Roda-roda bergelinding pelan seiring sang mentari beranjak tambah tinggi. Warna merah di atas roda 2 bergelinding pasti ke arah timur mengejar mentari. Adikku yang sungguh baik hati menemaniku siang ini ke tempat mangkal pesawat yang 1 jam dari rumahku. Jalan-jalan begitu lengang karena masih suasana hari raya. Sehingga tak sampai 1 jam perjalananku tuntas dan adikku langsung berlalu memecah keramaian mobil antrian di tempat perhentian mobil-mobil pengantar.
Aku gembira karena teman tiketku sudah datang dan dengan setia mengantar tiket Garuda tujuan Balikpapan langsung ke airport dan aku hanya tinggal membayar. Karena pesawat boarding tak sampai 1 jam lagi, aku langsung menuju check in counter membawa serta 1 ransel hitamku yang berisi bekal cuman 2 potong kaos oblong, 1 set laptop, dan peralatan mandi seadanya. Sementara teman tiketku ku suruh masuk dan menunggu manis di balik meja-meja mewah Solaria, tempat kita pernah bertemu dulu, sekali.
Ternyata antrian check in tak membuat aku pusing, hanya ada 2 orang di depanku. Dua orang bapak-bapak aneh yang kayaknya baru pertama kali naik pesawat. Ketika tiket-tiket sudah dikembalikan dan petugas mengatakan "Silahkan menunggu pesawat di ruang tunggu 17". Serta merta dua orang bapak-bapak tadi malah baru menyatakan bahwa ada barang yang musti ditaruh di bagasi pesawat. Otomatis, waktu ngantri jadi tambah 5 menit, sungguh katrok, sekatrok waktu aku pertama kali naik pesawat dulu. Setelah membayar airport tax, aku langsung berlalu ke luar menuju tempat yang kujanjikan tadi, yang kami janjikan, yang ia sudah menunggu dengan manis.
Ketika hampir masuk ke pintu-pintu restoran mewah nan bersih itu, para petugas yang semuanya cewe-cewe menyapa dengan ramah dan tamah. "Selamat siang kak, silahkan masuk"Aku menemukan teman tiketku sedang memilih minuman di tempat duduk paling sudut di ruangan yang tertata apik oleh desainer terkenal itu. Bangku-bangku berwarna merah dengan tempat duduk sofa indah berwana senada. Dinding-dinding diwarnai kehitaman memberikan kesan macho dan pria punya selera. Orang-orang yang duduk-duduk rata-rata laki-laki paruh baya dengan penampilan bisnisman dan setelan jas yang sangat rapi dan meyakinkan. Berbeda dengan aku, hanya modal kaos oblong dan celana jeans model lama dan juga sepatu yan sudah 3 tahun selalu setia menemani setiap perjalanan pulang pergi ini.
Diujung sana bergerombol petugas-petugas wanita seksi berpakaian sewarna dengan dinding-dinding ruangan, ngerumpi manis tapi siaga menerima panggilan pelanggan yang hendak memesan minum ataupun sekedar bertanya garing. Dengan sejentik jari salah seorang petugas datang. Mukanya putih bersih namun tangannya jauh lebih hitam dan berbulu tipis-tipis pula. Ternyata ia sedang over dosis pemakaian bedak pemutih wajah, maka jadilah ia seperti topeng ondel-ondel seperti ketika pesta tanjidor digelar di seputaran batavia tempo dulu. Ku pesan lemon tea dan teman tiketku pesan ice tea. Kami terlarut dalam obrolan dengan suasana yang sungguh sejuk dihiasi jendela-jendela kaca berhiaskan tirai-tirai indah berwarna putih bersih. Ia terlihat begitu manis siang itu, dan aku yakin aku tak sedang dilanda mabuk oleh alkohol ataupun sakau oleh narkoba. Baju merah jambunya sangat manis bersanding dengan celana kecoklatan, menempel indah di tubuhnya indah. Wajahnya, siang itu, sungguh rupawan, lebih rupawan dari biasanya. Tai lalat kecil-kecil yang menghias tepi-tepi bibirnya membuat aku ingin memandang lebih lama, juga karena 2 minggu ke depan aku takkan melihat dia walaupun secuil saja. Rambutnya yang hitam panjang memayang mengurai dan poninya yang pantas menghias wajahnya bak bulan purnama.
Ia hanya mengoceh riang ketika wajah imut itu aku tatap untuk beberapa saat sambil melamun dan akhirnya aku terkesiap, tersentak, lamunanku dibelah oleh datangnya petugas mengantarkan minuman yang kami pesan tadi. Lalu bibir-bibirnya bertemu untuk menjepit sebatang sedotan mini warna putih. Dan cairan-cairan ice tea mengalir dengan ajaib, menerobos lubang sedotan, mengalahkan gravitasi menembus di sela-sela bibir indah itu. Dan ketika cairan itu telah tertelan, serta merta ada riak kecil meronta di lehernya yang putih mulus dan tiada cela.
Ku larutkan juga lemon tea kesukaanku dalam balutan penuh nafsu, haus karena di perjalanan tadi udara panas cukup banyak menguapkan keringatku. Pesona wajahnya masih mencoba merobek-robek dinding hatiku, dan "plung" ada sesuatu yang jatuh. Ia bertanya, "Apanya yang jatuh?". "Hatiku", aku menjawab lirih dan pelan. "Oh sungguh romantis dan so sweet to hear that", katanya lagi. Dua botol di atas meja menjadi saksi bisu cerita romansa yang berlangsung sekejap tadi. Botol-botol berisi kecap dan saos itu seolah menjadi bumbu-bumbu penyedap di setiap degup jantung dan hembusan napas-napas kami. Aromanya yang khas, aku, kami terbius dalam suasana yang tak diperkirakan sebelumnya, ia tersenyum manis, semanis kecap di botol nomor 1. Dan ia melirik manja, senikmat saos-saos tomat di botol kedua. Sungguh istimewa senyum kamu hari itu, dan luar biasa, seorang pemuda yang sudah lama terlena bisa mengaku jatuh hati pada senyum yang sudah lama ia damba.
Waktu yang mempertemukan kami, dan waktu juga yang membuat aku harus segera beranjak dari tempat itu, dan juga dia. Aku boarding tepat pukul 12 siang, dan ia juga, bekerja di kantor jam 12 siang selama 8 jam ke depan. Dengan berat hati kami beranjak dari sofa-sofa romantis yang juga menjadi salah satu saksi tuli dan bisu siang itu. Pantat-pantat kami seolah lengket dan menancapkan akar tunggang yang sangat dalam, sehingga sangat berat rasanya untuk berdiri. Namun kami harus bangkit dan segera panggilan boarding mendengung dari balik speaker-speaker yang dipasang di setiap plafon-plafon bangungan yang megah di Bandara internasional itu.
Lalu kulewati pintu-pintu yang dijaga petugas berpakaian seragam dan rapi, badannya tegap dan juga ramah. Suaranya tegas namun penuh kesopanan, khususnya kalau yang dilayani adalah bule-bule yang di-raja-kan. Lalu ku masukkan tas hitamku ke meja-meja berjalan dan diujung sana sudah menunggu petugas-petugas berseragam, kali ini wanita dengan tubuh seksi dan tinggi. Tatapannya liar, lirik sana lirik sini, bagaikan penari pendet yang sedang menjiwai tariannya. Rata-rata tingginya setinggi aku atau lebih tinggi. Di sini ia hanya melihat-lihat. Padahal sesungguhnya dan seharusnya ia bisa merapikan barisan bule-bule katrok yang memenuhi dan malah ngerumpi dengan bawaan barang-barangnya yang bejibun di atas trolley, menutupi akses untuk mengambil barang yang lewat meja-meja berjalan tadi. Inisiatif kadang diperlukan untuk situasi yang tidak biasa seperti itu, yang mungkin tidak ada dalam buku petunjuk operasi yang didapat dari perusahan tempat ia bekerja, namun tersimpan rapi dalam lemari di bawah tumpukan baju yang jarang dipakai, terpendam.
Tak berapa lama, akhirnya kumasuki pintu-pintu pesawat dan aku duduk di deretan 12 di pinggir jendela. Ternyata di sampingku kosong sehingga aku bebas duduk sesuka hati di antara 2 kursi di samping kananku. Di depanku juga hanya terisi satu seat, bule dengan tampang tak bernafsu. Di belakangku, enam kursi kosong melompong, bahkan kecoak pun tak kan mau menduduki. Lalu setiba transit di Makassar, penumpang menuju Balikpapan disuruh turun selama 45 menit karena kursi-kursi tadi akan dibersihkan, dibersihkan daripada kecoak-kecoak yang tampak semarak akhir-akhir ini.
Ku masuki pintu kedatangan dan ku tukar boarding pas dengan 1 lembar kartu bertuliskan T-R-A-N-S-I-T. Ruang tunggu yang hampir sama luasnya dengan ruang tunggu pesawat di Balikpapan ataupun Denpasar hanya berisi 1 ruang rokok yang blowernya tak berfungsi sama sekali. Sehingga dari luar tampaknya ruangan penuh kabut tebal menggumpal menutupi wajah-wajah perokok aktif di dalamnya. Aku coba masuki dan di dalam sudah ada beberapa orang. Dua set kursi dengan kapasitas 3 orang di pasang membentuk huruf L di tengah-tengah agak ke pinggir ruangan itu. Dua orang sedang duduk di kursi satu, dan 2 orang lagi sedang duduk di kursi satunya. Namun kursi jadi penuh karena ia duduk dengan angkuh dan arogan, seolah kursi itu milik mereka. Percis di tengah-tengah berdiri satu etalasa berkaca kusam dan di dalamnya tergeletak begitu saja kumpulan rokok (atau hanya kulit pembungus rokok saja?) dan kumpulan korek gas yang entah apa maksudnya menaruh di sana. Salah seorang di antara perokok yang duduk-duduk arogan tadi berdiri lalu menatap dengan muka aneh dan memegang-megang etalase kumal tadi. Melihatnya dan mencoba mengintip dari bawah namun ia seolah tak menemukan apa-apa, ia lalu mencoba melongok dari atas, tak jelas apa yang dilakukannya. Topinya yang lusuh, bajunya yang seperti tak dicuci 1 minggu dan sendal jepit menghias kakinya yang seperti jukung nelayan, lebar, membuat aku ngeri ketika masuk tadi aku ditatapnya dengan pandangan aneh, seperti manusia purba pertama kali melihat api. Aku heran, ada yang salah dengan aku ato dia yang "salah". Aku buang muka dan jika waktu itu boleh, sudah kubuang juga ludah yang terkumpul mendadak karena kejengkelan yang juga muncul tiba-tiba. Tak diduga tak disangka si pemuda compang-camping tadi lalu duduk di bawah, di lantai di pinggir kaca-kaca jendela lebar yang menghadap landasan terbang. Ia kembali seperti heran dan sungguh heran melihat pesawat-pesawat berukuran ratusan kali ukuran tubuhnya sedang terbang membelah angkasa. Tak tahulah aku, dunia terasa berputar terbalik saja.
Kemudian, tak sampai 45 menit petugas memanggil kami untuk segera naik. Dalam sekejap mata kami sudah mendarat di Sepinggan dengan lembut, mungkin ini landing paling lembut yang pernah aku alami sepanjang tahun sepanjang bulan aku melewati hari-hari mudik dan balik di atas pesawat. Lalu langkahku berjalan menuju angkot dan mengantarkan aku ke pojok terminal tempat aku biasa mengisi perut untuk makan siang. Jam 3 sudah dan ring tone segerombol pesan-pesan basi karena harusnya sudah sejak tadi tiba, namun jadi tertunda akibat kumatikan ponsel dalam pesawat. Pesan dari seorang teman yang ibunya jualan nasi bungkus di perempatan jalan di kampungku tercinta. Yang tercinta adalah kampungnya, tapi sebenarnya ia juga kucinta, namun karena ia sedang menjalin cinta, maka tak kuasa aku ikut mencinta, sungguh ironis. Ia berkata bahwa ia berangkat hari itu juga ke Jogja, tak seperti katanya dulu sehari sebelumnya. Namun ia lebih dulu 4 jam start dari aku.
Ku duduk di warung makan murah meriah di pojok terminal yang panas. Panas karena kipas-kipas angin yang biasanya berputar segar, sore itu tak berkutik. Listrik padam dan seluruh jiwa juga padam bersama kucuran keringat karena siang itu panas dengan ayam bakar sambal yang pedas bukan main, sorenya bikin aku mencret. Tiga orang perempuan muda, mungkin seumuran aku atau lebih muda duduk di seberang tempat dudukku. Dua orang menghadap aku dan 1 orang mempunggungi aku, sehingga pandanganku hanya beradu pada 2 orang sebelah sana. Salah seorang cukup rupawan bahkan sering mencuri pandang ketika aku sedang rakus menyantap ayam bakar Banyuwangi, karena aku lapar, siang ini belum sempat kuisi perut dengan nasi.
Tak lama, 1 orang wanita kumal dan lusuh di pojok sana keluar warung dengan hanya mengucapkan "Sudah ya, mbak" sambil berlalu begitu saja dengan cengangas-cengenges tak karuan. Si pedagang berteriak "Bayar dong mbak!" diulang berkali-kali namun si wanita lusuh itu tak menggubris, entah gila atau tidak waras. Tapi yg jelas ia sudah makan enak dan lahap dengan gratis. Ternyata, salah satu trik makan gratis adalah dengan berpura-pura jadi orang gila, masuk warung makan dan pesan sepuasnya, seenak-enaknya. Nasib si wanita sedang beruntung, karena pemilik warung merelakan begitu saja kepergiannya, hitung-hitung amal katanya (tapi dalam hati), walaupun raut mukanya memendam kecewa. Dua orang pelayan laki-lakinya sebenarnya bisa menjadi "preman" penjaga warung nasi itu, percuma rambut di cat warna-warni dan badan tattoo-an (meskipun tattoo tak permanen), tapi mbentak orang tidak waras aja tidak berani. Harusnya ia menutup muka dan berkata "Harus kusembunyikan dimana mukaku?".
Sore itu kuakhiri dengan meluruskan badan di sejengkal ranjang dingin di tempat biasa. Sungguh indah cerita hari ini. Dan tak kuasa aku akan lupakan untuk 2 minggu ke depan. Jika ku rindu, akan aku ingat selalu cerita ini, dan ketika aku benar-benar rindu, akan kubaca tulisan ini dari awal hingga akhir dengan berkhayal tingkat tinggi. Kelak aku bisa menyatakan impian itu, semoga.
DPS-MKZ-BPN 10 Maret 2008
Surattown, 11 Mar 08 06:45-08.37
Thursday, March 27, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment