Aku duduk di lantai, di bawah layar informasi jadwal keberangkatan pesawat. Aku tak kebagian tempat duduk. Orang-orang menggunakan kursi seenaknya, satu kursi untuk duduk, satu kursi untuk menaruh barang-barang bawaannya. Beberapa penerbangan delay sehingga penumpang menumpuk di ruang tunggu keberangkatan Bandara Juanda ini. Penerbanganku ikut-ikutan. Seharusnya pesawat sudah lepas landas pukul 15.00 namun hingga jam lima sore ini belum ada tanda-tanda keberangkatan. Padahal pesawat dari Jogja tadi jam 1 siang sudah mendaratkan aku disini, transit sebentar tapi jadi lama. Keterlaluan.
Tak apalah pikirku. Aku jadi bisa banyak melamun. Memori kameraku akan terisi banyak foto karena sejak tadi aku bidik apapun yang ku lihat. Kuamati kelompok demi kelompok penumpang pesawat di Juanda ini.
Penumpang tujuan Jogja diisi anak-anak usia 20-30 dengan kaos oblong, tak lupa foto-foto sebelum naik pesawat, mungkin para mahasiswa yang pulang kampung. Penumpang tujuan Ujungpandang didominasi orang-orang tua dengan tampang (maaf) agak ndeso dan lusuh, bawaan kardus bejibun ke kabin, jika antre main serobot. Penumpang tujuan Jakarta diisi penumpang dengan gaya santai, logat Jakarte, celana pendek dan kaos oblong casual. Kadang ku lihat saling berpegangan tangan padahal dua-duanya ada kumisnya. Penumpang tujuan Balikpapan kebanyakan diisi rombongan keluarga yang membawa bayi dengan seabreg kardus masuk kabin, aromanya juga khas. Di saat pesawat take off si bayi biasanya nangis kencang bukan kepalang. Jika duduk juga sering tak melihat nomor kursi. Sembarangan kayak naik bis.
Sampai pada satu titik aku melihat sekelebat mata indah mencuri pandang ke arahku. Diam-diam kutatapi wajah-wajah bersih mulus dengan rambut hitam lurus duduk membisu sambil membaca majalah. Ah mata itu benar-benar mencuri lamunanku sore ini. Aku hanya bisa berkhayal seandainya bisa sekedar berkenalan atau syukur-syukur bisa mengobrol sepanjang penerbangan ke Balikpapan nanti. Lamunanku melayang kemana-mana.
Di saat aku palingkan sekilas pandangku ke layar pengumuman keberangkatan pesawat, tiba-tiba ia hilang entah kemana. Belum sempat lensa saktiku meng-candid wajah teduhnya. Dan panggilan boarding pun dikumandangkan melalui speaker-speaker bandara. Para penumpang tujuan Balikpapan yang sejak tadi t'lah menunggu berhamburan memenuhi pintu keberangkatan nomor dua. Aku menyingkir pada barisan paling belakang.
Sampailah aku pada kursi nomor 25C. Tak disangka tak diduga, perempuan bermata indah tadi duduk di kursi 25A, persis di sebelahku. Serta merta jantungku berdegup kencang. Rambutku serasa disambar petir di musim hujan bulan Desember. Pandangan kami bertemu menjadi satu. Ia menatap aku, mataku seperti terbius untuk menatap tajam matanya. Pesawat berkapasitas 128 penumpang ini berubah menjadi putih. Seluruh kursi dan penumpang lainnya tampak blur, yang fokus hanya wajah perempuan pujaan hatiku yang sedang menatap tajam tapi meneduhkan. Lagu-lagu cinta seperti didendangkan oleh orang-orang di sekitar kami. Sepersekian menit gerakan kami berdua seakan beku.
Otakku langsung berputar mencari cara bagaimana membuka percakapan. Kalimat apa yang harus dilontarkan pertama kali agar obrolan tidak kaku. Bagaimana caranya bersalaman agar ia tak menyadari jika tanganku sedikit gemetar. Dan belasan pikiran aneh berkecamuk dalam otakku yang beku. Ah aku jadi salah tingkah sendiri.
Belum usai demam panggungku, terdengar suara lembut persis di samping telingaku. "Mas permisi, mas," ujar orang di sampingku mau lewat.
Aku langsung duduk sembari mengucap basa-basi, "Tasnya bagus mbak," ucapku jadi benar-benar basi. Si perempuan dengan mata indah hanya tersenyum sambil membenarkan posisi tas di atas pangkuannya.
"Tujuan mana, mbak?" tanyaku melanjutkan.
"Samarinda, mas. Masnya mau kemana?" Sahut si perempuan bermata indah.
"Samarinda juga," sahutku sekenanya. Lah padahal tujuanku sampai Balikpapan saja. Samarinda ditempuh perjalanan darat 2 jam lagi dari Balikpapan. Kok jadi berubah.
"Wah kebetulan. Nanti naik apa mas? Kalau belum ada kendaraan, ikut saja bareng aku ya. Biar ada yang nemenin," ajaknya dengan penuh semangat sambil mengubah posisi duduknya mengarah ke aku.
Kami kemudian terlibat obrolan panjang. Aku akhirnya tahu namanya Vita, Novita Riani. Namamu seindah rambut lurusmu, cetusku dalam hati. Obrolan kami lepas seperti sahabat lama yang baru bertemu setelah sekian tahun berpisah. Suara lembutnya yang bersahabat membuat keteganganku sirna. Ia baru pulang dari Surabaya, sehabis menghadiri resepsi pernikahan teman kuliahnya.
Satu jam lewat dua puluh menit kami mendarat dengan mulus di bandar udara Sepinggan Balikpapan. Langit menggelap berwarna biru tua, lampu-lampu mulai benderang. Kota Balikpapan tampak indah dari jendela kursi nomor 25A. Kilang-kilang tampak tinggi menjulang, api obor menyala menjilat-jilat angkasa di ujung sana, di Kilang Pertamina. Teluk Balikpapan tak pernah sepi dari kapal berbagai ukuran. Mulai dari kapal kecil ketinting hingga kapal tanker raksasa membawa minyak bumi.
Malam itu kutemani perempuan bermata indah menembus malam yang gelap, melewati bukit Soeharto, menuju rumahnya di kota Tepian, Samarinda. Sepanjang perjalanan kami seperti dihipnosis untuk tak ngantuk dan terus berbagi cerita. Pak sopir setengah baya adalah saksi bisu perjalanan malam ini.
Setiba di rumahnya kami disambut orang tuanya dengan ramah dan malah ditawarkan menginap semalam di rumah mereka yang megah. Aku tak bisa mengelak. Di samping karena sudah larut malam, juga bisa hemat tak perlu menyewa hotel lagi. Haha..
Malam itu aku tidur di kamar adiknya yang laki-laki. Tak kuasa kupejamkan mata ini. Lamunanku terus melukis indah kisah-kisah romansa hingga terbawa ke alam mimpi.
#30DWCJilid6 #Day10
#kisahcinta
#kuliminyaklepaspantai
#selatmakazzar
No comments:
Post a Comment