Terjebak dalam satu kesempatan hari minggu ini, kembali aku ke kampung tempat aku lahir, besar dan dibesarkan. Sudah agak lama kios sepatu keluarga tak dibuka. Debu-debu beterbangan ketika ku singkap seonggok meja-meja yang terbuat dari kayu dan bambu yang sudah lama mengabdi, ia kini terseok, pincang, namun tak ada yang sudi merawat lagi. Ia sudah jarang dipakai kini, barangkali hanya seminggu sekali atau bahkan sebulan atau dua bulan sekali.
Suasana masih seperti yang lama, tetangga-tetangga berdatangan menyapa dengan ramah. Senyum-senyum renyah khas desa kelahiranku itu begitu lama sudah kurindukan. Logat-logat khas kampungku menjadi penghias pagi yang agak gerah itu. Sekarang sudah tak bisa kunikmati setiap hari suasana yang hinggu SMA selalu kunikmati.
Orang-orang sudah berdatangan, seperti diburu-buru, terburu-buru ingin segera dapat barang, padahal barang-barang dagangan baru sepotong dikeluarkan, belum semua sempat dipajang. Aku, bapak dan adikku agak kewalahan. Itulah kejayaan masa lalu, kini masih terwarisi, namun waktu dan ruang tak mengijinkan kami melanjutkannya setiap hari. Hanya seminggu sekali nuansa sibuk itu kami temui. Itupun jika ada kesempatan, jika ada ruang.
Orang-orangnya juga masih seperti dulu, pembeli menawar semurahnya, kami menjual dengan harga sepantasnya. Hari minggu memang cukup ramai, mungkin karena murid-murid libur. Ditambah juga karena esok lusa di hari Selasa, murid-murid SMP akan kemah di Margarana. Kemah ini mengingatkanku pada kemah-kemah masa lalu yang sering kunikmati. Ingin rasanya bergabung dan bernostalgia pada kesempatan itu, namun selasa esok aku harus terbang ke ujung timur Borneo yang panas.
Wanita-wanita muda, ABG, berkeliaran lalu lalang ke barat, ke timur, kebirit. Lari terbirit-birit. Pakaiannya sudah semakin gaul. Mulai dari celana selutut yg ketat hingga yang motif kotak-kotak. Kaos juga ketat hingga perut-perut yang agak gendut juga kelihatan berlipat-lipat. Dandanannya juga tambah menor, sudah pakai bedak tebal, seperti pemain-pemain sinetron di SCTV atau RCTI yang akhir-akhir ini meracuni anak-anak muda. Bahasanya pun sudah semakin gawul. "Ya iyalah, masa ya iya dong!" Sudah pada berbahasa Indonesia walaupun dengan logat pas-pasan dan T yang kentara, namun itulah keunikannya. Tak perlu diprotes apalagi dihina. Celana-celana ketatnya dihiasi HP nyelip di saku celana bagian belakang ataupun depan, earphone atau handsfree bergelantungan di kupingnya. Jadinya, ketika seseorang atau temannya memanggil, ia tak terlalu mendengarkan. Yang laki-laki lalu-lalang berkacamata hitam, meskipun sebenarnya suasana pasar agak gelap untuk ukuran kacamata sehitam itu, tapi sudahlah tak apa-apa yang penting gaya, coy!
Cerita-cerita sumbang juga sudah tidak terdengar lagi seputar perselingkuhan. Diujung sana paling sekali-sekali terjadi diskusi seputar buntut, sayup-sayup terdengar mereka sibuk mengartikan mimpi atau peristiwa unik untuk dijadikan bahan pasangan togel, yang kata berita di TV menyengsarakan rakyat, menggemukkan cukongnya. Cerita selingkuh biasanya menjadi cerita sinetron pasar mulai dari jaman dulu waktu aku SD hingga kini aku sudah tak kuliah lagi. Biasanya, ujung-ujungnya yang selingkuh ketahuan dan si istri yang suaminya selingkuh akan mendatangi si wanita selingkuhannya, atau laki-laki yang istrinya selingkuh mendatangi laki-laki selingkuhannya sambil bawa caluk, lalu marah-marah bukan kepalang. Terjadilah perkelahian urat leher yang menggemparkan pasar, suara mereka terdengar hingga ke ujung los pasar. Di ujung sana ibu-ibu pedagang bergosip murah sambil membuat ketupat atau 'nyait canang'. Sungguh irama desa yang elok didengar dan digosipkan.
Di ujung sini bapakku sibuk bercerita tentang 2 orang bule Belanda yang gosipnya menikah sejenis ala Hindu di Pupuan Sawah beberapa hari kemaren. Namun ketika dikonfirmasi ulang, 2 orang bule itu tak melangsungkan upacara menikah, namun hanya mengikuti upacara masuk menjadi Hindu, meperas, mepandes dan suddhi wadana.
Di senja hari aku kembali pulang ke kampung yang kutinggali sekarang. Kami sempatkan singgah di rumah di mana aku tinggal dulu. Suasana orang-orang, jalan-jalan, masih seperti dahulu. Tetangga menyapa dengan ramah, dan bertanya sudah lama tak kesini. Kamipun menjawab tersipu-sipu. Rumah itu, rumah itu pula kenangan kedua di tanah kelahiranku. Tempat aku bermanja bersama ibu yang kini sudah pergi. Tempat kami sekeluarga menangis juga tertawa dalam setiap modulasi kehidupan yang penuh liku. Di sana juga harapan kami tertinggal, tercengkram oleh gigi-gerigi tajam tak terlihat mata awam. Semoga pikiran positif datang dari segala penjuru.
Sunday, October 19, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment