Angin bertiup sepoi, ombak pecah di buritan kapal. Crew boat Perkutut mengantarkan aku menembus malam gulita, ke arah barat mengejar matahari terbenam, ke daratan Santan Terminal. Perjalanan 1 jam ini tak terlalu melelahkan karena esok aku kan bertemu denganmu, pujaan hatiku. Dua minggu aku bergumul dengan karat, bersetubuh dengan angin laut lalu diselingkuhi suara turbine compressor. Senja sempat berkhianat padaku, karena ia sirna di ujung barat sana, tanpa memunculkan pesona indah langit berwarna merah yang biasa aku abadikan dengan kamera dari hape butut kesayangan, hadiah ulang tahunku, 3 tahun lalu.
Lamunanku berkelana ke 14 tahun lalu, tepatnya 13 September 2003 pertama kali aku menginjakkan kakiku di anjungan besi ini, anjungan lepas pantai yang diberi julukan The Giant Field. Kami berjumlah 15 orang naik pesawat Dash-7 berkapasitas 50 orang terbang dari Balikpapan menuju Santan Terminal selama 50 menit. Lalu dua boat kembar Sarah dan Indriani menjemput kami dengan elegan. Mengantarkan kami yang masih culun, ke lapangan minyak lepas pantai terbesar di Indonesia ini. Kala itu ombak begitu tenang, boat menembus Santan kanal tanpa halangan, lalu mengarungi lautan Selat Makassar 50 km ke arah timur. Pagi itu sekitar jam 10 kami tiba di Giant Field, ketika kepala kami menengok keluar jendela boat, kami melihat bangunan raksasa, alangkah besarnya. Besi-besi kuning terpancang kokoh membelah samudera, di atasnya bergelantungan belasan manusia yang kelak akan menjadi guru-guru kami selama 9 bulan ke depan. Suara-suara 9 unit turbin kompresor bergemuruh seperti suara mesin pesawat yang akan take off. Kami meloncat dengan susah payah ke landing boat, lalu menaiki puluhan anak tangga menuju Radio Room. Kemudian berkumpul di sebuah ruangan kabin yang bertuliskan "Rec Hall". Disini kami diberikan pengarahan mengenai rute keselamatan jika terjadi bahaya. Alarm akan berbunyi jika ada kejadian emergency. Tak lama kemudian kami makan siang di ruangan sebelah yang bertuliskan "Mess Hall". Menunya lengkap seperti di hotel bintang lima tempat kami menginap selama 3 hari kemaren di Balikpapan.
Kemudian kami diantarkan ke kamar kami masing-masing. Kami menempati sebuah kamar dengan kapasitas 4 orang per kamar. Satu kamar terdiri dari 4 bed yang bertingkat dua. Meskipun sempit namun kami merasa lapang karena pengaturannya begitu rapi. Aku sekamar dengan Nizar, Jacky dan Topan. Kami istirahat sejenak menikmati empuknya kasur dan alunan suara turbine compressor di luar sana terdengar sayup-sayup saja karena kamar ini dirancang kedap suara. Aku keluarkan laptop lalu menyalakan lagu Manusia Bodoh milik Ada Band. Kamar kami terletak di lantai 3, sedangkan Rec Hall dan Mess Hall ada di lantai 1. Tepat di atas kami ada tempat berkumpul di lantai 4 dan di atasnya ada helipad tempat helicopter mendarat jika ada penerbangan ke lepas pantai ini.
Aku dan Nizar keluar kamar lalu menuju helipad. Menatap sekeliling kagum. Belasan anjungan kecil-kecil tersebar seolah mengelilingi anjungan pusat yang kami tempati ini, Living Quarter. Anjungan itu diberi nama sesuai dengan abjad mulai dari Alpha, Bravo, Charlie, Delta, Echo Baru, Foxtrot, Golf, Hotel, India, Juliet, Lima, Oscar, UA, UB dan November. Sepanjang cakrawala terhampar lautan lepas. Tak terlihat daratan sedikitpun di arah barat sana. Tiba-tiba dari bawah sana terdengar suara Jacky memanggil tergesa. Entah apa yang terjadi, aku dan Nizar segera turun ke bawah helipad.
#30DWCJilid6 #Day1
#kisahcinta
#kuliminyaklepaspantai
#selatmakazzar
No comments:
Post a Comment