Kata orang luar Bali, di Bali judi seolah-olah sudah menjadi suatu budaya, sudah memasyarakat. Judi tidak saja dilakoni kalangan rakyat jelata, namun juga kalangan elit pemerintah dan politik juga tak kalah serunya. Judi juga tak hanya dilakoni lelaki Bali namun juga para wanita. Meskipun wanita berjudi hanya untuk hiburan dikala senggang biasanya dilakukan di rumah-rumah. Permainannya biasanya ceki ato domino, kelas teri.
Jika laki-lakinya sudah barang tentu judi-judi kelas kakap mulai dari ceki atau domino dengan taruhan tak sedikit hingga judi sabung ayam. Judi yang terakhir sering menunggangi peristiwa upacara tabuh rah. Tabuh rah seolah menjadi legalisasi pengadaan judi sabung ayam, yang di bali biasa disebut tajen.
Jika kita mau berkata jujur, judi pasti lebih banyak efek negatifnya. Disamping akan menghabiskan uang jika si penjudi kalah juga bisa dipastikan keharmonisan keluarganya akan terganggu. Jika keharmonisan keluarga sudah tidak bagus, proses mendidik anak juga akan berjalan buruk. Bayangkan saja jika si bapak jadi penjudi tajen. Pergi pagi pulang sore atau malam. Kalau menang tidak masalah, si anak istri akan mendapat uang meskipun uang itu termasuk uang tidak benar. Jika kalah, ia pulang marah-marah dan bisa saja terjadi percekcokan dengan sang istri. Jika anak-anak melihat pemandangan seperti apalagi setiap hari, sudah tentu akan mempengaruhi psikologi mereka yang sedang tumbuh. Anak akan diwarisi sifat-sifat kekerasan. Menurut penelitian, anak dari orang tua yang suka berantem dan berkata-kata kasar akan cenderung menjadi keras juga. Tentu sifat keras itu tidak bagus untuk diri sendiri maupun untuk pergaulan di masyarakat, bukan?
Namun mengapa judi terus dilakukan di Bali? Apakah karena sedikitnya larangan dari pihak kepolisian atau pemerintah? Apakah karena pendidikan agama dan penerapan hukum-hukum agama yang kurang tegas dalam menindak hal-hal kayak gini? Jika demikian hukum-hukum adat atau dikenal dengan awig-awig harusnya mengcover masalah perjudian ini. Pada umumnya, berbagai kasus yang terjadi di Bali khususnya di kampung, lebih bisa diselesaikan secara adat, hukum sering mental ketika digunakan untuk menyentuh masalah-masalah yang berbau adat dan budaya.
Tentu saja tulisan ini tidak bermaksud melarang kawan-kawan yang doyan berjudi untuk berhenti. Tulisan ini hanya menghimbau. Toh tidak ada salahnya kita meniti kehidupan yang lebih baik berdasarkan norma-norma yaik baik berdasarkan norma moral dan agama kita. Bukankah masyarakat yang beradab adalah masyarakat yang bermoral?
Friday, October 03, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment