Orang-orang pada pulang, orang-orang pada pergi. Orang-orang berlari menjauhi keramaian, mendekati keheningan, melihat dalam diri, refleksi jiwa dalam genangan dosa ratusan detik bahkan ribuan dan jutaan menit yang telah lalu.
Orang-orang tak berani datang, orang-orang tak berani bertandang. Orang-orang tak berani menyalakan api dan orang-orang tak kuasa bersenda gurau menyuarakan kegembiraan dan suka ria mereka dalam hingar bingar suara gamelan. Orang-orang berlari dari dunia nyata, istirahat dalam gelap. Hidup bagai hutan tertutup daun belantara yang rapat, gelap dan tiada cahaya menembus mega. Gemericik air, dengus nafas dan degupan jantung sahaja yang menghiasi irama hidup saat itu, Sukra; 7 Maret caka 1930. Tepat juga, setahun yang lalu, salah seorang yang paling kusayangi, pergi meninggalkan cinta dan ketidakberdayaanku. Ia hilang bersama gelombang. Ia pergi tanpa kata-kata secuilpun pada dunia, bahkan padaku. Ia hanya tersenyum sambil menari, ia hanya menari sembari menangis. Keceriaan yang kudambakan tak mampu kini terobati, hilang bersama kesepian itu, kesepian hari ini.
Kecemburuanku pada dunia membuat aku frustasi. Kecemburuan pada sang mentari membuat aku merasa sepi. Sang dewa siang mampu diam, sepi dan senyum yang pasti, bersinar tanpa henti dan tanpa emosi yang menjerumuskan. Ia laksana tetes embun memecah karang, ia laksana jarum membelah kain jahitan. Sendiri dan tanpa teman, sanggup menggapai langit, memecah hari, meronta aku di dalamnya.
Hari itu, sejenak kutinggalkan dunia, menggapai mimpi tapi bukan dalam tidurku. Aku mencoba hening dalam keramaian suara rintik-rintik air. Aku mencoba hingar dalam setetes noda dalam darahku. Aku mencoba bangkit dari keterbelakangan naluri yang selalu menguasai setiap gerakku. Hatiku terbang, membubung ke langit bvah, melesat dan berekelebat menembus awan. Lalu aku terjungkal dalam dunia di atas awan yang hening, sepi dan matahari bersinar terang, silau, menyayat hati, pilu, menusuk jiwa.
Aku terlena, tatkala sang dewi impian pujaan hati meraih tanganku dari jauh di sana. Lewat kiriman kata-kata indah, menggoda dan mengajakku pergi ke nirwana. Ke dunia hingar di antara sepi yang seharusnya hening. Sang dewi yang sejak lama ku damba kini mencoba menggoda jiwaku yang rapuh. Mengajak aku terbang dan mengusik keheningan ini. Aku pun menghentikan letusan gunung dalam jiwa, agar ia tak terlampau parah ketika meledak, agar ia tak terlampau merah ketika marah dan tak terlampau gembira ketika riang bertandang. Ketika itu juga, aku singkapkan tangan yg membuat batinku gelap, aku lalu terbang jauh dan berusaha melanjutkan heningku hingga sang dewa siang tertelan sang mega di ufuk sana. Tuhan, kabulkan doa hamba yang risau ini...
Pandak Gede, Kamulan Titiang 9 Maret 2008
No comments:
Post a Comment