun usia pipa-pipa yang diluar kuasa kita, mengharuskannya melakukannya. Dua kapal mengitari anjungan H, salah satu bersenjatakan water canon menghantam, menyerang dan memberondong lapisan-lapisan film di atas muka laut dengan air bertekanan tinggi bercampur busa-busa deterjen yang berbuih putih. Pak Gi dengan cekatan memainkan tuas-tuas canon hingga air mengucur dengan rata, hingga semua lapisan film kebagian busa.


Kapal satunya berisi awak para petinggi kerajaan di tengah laut ini. Mereka berdiskusi, memutuskan dan melakukan tindakan cepat, gesit dan cekatan. Salah seorang diantara mereka, Pak Yam, naik ke atas platform yang masih mengucurkan gas dengan deras. Ia menarik tuas berwarna merah, tanda bahaya, "Jossss!!" Dalam sekejap semua alat-alat pengaman tertutup dengan sempurna secara otomatis. Mesin-mesin pembangkit air bertekanan bekerja dengan sempurna dan menghamburkan air-air laut membasahi dan mendinginkan pipa-pipa dan tangki-tangki di atas anjungan itu. Air hujan yang rintik-rintik turun tak menyurutkan semangat para punggawa kerajaan itu menunggu dan menunggu hingga kucuran gas berkurang, aman untuk semua orang naik ke atas anjungan yang menderita.


Sebuah luka telah tergores akibat ganasnya waktu. Luka goresan serbuk kimia yang menggerogoti dengan pelan namun pasti. Serbuk kimia yang banyak terlarut dalam air laut, ditambah dengan bantuan oksigen udara, maka karat tak kuasa dibendung. Ia merayapi, menggerogoti pipa-pipa dari dalam dan dari luar. Ia bagaikan ratusan ekor rayap pemakan kayu, ia melahap tanpa ampun setiap besi yang tak sempurna tertutup lapisan tipis yang bernama 'cat'. Ia menyerang tak kenal waktu, siang malam selalu merayap. ia bagaikan kutu rambut, mencengkeram dan menerkam setiap luka yang sudah menganga, lalu menorehkan kuku-kuku tajamnya hingga darah mengucur keluar.


Aku terkulai lemas, siang itu. Kembali ke anjungan pusat dan memainkan lagu yang sudah lama ku rindu. Aku rindu juga padamu yang sejak beberapa bulan ini menjadi inspirasi setiap mimpiku, menjadi inspirasi setiap tulisan dan dengus napasku. Menjadi penghibur di sela malam yang dingin tak berteman di gelap cakrawala laut yang membosankan.
Bulan purnama menghias samudera. Sinarnya kekuningan memecah garis lautan, memantul-mantul menyilaukan mata. Aku melamun menatap rembulan, menunggu kabarmu dari ujung sana, di depan kamarku yang baru.


22 March 2008
Pojok HOM, 23 March 08 Sendiri dan menyepi

No comments: