Pagi ini, pagi-pagi sebelum matahari terbit, aku sudah keluar rumah dengan sepeda motor hitam butut. Aku lalui kabut tipis dan aku biarkan saja udara dingin segar menerpa dadaku yang akhir-akhir ini agak sesak. Aku lalui turunan dan jalan penuh lubang menuju sebuah pasar tradisional di desa tetangga, Nyitdah. Di sana sudah menunggu nenek tua penjual jaje pisang rai langganan bapakku.
"Sudah habis, tinggal segitu saja," katanya sambil membuka daun pisang yang menutup tumpukan pisang rai di atas tempeh.
Aku borong semua ditambah sumping gula Bali, cukup sudah untuk sarapan pagi yang masih agak gelap itu. Lalu aku bayar, cukup 5000 perak sudah dapat segunung kue-kue tradisional. Lalu aku kembali ke sepeda motor yang kuparkir di seberang sana, kubuka valve minyak yang selalu bocor menetes, lalu ku-start dan aku pun hendak putar gas dan akan berlalu. Namun di ujung sana ku lihat nenek tua penjual nasi bubur yang kesepian, mungkin karena aku kesiangan makanya sudah tak ada pelanggannya datang lagi. Di ujung sananya lagi tampak jua nenek-nenek yang tak kalah tuanya tersenyum ramah pada pembelinya yang umurnya juga tak jauh-jauh beda. Di sisi sebelah sini tampak nenek tua bersorban handuk biru yang warnanya sudah pudar, menawar sayur mayur dengan ramah. Sungguh pemandangan desa yang rupawan. Kemana gerangan wanita-wanita mudanya? Apakah pasar desa yang rupawan ini hanya milik orang-orang tua dan nenek-nenek keriput? Apakah wanita mudanya sudah tak mau lagi belanja di pasar yang interaktif ini. Pasar yang mengutamakan dialog dalam berbelanja, basa-basi yang menyegarkan suasana pagi sudah tak ada lagi di pasar-pasar modern nan canggih, semacam department store sekelas hypermart dan lainnya.
Aku lanjutkan saja memutar tuas gas dan motorku berlalu dengan suara menderu, asap putih sedikit mencemari suasana pagi indah itu, maaf. Sepanjang jalan udara dingin dan kabut tipis menjadi penghias agar pagi semakin indah. Sepanjang jalan menuju pulang yang berjarak hanya 5 menit itu banyak sekali ku melihat portrait pagi desa yang menggoda untuk dibingkai dalam lukisan cahaya hitam putih. Namun sayang pagi ini aku tak membawa mata besi kesayanganku.
Disampingku berlalu seorang kakek tua berumur 70 tahun lebih, berjalan tegak dengan irama lebih cepat dari kebiasaan jalanku, tanpa alas kaki, baju yang sedikit lusuh. Entah apa yang digendongnya, seperti cukup berat jika aku yang harus memikulnya. Namun ia tegak saja berjalan tak terlihat nafasnya terengah-engah. Di ujung sana aku nikmati portrait indah dua orang petani yang sedang bertemu di jalan. Mirip dengan semut yang berjalan hilir mudik satu garis lalu ketika bertemu muka dengan sobatnya, ia akan semacam berdialog sebentar lalu berlalu lagi. Demikian pula pak tani yang bersahaja itu masing-masing menggotong cangkul di bahunya, berdialog ramah dengan rekannya yang bertemu di jalan, entah apa yang mereka bicarakan, yang pasti bukan krisis ekonomi yang sedang melanda dunia saat ini. Sinar-sinar mentari mulai menembus pepohonan lalu menerpa wajah-wajah mereka dari belakang, membuat backlighting pagi itu sungguh semakin menggoda dan menggatalkan tanganku. Sempat kuhentikan putaran roda-roda ini lalu kunikmati dan kurekam pemandangan indah itu dalam memori otakku yang absurd.
Ketika kulewati deretan sawah, kulihat anak-anak SD dan SMP wanita sedang terburu-buru mengayuh sepeda. Warna baju putih dan bawahan merah dan juga biru sungguh indah dipadu dengan hijau sawah dan beningnya kabut tipis pagi itu. Aku lalui desa Mengening dan kini kumasuki area rumah-rumah yang gapuranya indah dengan lumut-lumut hijau, sungguh eksotis. Di teras gapura tampak anak-anak SMP pria sedang ngerumpi dengan temannya menunggu jam sekolah sudah agak mepet. Jikalau tadi yang wanita berkeringat mengayuh sepeda, si laki-laki ongkang-ongkang kaki tak mau mengayuh sepeda lagi. Apakah ini potret nyata kehidupan di kampung kita?
Lukisan masih terus tergambar indah sepanjang jalan itu. Kini kulewati desa terakhir sebelum kutemui jalan-jalan rusak di depan rumahku yang katanya tahun depan akan diaspal, sesuai janji waktu pilkada kemaren. Jalan yang menanjak itu dihiasi oleh 2 orang ibu-ibu yang menggotong kerajinan bambu anyaman tangan menuju entah kemana. Pagi-pagi mereka sudah berjalan, tanpa alas kaki, menembus kabut pagi. Entahlah apakah mereka sudah sarapan, mandi dan gosok gigi? Entahlah apakah suaminya tadi sudah bangun dan melihat istri mereka yang gagah perkasa pergi meninggalkan rumah dan berjalan tanpa lelah demi rupiah.
Akhirnya aku tiba dalam dekapan pagi rumahku yang mewah, mepet sawah. Di depan dan belakang masih terhampar sawah indah. Di samping situ sudah menunggu anyaman besi-besi yang siap dihiasi oleh kelihaian tangan si tukang yang berpengalaman. Aku akan merindukan suasana pagi yang eksotis ini.
Pandak Gede, Kamulan Titiang
18 Oct 2008 07:41
Sunday, October 19, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment