Pagi-pagi sudah ia terjebak dalam dinginnya udara STS yang goyang. Hujan turun rintik-rintik mengenai pelipis lalu menetes melewati pipinya, tatkala ia meloncat lewat swing rope yang mulai rapuh. Suara kapal menderu diperkuat suara angin yang mendayu-dayu, mengibarkan rambutnya yang kian basah oleh hujan. Ia lalu naik main deck dan ditinggal kapal pergi ke platform di ujung sana.
Pipa-pipa berdiameter 12" lebih yang menyangga platform tak kuasa menahan kerasnya gelombang dan kencangnya arus, sehingga ketika rintik hujan kian membasahi wearpack birunya dan angin pagi dingin menerpa wajahnya, ia harus berjalan terhuyung-huyung kesana-kemari membuka, lalu menutup valve-valve yang berukuran melebihi diameter tangannya yang kokoh.
Ia hanya ditemani radio butut yang sudah lowbat dan juga tas hitam dekil, tak kuasa menghentikan kucuran rintik hujan dari langit. Ia bersembunyi di antara sela-sela tubing, terhempas, terhuyung lalu bangkit lagi menggampai mimpi.
Dalam hati ia berfikir tak habis-habisnya, mengapa dalam cuaca yang buruk seperti ini ia disuruh naik lalu bertempur dengan tekanan tinggi, bergumul dengan valve-valve yang kian hari kian berkarat. Mengapa justru dalam perusahaan yang katanya menempatkan safety dalam urutan paling tinggi ini, malah disuruh bermain dengan resiko, bermandi rintik hujan hingga pakaiannya basah kuyup, tembus hingga pakaian bagian dalam. Namun perasaan itu semua hanya dipendam dalam hati. Hanya kepingan-kepingan karat dan tubing-tubing yang dibengkokkan sembarangan yang tahu isi hatinya pagi itu.
Ia terus bekerja tanpa lelah, hingga sumur-sumur kesayangannya mengucur dengan deras, hingga tercurah tiada henti. Ia tak peduli lagi dengan semakin derasnya rintik hujan, semakin kencangnya angin menusuk tulang. Tak peduli lagi dengan semakin kerasnya gelombang yang menghempas STS tempat ia berpijak.
Wednesday, October 29, 2008
Sunday, October 19, 2008
Browsing & Chatting via HP
Online internet di warnet, di kantor atau di rumah melalui komputer atau laptop dengan layar lebar tentu sudah biasa. Mau mencoba sensasi browsing atau chatting melalui handphone? Ya, handphone yang layarnya sebesar itu digunakan untuk browsing maupun chatting. Asyik gak? Kalau menurut saya asyik aja.
Jika mau, kita bisa setting terlebih dahulu HP dan simcard agar bisa terkoneksi dengan internet. Sementara ini saya hanya pernah mencoba 3 jenis kartu saja, yaitu Mentari dan Simpati. Kita harus mengaktifkan GPRS simcard terlebih dahulu.
Untuk Mentari tinggal kirim SMS dengan format "GPRS " lalu kirim ke 3000. Setelah itu akan mendapat pesan balasan yang berisi setting GPRS. Buka dan simpan pesan balasan itu dan GPRS di HP kita sudah dapat digunakan.
Untuk Simpati, kita tinggal kirim SMS dengan format "GPRS" saja atau bisa juga "GPRS" kirim ke 6616. No ICCID adalah 16 digit nomor unik yang terletak di belakang simcard. Request akan diproses dalam waktu 48 jam. Namun biasanya saya hanya butuh waktu beberapa menit, saya akan mendapat pesan balasan yang mengartikan GPRS di HP kita sudah diaktifkan. Berarti HP sudah siap digunakan.
Di HP-HP terbaru biasanya sudah terinstall software yang bisa digunakan untuk browsing, seperti Internet Explorer pada PC. Namun untuk browsing saya biasa gunakan Mini Opera, sekarang sudah ada versi 4.1 yang bisa menyimpan cookies alamat. Mini Opera bisa didownload via browser default HP kita di alamat http://operamini.com. Silahkan ikuti prosedur instalasi ketika membuka alamat itu. Ketika Mini Opera sudah terinstall, pada saat itu pula kita bebas membuka alamat web sesuka kita. Tampilannya bisa dipilih tampilan mobile atau tampilan seperti layaknya website yang terlihat di layar PC. Kita bisa juga menyimpan alamat-alamat favorit dalam menu bookmark, sehingga kita tidak usah mengetik alamat lagi ketika hendak menuju ke suatu alamat website.
Sedangkan untuk chatting saya biasa gunakan eBuddy (www.ebuddy.com). Program mini ini mendukung provider chatting mulai dari Yahoo Messenger (YM), MSN Messenger, AIM dan Gtalk. Kita tinggal login seperti layaknya login di komputer. Sehingga aktifitas chatting tidak perlu harus menunggu masuk ke komputer dulu. Di HP sambil tiduran, sambil nongkrong di WC atau bahkan sambil kuliah juga bisa chatting.
Untuk tarif, sementara yang paling murah adalah Satelindo IM3 dan Mentari, hanya Rp 1/KB. Sedangkan untuk Simpati baru saja turun dari tarif Rp 12/KB menjadi Rp 5/KB. Saya tunggu deh kapan Simpati bisa lebih murah daripada Mentari.
Setting-setting di atas baru sebatas GPRS/EDGE saja. Terakhir Satelindo dan Telkomsel sudah meluncurkan layanan 3G bahkan 3.5G dengan kecepatan akses data berlipat-lipat. Namun layanan generasi 3 ke atas ini masih baru bisa dinikmati di area kota-kota besar saja. Sedangkan untuk di pelosok seperti tempat saya tinggal masih harus bersabar menunggu infrastruktur dari provider. Kita tunggu saja.
Jika mau, kita bisa setting terlebih dahulu HP dan simcard agar bisa terkoneksi dengan internet. Sementara ini saya hanya pernah mencoba 3 jenis kartu saja, yaitu Mentari dan Simpati. Kita harus mengaktifkan GPRS simcard terlebih dahulu.
Untuk Mentari tinggal kirim SMS dengan format "GPRS
Untuk Simpati, kita tinggal kirim SMS dengan format "GPRS" saja atau bisa juga "GPRS
Di HP-HP terbaru biasanya sudah terinstall software yang bisa digunakan untuk browsing, seperti Internet Explorer pada PC. Namun untuk browsing saya biasa gunakan Mini Opera, sekarang sudah ada versi 4.1 yang bisa menyimpan cookies alamat. Mini Opera bisa didownload via browser default HP kita di alamat http://operamini.com. Silahkan ikuti prosedur instalasi ketika membuka alamat itu. Ketika Mini Opera sudah terinstall, pada saat itu pula kita bebas membuka alamat web sesuka kita. Tampilannya bisa dipilih tampilan mobile atau tampilan seperti layaknya website yang terlihat di layar PC. Kita bisa juga menyimpan alamat-alamat favorit dalam menu bookmark, sehingga kita tidak usah mengetik alamat lagi ketika hendak menuju ke suatu alamat website.
Sedangkan untuk chatting saya biasa gunakan eBuddy (www.ebuddy.com). Program mini ini mendukung provider chatting mulai dari Yahoo Messenger (YM), MSN Messenger, AIM dan Gtalk. Kita tinggal login seperti layaknya login di komputer. Sehingga aktifitas chatting tidak perlu harus menunggu masuk ke komputer dulu. Di HP sambil tiduran, sambil nongkrong di WC atau bahkan sambil kuliah juga bisa chatting.
Untuk tarif, sementara yang paling murah adalah Satelindo IM3 dan Mentari, hanya Rp 1/KB. Sedangkan untuk Simpati baru saja turun dari tarif Rp 12/KB menjadi Rp 5/KB. Saya tunggu deh kapan Simpati bisa lebih murah daripada Mentari.
Setting-setting di atas baru sebatas GPRS/EDGE saja. Terakhir Satelindo dan Telkomsel sudah meluncurkan layanan 3G bahkan 3.5G dengan kecepatan akses data berlipat-lipat. Namun layanan generasi 3 ke atas ini masih baru bisa dinikmati di area kota-kota besar saja. Sedangkan untuk di pelosok seperti tempat saya tinggal masih harus bersabar menunggu infrastruktur dari provider. Kita tunggu saja.
Kerja di Balikpapan, Tinggal di Bali
Terinspirasi dengan tulisan pak dosen Andi, yang mana ia juga katanya terinspirasi dari tulisan pakar pencerahan Gede Prama. Pak Dosen menulis tentang mimpinya kerja di Amerika, tinggal di Yogyakarta. Sedangkan Gede Prama bekerja di Jakarta, tinggal di Bali. Sementara saya sekarang kerja di Balikpapan, tinggal di Tabanan, Bali. Schedule kerja saya yang 2-2 (2 minggu kerja-2 minggu off), membuat saya bisa melakukan 'jalan hidup' ini. Ketika hari kerja, yaitu 2 minggu itu, saya tinggal di Balikpapan. Sedangkan 2 minggu kemudian ketika off duty bebas pergi dan tinggal dimana saja, rekomendasinya sih di Balikpapan. Namun saya putuskan untuk tinggal di Bali saja, disamping bisa bertemu keluarga dan merawat orang tua, juga sekalian biar dekat dengan jodoh wanita Bali, seperti request orang tua.
Menjalani kehidupan di dua habitat berbeda ini tentu saja banyak suka dan banyak juga duka yang saya temui di jalan. Dukanya ketika pesawat delay. Delay yang paling parah adalah suatu ketika perjalanan Surabaya-Balikpapan dengan Lion yang seharusnya sampai Balikpapan jam 9 malam, namun ditunda menjadi jam 2.30 subuh baru mendarat di kota minyak ini. Untungnya Pak Surat masih bersabar menanti saya di penginapan murmer itu. Delay yang lain yang tak kalah parah malah baru saya alami 7 Oktober kemaren ketika terbang dengan Garuda dari Balikpapan-Makassar-Denpasar. Pesawat ditunda di Makassar. Seharusnya jam 7 malam sudah tiba di Denpasar, namun karena masalah teknik, kami baru mendarat di Denpasar jam 3 subuh. Ini malah lebih parah dari Lion.
Disamping duka, juga banyak suka yang saya alami. Yang paling menyenangkan adalah ketika disamping duduk seorang wanita cantik dan muda tentunya, enak diajak ngobrol dst. Kalau cocok bisa tukar-tukaran nomor HP segala. Suka yang lain sebenarnya adalah ketika flight pulang dari Balikpapan-Denpasar. Saat-saat pulang seperti itulah rasa gembira bukan kepalang yang bercokol dalam otak dan hatiku. Senang rasanya karena pulang ketemu keluarga dan juga pujaan hati. Saat off juga terlepas dari rutinitas monoton kerja di lepas pantai yang sunyi namun ramai oleh gemuruh suara mesin turbin compressor.
Bekerja di area lepas pantai itu pula membuat hobby fotografi yang baru saja saya geluti ini mendapat sambutan view yang rupawan. Deretan platform dilatarbelakangi mentari yang tenggelam di cakrawala senja menjadi pemandangan dramatis di kala senja. Human interest kuli minyak juga menjadi penghias sisi humanis dari bangunan baja di tengah samudera itu.
Ketika off juga hobby yang buang-buang duit ini terlampiaskan dengan view menawan di setiap sudut Pulau Bali yang digemari setiap wisatawan ini. Namun akhir-akhir ini saya malah jarang hunting di Bali. Kalau dibilang sibuk, nggak. Dibilang santai juga bukan. Mungkin ketidakmampuan me-manage waktu sajalah yang membuat saya tak bisa membagi waktu antara keluarga dan juga hobby yang harus dilakukan untuk menghibur diri.
Pulang pergi Balikpapan-Denpasar kebanyakan saya lalui lewat udara. Dulu ketika masih tinggal di Jogja sering juga dengan perjalanan darat, travel dari Jogja-Surabaya kemudian dari Surabaya ke Balikpapan via udara. Namun sekarang rasanya jauh seandainya saya tempuh lewat darat dari Bali ke Surabaya, banyak waktu terbuang di jalan. Satu hal yang belum saya coba adalah menempuh perjalanan laut dari Balikpapan ke Surabaya atau langsung Bali. Kayaknya perjalanan kapal Ferry yang katanya ditempuh selama 22 jam itu bisa menjadi sebuah petualangan menarik. Kita lihat saya nanti.
Menjalani kehidupan di dua habitat berbeda ini tentu saja banyak suka dan banyak juga duka yang saya temui di jalan. Dukanya ketika pesawat delay. Delay yang paling parah adalah suatu ketika perjalanan Surabaya-Balikpapan dengan Lion yang seharusnya sampai Balikpapan jam 9 malam, namun ditunda menjadi jam 2.30 subuh baru mendarat di kota minyak ini. Untungnya Pak Surat masih bersabar menanti saya di penginapan murmer itu. Delay yang lain yang tak kalah parah malah baru saya alami 7 Oktober kemaren ketika terbang dengan Garuda dari Balikpapan-Makassar-Denpasar. Pesawat ditunda di Makassar. Seharusnya jam 7 malam sudah tiba di Denpasar, namun karena masalah teknik, kami baru mendarat di Denpasar jam 3 subuh. Ini malah lebih parah dari Lion.
Disamping duka, juga banyak suka yang saya alami. Yang paling menyenangkan adalah ketika disamping duduk seorang wanita cantik dan muda tentunya, enak diajak ngobrol dst. Kalau cocok bisa tukar-tukaran nomor HP segala. Suka yang lain sebenarnya adalah ketika flight pulang dari Balikpapan-Denpasar. Saat-saat pulang seperti itulah rasa gembira bukan kepalang yang bercokol dalam otak dan hatiku. Senang rasanya karena pulang ketemu keluarga dan juga pujaan hati. Saat off juga terlepas dari rutinitas monoton kerja di lepas pantai yang sunyi namun ramai oleh gemuruh suara mesin turbin compressor.
Bekerja di area lepas pantai itu pula membuat hobby fotografi yang baru saja saya geluti ini mendapat sambutan view yang rupawan. Deretan platform dilatarbelakangi mentari yang tenggelam di cakrawala senja menjadi pemandangan dramatis di kala senja. Human interest kuli minyak juga menjadi penghias sisi humanis dari bangunan baja di tengah samudera itu.
Ketika off juga hobby yang buang-buang duit ini terlampiaskan dengan view menawan di setiap sudut Pulau Bali yang digemari setiap wisatawan ini. Namun akhir-akhir ini saya malah jarang hunting di Bali. Kalau dibilang sibuk, nggak. Dibilang santai juga bukan. Mungkin ketidakmampuan me-manage waktu sajalah yang membuat saya tak bisa membagi waktu antara keluarga dan juga hobby yang harus dilakukan untuk menghibur diri.
Pulang pergi Balikpapan-Denpasar kebanyakan saya lalui lewat udara. Dulu ketika masih tinggal di Jogja sering juga dengan perjalanan darat, travel dari Jogja-Surabaya kemudian dari Surabaya ke Balikpapan via udara. Namun sekarang rasanya jauh seandainya saya tempuh lewat darat dari Bali ke Surabaya, banyak waktu terbuang di jalan. Satu hal yang belum saya coba adalah menempuh perjalanan laut dari Balikpapan ke Surabaya atau langsung Bali. Kayaknya perjalanan kapal Ferry yang katanya ditempuh selama 22 jam itu bisa menjadi sebuah petualangan menarik. Kita lihat saya nanti.
Desaku yang Kucinta
Terjebak dalam satu kesempatan hari minggu ini, kembali aku ke kampung tempat aku lahir, besar dan dibesarkan. Sudah agak lama kios sepatu keluarga tak dibuka. Debu-debu beterbangan ketika ku singkap seonggok meja-meja yang terbuat dari kayu dan bambu yang sudah lama mengabdi, ia kini terseok, pincang, namun tak ada yang sudi merawat lagi. Ia sudah jarang dipakai kini, barangkali hanya seminggu sekali atau bahkan sebulan atau dua bulan sekali.
Suasana masih seperti yang lama, tetangga-tetangga berdatangan menyapa dengan ramah. Senyum-senyum renyah khas desa kelahiranku itu begitu lama sudah kurindukan. Logat-logat khas kampungku menjadi penghias pagi yang agak gerah itu. Sekarang sudah tak bisa kunikmati setiap hari suasana yang hinggu SMA selalu kunikmati.
Orang-orang sudah berdatangan, seperti diburu-buru, terburu-buru ingin segera dapat barang, padahal barang-barang dagangan baru sepotong dikeluarkan, belum semua sempat dipajang. Aku, bapak dan adikku agak kewalahan. Itulah kejayaan masa lalu, kini masih terwarisi, namun waktu dan ruang tak mengijinkan kami melanjutkannya setiap hari. Hanya seminggu sekali nuansa sibuk itu kami temui. Itupun jika ada kesempatan, jika ada ruang.
Orang-orangnya juga masih seperti dulu, pembeli menawar semurahnya, kami menjual dengan harga sepantasnya. Hari minggu memang cukup ramai, mungkin karena murid-murid libur. Ditambah juga karena esok lusa di hari Selasa, murid-murid SMP akan kemah di Margarana. Kemah ini mengingatkanku pada kemah-kemah masa lalu yang sering kunikmati. Ingin rasanya bergabung dan bernostalgia pada kesempatan itu, namun selasa esok aku harus terbang ke ujung timur Borneo yang panas.
Wanita-wanita muda, ABG, berkeliaran lalu lalang ke barat, ke timur, kebirit. Lari terbirit-birit. Pakaiannya sudah semakin gaul. Mulai dari celana selutut yg ketat hingga yang motif kotak-kotak. Kaos juga ketat hingga perut-perut yang agak gendut juga kelihatan berlipat-lipat. Dandanannya juga tambah menor, sudah pakai bedak tebal, seperti pemain-pemain sinetron di SCTV atau RCTI yang akhir-akhir ini meracuni anak-anak muda. Bahasanya pun sudah semakin gawul. "Ya iyalah, masa ya iya dong!" Sudah pada berbahasa Indonesia walaupun dengan logat pas-pasan dan T yang kentara, namun itulah keunikannya. Tak perlu diprotes apalagi dihina. Celana-celana ketatnya dihiasi HP nyelip di saku celana bagian belakang ataupun depan, earphone atau handsfree bergelantungan di kupingnya. Jadinya, ketika seseorang atau temannya memanggil, ia tak terlalu mendengarkan. Yang laki-laki lalu-lalang berkacamata hitam, meskipun sebenarnya suasana pasar agak gelap untuk ukuran kacamata sehitam itu, tapi sudahlah tak apa-apa yang penting gaya, coy!
Cerita-cerita sumbang juga sudah tidak terdengar lagi seputar perselingkuhan. Diujung sana paling sekali-sekali terjadi diskusi seputar buntut, sayup-sayup terdengar mereka sibuk mengartikan mimpi atau peristiwa unik untuk dijadikan bahan pasangan togel, yang kata berita di TV menyengsarakan rakyat, menggemukkan cukongnya. Cerita selingkuh biasanya menjadi cerita sinetron pasar mulai dari jaman dulu waktu aku SD hingga kini aku sudah tak kuliah lagi. Biasanya, ujung-ujungnya yang selingkuh ketahuan dan si istri yang suaminya selingkuh akan mendatangi si wanita selingkuhannya, atau laki-laki yang istrinya selingkuh mendatangi laki-laki selingkuhannya sambil bawa caluk, lalu marah-marah bukan kepalang. Terjadilah perkelahian urat leher yang menggemparkan pasar, suara mereka terdengar hingga ke ujung los pasar. Di ujung sana ibu-ibu pedagang bergosip murah sambil membuat ketupat atau 'nyait canang'. Sungguh irama desa yang elok didengar dan digosipkan.
Di ujung sini bapakku sibuk bercerita tentang 2 orang bule Belanda yang gosipnya menikah sejenis ala Hindu di Pupuan Sawah beberapa hari kemaren. Namun ketika dikonfirmasi ulang, 2 orang bule itu tak melangsungkan upacara menikah, namun hanya mengikuti upacara masuk menjadi Hindu, meperas, mepandes dan suddhi wadana.
Di senja hari aku kembali pulang ke kampung yang kutinggali sekarang. Kami sempatkan singgah di rumah di mana aku tinggal dulu. Suasana orang-orang, jalan-jalan, masih seperti dahulu. Tetangga menyapa dengan ramah, dan bertanya sudah lama tak kesini. Kamipun menjawab tersipu-sipu. Rumah itu, rumah itu pula kenangan kedua di tanah kelahiranku. Tempat aku bermanja bersama ibu yang kini sudah pergi. Tempat kami sekeluarga menangis juga tertawa dalam setiap modulasi kehidupan yang penuh liku. Di sana juga harapan kami tertinggal, tercengkram oleh gigi-gerigi tajam tak terlihat mata awam. Semoga pikiran positif datang dari segala penjuru.
Suasana masih seperti yang lama, tetangga-tetangga berdatangan menyapa dengan ramah. Senyum-senyum renyah khas desa kelahiranku itu begitu lama sudah kurindukan. Logat-logat khas kampungku menjadi penghias pagi yang agak gerah itu. Sekarang sudah tak bisa kunikmati setiap hari suasana yang hinggu SMA selalu kunikmati.
Orang-orang sudah berdatangan, seperti diburu-buru, terburu-buru ingin segera dapat barang, padahal barang-barang dagangan baru sepotong dikeluarkan, belum semua sempat dipajang. Aku, bapak dan adikku agak kewalahan. Itulah kejayaan masa lalu, kini masih terwarisi, namun waktu dan ruang tak mengijinkan kami melanjutkannya setiap hari. Hanya seminggu sekali nuansa sibuk itu kami temui. Itupun jika ada kesempatan, jika ada ruang.
Orang-orangnya juga masih seperti dulu, pembeli menawar semurahnya, kami menjual dengan harga sepantasnya. Hari minggu memang cukup ramai, mungkin karena murid-murid libur. Ditambah juga karena esok lusa di hari Selasa, murid-murid SMP akan kemah di Margarana. Kemah ini mengingatkanku pada kemah-kemah masa lalu yang sering kunikmati. Ingin rasanya bergabung dan bernostalgia pada kesempatan itu, namun selasa esok aku harus terbang ke ujung timur Borneo yang panas.
Wanita-wanita muda, ABG, berkeliaran lalu lalang ke barat, ke timur, kebirit. Lari terbirit-birit. Pakaiannya sudah semakin gaul. Mulai dari celana selutut yg ketat hingga yang motif kotak-kotak. Kaos juga ketat hingga perut-perut yang agak gendut juga kelihatan berlipat-lipat. Dandanannya juga tambah menor, sudah pakai bedak tebal, seperti pemain-pemain sinetron di SCTV atau RCTI yang akhir-akhir ini meracuni anak-anak muda. Bahasanya pun sudah semakin gawul. "Ya iyalah, masa ya iya dong!" Sudah pada berbahasa Indonesia walaupun dengan logat pas-pasan dan T yang kentara, namun itulah keunikannya. Tak perlu diprotes apalagi dihina. Celana-celana ketatnya dihiasi HP nyelip di saku celana bagian belakang ataupun depan, earphone atau handsfree bergelantungan di kupingnya. Jadinya, ketika seseorang atau temannya memanggil, ia tak terlalu mendengarkan. Yang laki-laki lalu-lalang berkacamata hitam, meskipun sebenarnya suasana pasar agak gelap untuk ukuran kacamata sehitam itu, tapi sudahlah tak apa-apa yang penting gaya, coy!
Cerita-cerita sumbang juga sudah tidak terdengar lagi seputar perselingkuhan. Diujung sana paling sekali-sekali terjadi diskusi seputar buntut, sayup-sayup terdengar mereka sibuk mengartikan mimpi atau peristiwa unik untuk dijadikan bahan pasangan togel, yang kata berita di TV menyengsarakan rakyat, menggemukkan cukongnya. Cerita selingkuh biasanya menjadi cerita sinetron pasar mulai dari jaman dulu waktu aku SD hingga kini aku sudah tak kuliah lagi. Biasanya, ujung-ujungnya yang selingkuh ketahuan dan si istri yang suaminya selingkuh akan mendatangi si wanita selingkuhannya, atau laki-laki yang istrinya selingkuh mendatangi laki-laki selingkuhannya sambil bawa caluk, lalu marah-marah bukan kepalang. Terjadilah perkelahian urat leher yang menggemparkan pasar, suara mereka terdengar hingga ke ujung los pasar. Di ujung sana ibu-ibu pedagang bergosip murah sambil membuat ketupat atau 'nyait canang'. Sungguh irama desa yang elok didengar dan digosipkan.
Di ujung sini bapakku sibuk bercerita tentang 2 orang bule Belanda yang gosipnya menikah sejenis ala Hindu di Pupuan Sawah beberapa hari kemaren. Namun ketika dikonfirmasi ulang, 2 orang bule itu tak melangsungkan upacara menikah, namun hanya mengikuti upacara masuk menjadi Hindu, meperas, mepandes dan suddhi wadana.
Di senja hari aku kembali pulang ke kampung yang kutinggali sekarang. Kami sempatkan singgah di rumah di mana aku tinggal dulu. Suasana orang-orang, jalan-jalan, masih seperti dahulu. Tetangga menyapa dengan ramah, dan bertanya sudah lama tak kesini. Kamipun menjawab tersipu-sipu. Rumah itu, rumah itu pula kenangan kedua di tanah kelahiranku. Tempat aku bermanja bersama ibu yang kini sudah pergi. Tempat kami sekeluarga menangis juga tertawa dalam setiap modulasi kehidupan yang penuh liku. Di sana juga harapan kami tertinggal, tercengkram oleh gigi-gerigi tajam tak terlihat mata awam. Semoga pikiran positif datang dari segala penjuru.
Istri dan Anak Pejabat Pulisi
Ketika suatu hari Ibu Fira, istri seorang pejabat tinggi kepolisian, mengalami musibah kecelakaan di jalan. Ia yang mengendarai mobil mengantar anaknya ke sekolah, karena buru-buru, menabrak motor seorang pengendara bapak-bapak yang sudah agak tua. Kerusakan sih tidak terlampau parah, hanya lecet-lecet ringan, namun hati kecil pak itu merasa tak terima. Pak tua yang masih segar bugar itu pun marah-marah. Terjadilah perdebatan kusir yang tak satupun pasti mau mengalah. Ocehan dan omelan kedua pelaku di TKP menjadi perhatian orang-orang yang lewat di sekitar jalan itu.
Karena sudah bosan berdebat tanpa solusi, pak tua memutuskan untuk melaporkan ke kantor polisi. Si Ibu Fira yang istri pejabat teras, tenang-tenang saja tak takut sedikitpun. Ia hanya tertawa dalam hati, "Emang bisa?!?!"
Di kantor polisi terdekat pak tua itu melaporkan dengan segera kejadian yang baru saja ia alami dengan deskripsi yang jelas dan lengkap. Pak polisi manggut-manggut tegas pertanda mengerti dengan sempurna.
Di luar sana si ibu menelfon suaminya lalu sang suami menelfon salah seorang petugas di kantor tersebut. Karena petugas itu adalah bawahannya tentu saja apa yang dikatakan suaminya dituruti tanpa pandang bulu, baik bulu ketek maupun bulu hidung.
Pak Tua yang melapor tadi hanya manggut-manggut pada akhirnya. Ia mengaku 'kalah' dan seolah 'dikalahkan' oleh negosiasi petugas yang ia lapori tadi. Kebijakan sederhana yang menyelamatkan si Ibu Fira membuat pak tua bingung, mengapa motornya yang lecet itu justru diabaikan, sedangkan si ibu yang menabraknya selamat, pulang begitu saja. Pak tua sungguh bingung, ia hanya pulang tanpa syarat. Kejadian tadi masih membuatnya pusing tujuh keliling. "Ini tidak adil", gerutunya dalam hati.
***
Suatu saat yang lain karena sibuk, ibu Fira tak sempat mengantar anaknya pergi ke sekolah. Disuruhlah pembantunya mengantar naik motor. Karena sekolahnya dekat saja mereka berdua tak mengenakan helm, yang kita tahu semua merupakan pelindung kepala. Ketika ngeloyor begitu saja di depan pos jaga polisi, si pembantu dihadang oleh petugas jaga dengan sempritan yang dibunyikan panjang. Si anak yang duduk di belakang hanya tertawa cengengesan melihat si pembantu diinterogasi petugas yang tak tahu dengan siapa ia berhadapan. Si anak kecil hanya ngomel-ngomel kecil, "Brani nggak? Brani nggak? Hayo brani nggak nilang?", serunya puas.
Si pembantu kelimpungan juga karena tak tahu harus berbuat apa. SIM tak punya, STNK pun tak dibawa. Beberapa saat kemudian datang petugas jaga yang lain mendekati mereka bertiga. Si petugas yang baru datang ini nampaknya tahu dengan siapa ia berhadapan, lalu dengan berbisik ia menarik temannya sedikit ke belakang. Lalu dengan berbisik pula ia berkata pada rekannya,
"John, ini anaknya kumendan. Tau gak kamu?"
Tanpa babibu si bapak petugas yang hendak menilang tadi kembali ke laptop lalu mempersilahkan begitu saja si pembantu beserta anak kumendannya berlalu begitu saja, tanpa syarat. Ahhhh...sungguh nikmat jadi anak pejabat.
Dont try this at home, baby...!
Karena sudah bosan berdebat tanpa solusi, pak tua memutuskan untuk melaporkan ke kantor polisi. Si Ibu Fira yang istri pejabat teras, tenang-tenang saja tak takut sedikitpun. Ia hanya tertawa dalam hati, "Emang bisa?!?!"
Di kantor polisi terdekat pak tua itu melaporkan dengan segera kejadian yang baru saja ia alami dengan deskripsi yang jelas dan lengkap. Pak polisi manggut-manggut tegas pertanda mengerti dengan sempurna.
Di luar sana si ibu menelfon suaminya lalu sang suami menelfon salah seorang petugas di kantor tersebut. Karena petugas itu adalah bawahannya tentu saja apa yang dikatakan suaminya dituruti tanpa pandang bulu, baik bulu ketek maupun bulu hidung.
Pak Tua yang melapor tadi hanya manggut-manggut pada akhirnya. Ia mengaku 'kalah' dan seolah 'dikalahkan' oleh negosiasi petugas yang ia lapori tadi. Kebijakan sederhana yang menyelamatkan si Ibu Fira membuat pak tua bingung, mengapa motornya yang lecet itu justru diabaikan, sedangkan si ibu yang menabraknya selamat, pulang begitu saja. Pak tua sungguh bingung, ia hanya pulang tanpa syarat. Kejadian tadi masih membuatnya pusing tujuh keliling. "Ini tidak adil", gerutunya dalam hati.
***
Suatu saat yang lain karena sibuk, ibu Fira tak sempat mengantar anaknya pergi ke sekolah. Disuruhlah pembantunya mengantar naik motor. Karena sekolahnya dekat saja mereka berdua tak mengenakan helm, yang kita tahu semua merupakan pelindung kepala. Ketika ngeloyor begitu saja di depan pos jaga polisi, si pembantu dihadang oleh petugas jaga dengan sempritan yang dibunyikan panjang. Si anak yang duduk di belakang hanya tertawa cengengesan melihat si pembantu diinterogasi petugas yang tak tahu dengan siapa ia berhadapan. Si anak kecil hanya ngomel-ngomel kecil, "Brani nggak? Brani nggak? Hayo brani nggak nilang?", serunya puas.
Si pembantu kelimpungan juga karena tak tahu harus berbuat apa. SIM tak punya, STNK pun tak dibawa. Beberapa saat kemudian datang petugas jaga yang lain mendekati mereka bertiga. Si petugas yang baru datang ini nampaknya tahu dengan siapa ia berhadapan, lalu dengan berbisik ia menarik temannya sedikit ke belakang. Lalu dengan berbisik pula ia berkata pada rekannya,
"John, ini anaknya kumendan. Tau gak kamu?"
Tanpa babibu si bapak petugas yang hendak menilang tadi kembali ke laptop lalu mempersilahkan begitu saja si pembantu beserta anak kumendannya berlalu begitu saja, tanpa syarat. Ahhhh...sungguh nikmat jadi anak pejabat.
Dont try this at home, baby...!
Nyuwang Nak Menak
Nyuwang Nak Menak (Menikah dengan wanita berkasta lebih tinggi) adalah pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki dengan wanita yang biasanya kastanya lebih tinggi, di Bali. Pada jaman dulu, pernikahan semacam ini sangat dilarang dan 'diharamkan' oleh keluarga si wanita. Sebabnya antara lain karena akan membuat derajat dan martabat seolah-olah turun, karena tak mampu mempertahankan kasta keluarganya.
Pada jaman dulu pula, jika si laki-laki tak mendapat restu orang tua pihak wanita, ia akan membawa lari calon istrinya. Si laki-laki kemudian menikahi calon istrinya di satu pihak (laki-laki). Biasanya keluarga wanita akan diberitahu oleh keluarga bersama pamong desa bahwa si wanita aman dan akan dinikahi oleh si laki-laki di desa A.
Jaman kini pula hal itu masih sering dilakukan. Untuk beberapa orang/daerah, kasta masih menjadi tabir dan jurang pemisah antara masyarakat satu dan lainnya. Namun tidak sedikit pula kaum 'menak' yang tak terlalu mempermasalahkan kasta. Kaum-kaum liberalis ini biasanya bergaul secara berbaur di masyarakat dan tak terlalu membawa embel-embel kasta untuk dirinya. Menurut saya, eksklusifitas yang dimunculkan sistem kasta adalah sisi buruk yang tercipta dari sistem kasta ini. Dan pada dasarnya, konsep awal kasta ini adalah 'warna' atau jenis profesi dalam masyarakat. Dalam kehidupan masyarkat Hindu Bali dibedakan menjadi beberapa kelompok profesi mulai dari pendeta, pamong negara mulai dari pejabat pemerintah hingga tentara/polisi, bisnisman hingga kelompok rakyat biasa. Namun pada prakteknya, sistem kasta/warna ini mengalami pergeseran ke arah negatif dari konsep awal sehingga timbullah kasta yang sering menjadi satu manusia dan lainnya saling membeda-bedakan.
Untuk jaman sekarang, 'nyuwang nak menak' dengan kawin larinya hanya dilakukan secara formalitas. Kalau pada jaman dulu si laki-laki membawa kabur calon istrinya tanpa pemberitahuan sama sekali kepada pihak wanita. Namun kini, si wanita 'dilarikan' namun atas pengetahuan pihak wanita. Lalu pihak keluarga laki-laki bersama kelihan adat dan pengemong desa setempat mengabarkan ke keluarga wanita bahwa si mempelai laki akan dinikahkan pada hari H di rumah laki. Keluarga wanita yang sebenarnya sudah tahu, biasanya langsung setuju saja dan memberi restu anaknya untuk dinikahkan. Rumit namun unik, that's the tradition, bro! Doakan saya biar nantinya tak rumit, kawan!
Pada jaman dulu pula, jika si laki-laki tak mendapat restu orang tua pihak wanita, ia akan membawa lari calon istrinya. Si laki-laki kemudian menikahi calon istrinya di satu pihak (laki-laki). Biasanya keluarga wanita akan diberitahu oleh keluarga bersama pamong desa bahwa si wanita aman dan akan dinikahi oleh si laki-laki di desa A.
Jaman kini pula hal itu masih sering dilakukan. Untuk beberapa orang/daerah, kasta masih menjadi tabir dan jurang pemisah antara masyarakat satu dan lainnya. Namun tidak sedikit pula kaum 'menak' yang tak terlalu mempermasalahkan kasta. Kaum-kaum liberalis ini biasanya bergaul secara berbaur di masyarakat dan tak terlalu membawa embel-embel kasta untuk dirinya. Menurut saya, eksklusifitas yang dimunculkan sistem kasta adalah sisi buruk yang tercipta dari sistem kasta ini. Dan pada dasarnya, konsep awal kasta ini adalah 'warna' atau jenis profesi dalam masyarakat. Dalam kehidupan masyarkat Hindu Bali dibedakan menjadi beberapa kelompok profesi mulai dari pendeta, pamong negara mulai dari pejabat pemerintah hingga tentara/polisi, bisnisman hingga kelompok rakyat biasa. Namun pada prakteknya, sistem kasta/warna ini mengalami pergeseran ke arah negatif dari konsep awal sehingga timbullah kasta yang sering menjadi satu manusia dan lainnya saling membeda-bedakan.
Untuk jaman sekarang, 'nyuwang nak menak' dengan kawin larinya hanya dilakukan secara formalitas. Kalau pada jaman dulu si laki-laki membawa kabur calon istrinya tanpa pemberitahuan sama sekali kepada pihak wanita. Namun kini, si wanita 'dilarikan' namun atas pengetahuan pihak wanita. Lalu pihak keluarga laki-laki bersama kelihan adat dan pengemong desa setempat mengabarkan ke keluarga wanita bahwa si mempelai laki akan dinikahkan pada hari H di rumah laki. Keluarga wanita yang sebenarnya sudah tahu, biasanya langsung setuju saja dan memberi restu anaknya untuk dinikahkan. Rumit namun unik, that's the tradition, bro! Doakan saya biar nantinya tak rumit, kawan!
Lukisan Pagi
Pagi ini, pagi-pagi sebelum matahari terbit, aku sudah keluar rumah dengan sepeda motor hitam butut. Aku lalui kabut tipis dan aku biarkan saja udara dingin segar menerpa dadaku yang akhir-akhir ini agak sesak. Aku lalui turunan dan jalan penuh lubang menuju sebuah pasar tradisional di desa tetangga, Nyitdah. Di sana sudah menunggu nenek tua penjual jaje pisang rai langganan bapakku.
"Sudah habis, tinggal segitu saja," katanya sambil membuka daun pisang yang menutup tumpukan pisang rai di atas tempeh.
Aku borong semua ditambah sumping gula Bali, cukup sudah untuk sarapan pagi yang masih agak gelap itu. Lalu aku bayar, cukup 5000 perak sudah dapat segunung kue-kue tradisional. Lalu aku kembali ke sepeda motor yang kuparkir di seberang sana, kubuka valve minyak yang selalu bocor menetes, lalu ku-start dan aku pun hendak putar gas dan akan berlalu. Namun di ujung sana ku lihat nenek tua penjual nasi bubur yang kesepian, mungkin karena aku kesiangan makanya sudah tak ada pelanggannya datang lagi. Di ujung sananya lagi tampak jua nenek-nenek yang tak kalah tuanya tersenyum ramah pada pembelinya yang umurnya juga tak jauh-jauh beda. Di sisi sebelah sini tampak nenek tua bersorban handuk biru yang warnanya sudah pudar, menawar sayur mayur dengan ramah. Sungguh pemandangan desa yang rupawan. Kemana gerangan wanita-wanita mudanya? Apakah pasar desa yang rupawan ini hanya milik orang-orang tua dan nenek-nenek keriput? Apakah wanita mudanya sudah tak mau lagi belanja di pasar yang interaktif ini. Pasar yang mengutamakan dialog dalam berbelanja, basa-basi yang menyegarkan suasana pagi sudah tak ada lagi di pasar-pasar modern nan canggih, semacam department store sekelas hypermart dan lainnya.
Aku lanjutkan saja memutar tuas gas dan motorku berlalu dengan suara menderu, asap putih sedikit mencemari suasana pagi indah itu, maaf. Sepanjang jalan udara dingin dan kabut tipis menjadi penghias agar pagi semakin indah. Sepanjang jalan menuju pulang yang berjarak hanya 5 menit itu banyak sekali ku melihat portrait pagi desa yang menggoda untuk dibingkai dalam lukisan cahaya hitam putih. Namun sayang pagi ini aku tak membawa mata besi kesayanganku.
Disampingku berlalu seorang kakek tua berumur 70 tahun lebih, berjalan tegak dengan irama lebih cepat dari kebiasaan jalanku, tanpa alas kaki, baju yang sedikit lusuh. Entah apa yang digendongnya, seperti cukup berat jika aku yang harus memikulnya. Namun ia tegak saja berjalan tak terlihat nafasnya terengah-engah. Di ujung sana aku nikmati portrait indah dua orang petani yang sedang bertemu di jalan. Mirip dengan semut yang berjalan hilir mudik satu garis lalu ketika bertemu muka dengan sobatnya, ia akan semacam berdialog sebentar lalu berlalu lagi. Demikian pula pak tani yang bersahaja itu masing-masing menggotong cangkul di bahunya, berdialog ramah dengan rekannya yang bertemu di jalan, entah apa yang mereka bicarakan, yang pasti bukan krisis ekonomi yang sedang melanda dunia saat ini. Sinar-sinar mentari mulai menembus pepohonan lalu menerpa wajah-wajah mereka dari belakang, membuat backlighting pagi itu sungguh semakin menggoda dan menggatalkan tanganku. Sempat kuhentikan putaran roda-roda ini lalu kunikmati dan kurekam pemandangan indah itu dalam memori otakku yang absurd.
Ketika kulewati deretan sawah, kulihat anak-anak SD dan SMP wanita sedang terburu-buru mengayuh sepeda. Warna baju putih dan bawahan merah dan juga biru sungguh indah dipadu dengan hijau sawah dan beningnya kabut tipis pagi itu. Aku lalui desa Mengening dan kini kumasuki area rumah-rumah yang gapuranya indah dengan lumut-lumut hijau, sungguh eksotis. Di teras gapura tampak anak-anak SMP pria sedang ngerumpi dengan temannya menunggu jam sekolah sudah agak mepet. Jikalau tadi yang wanita berkeringat mengayuh sepeda, si laki-laki ongkang-ongkang kaki tak mau mengayuh sepeda lagi. Apakah ini potret nyata kehidupan di kampung kita?
Lukisan masih terus tergambar indah sepanjang jalan itu. Kini kulewati desa terakhir sebelum kutemui jalan-jalan rusak di depan rumahku yang katanya tahun depan akan diaspal, sesuai janji waktu pilkada kemaren. Jalan yang menanjak itu dihiasi oleh 2 orang ibu-ibu yang menggotong kerajinan bambu anyaman tangan menuju entah kemana. Pagi-pagi mereka sudah berjalan, tanpa alas kaki, menembus kabut pagi. Entahlah apakah mereka sudah sarapan, mandi dan gosok gigi? Entahlah apakah suaminya tadi sudah bangun dan melihat istri mereka yang gagah perkasa pergi meninggalkan rumah dan berjalan tanpa lelah demi rupiah.
Akhirnya aku tiba dalam dekapan pagi rumahku yang mewah, mepet sawah. Di depan dan belakang masih terhampar sawah indah. Di samping situ sudah menunggu anyaman besi-besi yang siap dihiasi oleh kelihaian tangan si tukang yang berpengalaman. Aku akan merindukan suasana pagi yang eksotis ini.
Pandak Gede, Kamulan Titiang
18 Oct 2008 07:41
"Sudah habis, tinggal segitu saja," katanya sambil membuka daun pisang yang menutup tumpukan pisang rai di atas tempeh.
Aku borong semua ditambah sumping gula Bali, cukup sudah untuk sarapan pagi yang masih agak gelap itu. Lalu aku bayar, cukup 5000 perak sudah dapat segunung kue-kue tradisional. Lalu aku kembali ke sepeda motor yang kuparkir di seberang sana, kubuka valve minyak yang selalu bocor menetes, lalu ku-start dan aku pun hendak putar gas dan akan berlalu. Namun di ujung sana ku lihat nenek tua penjual nasi bubur yang kesepian, mungkin karena aku kesiangan makanya sudah tak ada pelanggannya datang lagi. Di ujung sananya lagi tampak jua nenek-nenek yang tak kalah tuanya tersenyum ramah pada pembelinya yang umurnya juga tak jauh-jauh beda. Di sisi sebelah sini tampak nenek tua bersorban handuk biru yang warnanya sudah pudar, menawar sayur mayur dengan ramah. Sungguh pemandangan desa yang rupawan. Kemana gerangan wanita-wanita mudanya? Apakah pasar desa yang rupawan ini hanya milik orang-orang tua dan nenek-nenek keriput? Apakah wanita mudanya sudah tak mau lagi belanja di pasar yang interaktif ini. Pasar yang mengutamakan dialog dalam berbelanja, basa-basi yang menyegarkan suasana pagi sudah tak ada lagi di pasar-pasar modern nan canggih, semacam department store sekelas hypermart dan lainnya.
Aku lanjutkan saja memutar tuas gas dan motorku berlalu dengan suara menderu, asap putih sedikit mencemari suasana pagi indah itu, maaf. Sepanjang jalan udara dingin dan kabut tipis menjadi penghias agar pagi semakin indah. Sepanjang jalan menuju pulang yang berjarak hanya 5 menit itu banyak sekali ku melihat portrait pagi desa yang menggoda untuk dibingkai dalam lukisan cahaya hitam putih. Namun sayang pagi ini aku tak membawa mata besi kesayanganku.
Disampingku berlalu seorang kakek tua berumur 70 tahun lebih, berjalan tegak dengan irama lebih cepat dari kebiasaan jalanku, tanpa alas kaki, baju yang sedikit lusuh. Entah apa yang digendongnya, seperti cukup berat jika aku yang harus memikulnya. Namun ia tegak saja berjalan tak terlihat nafasnya terengah-engah. Di ujung sana aku nikmati portrait indah dua orang petani yang sedang bertemu di jalan. Mirip dengan semut yang berjalan hilir mudik satu garis lalu ketika bertemu muka dengan sobatnya, ia akan semacam berdialog sebentar lalu berlalu lagi. Demikian pula pak tani yang bersahaja itu masing-masing menggotong cangkul di bahunya, berdialog ramah dengan rekannya yang bertemu di jalan, entah apa yang mereka bicarakan, yang pasti bukan krisis ekonomi yang sedang melanda dunia saat ini. Sinar-sinar mentari mulai menembus pepohonan lalu menerpa wajah-wajah mereka dari belakang, membuat backlighting pagi itu sungguh semakin menggoda dan menggatalkan tanganku. Sempat kuhentikan putaran roda-roda ini lalu kunikmati dan kurekam pemandangan indah itu dalam memori otakku yang absurd.
Ketika kulewati deretan sawah, kulihat anak-anak SD dan SMP wanita sedang terburu-buru mengayuh sepeda. Warna baju putih dan bawahan merah dan juga biru sungguh indah dipadu dengan hijau sawah dan beningnya kabut tipis pagi itu. Aku lalui desa Mengening dan kini kumasuki area rumah-rumah yang gapuranya indah dengan lumut-lumut hijau, sungguh eksotis. Di teras gapura tampak anak-anak SMP pria sedang ngerumpi dengan temannya menunggu jam sekolah sudah agak mepet. Jikalau tadi yang wanita berkeringat mengayuh sepeda, si laki-laki ongkang-ongkang kaki tak mau mengayuh sepeda lagi. Apakah ini potret nyata kehidupan di kampung kita?
Lukisan masih terus tergambar indah sepanjang jalan itu. Kini kulewati desa terakhir sebelum kutemui jalan-jalan rusak di depan rumahku yang katanya tahun depan akan diaspal, sesuai janji waktu pilkada kemaren. Jalan yang menanjak itu dihiasi oleh 2 orang ibu-ibu yang menggotong kerajinan bambu anyaman tangan menuju entah kemana. Pagi-pagi mereka sudah berjalan, tanpa alas kaki, menembus kabut pagi. Entahlah apakah mereka sudah sarapan, mandi dan gosok gigi? Entahlah apakah suaminya tadi sudah bangun dan melihat istri mereka yang gagah perkasa pergi meninggalkan rumah dan berjalan tanpa lelah demi rupiah.
Akhirnya aku tiba dalam dekapan pagi rumahku yang mewah, mepet sawah. Di depan dan belakang masih terhampar sawah indah. Di samping situ sudah menunggu anyaman besi-besi yang siap dihiasi oleh kelihaian tangan si tukang yang berpengalaman. Aku akan merindukan suasana pagi yang eksotis ini.
Pandak Gede, Kamulan Titiang
18 Oct 2008 07:41
Tuesday, October 14, 2008
The Secret of Mindset - Adi W. Gunawan
Buku ini adalah buku ke 6 karangan Adi W Gunawan yang saya miliki, buku ini pula buku ke 32 dari buku karangan bapak yang mengaku sebagai Re-Educator & Mind Navigator ini.
Kita, dalam pikiran bawah sadar, kadang merasakan ada bagian diri yang ingin kita sukses. Di sisi lain ada bagian dalam diri kita yang justru sebaliknya, tidak ingin kita sukses. Bagian ini sebenarnya melindungi kita, tidak mau diri kita menderita dalam mencapai cita-cita, tidak tega melihat kita bekerja keras, lelah bahkan stress.
Inilah mental block yang mengambat kebanyakan orang untuk maju, justru berasal dari dalam diri. Dalam buku dan CD bonusnya ini dipaparkan secara gamblang dan dengan bahasa yang sangat sederhana sehingga begitu mudah dimengerti, teknik berkomunikasi dengan alam bawah sadar ini, sehingga kita tahu apa saja yang menjadi penghambat (block) dalam mencapai cita-cita kita ini.
Alam bawah sadar ini adalah suatu belief atau program pikiran yang jika kita tahu mengapa ia melakukan sabotase mental, maka kita akan tahu cara mencapai sukses secara tepat. Karena sabotase yang dilakukan bagian inilah yang sering membuat konflik diri, perbedaan tujuan antara bagian bawah sadar dengan alam sadar kita.
Semoga dengan membaca buku dan mendengarkan CD audionya, kita mendapat pencerahan batin.
Kita, dalam pikiran bawah sadar, kadang merasakan ada bagian diri yang ingin kita sukses. Di sisi lain ada bagian dalam diri kita yang justru sebaliknya, tidak ingin kita sukses. Bagian ini sebenarnya melindungi kita, tidak mau diri kita menderita dalam mencapai cita-cita, tidak tega melihat kita bekerja keras, lelah bahkan stress.
Inilah mental block yang mengambat kebanyakan orang untuk maju, justru berasal dari dalam diri. Dalam buku dan CD bonusnya ini dipaparkan secara gamblang dan dengan bahasa yang sangat sederhana sehingga begitu mudah dimengerti, teknik berkomunikasi dengan alam bawah sadar ini, sehingga kita tahu apa saja yang menjadi penghambat (block) dalam mencapai cita-cita kita ini.
Alam bawah sadar ini adalah suatu belief atau program pikiran yang jika kita tahu mengapa ia melakukan sabotase mental, maka kita akan tahu cara mencapai sukses secara tepat. Karena sabotase yang dilakukan bagian inilah yang sering membuat konflik diri, perbedaan tujuan antara bagian bawah sadar dengan alam sadar kita.
Semoga dengan membaca buku dan mendengarkan CD audionya, kita mendapat pencerahan batin.
Garuda Juga Bisa Delayed (2)
Pada saat terjebak delay bersama Garuda waktu terbang dari Makassar menuju Denpasar, ada kisah menarik dan ingin rasanya menertawai diri saya sendiri.
Ketika ku mengantri menunggu Garuda delay di ruang tunggu, ada seorang wanita, masih kelihatan muda, juga menunggu dengan tak sabaran. Parasnya cukup menarik dan mungkin setiap laki-laki normal pasti ingin mengamati dan mengenal lebih jauh. Pak Richard, yang duduk di sebelah saya saja, yang 1 tahun lagi pensiun, berdesir darahnya ketika ia menoleh ke arah tempat kami duduk. Pakaiannya hitam-hitam, ketat. Rambutnya dicat kecoklat-coklatan. Tas kecil yang terselip di ketiaknya semakin membuat ia terlihat feminim.
Suasana antri yang lama itu membuat setiap penumpang jadi akrab satu sama lain sehingga obrolan terjadi begitu saja. Tak terkecuali si wanita berbusana hitam-hitam tadi juga terlibat obrolan serius, namun kadang penuh tawa, dengan seorang pemuda yang dari tadi duduk di belakang ku, umurnya kira-kira 2 tahun di atas ku. Dari tadi pemuda itu selalu mencuri pandang ke wanita hitam-hitam tadi. Dari tampangnya pemuda ini terlihat seperti dari Bali. Ketika ku dengar sedikit gaya bahasanya semakin memperkuat bahwa ia seorang pemuda Bali yang mupeng. Topinya merah dipadu dengan kulit muka yang rada hitam, membuat saya berkesimpulan bahwa ia adalah seorang beach boy. Ah tapi bukan itu fokus cerita ini.
Semakin malam, semakin terlarut mereka dalam obrolan yang terlihat jauh. Dan sesekali ia juga berkomentar tentang pesawat delay ke arah kami. Pak Richard yang genit membalas dengan penuh semangat. Namun mereka kembali asyik dengan obrolan yang penuh makna itu.
Saking lamanya menunggu, si wanita beranjak dari tempat duduknya. Diikuti oleh pemuda tadi ia berlalu seraya berkata, "Ayo Pak, &^%@$#% dulu ya!" Terlihat ia bergumam sambil menempelkan dua jari telunjuk dan jari tengah di bibirnya. Aku paham mereka hendak menuju smoking area yang terletak di sudut ruangan sana.
Sekira setengah jam si wanita kembali namun kini diikuti oleh laki-laki lain tinggi besar, hitam dan berkacamata dengan frame tebal hitam, sehitam kulitnya. Usianya sudah agak tua, sekira 40 tahun. Tampangnya agak galak dan terasa aura nafsuan di balik lirikan matanya yang liar kesana-kemari. Ketika ia bicara dengan wanita itu, segenap daya upaya dikerahkan agar si wanita tergoda bujuk rayunya. Ia juga terlihat tukar-menukar nomor handphone, mungkin sudah sepakat dengan sesuatu.
Malam semakin malam, ketika kami diantar ke hotelpun mereka bertiga jadi akrab. Satu meja bertiga sambil menyulut batang-batang putih penuh racun tembakau.
Tepat tengah malam kami diantar kembali ke bandara dan sekitar 1 jam berikutnya kamipun terbang menuju Airport Ngurah Ray, Bali. Setelah menunggu bagasi, saya dan Pak Richard langsung menuju tempat parkir. Mungkin jemputan menunggu disana. Tak disangka tak diduga, di luar sana saya melihat si wanita hitam-hitam tadi duduk bertiga dengan temannya. Si wanita tampak akrab dengan 2 sobat yang menjemputnya. Si wanita duduk diapit oleh dua 'wanita' yang berdandan begitu centilnya. Gubrak. Disana baru terlihat kalau si wanita hitam-hitam tadi adalah bencong yang terlihat begitu wanita malam tadi di Makassar. Untungnya saya tak tertipu seperti dua orang tadi, si lelaki berkacamata dan pemuda bertopi merah yang pedekate dengan pede di seputar ruang tunggu Bandara Internasional Hasanuddin di Makassar.
Ketika ku mengantri menunggu Garuda delay di ruang tunggu, ada seorang wanita, masih kelihatan muda, juga menunggu dengan tak sabaran. Parasnya cukup menarik dan mungkin setiap laki-laki normal pasti ingin mengamati dan mengenal lebih jauh. Pak Richard, yang duduk di sebelah saya saja, yang 1 tahun lagi pensiun, berdesir darahnya ketika ia menoleh ke arah tempat kami duduk. Pakaiannya hitam-hitam, ketat. Rambutnya dicat kecoklat-coklatan. Tas kecil yang terselip di ketiaknya semakin membuat ia terlihat feminim.
Suasana antri yang lama itu membuat setiap penumpang jadi akrab satu sama lain sehingga obrolan terjadi begitu saja. Tak terkecuali si wanita berbusana hitam-hitam tadi juga terlibat obrolan serius, namun kadang penuh tawa, dengan seorang pemuda yang dari tadi duduk di belakang ku, umurnya kira-kira 2 tahun di atas ku. Dari tadi pemuda itu selalu mencuri pandang ke wanita hitam-hitam tadi. Dari tampangnya pemuda ini terlihat seperti dari Bali. Ketika ku dengar sedikit gaya bahasanya semakin memperkuat bahwa ia seorang pemuda Bali yang mupeng. Topinya merah dipadu dengan kulit muka yang rada hitam, membuat saya berkesimpulan bahwa ia adalah seorang beach boy. Ah tapi bukan itu fokus cerita ini.
Semakin malam, semakin terlarut mereka dalam obrolan yang terlihat jauh. Dan sesekali ia juga berkomentar tentang pesawat delay ke arah kami. Pak Richard yang genit membalas dengan penuh semangat. Namun mereka kembali asyik dengan obrolan yang penuh makna itu.
Saking lamanya menunggu, si wanita beranjak dari tempat duduknya. Diikuti oleh pemuda tadi ia berlalu seraya berkata, "Ayo Pak, &^%@$#% dulu ya!" Terlihat ia bergumam sambil menempelkan dua jari telunjuk dan jari tengah di bibirnya. Aku paham mereka hendak menuju smoking area yang terletak di sudut ruangan sana.
Sekira setengah jam si wanita kembali namun kini diikuti oleh laki-laki lain tinggi besar, hitam dan berkacamata dengan frame tebal hitam, sehitam kulitnya. Usianya sudah agak tua, sekira 40 tahun. Tampangnya agak galak dan terasa aura nafsuan di balik lirikan matanya yang liar kesana-kemari. Ketika ia bicara dengan wanita itu, segenap daya upaya dikerahkan agar si wanita tergoda bujuk rayunya. Ia juga terlihat tukar-menukar nomor handphone, mungkin sudah sepakat dengan sesuatu.
Malam semakin malam, ketika kami diantar ke hotelpun mereka bertiga jadi akrab. Satu meja bertiga sambil menyulut batang-batang putih penuh racun tembakau.
Tepat tengah malam kami diantar kembali ke bandara dan sekitar 1 jam berikutnya kamipun terbang menuju Airport Ngurah Ray, Bali. Setelah menunggu bagasi, saya dan Pak Richard langsung menuju tempat parkir. Mungkin jemputan menunggu disana. Tak disangka tak diduga, di luar sana saya melihat si wanita hitam-hitam tadi duduk bertiga dengan temannya. Si wanita tampak akrab dengan 2 sobat yang menjemputnya. Si wanita duduk diapit oleh dua 'wanita' yang berdandan begitu centilnya. Gubrak. Disana baru terlihat kalau si wanita hitam-hitam tadi adalah bencong yang terlihat begitu wanita malam tadi di Makassar. Untungnya saya tak tertipu seperti dua orang tadi, si lelaki berkacamata dan pemuda bertopi merah yang pedekate dengan pede di seputar ruang tunggu Bandara Internasional Hasanuddin di Makassar.
Garuda Juga Bisa Delayed
Jam 5 sore lewat beberapa menit kami sudah mendarat di Bandara Hasanuddin, Makassar. Garuda Boeing 737-400 yang kami tumpangi mendarat dengan mulus. Lalu penumpang dipersilahkan turun dan menunggu di ruang tunggu selama 25 menit. Bangunan bandara yang baru membuat kami tercengang dan kaget, begitu juga teman saya Pak Richard yang baru tahu kalau bangunan baru saja selesai dibangun.
Ruang tunggunya luas sekali, dindingnya hampir semua terbuat dari kaca. Rangka-rangka bangunan terbuat dari aluminium ringat. Bangunan berbentuk kubah terbalik ini konon atas prakarsa wapres Jusuf Kalla, tak tau apakah ia ikut menyumbang ataukah ia malah jadi investor.
Harusnya pesawat berangkat sekitar jam 6. Tapi jam hadiah perusahaan di tangan kiri saya telah menunjukkan jam 6.35. Kami semua jadi bimbang. Lima menit kemudian dari balik pintu belalai keluar beberapa orang laki-laki dan perempuan. Ternyata mereka adalah pramugari dan pilot pesawat. Kami langsung bisa simpulkan bahwa pesawat pasti ada masalah. Kami tanya ke petugas pintu masuk, mereka tak bisa berkata apa-apa. Bahkan untuk sekedar bilang maaf saja tak ada, apalagi memberikan keterangan. Para penumpang lain tak sabar dan menyerbu petugas yang sudah bertampang merah sejak tadi. Para penumpang minta kejelasan dan paling tidak, seharusnya ada informasi resmi dari pihak Garuda. Ini Garuda, Bung! Namun hingga 1 jam kami terlunta-lunta dan diterlantarkan. Sebagai penumpang setia setiap 2 minggu sekali, saya kecewa dengan Garuda. Saya mungkin kualat. Akhir-akhir ini saya tak mau naik Lion karena suka delay. Sekarang saya kena batunya. Garuda juga bisa delay.
Menit-menit berlalu, jam 8 teng belum juga ada info resmi dari Garuda, ada apa gerangan dengan pesawat ini. Kami dialihkan ke pintu 1, yang semula kami akan masuk pesawat di pintu 6. Jauh amit! Para penumpang menyerbu pintu masuk dan disana sudah menunggu beberapa petugas yang tampak sama sekali tak berdosa. Pengumuman resmi dari Garuda juga belum kami dapatkan. Penumpang semakin kecewa, ada yang marah-marah hinggu nunjuk-nunjuk hidung petugas yang ternyata bukan decision maker, jadi tak bisa memberikan kejelasan apa-apa. Lalu datang manajer operasional. Sama. Belum bisa pula memberikan kejelasan. Ternyata ada rombongan yang terdiri dari 20 orang yang diberi dispensasi masuk pesawat duluan, ke Bali via Jakarta. Jadi jauh banget muter-muter. Kontan saja penumpang lain jadi tambah marah, dianggap tak adil. Para petugas yang merah padam mukanya hanya bisa manggut-manggut saja menanggapi komplain penumpang yang sejak tadi tak dikasi makan, minum. Yang paling parah sebenarnya karena tidak diberi kejelasan resmi mengenai kerusakan dan jadwal tunda pesawat.
Suasana hangat berubah jadi semakin panas. Para penumpang semakin brutal, liar dan tak kuasa menahan emosinya. Kata-kata tak enak semakin tercurah begitu saja dari mulut-mulut penumpang yang juga lapar. Penumpang juga manusia. Pak Richard juga ikutan komplain, kata-katanya keras memerahkan muka petugas pintu masuk. Anaknya sudah menunggu sejak tadi di Bandara Ngurah Ray. Dengan inisiatif sendiri dan karena feeling yang tak enak, anaknya disuruh pulang saja dan nanti akan ada anak buah mantunya yang jemput.
Jam 9 dibagikan snack yang harusnya dapat di pesawat. Tapi tak jua menyurutkan emosi penumpang yang sudah terlanjur kecewa. Ada informasi (tak resmi) ternyata memang ada kerusakan pesawat dan akan diberangkatkan setelah jam 1 malam. Para penumpang panik dan geram, kami sepakat untuk menolak naik pesawat itu nanti malam walaupun kondisinya sudah dikatakan bagus. Para petugas hilir mudik tak tentu arah. Mukanya pucat dan keringat dingin menetes dari kening si petugas yang semula tampak cantik, kini menjadi kusut karena keletihan.
Jam 10 akhirnya informasi keluar dari sang manajer. Dengan tenang ia menanggapi omelan penumpang. Ia menjelaskan bahwa kerusakan sebenarnya tidak parah. Hanya ada retak di bagian sliding door. Spare part akan datang pukul 1 malam bersama pesawat dari Jakarta. Sedikit demi sedikit penumpang jadi reda emosinya. Kami juga diantarkan menuju hotel di luar Bandara untuk istirahat barang sejenak. Hotel transit murah meriah 1 kamar 3 orang itu beranam hotel Pakarena. Aku sekamar bersama Pak Richard dan seorang penumpang bapak-bapak Bugis yang sudah lahir dan besar di Bali. Kami bertiga dan tertidur hingga dibangunkan pukul 12 tengah malam. Mobil-mobil pribadi hotel mengantarkan 5 orang demi 5 orang langsung ke bandara tengah malam itu.
Di Gate 1 sudah menunggu petugas yang sudah bukan petugas yang sore tadi lagi. Kami pun menunggu hingga jam 2 baru berangkat. Satu jam berikutnya kami sudah mendarat di Bali. Kami dijemput langsung oleh mantu Pak Richard yang mantan Wakapolres Tabanan. Jam 3 subuh itu saya ikut mereka menuju Tabanan. Jam 4 kurang saya berhenti di rumah dan lega rasanya bisa merebahkan dan meluruskan tulang-tulang yang kaku sejak tadi ini. Sejak tadi malam sebelumnya, tak bisa luruskan badan di Pelican.
Ruang tunggunya luas sekali, dindingnya hampir semua terbuat dari kaca. Rangka-rangka bangunan terbuat dari aluminium ringat. Bangunan berbentuk kubah terbalik ini konon atas prakarsa wapres Jusuf Kalla, tak tau apakah ia ikut menyumbang ataukah ia malah jadi investor.
Harusnya pesawat berangkat sekitar jam 6. Tapi jam hadiah perusahaan di tangan kiri saya telah menunjukkan jam 6.35. Kami semua jadi bimbang. Lima menit kemudian dari balik pintu belalai keluar beberapa orang laki-laki dan perempuan. Ternyata mereka adalah pramugari dan pilot pesawat. Kami langsung bisa simpulkan bahwa pesawat pasti ada masalah. Kami tanya ke petugas pintu masuk, mereka tak bisa berkata apa-apa. Bahkan untuk sekedar bilang maaf saja tak ada, apalagi memberikan keterangan. Para penumpang lain tak sabar dan menyerbu petugas yang sudah bertampang merah sejak tadi. Para penumpang minta kejelasan dan paling tidak, seharusnya ada informasi resmi dari pihak Garuda. Ini Garuda, Bung! Namun hingga 1 jam kami terlunta-lunta dan diterlantarkan. Sebagai penumpang setia setiap 2 minggu sekali, saya kecewa dengan Garuda. Saya mungkin kualat. Akhir-akhir ini saya tak mau naik Lion karena suka delay. Sekarang saya kena batunya. Garuda juga bisa delay.
Menit-menit berlalu, jam 8 teng belum juga ada info resmi dari Garuda, ada apa gerangan dengan pesawat ini. Kami dialihkan ke pintu 1, yang semula kami akan masuk pesawat di pintu 6. Jauh amit! Para penumpang menyerbu pintu masuk dan disana sudah menunggu beberapa petugas yang tampak sama sekali tak berdosa. Pengumuman resmi dari Garuda juga belum kami dapatkan. Penumpang semakin kecewa, ada yang marah-marah hinggu nunjuk-nunjuk hidung petugas yang ternyata bukan decision maker, jadi tak bisa memberikan kejelasan apa-apa. Lalu datang manajer operasional. Sama. Belum bisa pula memberikan kejelasan. Ternyata ada rombongan yang terdiri dari 20 orang yang diberi dispensasi masuk pesawat duluan, ke Bali via Jakarta. Jadi jauh banget muter-muter. Kontan saja penumpang lain jadi tambah marah, dianggap tak adil. Para petugas yang merah padam mukanya hanya bisa manggut-manggut saja menanggapi komplain penumpang yang sejak tadi tak dikasi makan, minum. Yang paling parah sebenarnya karena tidak diberi kejelasan resmi mengenai kerusakan dan jadwal tunda pesawat.
Suasana hangat berubah jadi semakin panas. Para penumpang semakin brutal, liar dan tak kuasa menahan emosinya. Kata-kata tak enak semakin tercurah begitu saja dari mulut-mulut penumpang yang juga lapar. Penumpang juga manusia. Pak Richard juga ikutan komplain, kata-katanya keras memerahkan muka petugas pintu masuk. Anaknya sudah menunggu sejak tadi di Bandara Ngurah Ray. Dengan inisiatif sendiri dan karena feeling yang tak enak, anaknya disuruh pulang saja dan nanti akan ada anak buah mantunya yang jemput.
Jam 9 dibagikan snack yang harusnya dapat di pesawat. Tapi tak jua menyurutkan emosi penumpang yang sudah terlanjur kecewa. Ada informasi (tak resmi) ternyata memang ada kerusakan pesawat dan akan diberangkatkan setelah jam 1 malam. Para penumpang panik dan geram, kami sepakat untuk menolak naik pesawat itu nanti malam walaupun kondisinya sudah dikatakan bagus. Para petugas hilir mudik tak tentu arah. Mukanya pucat dan keringat dingin menetes dari kening si petugas yang semula tampak cantik, kini menjadi kusut karena keletihan.
Jam 10 akhirnya informasi keluar dari sang manajer. Dengan tenang ia menanggapi omelan penumpang. Ia menjelaskan bahwa kerusakan sebenarnya tidak parah. Hanya ada retak di bagian sliding door. Spare part akan datang pukul 1 malam bersama pesawat dari Jakarta. Sedikit demi sedikit penumpang jadi reda emosinya. Kami juga diantarkan menuju hotel di luar Bandara untuk istirahat barang sejenak. Hotel transit murah meriah 1 kamar 3 orang itu beranam hotel Pakarena. Aku sekamar bersama Pak Richard dan seorang penumpang bapak-bapak Bugis yang sudah lahir dan besar di Bali. Kami bertiga dan tertidur hingga dibangunkan pukul 12 tengah malam. Mobil-mobil pribadi hotel mengantarkan 5 orang demi 5 orang langsung ke bandara tengah malam itu.
Di Gate 1 sudah menunggu petugas yang sudah bukan petugas yang sore tadi lagi. Kami pun menunggu hingga jam 2 baru berangkat. Satu jam berikutnya kami sudah mendarat di Bali. Kami dijemput langsung oleh mantu Pak Richard yang mantan Wakapolres Tabanan. Jam 3 subuh itu saya ikut mereka menuju Tabanan. Jam 4 kurang saya berhenti di rumah dan lega rasanya bisa merebahkan dan meluruskan tulang-tulang yang kaku sejak tadi ini. Sejak tadi malam sebelumnya, tak bisa luruskan badan di Pelican.
Aku Akan Pulang
Hari ini 7 October adalah hari terakhir aku di laut Attaka yang biru. Kucuran hujan, sengatan mentari ekuator dan terpaan angin laut menjadi teman setia selama 2 minggu. Kicauan burung tak pernah ku dengar, hijaunya rumput mutiara tergantikan onggokan karat yang kian hari kian berkarat. Yang kudengar hanya suara mesin-mesin yang bersuara fals, sehingga lama kelamaan merusak gendang telinga emasku.
Dua minggu ini berlalu dengan sedikit perasaan kurang segar, entah kenapa nafasku semakin sesak, dadaku seperti ditimpa shipping pump, hidungku bagai disumbat baut 3/4 inchi, tak bisa ku bernafas lega. Ketidaklegaan itu berimbas pada kekasihku yang menjadi pelampiasan ketidakpuasanku pada hidup.
Empat belas hari ini pula aku ditemani 8 buku yang baru ku beli: "The Secret of Mindset", "Weda-Apakah Ilmiah?", "Ilmu Hitam dari Bali", "Filsafat Perkawinan Menurut Hindu", " Menjadi Penulis Fiksi Itu Mudah", "Kiat Menjadi Penulis Independen", "200 Inspirasi Interior" dan "Majalah CHIP edisi hemat bulan September". Meski tak semua dapat kubaca langsung secara tuntas, namun ada beberapa yang sudah (hampir) selesai ku baca.
Aku juga dengan setia ditemani HP 3250 yang sudah 3 tahun menemani aku mengais minyak di kota tengah laut ini, kota yang jauh dari peradaban masyarakat pada umumnya. HP ini juga selalu mengantarkan aku ke ujung dunia, terbang menembus batas-batas pulau di dunia maya. Bermodal 1 chip Telkomsel dengan tarif Rp 15/KB aku berkelana dalam layar kecil HP yang sudah banyak lecetnya ini. HP ini pula selalu mempertemukan kami dalam dialog yang penuh arti.
Malam ini akan melepas lelah, mencari harapan baru, menghirup udara segar di bawah pohon rindang. Mencuci paru-paru dengan oksigen segar di pulau yang mungil sana. Di ujung sana pula ku sudah dinanti dengan harapan penuh cinta. Disana pula telah menunggu adik dan bapakku dengan rumah yang telah dibongkar, lubang-lubang sudah digali, besi-besi sudah dianyam dan 10 October nanti semuanya akan dipancangkan sekokoh gunung.
Di sudut kota itu pula sudah menunggu cerita mengharukan dari negeri Belitong, Laskar Pelangi yang sudah lama kami nanti.
"Menarilah dan terus tertawa
Walau dunia tak seindah surga
Bersyukurlah pada yang kuasa
Cinta kita di dunia selamanya..."
Demikian lirik soundtrack Laskar Pelangi yang didendangkan Nidji dengan indah, juga menemani kesepianku di sudut platform yang penuh mimpi ini.
Angin, api dan air bersatulah bersama salamku bersamanya. Antarkan cintaku menembus ruang dengan energi cahaya. Aku akan datang bersama sang waktu, menumpahkan segunung rindu, setumpuk cinta dan seonggok rasa yang tak terdefinisikan.
"Laskar Pelangi... Tak kan terikat waktu..."
Dua minggu ini berlalu dengan sedikit perasaan kurang segar, entah kenapa nafasku semakin sesak, dadaku seperti ditimpa shipping pump, hidungku bagai disumbat baut 3/4 inchi, tak bisa ku bernafas lega. Ketidaklegaan itu berimbas pada kekasihku yang menjadi pelampiasan ketidakpuasanku pada hidup.
Empat belas hari ini pula aku ditemani 8 buku yang baru ku beli: "The Secret of Mindset", "Weda-Apakah Ilmiah?", "Ilmu Hitam dari Bali", "Filsafat Perkawinan Menurut Hindu", " Menjadi Penulis Fiksi Itu Mudah", "Kiat Menjadi Penulis Independen", "200 Inspirasi Interior" dan "Majalah CHIP edisi hemat bulan September". Meski tak semua dapat kubaca langsung secara tuntas, namun ada beberapa yang sudah (hampir) selesai ku baca.
Aku juga dengan setia ditemani HP 3250 yang sudah 3 tahun menemani aku mengais minyak di kota tengah laut ini, kota yang jauh dari peradaban masyarakat pada umumnya. HP ini juga selalu mengantarkan aku ke ujung dunia, terbang menembus batas-batas pulau di dunia maya. Bermodal 1 chip Telkomsel dengan tarif Rp 15/KB aku berkelana dalam layar kecil HP yang sudah banyak lecetnya ini. HP ini pula selalu mempertemukan kami dalam dialog yang penuh arti.
Malam ini akan melepas lelah, mencari harapan baru, menghirup udara segar di bawah pohon rindang. Mencuci paru-paru dengan oksigen segar di pulau yang mungil sana. Di ujung sana pula ku sudah dinanti dengan harapan penuh cinta. Disana pula telah menunggu adik dan bapakku dengan rumah yang telah dibongkar, lubang-lubang sudah digali, besi-besi sudah dianyam dan 10 October nanti semuanya akan dipancangkan sekokoh gunung.
Di sudut kota itu pula sudah menunggu cerita mengharukan dari negeri Belitong, Laskar Pelangi yang sudah lama kami nanti.
"Menarilah dan terus tertawa
Walau dunia tak seindah surga
Bersyukurlah pada yang kuasa
Cinta kita di dunia selamanya..."
Demikian lirik soundtrack Laskar Pelangi yang didendangkan Nidji dengan indah, juga menemani kesepianku di sudut platform yang penuh mimpi ini.
Angin, api dan air bersatulah bersama salamku bersamanya. Antarkan cintaku menembus ruang dengan energi cahaya. Aku akan datang bersama sang waktu, menumpahkan segunung rindu, setumpuk cinta dan seonggok rasa yang tak terdefinisikan.
"Laskar Pelangi... Tak kan terikat waktu..."
Monday, October 06, 2008
Si Kecil yang Berjiwa Besar
Di suatu senja yang sudah hampir kehilangan mentari, di depan sebuah factory outlet, seroang anak kecil tergopoh-gopoh membawa beberapa eksemplar koran pagi yang dijual dengan harga murah.
"Dua ribu Bang korannya," serunya dengan optimis.
Aku menolak dengan halus karena sedang tak minat membaca. Namun dengan gigih ia berusaha agar dagangannya laku,
"Ayolah Bang, dari tadi saja belum dapat jualan nih!"
Dia memelas membuatku iba. Lalu ku keluarkan saja selembar seribuan dari balik saku celanaku yang lusuh dan kuberikan begitu saja padanya tanpa mengambil koran yang ia tawarkan tadi. Tanpa kusadari ia menolak pemberianku seraya ia mendorong tanganku menjauhinya,
"Bang, kata ibu saya ndak boleh minta-minta duit tanpa bekerja."
Hatiku tersentak, nafasku seperti terhenti, jantungku serpeti tak memompa darah lagi. Anak kecil berbaju lusuh dan bermuka dekil itu ternyata memiliki hati yang mulia. Tanpa pikir panjang kukeluarkan saja selembar seribuan lagi lalu kuambil selembar koran yang sejak tadi membuat ia tergopoh.
Ia pun berlari, meloncat-loncat kegirangan seperti baru saja mendapat hadiah milyaran rupiah. Aku hanya bisa terharu. Anak kecil itu sudah memberikan pelajaran kecil namun bermakna sangat dalam kepadaku di sore yang kian remang itu.
Room 313 23.00
A day before I get back home
"Dua ribu Bang korannya," serunya dengan optimis.
Aku menolak dengan halus karena sedang tak minat membaca. Namun dengan gigih ia berusaha agar dagangannya laku,
"Ayolah Bang, dari tadi saja belum dapat jualan nih!"
Dia memelas membuatku iba. Lalu ku keluarkan saja selembar seribuan dari balik saku celanaku yang lusuh dan kuberikan begitu saja padanya tanpa mengambil koran yang ia tawarkan tadi. Tanpa kusadari ia menolak pemberianku seraya ia mendorong tanganku menjauhinya,
"Bang, kata ibu saya ndak boleh minta-minta duit tanpa bekerja."
Hatiku tersentak, nafasku seperti terhenti, jantungku serpeti tak memompa darah lagi. Anak kecil berbaju lusuh dan bermuka dekil itu ternyata memiliki hati yang mulia. Tanpa pikir panjang kukeluarkan saja selembar seribuan lagi lalu kuambil selembar koran yang sejak tadi membuat ia tergopoh.
Ia pun berlari, meloncat-loncat kegirangan seperti baru saja mendapat hadiah milyaran rupiah. Aku hanya bisa terharu. Anak kecil itu sudah memberikan pelajaran kecil namun bermakna sangat dalam kepadaku di sore yang kian remang itu.
Room 313 23.00
A day before I get back home
Kaya dan Miskin
Pernahkah kalian memperhatikan orang kaya dan orang miskin? Pernahkah membandingkan kelakukan atau gaya hidup anak-anak orang kaya dan orang miskin? Di antara mereka mana yang lebih rajin, mana yang lebih kreatif dan mana yang lebih mandiri?
Meskipun tak bisa dipukul rata semuanya, ternyata kaya-miskin ini ada siklusnya. Menilik perbandingan anak kaya dan anak miskin di atas bisa disimpulkan secara bodoh-bodohan. Kaya, miskin, kaya, miskin dan seterusnya akan menjadi siklus abadi dan menurun. Maksudnya, seperti contoh sbb: Jika kakeknya kaya, si bapak akan miskin, anaknya akan kaya lagi, cucunya kembali miskin. Penjelasannya: orang tua si kakek pasti miskin. Karena menjadi anak orang miskin, tentu saja sejak kecil si kakek hidup susah. Orang hidup susah itu cenderung rajin belajar, kreatif, berusaha keras, bekerja keras dst. Dengan usahanya seperti itu maka bisa diotomatiskan si kakek jadi kaya. Kemudian kenapa si bapak miskin? Sudah tentu karena si kakek (orang tua si bapak) kaya. Anak orang kaya cenderung malas, berfoya-foya, malas belajar, manja, kurang mandiri dan biasanya hanya menunggu diberi orang tuanya. Jadi si bapak miskin. Begitu seterusnya si anak bisa dipastikan akan kembali kaya karena rajin berusaha. CUcunya akan miskin kembali dan begitu seterusnya akan mengalami siklus bolak-balik.
Bicara soal sifat orang kaya dan miskin, ini juga mewakili negara-negara kaya dan negara miskin. Negara ibarat orang tua dan penduduk ibarat anaknya. Penduduk negara kaya cenderung malas-malasan dan bekerja seperti tanpa semangat. Berlawanan dengan penduduk negara miskin, mereka cenderung kreatif, inovasi-inovasi bermunculan disana-sini. Kaya miskin disini tentu saja dari segi sumber daya alam. Jepang yang kekayaan alamnya sangat terbatas justru menjadi negara Asia yang berindustri maju. Indonesia yang kekayaan alamnya berlimpah, tongkat kayu dan batu jadi tanaman, membuat etos kerja penduduknya berbeda dengan Jepang.
Ah jangan terlalu serius, ini hanya analisa bodoh-bodohan dari orang bodoh yang bodoh.
Meskipun tak bisa dipukul rata semuanya, ternyata kaya-miskin ini ada siklusnya. Menilik perbandingan anak kaya dan anak miskin di atas bisa disimpulkan secara bodoh-bodohan. Kaya, miskin, kaya, miskin dan seterusnya akan menjadi siklus abadi dan menurun. Maksudnya, seperti contoh sbb: Jika kakeknya kaya, si bapak akan miskin, anaknya akan kaya lagi, cucunya kembali miskin. Penjelasannya: orang tua si kakek pasti miskin. Karena menjadi anak orang miskin, tentu saja sejak kecil si kakek hidup susah. Orang hidup susah itu cenderung rajin belajar, kreatif, berusaha keras, bekerja keras dst. Dengan usahanya seperti itu maka bisa diotomatiskan si kakek jadi kaya. Kemudian kenapa si bapak miskin? Sudah tentu karena si kakek (orang tua si bapak) kaya. Anak orang kaya cenderung malas, berfoya-foya, malas belajar, manja, kurang mandiri dan biasanya hanya menunggu diberi orang tuanya. Jadi si bapak miskin. Begitu seterusnya si anak bisa dipastikan akan kembali kaya karena rajin berusaha. CUcunya akan miskin kembali dan begitu seterusnya akan mengalami siklus bolak-balik.
Bicara soal sifat orang kaya dan miskin, ini juga mewakili negara-negara kaya dan negara miskin. Negara ibarat orang tua dan penduduk ibarat anaknya. Penduduk negara kaya cenderung malas-malasan dan bekerja seperti tanpa semangat. Berlawanan dengan penduduk negara miskin, mereka cenderung kreatif, inovasi-inovasi bermunculan disana-sini. Kaya miskin disini tentu saja dari segi sumber daya alam. Jepang yang kekayaan alamnya sangat terbatas justru menjadi negara Asia yang berindustri maju. Indonesia yang kekayaan alamnya berlimpah, tongkat kayu dan batu jadi tanaman, membuat etos kerja penduduknya berbeda dengan Jepang.
Ah jangan terlalu serius, ini hanya analisa bodoh-bodohan dari orang bodoh yang bodoh.
Medical Check Up
MCU alias medical check up adalah pemeriksaan kesehatan lengkap yang biasanya dilakukan secara berkala maupun tidak terjadwal. Salah satu tujuannya adalah mengetahui ada tidaknya penyakit sejak dini. Melalui cek darah, cek urine akan diketahui adanya kelainan yang merupakan gejala-gejala datangnya penyakit, sehingga penyakit-penyakit berbahaya bisa dicegah sejak dini. Misalnya penyakit jantung biasanya diawali dengan adanya kolesterol tinggi dan tekanan darah yang drastis tinggi. Melalui MCU bisa diketahui adanya kandungan kolesterol dalam darah sehingga apa yang harus kita lakukan seperti merubah pola makan dan olahraga yang cukup, bisa dilakukan secara sistematis dan terprogram.
MCU biasanya dilakukan secara medis, dengan peralatan medis dan tentunya mendeteksi penyakit-penyakit medis. Daerah tertentu di Indonesia masih banyak kejadian di luar nalar medis dan seringnya ada penyakit yang tak dapat dideteksi oleh dunia kedokteran. Penyakit-penyakit itu tentu saja berhubungan dengan hal-hal magis dan gaib dan tak semua orang bisa mendeteksinya. Sebenarnya, baik penyakit medis maupun non medis sama-sama memerlukan orang yang ahli untuk menanganinya.
Dalam dunia penyakit non medis juga dikenal gejala/tanda awal orang terkena penyakit/serangan non medis. Oleh karena itu tidak ada salahnya kalau sebaiknya dilakukan juga MCU secara non medis secara berkala guna mencegah hal-hal yang tak tampak yang merasuk lebih jauh ke dalam tubuh kita.
MCU non medis lebih bertujuan kepada mencegah datangnya penyakit-penyakit non medis itu sendiri. Tentunya kepercayaan adalah imunisasinya, modal awal investasi.
Untuk mencegah praktek-praktek penipuan, MCU non medis ini harusnya bisa diorganisir secara profesional, sehingga konsumen pun terlindungi dari praktik non medis yang semata-mata mengejar keuntungan materi. "Organisasi" non medis ini pun seharusnya mempunyai kode etik tersendiri yang harus dipatuhi dan jika ada yang melanggar akan dikenakan sanksi. Sanksi juga lebih kedapa sanksi moral, karena kasus non medis (supranatural) tak tersentuh oleh hukum.
Namun yang lebih utama dalam MCU non medis ini adalah untuk lebih meningkatkan rasa bhakti kita kepadaNya. Juga agar selalu mengamalkan perbuatan yang baik sehingga menghindari timbulnya pertentangan yang mana pertentangan inilah biasanya merupakan cikal bakal penyakit non medis ini.
Semoga semua pikiran positif datang dari segala penjuru.
MCU biasanya dilakukan secara medis, dengan peralatan medis dan tentunya mendeteksi penyakit-penyakit medis. Daerah tertentu di Indonesia masih banyak kejadian di luar nalar medis dan seringnya ada penyakit yang tak dapat dideteksi oleh dunia kedokteran. Penyakit-penyakit itu tentu saja berhubungan dengan hal-hal magis dan gaib dan tak semua orang bisa mendeteksinya. Sebenarnya, baik penyakit medis maupun non medis sama-sama memerlukan orang yang ahli untuk menanganinya.
Dalam dunia penyakit non medis juga dikenal gejala/tanda awal orang terkena penyakit/serangan non medis. Oleh karena itu tidak ada salahnya kalau sebaiknya dilakukan juga MCU secara non medis secara berkala guna mencegah hal-hal yang tak tampak yang merasuk lebih jauh ke dalam tubuh kita.
MCU non medis lebih bertujuan kepada mencegah datangnya penyakit-penyakit non medis itu sendiri. Tentunya kepercayaan adalah imunisasinya, modal awal investasi.
Untuk mencegah praktek-praktek penipuan, MCU non medis ini harusnya bisa diorganisir secara profesional, sehingga konsumen pun terlindungi dari praktik non medis yang semata-mata mengejar keuntungan materi. "Organisasi" non medis ini pun seharusnya mempunyai kode etik tersendiri yang harus dipatuhi dan jika ada yang melanggar akan dikenakan sanksi. Sanksi juga lebih kedapa sanksi moral, karena kasus non medis (supranatural) tak tersentuh oleh hukum.
Namun yang lebih utama dalam MCU non medis ini adalah untuk lebih meningkatkan rasa bhakti kita kepadaNya. Juga agar selalu mengamalkan perbuatan yang baik sehingga menghindari timbulnya pertentangan yang mana pertentangan inilah biasanya merupakan cikal bakal penyakit non medis ini.
Semoga semua pikiran positif datang dari segala penjuru.
Friday, October 03, 2008
Si Herry yang Sial
Suatu hari si Herry dan kawan-kawannya yang hobby mempunyai hobby yang sama, sabung ayam, hendak berkunjung ke Balikpapan untuk suatu acara kumpul-kumpul. Teman-temannya sekitar 20 orang mencarter sebuah bis dan pagi-pagi sudah berkumpul dan siap berangkat menuju Balikpapan. Karena acara kumpul-kumpul akan diadakan malam harinya, siang itu, sebelum tiba di Balikpapan, mereka mampir di Kilo 17 yang terkenal dengan kawasan esek-esek paling termasyur di Balikpapan. Seorang dari mereka mendapat info bahwa siang itu akan ada sabung ayam di dekat kompleks Kilo 17 itu. Karena semua crew dalam bis adalah tokoh-tokoh penjudi, maka tak ragu lagi bis melaju menuju tekape yang terletak percis di samping areal esek-esek itu. Orang-orang turun dengan sumringah dan sudah tak sabar lagi menghaburkan duit-duit yang mereka bawa dari rumah. Ada yang sibuk ngobrol sama temannya, ada yang sibuk pasang taji di ayam jagoannya, ada yang hanya menunggu di belakang dan siap bertaruh. Arena sabung ayam riuh ramai oleh suara penjudi yang haus darah ayam.
Ketika 2 ekor ayam sudah dipegang dan siap dilepaskan, terdengar suara tembakan ke udara. Puluhan orang berpakaian seragam dan membawa senjata menggerebek arena judi itu. Ternyata aksi sabung ayam ini tercium oleh petugas polisi kota Balikpapan. Kontan saja semua begundal sabung ayam terhambur dan menyelamatkan diri masing-masing. Ayam-ayam yang sudah siap adu ditinggalkan begitu saja. Mereka lari pontang-ponting bukan kepalang, pagar setinggi 2 meter dilompati dengan enteng saja. Parit selebar 3 meter bukan halangan. Mereka lari sekenanya ke arah tegalan, sawah dan ladang di sekitar arena sabung ayam itu.
Begitu juga Herry lari namun tajinya masih sempat diselamatkan. Si Herry yang jago pasang taji selalu membawa taji dan selalu menjadi tukang pasang yang dinanti-nanti oleh sesama penyabung ayam. Ia lari terbirit-birit di pematang sawah yang basah dan becek. Sepatunya terlepas dan tertinggal begitu saja, celana panjangnya kotor tidak karuan hingga ke pahanya. Bajunya terkena bercak-bercak tanah dan wajahnya terlihat pucat.
Namun si Herry yang cerdik dan licin memilih menyelamatkan diri dengan menyelinap ke salah satu rumah lonte di kompleks Kilo 17 itu. Ia masuk tanpa permisi dan mengunci pintu dari dalam. Di balik sana sudah menunggu seorang wanita, cantik, masih muda dengan make up super menor dan celana pendek mini sungguh menggoda. Baju 'you can see' yang dikenakannya membuat Herry tergoda juga birahinya. Namun ia tak sempat melanjutkan pikiran mesumnya, ia hanya berfikir bagaimana ia selamat siang itu. Ia lalu memohon ke si lonte, yang ternyata bernama Susi, agar jangan bilang-bilang jikalau ada petugas masuk ke rumah itu. Si Susi yang genit mengiyakan saja dengan syarat Herry harus memberi kompensasi, karena Susi sudah sehari tak dapat pelanggan. Si Herry yang cerdik memanfaatkan saja kesempatan itu. Ia lalu bernegosiasi dan balik memberikan syarat, Susi harus mencuci dan mengeringkan pakaiannya. Jadilah Susi sibuk cuci pakaian lalu segera dikeringkan dengan setrika, sedangkan Herry hanya pakai celana dalam tiduran di atas sofa kucel dan bolong-bolong sambil membayangkan Susi tanpa busana.
Herry sudah semakin sore, pakaian Herry pun sudah cukup kering dan layak pakai. Si Herry bernegosiasi lagi,
"Sus, aku harus ke Balikpapan dulu ya, malam ini aku ada acara kumpul-kumpul sama teman-teman."
"Wah ndak bisa mas, sampeyan kan sudah janji kalau akan pake saya malam ini?"
"Ya, kalo itu yo jadi. Saya ke Balikpapan sebentar saja, lalu malam nanti jika acara sudah selesai saya aku balik dan tidur sini, nih saya panjer 50 ribu."
"Yo wis lah, Mas nek ngono. Bener ya, aku tunggu pokoknya Mas malam ini, awas kalo ndak kesini, saya denda sampeyan."
"Iya iya! Tapi aku titip tajiku di sini ya, takutnya nanti kena razia di luar sana."
Mereka pun sepakat dan secara tidak tertulis menandatangani MoU yang akan dilaksanakan malam nanti. Lalu Herry dengan pakaian bersih jerih payah Susi dan sandal pinjaman menghadiri pesta makan-makan dan minum-minum di Balikpapan, di sebuah rumah besar dan luas milik Cing Mo seorang germo terkenal dan dikenal tak tersentuh oleh hukum.
Malam itu Herry bertemu teman-teman yang tadi terhambur diuber polisi dan saling cerita kemana mereka lari. Si Herry yang doyan cerita pun tak putus-putus menceritakan kisahnya yang lucu dan kocak sambil menenggak minuman yang dihidangkan berbotol-botol. Wanita-wanita penghibur berseliweran memang sengaja disediakan Cing Mo untuk pesta malam itu. Jadilah malam itu pesta minuman dan pesta wanita.
Tak terasa malam semakin larut dan Si Herry dan teman-temannya semakin terlarut dalam irama pesta. Musik-musik dangdut membuat pinggul berjoget secara otomatis. Minuman penuh alkohol itu pun semakin meracuni urat saraf mereka, tak terkecuali si Herry yang memang maniak minum topi miring. Herry yang sudah menghabiskan belasan tegukan terhuyung-huyung. Langkahnya sudah tak karuan, pikirannya mulai melayang dan ia merasa begitu gembira malam itu seolah tak ada masalah di rumah.
Preman-preman penjaga pesta lalu menyuruh yang sudah mabuk dibawa saja ke kamar wanita penghibur di seberang sana. Dan si Herry pun dibopong dua orang preman ke kamar salah seorang wanita yang bernama samaran Nonik. Saking sudah teracuni alkohol Herry melemparkan begitu saja tubuhnya di atas tempat tidur.
Tengah malam lewat pesta pun usai dan beberapa orang masing lalu lalang sempoyongan di luar sana. Sedangkan Herry sudah terlelap di atas kasur tipis tak empuk, di sampingnya tertidur si Nonik. Sekitar dini hari jam 4 Herry terbangun dan mendapati Nonik tidur terlentang berpakaian seksi menantang. Ia lalu menggerayangi segenap tubuh Nonik dengan penuh nafsu. Malam yang gelap itu ia acuhkan saja, bahkan ia tak tau wajah Nonik seperti apa karena semalam ia mabuk parah. Mereka terlarut dalam irama mesum malam itu. Keringat mereka bercucuran dan mereka lepas malam itu bersama menumpuk dosa. Karena kelelahan Herry dan Nonik tertidur dan bangung esok paginya ketika matahari sudah agak tinggi.
Herry langsung menuju kamar mandi dan cuci muka secukupnya. Ia lalu kembali ke tempat tidur lalu menyalakan lampu kamar. Hari kaget bukan kepalang. Jantungnya seperti berhenti memompa darah. Kepalanya bagaikan disambar kilat hujan bulan Desember. Kakinya lemas bagaikan lumpuh karena dipasung puluhan tahun. Mulutnya gagu seperti si gagap yang dikagetin temannya. Ia bengong seribu bahasa. Matanya mendelik berusaha membenarkan apa yang ia lihat. Ia tidak salah lihat. Pagi itu ia melihat wanita bernama Nonik terbaring lemas di atas tempat tidur, sambil tersenyum garing. Nonik yang malam tadi menjadi pelampiasan nafsunya, ternyata berwajah tak cantik, mata kirinya cacat dan terpejam seterusnya. Giginya agak maju. Herry yang masih kaget hanya diam seribu bahasa. Beberapa detik kemudian ia tersadar lalu langsung memakai pakaian lengkap dan kabur keluar dari kamar yang sial itu. Ia ternyata telah dikerjain teman-temannya. Ia diberi wanita penghibur yang cacat mata sehingga kelihatan seram. Namun karena malam tadi lampu kamar tak menyala sehingga ia tak melihat wajah Nonik ketika ia "memakainya".
Dalam perjalanan pulang dari Balikpapan, semua teman-teman menertawakan dan mengolok-olok Herry. Herry bungkam dan duduk membisu malu di kursi deretan paling belakang. Ia mati kutu tak bisa membela diri. Herry benar-benar sial. Sial mulai dari dikejar polisi saat mau sabung ayam, sial dapat cewek matanya picek, lalu sial ia harus menebus taji yang ia titipkan di tempat Susi dan ia juga harus mengganti janji menginapnya semalam dengan harga 2x lipat tarif normal Susi. Ah si Herry memang lagi apes....
Ketika 2 ekor ayam sudah dipegang dan siap dilepaskan, terdengar suara tembakan ke udara. Puluhan orang berpakaian seragam dan membawa senjata menggerebek arena judi itu. Ternyata aksi sabung ayam ini tercium oleh petugas polisi kota Balikpapan. Kontan saja semua begundal sabung ayam terhambur dan menyelamatkan diri masing-masing. Ayam-ayam yang sudah siap adu ditinggalkan begitu saja. Mereka lari pontang-ponting bukan kepalang, pagar setinggi 2 meter dilompati dengan enteng saja. Parit selebar 3 meter bukan halangan. Mereka lari sekenanya ke arah tegalan, sawah dan ladang di sekitar arena sabung ayam itu.
Begitu juga Herry lari namun tajinya masih sempat diselamatkan. Si Herry yang jago pasang taji selalu membawa taji dan selalu menjadi tukang pasang yang dinanti-nanti oleh sesama penyabung ayam. Ia lari terbirit-birit di pematang sawah yang basah dan becek. Sepatunya terlepas dan tertinggal begitu saja, celana panjangnya kotor tidak karuan hingga ke pahanya. Bajunya terkena bercak-bercak tanah dan wajahnya terlihat pucat.
Namun si Herry yang cerdik dan licin memilih menyelamatkan diri dengan menyelinap ke salah satu rumah lonte di kompleks Kilo 17 itu. Ia masuk tanpa permisi dan mengunci pintu dari dalam. Di balik sana sudah menunggu seorang wanita, cantik, masih muda dengan make up super menor dan celana pendek mini sungguh menggoda. Baju 'you can see' yang dikenakannya membuat Herry tergoda juga birahinya. Namun ia tak sempat melanjutkan pikiran mesumnya, ia hanya berfikir bagaimana ia selamat siang itu. Ia lalu memohon ke si lonte, yang ternyata bernama Susi, agar jangan bilang-bilang jikalau ada petugas masuk ke rumah itu. Si Susi yang genit mengiyakan saja dengan syarat Herry harus memberi kompensasi, karena Susi sudah sehari tak dapat pelanggan. Si Herry yang cerdik memanfaatkan saja kesempatan itu. Ia lalu bernegosiasi dan balik memberikan syarat, Susi harus mencuci dan mengeringkan pakaiannya. Jadilah Susi sibuk cuci pakaian lalu segera dikeringkan dengan setrika, sedangkan Herry hanya pakai celana dalam tiduran di atas sofa kucel dan bolong-bolong sambil membayangkan Susi tanpa busana.
Herry sudah semakin sore, pakaian Herry pun sudah cukup kering dan layak pakai. Si Herry bernegosiasi lagi,
"Sus, aku harus ke Balikpapan dulu ya, malam ini aku ada acara kumpul-kumpul sama teman-teman."
"Wah ndak bisa mas, sampeyan kan sudah janji kalau akan pake saya malam ini?"
"Ya, kalo itu yo jadi. Saya ke Balikpapan sebentar saja, lalu malam nanti jika acara sudah selesai saya aku balik dan tidur sini, nih saya panjer 50 ribu."
"Yo wis lah, Mas nek ngono. Bener ya, aku tunggu pokoknya Mas malam ini, awas kalo ndak kesini, saya denda sampeyan."
"Iya iya! Tapi aku titip tajiku di sini ya, takutnya nanti kena razia di luar sana."
Mereka pun sepakat dan secara tidak tertulis menandatangani MoU yang akan dilaksanakan malam nanti. Lalu Herry dengan pakaian bersih jerih payah Susi dan sandal pinjaman menghadiri pesta makan-makan dan minum-minum di Balikpapan, di sebuah rumah besar dan luas milik Cing Mo seorang germo terkenal dan dikenal tak tersentuh oleh hukum.
Malam itu Herry bertemu teman-teman yang tadi terhambur diuber polisi dan saling cerita kemana mereka lari. Si Herry yang doyan cerita pun tak putus-putus menceritakan kisahnya yang lucu dan kocak sambil menenggak minuman yang dihidangkan berbotol-botol. Wanita-wanita penghibur berseliweran memang sengaja disediakan Cing Mo untuk pesta malam itu. Jadilah malam itu pesta minuman dan pesta wanita.
Tak terasa malam semakin larut dan Si Herry dan teman-temannya semakin terlarut dalam irama pesta. Musik-musik dangdut membuat pinggul berjoget secara otomatis. Minuman penuh alkohol itu pun semakin meracuni urat saraf mereka, tak terkecuali si Herry yang memang maniak minum topi miring. Herry yang sudah menghabiskan belasan tegukan terhuyung-huyung. Langkahnya sudah tak karuan, pikirannya mulai melayang dan ia merasa begitu gembira malam itu seolah tak ada masalah di rumah.
Preman-preman penjaga pesta lalu menyuruh yang sudah mabuk dibawa saja ke kamar wanita penghibur di seberang sana. Dan si Herry pun dibopong dua orang preman ke kamar salah seorang wanita yang bernama samaran Nonik. Saking sudah teracuni alkohol Herry melemparkan begitu saja tubuhnya di atas tempat tidur.
Tengah malam lewat pesta pun usai dan beberapa orang masing lalu lalang sempoyongan di luar sana. Sedangkan Herry sudah terlelap di atas kasur tipis tak empuk, di sampingnya tertidur si Nonik. Sekitar dini hari jam 4 Herry terbangun dan mendapati Nonik tidur terlentang berpakaian seksi menantang. Ia lalu menggerayangi segenap tubuh Nonik dengan penuh nafsu. Malam yang gelap itu ia acuhkan saja, bahkan ia tak tau wajah Nonik seperti apa karena semalam ia mabuk parah. Mereka terlarut dalam irama mesum malam itu. Keringat mereka bercucuran dan mereka lepas malam itu bersama menumpuk dosa. Karena kelelahan Herry dan Nonik tertidur dan bangung esok paginya ketika matahari sudah agak tinggi.
Herry langsung menuju kamar mandi dan cuci muka secukupnya. Ia lalu kembali ke tempat tidur lalu menyalakan lampu kamar. Hari kaget bukan kepalang. Jantungnya seperti berhenti memompa darah. Kepalanya bagaikan disambar kilat hujan bulan Desember. Kakinya lemas bagaikan lumpuh karena dipasung puluhan tahun. Mulutnya gagu seperti si gagap yang dikagetin temannya. Ia bengong seribu bahasa. Matanya mendelik berusaha membenarkan apa yang ia lihat. Ia tidak salah lihat. Pagi itu ia melihat wanita bernama Nonik terbaring lemas di atas tempat tidur, sambil tersenyum garing. Nonik yang malam tadi menjadi pelampiasan nafsunya, ternyata berwajah tak cantik, mata kirinya cacat dan terpejam seterusnya. Giginya agak maju. Herry yang masih kaget hanya diam seribu bahasa. Beberapa detik kemudian ia tersadar lalu langsung memakai pakaian lengkap dan kabur keluar dari kamar yang sial itu. Ia ternyata telah dikerjain teman-temannya. Ia diberi wanita penghibur yang cacat mata sehingga kelihatan seram. Namun karena malam tadi lampu kamar tak menyala sehingga ia tak melihat wajah Nonik ketika ia "memakainya".
Dalam perjalanan pulang dari Balikpapan, semua teman-teman menertawakan dan mengolok-olok Herry. Herry bungkam dan duduk membisu malu di kursi deretan paling belakang. Ia mati kutu tak bisa membela diri. Herry benar-benar sial. Sial mulai dari dikejar polisi saat mau sabung ayam, sial dapat cewek matanya picek, lalu sial ia harus menebus taji yang ia titipkan di tempat Susi dan ia juga harus mengganti janji menginapnya semalam dengan harga 2x lipat tarif normal Susi. Ah si Herry memang lagi apes....
Air Tanah yang Tercemar
Beberapa waktu yang lalu saya bertemu dengan seorang dokter dan menurutnya ia pernah melakukan penelitian tentang air tanah dan pertanian di Bali. Menurutnya, air tanah yang kita konsumsi sekarang tidak baik dan sudah tercemar pestisida. Sejak tahun 70-an pestisida secara besar-besaran digunakan di Indonesia khususnya di Bali. Dalam waktu selama itu yakni sejak tahun 70-an hingga 2000-an pestisida-pestisida yang larut dalam air sawah dan mengendap dalam tanah terus meresap dalam tanah hingga jauh ke dalam. Hingga saking lamanya waktu, endapan pestisida itu mencapai lapisan tanah yang mengandung air tanah. Air tanah inilah yang sekarang kita konsumsi baik didapat dari air sumur, air sumur bor maupun dari air PDAM yang didapat dari sumber mata air yang terletak lebih bawah dari pemukiman penduduk. Meskipun sudah disaring berlapis-lapis tanah dan dalam ketebalan yang ekstrim, kandungan kimianya tetap saja dan jika air itu dikonsumsi dalam jumlah yang banyak akan mempengaruhi kesehatan. Tentunya akan terasa dalam waktu yang relatif lama.
Minggu-minggu terakhir ini saya berniat membuat sumur bor dimana sumur air tanah yang sudah ada sekarang sering kering ketika musim kemarau berlangsung cukup lama. Maklum sumur air tanah ini hanya sedalam 5 meter, masih terpengaruh oleh datangnya hujan dan keberadaan air sawah di belakang rumah. Mengingat cerita Pak Dokter dulu saya jadi ragu apakah tepat jika saya menggunakan sumur bor untuk konsumsi memasak. Jika untuk keperluan MCK tentu tidak terlalu masalah. Pilihan lain adalah memasang air dari PDAM. Namun beberapa bulan terakhir sumber air PDAM sudah tidak dari mata air dari pegunungan lagi namun dari air sungai yang diolah menjadi air bersih. Tempat pengolahannya masih di desa tetangga dan kata beberapa orang kualitas airnya buruk, namun beberapa orang lagi bilang tak masalah dan sehat-sehat saja, katanya.
Bingung mau pilih yang mana...
Minggu-minggu terakhir ini saya berniat membuat sumur bor dimana sumur air tanah yang sudah ada sekarang sering kering ketika musim kemarau berlangsung cukup lama. Maklum sumur air tanah ini hanya sedalam 5 meter, masih terpengaruh oleh datangnya hujan dan keberadaan air sawah di belakang rumah. Mengingat cerita Pak Dokter dulu saya jadi ragu apakah tepat jika saya menggunakan sumur bor untuk konsumsi memasak. Jika untuk keperluan MCK tentu tidak terlalu masalah. Pilihan lain adalah memasang air dari PDAM. Namun beberapa bulan terakhir sumber air PDAM sudah tidak dari mata air dari pegunungan lagi namun dari air sungai yang diolah menjadi air bersih. Tempat pengolahannya masih di desa tetangga dan kata beberapa orang kualitas airnya buruk, namun beberapa orang lagi bilang tak masalah dan sehat-sehat saja, katanya.
Bingung mau pilih yang mana...
Aku Sedang Gundah
Aku sedang gundah dan gulana karena banyak sekali pertanyaan-pertanyaan seputar agama dan adat istiadat Bali tidak mendapat jawaban yang sempurna seperti yang saya harapkan. Berbagai buku tentang Hindu dan Bali sudah saya beli namun tetap saja jawabannya masih mengambang dan tidak tepat sasaran. Mencari orang yang tepat untuk ditanyai juga tidak ada. Jika bertanya pada seorang pinandita di suatu kampung, itu tidak lumrah. Kesan yang dimunculkan adalah ribet, karena harus berbahasa halus dan harus bisa mecik manggis, seperti drama gong saja.
Kalau orang-orang di sekitar kita yang ditanya jawabannya malah tak karuan. Ada yang menjawab berdasarkan rasa, firasat, dengar dari orang, mimpi atau bahkan dengan kata-kata wasiat "kone". Tentu saja ini membuat bingung. Di jaman serba modern dan global ini apakah tidak ada yang ingin mengubah tradisi dalam arti inovasi dalam hal-hal kecil sebangsa yang saya alami ini. Misalnya untuk bertanya hal-hal kecil. Tentang tata cara sembahyang, tata cara pembangunan rumah, tentang tata cara manusa yadnya. Kita seperti tidak punya aturan yang jelas dan tegas, kita hanya mengandalkan desa kala patra untuk bersembunyi dari ketidaktahuan itu. Padahal sebenarnya kalau mau digali lebih jauh, mungkin banyak yang bisa dipetik dari kitab-kitab suci yang kita sucikan dan jadi pedoman hidup hingga saat ini.
Kalau orang-orang di sekitar kita yang ditanya jawabannya malah tak karuan. Ada yang menjawab berdasarkan rasa, firasat, dengar dari orang, mimpi atau bahkan dengan kata-kata wasiat "kone". Tentu saja ini membuat bingung. Di jaman serba modern dan global ini apakah tidak ada yang ingin mengubah tradisi dalam arti inovasi dalam hal-hal kecil sebangsa yang saya alami ini. Misalnya untuk bertanya hal-hal kecil. Tentang tata cara sembahyang, tata cara pembangunan rumah, tentang tata cara manusa yadnya. Kita seperti tidak punya aturan yang jelas dan tegas, kita hanya mengandalkan desa kala patra untuk bersembunyi dari ketidaktahuan itu. Padahal sebenarnya kalau mau digali lebih jauh, mungkin banyak yang bisa dipetik dari kitab-kitab suci yang kita sucikan dan jadi pedoman hidup hingga saat ini.
Judi Softly Killer
Kata orang luar Bali, di Bali judi seolah-olah sudah menjadi suatu budaya, sudah memasyarakat. Judi tidak saja dilakoni kalangan rakyat jelata, namun juga kalangan elit pemerintah dan politik juga tak kalah serunya. Judi juga tak hanya dilakoni lelaki Bali namun juga para wanita. Meskipun wanita berjudi hanya untuk hiburan dikala senggang biasanya dilakukan di rumah-rumah. Permainannya biasanya ceki ato domino, kelas teri.
Jika laki-lakinya sudah barang tentu judi-judi kelas kakap mulai dari ceki atau domino dengan taruhan tak sedikit hingga judi sabung ayam. Judi yang terakhir sering menunggangi peristiwa upacara tabuh rah. Tabuh rah seolah menjadi legalisasi pengadaan judi sabung ayam, yang di bali biasa disebut tajen.
Jika kita mau berkata jujur, judi pasti lebih banyak efek negatifnya. Disamping akan menghabiskan uang jika si penjudi kalah juga bisa dipastikan keharmonisan keluarganya akan terganggu. Jika keharmonisan keluarga sudah tidak bagus, proses mendidik anak juga akan berjalan buruk. Bayangkan saja jika si bapak jadi penjudi tajen. Pergi pagi pulang sore atau malam. Kalau menang tidak masalah, si anak istri akan mendapat uang meskipun uang itu termasuk uang tidak benar. Jika kalah, ia pulang marah-marah dan bisa saja terjadi percekcokan dengan sang istri. Jika anak-anak melihat pemandangan seperti apalagi setiap hari, sudah tentu akan mempengaruhi psikologi mereka yang sedang tumbuh. Anak akan diwarisi sifat-sifat kekerasan. Menurut penelitian, anak dari orang tua yang suka berantem dan berkata-kata kasar akan cenderung menjadi keras juga. Tentu sifat keras itu tidak bagus untuk diri sendiri maupun untuk pergaulan di masyarakat, bukan?
Namun mengapa judi terus dilakukan di Bali? Apakah karena sedikitnya larangan dari pihak kepolisian atau pemerintah? Apakah karena pendidikan agama dan penerapan hukum-hukum agama yang kurang tegas dalam menindak hal-hal kayak gini? Jika demikian hukum-hukum adat atau dikenal dengan awig-awig harusnya mengcover masalah perjudian ini. Pada umumnya, berbagai kasus yang terjadi di Bali khususnya di kampung, lebih bisa diselesaikan secara adat, hukum sering mental ketika digunakan untuk menyentuh masalah-masalah yang berbau adat dan budaya.
Tentu saja tulisan ini tidak bermaksud melarang kawan-kawan yang doyan berjudi untuk berhenti. Tulisan ini hanya menghimbau. Toh tidak ada salahnya kita meniti kehidupan yang lebih baik berdasarkan norma-norma yaik baik berdasarkan norma moral dan agama kita. Bukankah masyarakat yang beradab adalah masyarakat yang bermoral?
Jika laki-lakinya sudah barang tentu judi-judi kelas kakap mulai dari ceki atau domino dengan taruhan tak sedikit hingga judi sabung ayam. Judi yang terakhir sering menunggangi peristiwa upacara tabuh rah. Tabuh rah seolah menjadi legalisasi pengadaan judi sabung ayam, yang di bali biasa disebut tajen.
Jika kita mau berkata jujur, judi pasti lebih banyak efek negatifnya. Disamping akan menghabiskan uang jika si penjudi kalah juga bisa dipastikan keharmonisan keluarganya akan terganggu. Jika keharmonisan keluarga sudah tidak bagus, proses mendidik anak juga akan berjalan buruk. Bayangkan saja jika si bapak jadi penjudi tajen. Pergi pagi pulang sore atau malam. Kalau menang tidak masalah, si anak istri akan mendapat uang meskipun uang itu termasuk uang tidak benar. Jika kalah, ia pulang marah-marah dan bisa saja terjadi percekcokan dengan sang istri. Jika anak-anak melihat pemandangan seperti apalagi setiap hari, sudah tentu akan mempengaruhi psikologi mereka yang sedang tumbuh. Anak akan diwarisi sifat-sifat kekerasan. Menurut penelitian, anak dari orang tua yang suka berantem dan berkata-kata kasar akan cenderung menjadi keras juga. Tentu sifat keras itu tidak bagus untuk diri sendiri maupun untuk pergaulan di masyarakat, bukan?
Namun mengapa judi terus dilakukan di Bali? Apakah karena sedikitnya larangan dari pihak kepolisian atau pemerintah? Apakah karena pendidikan agama dan penerapan hukum-hukum agama yang kurang tegas dalam menindak hal-hal kayak gini? Jika demikian hukum-hukum adat atau dikenal dengan awig-awig harusnya mengcover masalah perjudian ini. Pada umumnya, berbagai kasus yang terjadi di Bali khususnya di kampung, lebih bisa diselesaikan secara adat, hukum sering mental ketika digunakan untuk menyentuh masalah-masalah yang berbau adat dan budaya.
Tentu saja tulisan ini tidak bermaksud melarang kawan-kawan yang doyan berjudi untuk berhenti. Tulisan ini hanya menghimbau. Toh tidak ada salahnya kita meniti kehidupan yang lebih baik berdasarkan norma-norma yaik baik berdasarkan norma moral dan agama kita. Bukankah masyarakat yang beradab adalah masyarakat yang bermoral?
Tanah Pantai Bali
Kalau kita telusuri lebih jauh dan jika kita sempatkan jalan-jalan di sekitar pantai selatan Bali dari sekitar Tanah Lot hingga menuju terus ke timur ke Pantai Kuta, Sanur, Candi Dasa dan seterusnya, kita akan mendapati kenyataan yang benar-benar pahit, semua tanah pinggir pantai sudah laku. Tanah yang rata-rata adalah warisan dari leluhur orang lokal di sekitar pantai itu sudah menjadi milik investor entah itu datang dari Jakarta maupun dari luar negeri. Pokoknya tanah sekitar pantai itu sudah bukan milik orang lokal lagi. Diiming-imingi dengan harga beli yang tinggi, masyarakat yang walaupun sebenarnya tidak sedang butuh duit, menjual tanpa rasa berdosa terhadap leluhurnya. Dimana tanggung jawab mereka menjaga kawitan dan keajegan tanah Bali yang kian hari kian terkikis ini. Terkikis oleh ganasnya pengaruh asing dan penyusupan paham lain.
Siapa sebenarnya yang bersalah dalam hal ini? Apakah rakyat yang menjual tanah itu? Apakah pemerintah yang tak perduli sama sekali dengan tanah Bali? Yang penting uang pelicin masuk, tak peduli nasib Bali ke depan, tanah hilang dengan mengenaskan. Rata-rata tanah yang dibeli itu dijadikan villa. Syukur-syukur akhirnya masyarakat sekitar bisa dikaryakan di villa-villa yang dibangun untuk kesejahteraan dan dinikmati orang-orang yang bukan orang kita, tapi bule-bule dari luar sana. Yang paling buruk adalah tanah malah tidak segera diberdayakan, tapi dijadikan permainan oleh calo tanah. Disamping merusak harga juga akan memperlambat pertumbuhan ekonomi di sekitar tempat tanah itu. Paling tidak dengan dimanfaatkannya tanah itu, misalnya untuk villa, hotel dan sebagainya, masyarakat sekitar memperoleh lowongan atau pengahasilan tambahan jikalau ada tamu yang menginap atau sekedar lewat.
Apakah tidak ada jalan lain selain menjual tanah-tanah warisan itu? Apakah tidak lebih baik tanah itu disewakan bagi investor villa sehingga secara kepemilikan tanah tidak hilang, tetap menjadi milik masyarakat pribumi. Di sisi lain keuntungan jalan terus dari hasil uang sewa tanah itu oleh investor. Dengan metode ini sebenarnya bisa paling tidak sedikit menjaga keutuhan tanah Bali yang katanya tanah surga ini. Surganya dunia. Pulau seribu pura. Jika semua tanah dijual kemudian dibangun villa, hotel dan restoran, tentu namanya akan menjadi "Pulau Seribu Villa".
Sudah tentu keajegan Bali dari segi penjualan tanah warisan ini adalah tanggung jawab si pemilik tanah dibantu oleh pemerintah menentukan kebijakan yang menguntungkan rakyat kecil tentunya. Pemerintah jangan silau oleh uang pelicin yang disetor oleh investor yang ingin membangun suatu kawasan wisata. Jangan korbankan pulau Bali tercinta hanya demi kesenangan dunia, duit. Jangan mau jadi budak investor yang menjajah Bali secara sewenang-wenang. Mari ajegkan Bali.
Siapa sebenarnya yang bersalah dalam hal ini? Apakah rakyat yang menjual tanah itu? Apakah pemerintah yang tak perduli sama sekali dengan tanah Bali? Yang penting uang pelicin masuk, tak peduli nasib Bali ke depan, tanah hilang dengan mengenaskan. Rata-rata tanah yang dibeli itu dijadikan villa. Syukur-syukur akhirnya masyarakat sekitar bisa dikaryakan di villa-villa yang dibangun untuk kesejahteraan dan dinikmati orang-orang yang bukan orang kita, tapi bule-bule dari luar sana. Yang paling buruk adalah tanah malah tidak segera diberdayakan, tapi dijadikan permainan oleh calo tanah. Disamping merusak harga juga akan memperlambat pertumbuhan ekonomi di sekitar tempat tanah itu. Paling tidak dengan dimanfaatkannya tanah itu, misalnya untuk villa, hotel dan sebagainya, masyarakat sekitar memperoleh lowongan atau pengahasilan tambahan jikalau ada tamu yang menginap atau sekedar lewat.
Apakah tidak ada jalan lain selain menjual tanah-tanah warisan itu? Apakah tidak lebih baik tanah itu disewakan bagi investor villa sehingga secara kepemilikan tanah tidak hilang, tetap menjadi milik masyarakat pribumi. Di sisi lain keuntungan jalan terus dari hasil uang sewa tanah itu oleh investor. Dengan metode ini sebenarnya bisa paling tidak sedikit menjaga keutuhan tanah Bali yang katanya tanah surga ini. Surganya dunia. Pulau seribu pura. Jika semua tanah dijual kemudian dibangun villa, hotel dan restoran, tentu namanya akan menjadi "Pulau Seribu Villa".
Sudah tentu keajegan Bali dari segi penjualan tanah warisan ini adalah tanggung jawab si pemilik tanah dibantu oleh pemerintah menentukan kebijakan yang menguntungkan rakyat kecil tentunya. Pemerintah jangan silau oleh uang pelicin yang disetor oleh investor yang ingin membangun suatu kawasan wisata. Jangan korbankan pulau Bali tercinta hanya demi kesenangan dunia, duit. Jangan mau jadi budak investor yang menjajah Bali secara sewenang-wenang. Mari ajegkan Bali.
Subscribe to:
Posts (Atom)