Thursday, March 27, 2008

Sepenggal Kisah di Kota Minyak

Ketika laptop kunyalakan dan batang pertama dari rokok putih ku sulut serta TV SANYO 14" cembung mulai mengoceh, aku baru saja pulang dari pusat kota minyak ini yang menebar sejuta mimpi. Sejak tadi pagi, berjalan di tumpukan buku-buku yang dipajang rapi membentuk pola-pola simetris sehingga tercipta perspektif yang indah dan enak dipandang mata. Membuat setiap pengunjung terbawa dari ujung hingga ke ujung satunya, melihat, mengambil, meneliti dan akhirnya memutuskan untuk membawa pulang setelah terlebih dahulu berurusan dengan seorang penjaga wanita di balik sebuah meja dengan layar monitor berteknologi canggih. Memencet-mencet tombol-tombol aneh dan unik lalu keluarlah sejumlah nilai di layar 7-segmen kecil dan pada akhirnya membuat setiap insan pecinta buku merogoh saku dan mengeluarkan lembaran-lembaran uang demi setumpuk ilmu yang tersembunyi di balik tetesan huruf dari tinta yang dicetak rapi dalam kertas putih sarat makna.

Dari deret ke deret aku telusuri dan puluhan bahkan belasan buku sudah ku lihat dan teliti, namun hanya beberapa buku dan majalah yang mengusik pikiranku. Aku putuskan ambil 5 eksemplar lalu aku berlalu. Sepanjang deret perspektif tadi, sepanjang bingkai-bingkai geometri yang membentuk dimensi, aku juga tlah coba bangkitkan semangat seseorang yang katanya sedang sedih, gelisah dan hilang semangat. Karena baru saja kembali dari peraduan orang-orang yang dicintai untuk melanjutkan proses transfer ilmu di negeri seberang. Ia mengaduh, mengerang dan mendesah di atas rangkaian kata-kata dalam pesan singkat yang ia kirimkan. Suasana hatinya terasa seiring setiap getar yang dihasilkan seiring setiap pesan masuk ke piranti saktiku. Aku jawab dan berusaha tuk kuatkan hatinya yang pada akhirnya dia pun menjawab "Aku bisa bisa bisa", tiga kali "bisa" dan aku harap itu jadi suatu pertanda bahwa ia sudah "sembuh" kembali ke jalannya, di habitat yang menuntutnya selalu siaga dan siap di hari terang dan mengulangi atau mempersiapkan yang lain di hari telah gelap.

Ia adalah sosok yang mengaku rapuh, padahal aku melihatnya sebagai sosok yang teguh dan ceria dan mempesona di mataku. Hingga suatu saat ketika aku kenal pertama kali dengannya di sebuah warung nasi di persimpangan desa, aku seperti terpesona, terbius dan bergelimpang jatuh, jatuh dari atas bukit asmara dan terbenam dalam lembah kasmaran. Namun ironi menyayat hati tatkala aku coba mendekati bukit asmara, karena semua bukit sudah ditumbuhi rumput dan ilalang hijau berdaun sembilu. Menghalangi setiap langkahku untuk taklukan bukit yang katanya rapuh itu.

Aku pun terkapar, tak kuasa untuk kesekian kalinya aku terjerembab dalam lembah asmara dan seketika itu juga aku terjungkal tak sanggup ku daki lagi bukit asmara yang tlah menjungkalkan bersama hatiku yang mulai rapuh. Sudah cukup banyak aku lalui dan teliti namun hanya ia yang terasa menggetarkan gaung kepastian, menggema dan berkumandang cinta di setiap sudut jiwa.
Seiring dengan berakhirnya pesan yang aku kirimkan, aku terdampar di sudut yang lain di dalam gedung itu. Di sudut penuh manusia dengan mata berbinar tetapi perut kosong keroncongan. Air liur ditelan mentah-mentah dan jari-jari dengan sigap menunjuk makanan siap saji yang sudah disiapkan entah sejak kapan. Entah tadi pagi, tadi subuh, kemarin malam atau mungkin seminggu bahkan belasan hari yang lalu. Aku lupakan saja itu semua, yang penting keroncongan dalam perutku terobati dan juga akibat hujan yang mengguyur bumi sejak tadi, membuat aku terjebak dalam gedung dan membangkitkan seleraku di sudut penuh makanan siap saji ini.

Aku lahap dengan garang dan sambil kutatap orang-orang yang tak kalah garang menyantap masakan-masakan yang entah darimana asalnya itu. Yang entah kapan ia dibunuh dengan cara apa dan berapa lama ia harus hidup sebelumnya sebelum pisau-pisau jagal membelah urat nadi di tenggorokannya yang penuh tulang. Seorang ibu muda bergaun merah muda sibuk menyuapi anaknya, ia sendiri saja tanpa suami yang entah kemana. Bisa jadi suaminya adalah pekerja anjungan lepas pantai, atau pekerja rig, atau bahkan pengelana di tambang batubara di pedalaman sana. Yang jelas ia hanya habiskan siang itu bersama anaknya yang setinggi pinggang ibunya dan belum sempurna melafalkan huruf 'R'. Di sudut lainnya para petugas toko sibuk mondar mandir membereskan dan merapikan kembali meja yang ditinggalkan dengan segar oleh setiap pelanggan yang mampir di setiap sudut meja. Kursi-kursi berderat-derat dan beradu pada pinggir meja ketika ia berusaha merapikannya. Rintik hujan hanya terlihat bayangan tanpa terdengar suara tetesnya karena ruangan dipenuhi suaru musik dari balik speaker-speaker mungil di setiap sudut ruangan.

Sepenggal daging kutinggalkan dan sejumput nasi kupinggirkan agar kelak hewan-hewan kecil di dunia sana juga mendapat jatah meskipun sedikit dari jatah makanku siang ini. Aku pun berlalu menembus rintik hujan di luar sana dan kendaraan yang disebut 'taksi' menghampiri aku. Sepotong hujan mengenai pelipisku dan aku jadi teringat pada ibu muda dengan anaknya yang setinggi pinggangnya tadi. Aku kelak akan menyisakan cerita yang sama dengan gambaran sepenggal cerita di sudut tempat makan siap saji tadi. Dan aku tergolek rapuh di atas jok 'taksi' yang beregelinding menembus rintik hujan mengantarkan aku ke tempat aku tadi pagi berlalu.
Dan akhirnya aku tuliskan rangkaian kata menjadi kalimat kugabung dalam sebuah makna. Semoga tak ada yang terlewat, tak ada makna yang terlampaui atapun salah kumaknai. Dengan kekuatan hati yang paling risau, aku menggali yang terpendam dalam otakku. Apakah aku akan terus sanggup menggores pena digital di atas kertas maya ini? Apakah makna masih bisa kupetik dari setiap cerita yang kualami? Hanya sang waktu sebagai suatu dimensi yang akan mengantarkan aku ke dimensi di masa depan.

12:41 WITA Selasa 11 Maret 2008

No comments: