Seiring perjalanan waktu, budaya pun mengalami perubahan mengikuti perkembangan jaman. Tata cara melaksanakan tradisi berubah mengikuti pola kehidupan manusia terkini.
Bukan hanya tugas wayang ceng blong memberikan pencerahan religi tapi tugas petinggi phdi dan adalah tugas kita semua agar umat menjadi lebih pintar tercerahkan dan tidak menghadapi kegamangan beragama.
Di saat umat lain sudah pada tahap "mengajak" umat lain memasuki agamanya kita masih pada level bingung menentukan besok mau beli apa untuk nangkil ke pura mana.
Beberapa hal yg perlu revolusi mental proses budaya dan agama Hindu di Bali.
- sampah kwangen
Kita sering melihat saat sembahyang di pura sampah kwangen atau canang berserakan di halaman pura. Kalau petugas kebersihan pura cepat tanggap maka pemandangan itu akan cepat berubah menjadi bersih kembali. Alangkah indahnya jika kita sebagai umat Hindu yg cinta damai juga cinta kebersihan memungut sendiri sampah2 kwangen tersebut, lalu secara sukarela membuang pada tempat sampah yg tlah disediakan. Di satu sisi kita melatih hidup bersih mulai dari pura. Disisi lain kita meringankan pekerjaan para petugas kebersihan pura.
- masuk pura tdk bisa antri
Sering lihat kan ketika kita tangkil di sebuah pura2 besar di bali, misalnya pura besakih, batukaru, tanah lot hingga pekendungan. Umat kita memang masih perlu belajar soal antrean kepada bebek. Umat lebih suka berdesak2an saat memasuki jeroan pura via kori agung yg hanya bisa dilewati 1 orang. Belum lagi suasana panas siang hari atau ada yg sambil menggendong anak kecil. Sembahyang bukan hanya soal nyakupang tangan tapi juga melatih kesabaran mulai dari sebelum memasuki pura hingga bersabar antri keluar kori ketika sembahyang sudah selesai.
- dharmawacana tiap sembahyang purnama tilem dan rainan lainnya
Kita tahu umat hindu di bali hanya dijejali upacara dan upacara. Orang bijak berkata pesan filosofis sudah menempel pada simbol2 yg kita pakai sebagai sarana upacara. Sayangnya informasi itu hanya sebatas simbol filosofis yg mungkin tidak pernah tersampaikan pesannya kepada umat gegara memang tidak pernah ada yg menyampaikannya. Dharmawacana 10 atau 15 menit sebelum upacara dimulai saya yakin akan memberikan pencerahan umat. Trus siapa yg akan memberikan dharmawacana tiap sebelum sembahyang? Pemangku sudah terlalu sibuk dengan prosesi upacara. Harusnya siapa saja yg merasa bisa membawakan dipersilahkan untuk memberi pencerahan. Dicap sok pintar? Ahhh itu kan pemikiran lama. Mari kita revolusi mental. Mulai dari pura kita masing2.
- penyederhanaan upacara ngaben
Upacara ngaben sering menjadi sorotan betapa umat kita suka berfoya2, bermewah2 dalam melaksanakan upacara ngaben. Ada sebuah komentar dari salah seorang petinggi upacara " pidan buin ngetohin rerama?" Tentu saja kita tdk ingin terbawa arus gelombang euforia ngaben berlebihan. Kembali kepada ajaran agama dan sastra adalah satu2nya pilihan. Kita sebaiknya kembali kepada ajaran ngaben yg esensial sesuai intinya. Intinya pada pembakaran jasmani yg sudah meninggal bukan pada jor2an, mewah2an upacara. Ngaben massal adalah salah satu solusi dgn dana yg minim karena ada share cost.
- kenapa ogoh2 harus mahal
Setiap tahun dana untuk mengarak ogoh2 begitu hebatnya sehebat semangat anak2 muda pengusungnya. Menarik pariwisata? Apakah kita mau beragama dgn penuh kepalsuan? Beragama hanya untuk menarik pariwisata? Saya tidak anti ogoh2 namun mari kita realistis saja.
Ogoh2 bisa dibuat lebih sederhana sehingga dananya misalnya bisa kita pakai memberikan sumbangan kepada tetangga kita yg kekurangan. Jadi ada ritual sehabis mengarak ogoh2 selain membakar yaitu mengunjungi sanak tetangga yg kurang mampu dgn memberikan bingkisan hasil sisa dari membuat ogoh2, misalnya.
- iringan upacara tdk mengambil penuh jalan, tp separuh saja
Salah satu kemacetan terjadi tatkala kita melakukan upacara misalnya melasti atau ngaben. Kadang kita lupa jalanan adalah milik umum. Kadang kita dgn pongah menggunakan seluruh jalan dan menyetop semua kendaraan baik dr depan maupun belakang. Alangkah indahnya misalnya kita berbaris rapi 3 atau 4 sap, menggunakan hanya separuh jalan dan masyakarat lain pengguna jalan bisa tersenyum manis lewat di samping kita yg sedang melaksanakan upacara.
- harga banten yg membubung tinggi
Kita tahu banyak ibu2 mengeluh kita tahu masyakarat sebenarnya menggerutu tatkala membeli banten dan mendapati haganya setinggi meru pura. Tidak relevan menghubungkan iklas tidak seseorang dgn tinggi rendahnya kemampuan membeli banten. Sudah saatnya petinggu hindu bali/ indonesia menyadari arus bawah seperti ini agar meyadnya menjadi hal yg iklas bukan malah memberatkan.
- penyeragaman harga banten
Dan sudah saatnya petinggi organisasi hindu membuat standarisasi harga banten dan penyeragaman sarana upakara. Agar di satu tempat dan tempat lainnya sama antara sarana upakara dan upacaranya termasuk harga yg sama.
- penyederhanaan sarana upacara
Dengan mengetahui esensi dari setiap upacara maka kita akan tahu mana yg perlu dan mana yg tidak perlu. Pengetahuan akan esensi ini hanya dimiliki oleh2 para petinggi2 hindu bali. Oleh karena itu mari kita bersama belajar lebih dalam agar kita hanya melaksanakan upacara yg menjadi esensi saja bukan melaksanakan sesuatu yg mubasir. Singkirkan yg tdk perlu dan sederhanakan yg ada agar lebih hemat waktu tenaga dan pikiran.
- acara adat (ngaben, melasti, mepandes masal dll) tdk membuang sampah sembarangan.
Pernah lihat upacara melasti, ngaben massal atau mepandes massal? Bisa kita lihat apa yg terjadi sehabis upacara. Sampah berhamburan di mana2. Di jalanan di lapangan di rumah2. Apakah ini cermin umat hindu bali yg konon nilai seni dan budayanya tinggi? Jiwa seni yg tiggi berhubungan dgn keindahan. Keindahan berhubungan dgn kebersihan. Harusnya seni berhungungan erat dgn kebersihan. Mengeluh tidak atau kurangnya tempat menampung sampah? Kita bisa gunakan cara klasik misalnya menahan diri untuk membuang sampah semabatangan tapu lebih baik menyimpannya dulu misalnya di saku lalu membuangnya ketika sdh ada tmpt sampah. Banyak cara asal kita mau pasti ada jalan.
-penjor tdk perlu bagus2
Makin hari makin kita amati umat memasang penjor bukan lagi ttg esensinya. Tapi lebih kepada pamer dan saling pibagusin. Tdk ada yg salah dgn penjor bagus. Mungkin yang punya dapat rejeki yg lebih dan memilih utk menganggarkan ke pembelian penjor yg mewah, dibanding, misalnya, menyisihkan sebagian penghasilan utk menyumbang tetangga yg anaknya sudah melewati 3x galungan belum ganti baju safari utk ke pura.
-Laki bali harus rajin. Tdk perempuan saja yg ke pura.
Pernah lihat kan yg ke pura hanya para ibu. Laki2nya kadang hanya mengantarkan sampe jaba pura. Ada yg kabur entah kemana ada jg yg memilih nongkrong di warung pinggir jalan sambil merayu dagang kopu cantik sembari nunggu bininya selesai sembahyang.
Tentu saja ini hanyalah sebagian kecil hal2 yg bisa kita perbaiki atau tingkatkan kualitasnya. Untuk menambah rincian daftarnya mari kita berdiskusi melalui fb group "Selamatkan Bali"
Akhir kata saya menghaturkan geng rna sinampura, mohon maaf jika ada kata2 yg kurang berkenan pada artikel ini.
No comments:
Post a Comment