Saturday, March 01, 2008

Kuningan yang tak "Kuning"

Pagi ini, hari pertama kerja, seperti "Monday"-nya pekerja kantoran yang tidak disukai kebanyakan karyawan. Cerita soal Kuningan, aku sudah di kampung 3 hari sebelum Kuningan.

Kuningan kemaren aku nangkil di desa tetangga, jam 12.30 tengah hari, dengan harapan bisa sembahyang sebelum Ida Betara "mandi" ke Beji pada jam 13.00. Siang itu begitu panas dan menyengat. Pertama karena memang udara sedang panas, tengah hari bolong pula. Kedua, angin laut yang biasanya semilir dari arah selatan kini tertutup oleh bangunan baru, yang katanya pertokoan baru, yg berdiri congkak menghalangi angin sepoi-sepoi yg masuk ke area pura. Antrian cukup panjang dan rasanya enggan berdesak-desakan seperti itu karena pasti keringat akan tercucur deras dan juga pikiran jadi tidak konsen untuk melakukan ritual sembahyang yang mustinya butuh ketenangan, tidak ketegangan akibat desak-desakan diantara pakaian wanita transparan.

"Ini sudah tradisi", kata paman saya yang ikut dalam rombongan.

Apa mau dikata, saya juga akhirnya larut dalam antrian dan masuk berdesak-desakan melalui lawang yg memang didesain sempit hanya cukup lewat 1 orang. Tampaknya harus ada inovasi terhadap desain "pintu masuk", menyesuaikan dengan peradaban manusia yang kian hari kian berlimpah. Atau leluhur kita memang dengan sengaja mendesain seperti itu dengan harapan: masuk secara pelan-pelan, satu-satu dan tenang. Konsep leluhur yang awalnya memang bagus, dalam perkembangan selanjutnya menjadi berbeda. Sampai di dalam juga masih panas, karena memang tidak ada angin sedikitpun berdesir. Di areal sembahyang didirikan deretan bambu dengan "atap" kain-kain kavan putih/kuning yang dibentangkan di atas kami, seadanya dan saya kira tidak menyelesaikan masalah untuk melindungi umat dari panas. Hanya semacam formalitas.

Pemandangan selanjutnya adalah pemandangan biasa dari turun temurun dan (sekali lagi, katanya), sudah tradisi, yaitu sisa-sisa sarana sembahyang, mulai dari kwangen hingga bunga, dibiarkan begitu saja berjatuhan di atas lantai Pura yang sudah disemen permanen. Para petugas datang memungut kwangen tapi kemudian hanya mengambil sarinya saja, lalu menjatuhkan kembali kwangen tadi tanpa ekspresi berdosa sama sekali. Lalu, dengan muka merah karena panas, aku berusaha duduk bersila di sudut areal sembahyang ini, tetap dalam kondisi panas. Kucoba untuk menenangkan diri. Mungkin ini yg disebut tapa. Dalam kondisi ini kita diuji, seberapa kuat dan mampu, dalam situasi tak mengijinkan kita mengkonsentrasikan diri. Inilah mungkin tapa sesungguhnya. Di sela-sela sengatan panas, di sela-sela kebaya-kebaya tembus pandang ABG-ABG dan ibu-ibu muda yg menggoda iman, disela-sela petugas yang terasa "matre" dan di sela-sela umat yang harusnya membereskan segala sarana sembahyang seusai mereka duduk bersila hening, lalu memasukkan ke dalam tempat yang sudah disediakan. Aku berniat melakukan yang terakhir, tapi kembali aku mengurungkan niatku, karena memang disana tak ada secuil tong sampah pun.

Ah..terlalu cengeng mungkin aku menghadapi godaan ini, atau barangkali aku terlalu mengeluh menghadapi cobaan ringan ini, atau kita memang harus dan perlu berbenah diri. Tradisi yang memang perlu diperbaiki apakah musti tetap dipertahankan hanya demi image Pulau ini yang sudah terlanjur "art" dan sejenisnya dan hanya demi mempertahankan image ini? Apakah ini hanya menguntungkan pelaku-pelaku pariwisata yang mengejar keuntungan demi kantong pribadi? Ah..aku kembali tak punya jawaban atas pertanyaan retoris ini.

Lalu, kembali aku hanya duduk hening, dengan tekad bulat dan pranayama yang sempurna, aku berhasil menembus ruang dan waktu, seolah hening di tengah-tengah keramaian waktu itu.

Usai sembahyang, dari "meeting kecil" bersama keluarga yg lain, kami memutuskan ikut ke Beji bersama ratusan umat. Di sudut-sudut tersembunyi hanya ada 2 orang pencuri moment. Satu dengan kamera Nikon D40x, bule dengan kamben seadanya dan satunya, bule juga, dengan kamera video kelas berat merk Canon. Tak ada kulihat kamera dengan logo BaliTV, Dewata TV apalagi Jimbarwana TV. Semoga pikiran positif, datang dari segala penjuru.

Ruangan gelap di sudut anjungan; Feb 13, 2008

No comments: