Tuesday, May 23, 2017

Pulang ke Jogja

Tak terasa 2 minggu telah berlalu. Off kali ini aku berencana habiskan waktu libur di kota Jogja. Pesawat MD-80 milik Lion Air mengantarkan aku mendarat mulus di Jogja setelah transit sebentar di Surabaya. Sepanjang perjalanan udara tak hentinya ku abadikan awan-awan berbagai bentuk dengan kamera poketku, di atas deretan pegunungan yang membentang di sebagian Jawa Timur dan Jawa Tengah. 

Aku naik taxi menuju kos-kosan di ujung jalan Gejayan, Condong Catur, Sleman. Kos sederhana sejak pertama kali ke Jogja, masih setia kutempati. Sepanjang jalan masih indah kulihat becak-becak berseliweran mengantar penumpang. Bus kota dengan kenek bergelantungan berkejaran rebutan penumpang. Bapak kos menerima kedatanganku dengan ramah. Kubawakan dua kilogram bakso ikan tengiri, buatan koki Attaka. Ikan hasil pancingan di laut lepas. Off ini aku punya rencana besar. Rencana yang mungkin akan mengantarkan aku pada dunia baru. Membeli sebuah kamera DSLR, setelah menabung beberapa bulan. Meski kurangnya terpaksa harus pinjam dari teman. 

"Pilihlah merk kamera yang banyak temanmu pakai. Nanti gampang kalo mau pinjem-pinjem lensa," temanku seorang ahli fotografi menasehati. 

Akhirnya kujatuhkan pilihanku pada Nikon D70, semata-mata karena temanku banyak yang memakainya. Harapanku hanya satu, bisa pinjam lensa tele.

Petang itu, di Djendelo Cafe Gejayan, aku bertemu kawan online fotografer.net (FN). Setelah selama 3 bulanan kami berinteraksi di situs komunitas fotografer paling ramai se-Indonesia ini. Akhirnya aku bisa bersua dengan selebriti FN Jogja atau sering dikenal dengan FN 0274.

"Fotografi itu cukup tahu segitiga exposure saja, udah bisa motret. Atur bukaan diafragma, shutter speed dan ISO, wis ngono wae," ujar Jeng Soes alias Susilo Waluyo, guru fotografi saya yang asli Jogja. 

"Memotret itu harus memakai hati dan konsep bro," sela Yogi Kusuma, ia adalah salah satu asisten "jenderal" Kristupa Saragih, seorang fotografer beken pendiri fotografer.net. 

"Teknik foto itu simpel. Di jaman digital sekarang sapa aja bisa motret. Yang mahal adalah idenya," komentar Suryo Wibowo, seorang street photographer yang baru pulang dari kuliah di Jerman. Karya-karyanya banyak menginspirasiku. 

Tiga orang itu bergantian menjadi mentor dadakan kami yang masih hijau. Aku bersama De Setiyana, Krisna Aditya, Bronto, Agung Puput duduk manis menerima transfer ilmu dari suhu kami itu. Tak terasa waktu begitu cepat larut. Jarum panjang jam di tangan kiriku sudah menunjukkan angka 6, sementara jarum pendeknya di antara angka 1 dan 2. 

"Bro. Ada satu hal lagi yang paling penting dalam fotografi. Tahu gak, bro?" Bronto tiba-tiba bertanya retoris. Kami semua menganga. "Satu hal yang paling penting dan paling dasar adalah kita harus punya kamera, bro untuk memotret hahaha...," Bronto membanyol membuat kantuk kami sirna ditelan makin sepinya malam itu. 

Jam 4 subuh kami berdelapan dengan 4 motor tancap gas menuju utara ke arah Magelang. Hunting pertama ini mengambil tempat di Rawa Pening. Sebuah rawa alam dengan pemandangan eksotis ketika matahari terbit di ufuk timur. Setiba disana suasana masih gelap. Kami menunggu di dermaga sambil merebahkan badan karena sejak tadi kami tak memejamkan mata sedikitpun. Di atas sana bintang-bintang gemerlap. Cahaya bintang dari ratusan bahkan jutaan tahun cahaya itu kami nikmati ditemani suara jangkrik dan suara alam lainnya. Indah sekali malam itu. 

"Siap-siap!" seru Jeng Soes memecah lamunan kami. "Siapkan tripod kalian. Atur bukaan difragma di angka 11. ISO jaga di 200. Shutter speed 15 detik," serunya layaknya seorang guru fotografi dari sebuah School of Photography beken. Beberapa menit kemudian langit timur memerah. Semburat cahaya menerobos bukit-bukit di ujung sana. Pagar dermaga menjadi foreground membuat foto semakin istimewa. Langit pagi yang dramatis. Kami sibuk mencari spot terbaik dan mengatur komposisi dengan aturan "rule of third" seperti yang kupelajari tadi di Djendelo Cafe. Ketika kami lihat hasilnya, air danau halus seperti kapas memantulkan semburat merah langit pagi Rawa Pening. 

Tak lama kemudian lewat seorang nelayan dengan rakitnya memeriksa rumpon-rumpon perangkap ikan lalu lalang di depan kami. Tanpa berfikir panjang kami abadikan siluet nelayan dengan suguhan langit yang mempesona. Tiba-tiba sang nelayan mengeluarkan jaring. Sejurus kemudian kami berhasil membidik siluet nelayan saat melempar jaring. Dahan pohon randu raksasa yang menjorok masuk ke rawa menjadi framing yang indah. Matahari terbit di ujung timur. Siluet maha sempurna untuk pemula sepertiku. 

#30DWCJilid6 #Day8
#kisahcinta
#kuliminyaklepaspantai
#selatmakazzar


No comments: