Thursday, March 06, 2008

DPS-BPN via SBY 11 Feb 08

Malam ini aku kembali terduduk di sudut sebuah lounge di sudut benderang bandara Juanda Surabaya. Suara-suara panggilan dari mesin pemanggil mendengung-dengung di telingaku yang kian hari kian bertambah tuli akibat malas memakai earplug ketika suara-suara bising mesin-mesin sejenis mesin-mesin pesawat tempur berkumandang memecah gelombang samudera di tengah laut selat Makazzar tempat ku mendulang uang demi cinta.

Harusnya pesawat berangkat jam 17.40 waktu Surabaya, tapi dari pengumuman para customer service bandara, pesawat ditunda keberangkatannya menjadi pukul 20.45. Oh lama sekali dan semakin lama juga rasanya karena sudut lounge yang serba mewah -dengan sofa-sofa yang tak ada di rumah ini- seperti kosong karena tak ada teman bersenda gurau maupun bercanda ria, seperti ketika aku bertemu dengan teman-temanku bekerja.

Suara-suara orang memang ramai di ujung sana, yang sibuk mengambil makanan dan minuman gratis hanya dengan modal menyerahkan kartu kredit bank tertentu dan kita bebas merdeka tanpa dosa makan sepuas dan sekenyang-kenyangnya. Bahkan mungkin ada pula yang membawa pulang dengan mengambil jatah lebih-lebih lalu membungkusnya dengan plastik bekas pembungkus buku, kemudian memasukkannya satu persatu ke dalam tasnya yang sudah penuh dengan barang bawaannya sendiri. Tapi itu hanya anggapan dan kira-kiraku saja. Dan tampaknya anggapanku salah. Terlihat kebanyakan di antara orang-orang yang lalu lalang tadi sudah dengan beringas dan rakus memenuhi perut-perut mereka yang kelaparan sejak sore tadi karena sebagian besar pesawat ditunda. Entah karena cuaca buruk atau memang maskapai-maskapai itu hobby delay, ini yang kurang aku cermati. Dan aku anggap tidak tahu saja demi kebaikan kita bersama.

Sore tadi adikku dengan setia mengantarkan aku ke Bandara naik sepeda motor yang jarang dicuci. Udara tadi sore begitu panas sepanjang jalan dari rumah ku di kampung ke Bandara yang berjarak 1 jam. Sebelum mencapai bandara, aku mampir ke travel langgananku setelah sudah seminggu yang lalu ku pesan ke salah seorang pegawai travel yang juga teman baikku. Adikku yang tampak lelah dan capai menunggu aku menyelesaikan urusan yang tidak begitu lama itu. Dan akhirnya dengan melalui pintu-pintu penjaga karcis bandara kami berlalu dan aku diturunkan di belakang mobil mewah Lexus di depan pintu keberangkatan domestik. Baru saja kuinjakkan kakiku melewati loket cek in, bapakku yang sudah semakin tua meneleponku dengan sabar. Menanyakan apakah semuanya baik-baik saja dan lancar. Aku pun mengiyakan dan tak berapa lama suara telepon putus menutup keheningan pintu masuk bandara yang sangat ramai namun tak ada suara manusia yang teriak-teriak seperti di pasar di kampung dekat rumahku.

Tampak 2 orang bertampang tionghoa terduduk layu di sudut sebelah sana. Yang satu sibuk membaca buku dan satunya terduduk lebih lemas seakan sudah menunggu pesawat delay lebih dari 7 hari. Yang sedang membaca buku tampak tenang dan menikmati kebosanan sore itu. Sedangkan bapak yang satunya tampak gelisah dan juga sekali-sekali tampak mengelus-ngelus HP kesayangannya seakan-akan hendak mengetik SMS. Kemungkinan dia sudah kehabisan ide dan kata-kata, karena sudah SMS-an sejak tadi, bahkan begitu aku datang mereka tampaknya sudah lama berada disana. Piring-piring kecil bekas makanan menjadi saksi bisu di atas meja di depan sofa-sofa mewah yang diduduki 2 orang tadi. Dan bahkan mereka juga tampak kekenyangan terbukti dari sorot matanya yang sayu hendak tidur dan juga terlihat tumpukan-tumpukan mangkuk dan gelas-gelas yang sudah tak rapi dan tak sedap lagi dilihat dengan mata kepala sendiri. Cukup mengusik pandanganku malam ini.

Waktu sudah menunjukkan pukul 20.15. Berarti 30 menit lagi panggilan pesawat Lion Air menuju Balikpapan akan dikumandangkan dengan jelas dan tegas dari mesin-mesin bersuara wanita cantik nan menggoda iman. Di sela-sela itu semua, kembali tampak petugas-petugas kebersihan lounge ini datang tergopoh-gopoh sambil membawa kereta dorong tempat gelas-gelas dan piring-piring bekas yang siap dicuci oleh sekelompok orang di belakang sana. Si petugas juga menyapu habis piring dan gelas di atas meja di depan 2 orang bapak-bapak tionghoa tadi. Dua orang itu hanya menatap pasrah ketika meja-meja mereka jadi bersih dengan sapuan lap-lap bersih dari tangan-tangan bersih nan mungil petugas lounge yang salah seorang tampak sungguh manis ayu mempesona. Juga menggoda jiwa. Tak layak kau jadi petugas bersih-bersih, batinku berkata. Tapi tak kuucapkan, hanya kutuliskan di sela-sela huruf-huruf di balik jendela Notepad ini.

Kicauan suara-suara mesin pemanggil kembali bergema dan kali ini memanggil penumpang Mandala tujuan entah kemana aku tak menyimak dengan serius. Hanya lampu-lampu baca yang berderet-deret di depanku yang menghiasi malam yang udaranya semakin dingin di ruangan mewah ini. Aku semakin membisu tatkala hiasan-hiasan berwarna merah yang digantung di bawah lampu-lampu baca tadi bergoyang-goyang seperti memanggil-manggil aku untuk ikut menari diiringi suara piring, gelas dan sendok garpu beradu akibat gopoh-gopoh petugas yang salah satu agak manis tadi kembali beraksi. Petugas-petugas itu sungguh setia dan semestinya mendapat penghargaan yang tinggi sebagai pelayan yang baik karena tanpa lelah di wajahnya yang selalu dihiasi senyum terpaksa bekerja hingga larut malam seperti ini. Entah dihitung jam lembur atau bagaimana, yang jelas mereka patut mendapat kompensasi lebih karena sudah bekerja dengan dedikasi tinggi, dari kacamataku yang sudah semakin rabun ini.

Di tengah-tengah ruangan berdiri dengan kokoh tiruan pohon beringin yang terbuat dari plastik. Pohon beringin itu dihiasi lampu-lampu malam yang menggoda jiwa. Menjadikan suasana Lounge ini semakin bercerita meskipun ceritanya hanya itu-itu saja dari hari ke hari, dari waktu ke waktu, setiap menit juga setiap detik. Karena pohon yang daunnya juga terbuat dari plastik ini, tak kan pernah bertumbuh dan berkembang daun-daunnya juga tak bertambah banyak seperti pohon-pohon asli di luar sana yang nyata. Apakah semua pemandangan ini juga pemandangan semu yang saksikan karena suasana hatiku yang sedang semu?Tak penting itu semua yang penting kembali kunikmati malam yang indah ini yang sekarang dibalut suara-suara musik dari balik meja resepsionis yang dijaga petugas super seksi yang siap melayani siapa saja yang menyerahkan dengan pasrah kartu kreditnya yang bisa dihabiskan belasan juga rupiah.
Akhirnya ku terpana dan sempat terdiam menatap seorang wanita muda yang lewat di depanku namun agak jauh di sana. Seperti wajah-wajah yang aku kenal dan sering kusaksikan di TV di acara infotainment oleh TV-TV swasta ibukota. Apakah dia benar BCL? Aku tak terlalu yakin karena mataku yang agak kurang ini juga ikut ragu apakah benar. Dan dugaan kuat BCL itu semakin gugur karena aku juga didakwa mengalami minus 1/2 setelah kuperiksakan di sebuah toko optik murahan di daerah jalan Diponegoro Denpasar.

Ah sudahlah lupakan saja. Karena sesuai janji petugas jaga counter tadi, berarti 15 menit lagi panggilan pesawat akan diselenggarakan dengan merdu, seharusnya. Dan mudah-mudahan saja tundaan ini tak berkelanjutan sehingga aku tak tiba terlalu malam di Kota Minyak yang kian hari kian panas itu. Tunggu aku walaupun malam sudah larut, kawan!

===ternyata aku sampai jam 02.00, landing di kota minyak malam itu, sungguh mengecewakan maskapai yg doyan delay itu. bahkan jam 02.30 subuh itu juga, penerbangan lanjut ke surabaya lagi===



No comments: