Sunday, December 27, 2015
Naik Kereta Mutiara Timur
Ketika naik kereta jurusan Surabaya menuju Banyuwangi, malam itu, saya menemukan cerita berbeda, dibanding ketika saya biasanya naik pesawat. Ceritanya begini.
Malam itu udaranya agak dingin, saya baru saja tiba di Stasiun Kereta Api Sidoarjo yang berjarak sekitar setengah jam dari Juanda Airport. Saya langsung melapor ke loket dan mencetak tiket di sebuah mesin cetak tiket yang terletak di tengah-tengah ruang tunggu calon penumpang. Kemudian saya duduk manis di deretan kursi paling belakang. Suasana ramah begitu kental malam itu. Ibu-ibu yang baru kenal tampak menyapa ramah dan mengobrol seperti layaknya sahabat yang sudah lama tak berjumpa. Seorang bapak menyapa anak muda yang duduk di sebelahnya, mereka tampak larut dalam obrolan yang mungkin sangat jauh dari obrolan seputar harga minyak mentah yang sedang meroket turun, atau obrolan seputar tata cara mengucapkan selamat hari raya yang sedang ramai diperbincangkan.
Di pintu stasiun yang sangat tinggi nampak berdiri seorang ibu dan anak mengobrol alot dan ditutup dengan pelukan dalam, kemudian si anak berpamitan ramah berlalu di antara gelapnya parkir stasiun. Kemudian saya melihat beberapa penumpang datang kemudian duduk di sebelah saya, menyapa akrab dan kami akhirnya saling bercerita tentang perjalanan kami. Tak ada yang menunduk, tak ada yang sibuk dengan gadget-nya masing-masing. Semua orang menatap lawan bicaranya, semua orang bercerita, semua orang bercengkrama, semua orang saling tahu wajah orang yang duduk di sebelahnya, semua orang pada tahu orang yang duduk di depannya pergi kemana mereka malam itu. Suasana riuh rendah namun tak membuat telinga pecah.
Satu jam sebelum jadwal kereta tiba, kami memasuki ruang tunggu penumpang melewati pintu-pintu yang tingginya 3 meter. Di luar dugaan, petugas security berpakaian hitam-hitam menyapa sangat ramah, mempersilahkan saya menunggu di bagian barat ruang tunggu, menunjuk dengan wajah bersahabat. Ruang tunggu yang berkapasitas tidak terlalu banyak itu, malam itu sangat romantis dan tentu saja vintage. Pantas saja adegan film-film perpisahan insan yang sedang dimabuk asmara banyak dilakukan di stasiun kereta. Dan benar saja, di ujung saja nampak dua pasangan duduk sangat rapat, lengan kiri si pemuda merangkul mesra dan si pemudi bersandar mesra, seolah mereka tak akan terpisahkan oleh kiamat sekalipun.
Setengah jam di ruang tunggu datanglah satu kereta dari Malang dan beberapa orang penumpang turun. Nampak seorang anak menunggu di ujung sana, menyapa ramah dan mencium tangan, yang mungkin saja ibunya, dengan khidmat. Ketika saya dekati pak petugas pengatur lalu-lintas kereta menyapa dengan ramah, bertolak belakang dengan kumis tebalnya yang awalnya membuat saya ragu untuk memasuki ruangan kontrolnya. Ruangan kontrol sederhana, jauh dari gegap gempita teknologi kontrol berbasis komputer, mikrokontroler, PLC, DCS maupun kontrol lainnya yang konon katanya cerdas.
Kereta Mutiara Timur pun tiba, saya naik ke gerbong nomor 4 dan duduk di kursi 4C. Para penumpang di sekitar nampak menyambut ramah kedatangan saya, tersenyum ramah seperti sudah kenal saya saja. Malam itu saya menemukan cerita berbeda, berbeda dengan biasanya, berbeda ketika saya menunggu di ruang tunggu pesawat. Rasa lelah malam itu seperti sedikit terobati, meskipun saya sudah menempuh 15 jam perjalanan, untuk melanjutkan 14 jam berikutnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment