Udara cerah dengan sedikit awan. Burung-burung berkicauan, berkejaran di atas pohon yang melambai ditiup angin basah bulan Desember. Padi-padi menguning di sekitar candi Plaosan pagi itu menambah suasana kian fotografis. Seorang penggembala lewat menggiring sapi-sapi berwarna putih dengan punuk di punggungnya. Petani tua yang memakai caping berwarna coklat memarkirkan sepeda ontel di bawah pohon flamboyan. Fotogenik sekali suasana sekitar candi. Pemandangan yang menciptakan gelombang alfa di otak setiap manusia yang melihatnya, menenangkan dan menyejukkan.
Dua puluh satu orang tlah siap dengan senjata masing-masing. Sambil menunggu datangnya model, Bronto sang penggagas hunting ini menerangkan aturannya.
"Kita akan memotret dari candi ke candi. Ada 7 candi yang akan kita taklukan hari ini. Siapkan stamina kalian karena cuaca akan panas sepanjang hari."
Semua peserta sepertinya paham dan tak ada komentar. Krisna Aditya tampak sibuk menyiapkan tripod. De Setiyana sedang mengelap lensa dan kameranya. Agung Puput sibuk membuka majalah, melihat contoh pose model agar tak mati gaya. Jeng Soes hanya duduk manis sambil sesekali memotret kawan-kawan yang sedang bersiap. Meneer asyik berdiskusi dengan Yogi Kusuma. Beberapa orang adalah wajah-wajah baru. Mereka ikut hunting dari "Candi ke Candi" setelah melihat posting ajakan huntingku di forum diskusi situs fotografer.net.
Di ujung sana dua orang model turun dari mobil disambut hangat oleh Bronto. Setelah bersiap kami langsung membagi diri menjadi dua kelompok dan dua spot berbeda. Kelompok satu dipimpin Jeng Soes meng-explore sisi utara Candi Plaosan. Kelompok dua di sisi selatan dikomandani Meneer. Aku bergabung di sisi utara.
Model duduk manis di bawah pohon randu raksasa. Akarnya menjalar mencengkram puing-puing batu candi yang berserakan memenuhi pelataran. Warna merah gaun sang model menjadi point of interest yang memukau. Sebelas orang lelaki jomblo mengarahkan lensa-lensa kameranya berusaha menciptakan gambar terbaik.
"Mbak, tangan kirinya ditarik ke belakang, kaki kiri naik di atas batu, dagunya didongakkan sedikit ya," dengan ahli Jeng Soes mengarahkan sang model dari sisi kiri. Sementara dari sisi kanan Krisna Aditya memanggil, "Mbak nengok kesini dikit," yang disusul desingan bertubi-tubi suara shutter kamera seperti suara AK-47 di medan perang sana.
Sementara di sisi selatan, Meneer memimpin kawan-kawan memotret model dengan konsep Srikandi. Model dengan pakaian Jawa ala pewayangan memegang panah berlatar candi Plaosan yang megah. Sinar mentari pagi menerobos dari sisi belakang model, menciptakan rim light yang tiada duanya. Busur dan anak panahnya berpendar layaknya panah api.
"Bukaan diafragma dibuat selebar mungkin, agar backgroundnya jadi blur," seru Meneer sambil tetap terus memotret sembari mengarahkan gaya Sang Srikandi.
"Shutter speednya berapa mas?" tanya Agung yang masih bingung dengan setting kamera.
"Setting aja kamera pada mode aperture priority, shutter speed akan berubah secara otomatis. Atur bukaan di f dua koma delapan," imbuh Meneer sambil berjalan mendekati Agung yang tampak bingung.
Setelah puas kami akhirnya meneruskan candi yang lain yaitu Candi Sambisari. Candi ini terletak di Kalasan, dekat Candi Prambanan. Sambisari unik, candi ini terletak di bawah permukaan tanah. Kita menuruni tangga untuk mencapainya. Setelah menyelesaikan aksi, kami pindah ke Candi Sewu kemudian Candi Barong yang terletak ke arah selatan dari Candi Prambanan.
Ketika hari beranjak sore, setelah menyantap tongseng FN sebagai makan siang yang telat, kami menuju Candi Boko yang terletak di atas puncak bukit Boko. Area Candi Boko begitu luas. Disambut dengan pintu gerbang yang megah, kemudian di ujung kiri adalah tempat membakar jenazah orang yang meninggal. Di sebelah kanan berserakan batu-bantu candi yang belum dirakit ulang, menghias sela-sela beberapa pohon randu yang tumbuh bergerombol mesra berpadu. Di belakang sana terdapat pelataran yang konon katanya adalah tempat para petinggi kerajaan berkumpul. Di belakang bawah ada kolam tempat mandi permaisuri dengan hiasan batu yang berbentuk telapak tangan menghadap ke atas.
Para model disiapkan di gerbang utama. Sang Srikandi berdiri anggun sambil menghunus busur panah. Sinar mentari sore menerobos dari balik batang dan daun pohon randu raksasa, menyinari Sang Srikandi dari samping kiri. Di belakang sana tampak Gunung Merapi berdiri angkuh seperti menantang Sang Srikandi dengan pongahnya.
Senja semakin senja, matahari hendak kembali ke peraduan. Kami makin keranjingan dengan kamera mengabadikan siluet "Sang Srikandi yang patah hati."
"Ukurlah eksposur di langit, terus berikan fill in flash ke model," seru Jeng Soes mengingatkan pelajaran yang pernah ia ajarkan beberapa hari yang lalu.
Sambil mengamati para fotografer menikmati senja yang kian temaram. Aku coba melihat-lihat hasil bidikanku. Kok gambarnya tidak ada yang fokus tanyaku dalam hati. Kemudian aku mendekati Meneer menanyakan apa yang terjadi. Sejenak Meneer memeriksa lalu berujar, "Fokus kamera kamu diset manual, dab. Pantes hasilnya tak ada yang fokus."
Serta merta langit indah senja itu berubah menjadi mendung, gunung Merapi meraung-raung, kilat menyambar batang pohon randu. Kakiku lemas, tenggorokanku tercekat susah bernapas.
#30DWCJilid6 #Day9
#kisahcinta
#kuliminyaklepaspantai
#selatmakazzar
No comments:
Post a Comment