Friday, June 02, 2017

Day 17- Attaka Dikepung Badai

Mendung tebal menggumpal di delapan penjuru mata angin. Awan-awan kumulonimbus hitam pekat memenuhi langit pagi yang kelabu. Angin utara bertiup dengan kecepatan 30 knot dari arah utara ke selatan. Buih-buih putih bergulung di ujung ombak yang sedang mengalun. 

Angin utara biasanya bertiup kencang pada bulan-bulan yang berakhiran "ber". Kapal Kepodang mengantarkan kami pagi itu menuju anjungan Oscar. Anjungan paling jauh di selatan sana. Ombak mengaduk-aduk kapal penumpang dan kami naik anjungan dengan susah payah. Aku bersama Nizar hari itu menemani Pak Samad mengecek anjungan Oscar yang mati tadi malam. Minyak-minyak tak mengalir. Mungkin mati karena tekanan fuel scrubber melebihi yang diijinkan. 

Pak Samad dengan sigap menarik tuas yang bertuliskan "Push to Shutdown", serta merta sumur-sumur minyak dan gas mengalir kembali  dengan garang. Suara-suara cairan hidrokarbon berdesingan melewati tubing produksi, melalui christmas tree, choke body, lalu wing valve kemudian berkumpul menjadi satu di sebuah manifold menyatukan aliran ke anjungan di kejauhan sana. 

Jam makan siang pun tiba. Boat Perkutut terguncang-guncang mengantarkan makan siang kami. Ombak masih menggila, di kejauhan sana tampaknya hujan sudah turun dengan lebatnya. Yang tampak hanya blur kelabu menutupi pemandangan laut. Setelah menyantap makan siang dari sebuah nasi kotak, angin berhembus makin kencang. Nampaknya badai akan menghampiri anjungan tempat kami mampir ini. 

Tak sampai semenit, hujan turun begitu lebatnya mengguyur anjungan berwarna kuning ini. Kami bersembunyi di balik sempitnya "dog house". Kami berempat duduk berhimpitan untuk mengurangi panas badan yang bisa membuat menggigil kedinginan. Nizar menunduk lesu mendekap lutut dan mulutnya komat-kamit. Pak Samad duduk di sebelahku dengan tenang. Tangan kanannya masih sibuk memainkan gunting kuku yang sedari tadi ia genggam. Aku bersedekap dan kakiku bersila, sambil bersandar di dinding dog house seluas 3x2 meter persegi. 

Hujan makin menjadi. Kapal Perkutut yang tadi mengantarkan makan siang kami, tampak berguncang-guncang di seberang sana. Talinya mengikat di salah satu kaki anjungan. Angin bertiup masih kencang. 

Selama 3 jam kami mendekam dalam ruangan yang dingin dan akhirnya hujan mereda, angin sedikit mengendur, namun ombak masih mengguncang dengan garang. Hari pun makin sore. Kami tak ingin kemalaman disini. Tak ingin pula bermalam di anjungan tanpa penerangan ini. Akhirnya kami memaksakan diri turun menuju boat. Tak ada pilihan, kemalaman atau pulang meskipun ombak tinggi menantang.

Perkutut membawa kami menuju Living Quarter. Badan kapal yang kecil mengocok perut kami berempat. Nizar sudah tak tahan, wajahnya pucat menahan mual. Tiba-tiba melompat ke kamar mandi. Muntah sepuas-puasnya. Nasi yang ia santap tadi siang keluar dengan sempurna. 

Satu jam kemudian, setelah melawan ombak dari arah utara. Kami tiba di Living Quarter. Kami melompat cepat ke atas landing boat. Pak Samad yang tahan ombak melihat seekor ikan melompat di landing boat Living Quarter. Ia ambil saja ikan gratis itu yang dihempaskan kencangnya ombak. 

Aku dan Nizar yang masih pucat pasi, langsung menuju kamar dan membuat teh hangat. Meskipun kami sudah di atas anjungan yang diam, tapi kepala kami masih pening, kini giliran badan kami yang terasa bergoyang. 

Tiba-tiba HP ku berbunyi. Sebuah pesan singkat dari kontak yang bernama "bapak".

"Jadi, sampai kapan kamu akan bekerja? Kasi bapak target waktu."

Aku menaruh HP ku tak peduli. 


#30DWCJilid6 #Day17
#kisahcinta
#kuliminyaklepaspantai
#selatmakazzar


No comments: